Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Kamis, 14 Oktober 2010

The Lord of The Ring

Buku Pertama:
Bab 7

Bab 12

PELARIAN KE FORD

Ketika Frodo sadar kembali, ia masih mencengkeram Cincin itu dengan erat. Ia berbaring dekat api, yang sekarang sudah ditumpuk tinggi dan menyala terang sekali. Ketiga kawannya membungkuk di atasnya.
"Apa yang terjadi? Di mana raja pucat itu?" tanya Frodo liar.
Sesaat mereka terlalu gembira mendengar ia berbicara, sehingga tidak langsung menjawabnya; lagi pula, mereka tidak memahami pertanyaannya. Akhirnya ia tahu dari Sam bahwa mereka tidak melihat apa pun, kecuali bentuk-bentuk samar-samar dan gelap yang datang ke arah mereka. Mendadak dengan ngeri Sam menyadari majikannya sudah hilang; pada scat itu sebuah bayangan hitam berlari melewatinya, dan ia jatuh. Ia mendengar suara Frodo, tapi seakan-akan datang dari jauh sekali, atau dari bawah tanah, meneriakkan kata-kata aneh. Mereka tidak melihat apa pun lagi, sampai mereka tersandung tubuh Frodo yang berbaring seperti mati, wajah tertelungkup di atas rumput, dengan pedangnya di bawahnya. Strider menyuruh mereka mengangkatnya dan membaringkannya di dekat api, lalu ia menghilang. Sekarang semua itu sudah cukup lama berlalu.
Sam jelas sudah mulai meragukan Strider lagi; tapi sementara mereka berbicara, Strider kembali, muncul tiba-tiba dari kegelapan. Mereka bergerak kaget, dan Sam menghunus pedangnya, sambil berdiri di atas Frodo; tapi Strider dengan cepat berjongkok di sisinya.
"Aku bukan Penunggang Hitam, Sam," katanya lembut, " juga tidak bersekongkol dengan mereka. Aku tadi berupaya mencari tahu tentang gerakan mereka; tapi aku tidak menemukan apa pun. Aku tidak mengerti, mengapa mereka pergi dan tidak menyerang lagi. Tapi sekarang tidak ada perasaan tentang kehadiran mereka di mana pun."
Setelah mendengar cerita Frodo, Strider menjadi sangat khawatir. Ia menggelengkan kepala dan mengeluh, lalu menyuruh Pippin dan Merry memanaskan sebanyak mungkin air yang bisa mereka tampung dalam ceret kecil mereka, dan membasuh luka Frodo dengan itu. "Jaga agar api tetap bagus, dan usahakan Frodo tetap hangat!" katanya. Lalu ia bangkit dan berjalan menjauh, memanggil Sam. "Rasanya sekarang aku lebih memahami hal ini," katanya dengan suara rendah. "Kelihatannya hanya ada lima orang di pihak musuh. Mengapa mereka tidak semua di sini, aku tidak tahu; tapi kurasa mereka tak menduga akan mendapat perlawanan. Mereka mundur untuk sementara. Tapi tidak jauh. Mereka akan kembali lain kali, kalau kita tak bisa lari. Mereka hanya menunggu, karena mengira tujuan mereka sudah hampir tercapai, dan bahwa Cincin itu tak bisa terbang lebih jauh lagi. Aku cemas mereka mengira majikanmu sudah mendapat luka mematikan, yang akan membuatnya menyerah menuruti kemauan mereka. Kita lihat saja!"
Sam tercekik menahan tangis. "Jangan putus asa!" kata Strider. "Kau harus mempercayai aku sekarang. Frodo-mu ternyata lebih tangguh daripada yang kuduga, meski Gandalf sudah memperkirakan hal itu. Dia tidak tewas, dan kurasa dia akan sanggup melawan kekuatan jahat dari lukanya, lebih lama daripada yang diharapkan musuh-musuhnya. Aku akan berusaha sebisaku untuk membantu dan menyembuhkannya. Jagalah dia baik-baik, sementara aku pergi!" Strider bergegas pergi dan lenyap kembali ditelan kegelapan.

Frodo tertidur sebentar, meski rasa pedih dari lukanya lambat lawn semakin berat, dan rasa dingin yang mematikan menyebar dari pundaknya ke tangan dan sisi tubuhnya. Kawan-kawannya menjaganya, menghangatkannya, dan membasuh lukanya. Malam berlalu perlahan dan melelahkan. Fajar mulai merebak di langit, dan lembah kecil itu mulai dipenuhi cahaya kelabu, ketika Strider akhirnya kembali.
"Lihat!" teriak Strider; sambil membungkuk ia memungut sebuah jubah hitam yang tergeletak di tanah, tersembunyi kegelapan. Satu kaki di atas kelimannya ada sayatan. "Ini bekas sapuan pedang Frodo," katanya. "Aku khawatir ini satu-satunya cedera yang diderita musuh; karena dia tak bisa terluka, dan semua mata pisau yang menusuk Raja mengerikan itu pasti hancur. Yang lebih mematikan untuknya adalah nama Elbereth."
"Dan lebih mematikan untuk Frodo adalah ini!" ia membungkuk lagi dan mengangkat sebuah pisau panjang tipis. Ada kilauan dingin di dalamnya. Saat Strider mengangkatnya di bawah cahaya yang semakin terang, mereka memandang keheranan, karena mata pisau itu tampaknya melebur dan lenyap seperti asap di udara, meninggalkan pangkalnya di tangan Strider. "Aduh!" teriaknya. "Inilah pisau terkutuk yang menimbulkan luka ini. Pada masa sekarang, hanya sedikit orang yang punya keahlian menyembuhkan, untuk menandingi senjata jahat seperti itu. Tapi aku akan berusaha semampuku."
Strider duduk di tanah, mengambil pangkal pisau itu dan meletakkannya di lututnya, sambil menyanyikan lagu lambat dalam bahasa asing. Lalu ia menyisihkan pisau itu dan berbicara dengan nada lembut kepada Frodo, dengan kata-kata yang tak bisa ditangkap oleh yang lain. Dari tas pinggangnya ia mengeluarkan beberapa helai daun panjang.
"Daun-daun ini," katanya, "sudah kucari jauh sekali; karena tanaman ini tidak tumbuh di bukit-bukit gersang, melainkan di semak-semak jauh di selatan Jalan. Aku menemukannya dalam kegelapan, dengan mencium bau daunnya." ia menghancurkan satu dengan jarinya, dan daun itu mengeluarkan ban manis dan pedas. "Untung aku bisa menemukannya, sebab inilah tanaman penyembuh yang dibawa Manusia dari Barat ke Dunia Tengah. Mereka menamakannya athelas, sekarang jarang tumbuh dan hanya ada di tempat-tempat mereka pernah tinggal atau berkemah di masa lalu; daun ini tidak dikenal di Utara, kecuali oleh beberapa pengembara di Belantara. Daun ini punya banyak manfaat bagus, tapi untuk luka semacam ini mungkin kekuatan penyembuhannya tidak seberapa."
Ia melemparkan daun-daun itu ke dalam air mendidih dan membasuh bahu Frodo. Wangi uapnya sangat menyegarkan, dan mereka yang tidak terluka merasa pikiran mereka menjadi tenang dan jernih. Tanaman itu juga berpengaruh terhadap luka Frodo, sebab Frodo merasa kepedihan dan rasa dingin membeku di sisi tubuhnya agak berkurang; tapi tangannya masih tetap mati rasa, dan ia tak bisa mengangkat atau menggunakannya. Dengan getir ia menyesali kebodohannya, dan mengomeli dirinya sendiri karena kelemahannya; sekarang ia sadar bahwa dengan memakai Cincin itu ia bukan mengikuti hasratnya sendiri, melainkan mengikuti kemauan Musuh yang menguasainya. Ia bertanya dalam hati, apakah ia akan selamanya cacat, dan bagaimana mereka akan berhasil meneruskan perjalanan. Ia merasa terlalu lemah untuk berdiri.
Yang lainnya juga sedang membahas pertanyaan tersebut. Mereka mengambil keputusan cepat untuk meninggalkan Weathertop sesegera mungkin. "Kurasa musuh sudah mengawasi tempat ini sejak lama," kata Strider. "Kalau Gandalf pernah ke sini, maka dia terpaksa menyingkir dan tidak akan kembali. Bagaimanapun, kita akan berada dalam bahaya besar di sini setelah gelap, sejak penyerangan semalam. Kalaupun kita pergi, hampir tak mungkin kita bertemu bahaya yang lebih besar."
Begitu hari terang, mereka makan tergesa-gesa dan berkemas. Frodo tak mampu berjalan, maka mereka membagi bagian terbesar bawaan mereka di antara mereka berempat, dan menempatkan Frodo di alas kuda. Dalam beberapa hari terakhir, hewan malang itu sudah banyak mengalami kemajuan; ia bahkan sudah kelihatan lebih gemuk dan kuat, dan mulai menunjukkan rasa sayang kepada majikan-majikannya yang baru, terutama Sam. Pasti perlakuan Bill Ferny kepadanya buruk sekali, sampai-sampai perjalanan di hutan malah terasa jauh lebih baik daripada kehidupannya yang lama.
Mereka berangkat ke arah selatan. Ini berarti harus menyeberangi Jalan, tapi itulah rute tercepat untuk sampai ke wilayah yang lebih banyak hutannya. Dan mereka butuh makanan; karena Strider mengatakan Frodo harus tetap hangat, terutama di malam hari, sementara api bisa memberikan perlindungan bagi mereka semua. Strider juga berniat memperpendek perjalanan mereka dengan memotong satu lagi lengkungan besar Jalan; ke arah timur melewati Weathertop, jalan itu berubah haluan dan membelok lebar ke arah utara.

Mereka berjalan perlahan dan hati-hati mengitari lereng bukit sebelah barat daya, dan setelah beberapa saat mereka sampai ke pinggir jalan. Tak ada tanda-tanda adanya para Penunggang. Tapi sementara bergegas menyeberangi Jalan, mereka mendengar dua teriakan di kejauhan: sebuah suara dingin memanggil dan suara dingin lain menjawab. Dengan gemetar mereka melompat dan berlari ke belukar yang ada di depan. Tanah di depan mereka melandai ke selatan, tapi liar dan tak ada jejak jalan: semak-semak dan pohon-pohon kerdil tumbuh dalam kerumunan rapat, dengan banyak tempat kosong di antaranya. Rumput jarang sekali, kasar dan kelabu; dan dedaunan di semak-semak sudah pudar dan rontok. Suatu wilayah yang tidak menyenangkan. Mereka hanya berbicara sedikit, sambil berjalan susah payah. Frodo sangat sedih ketika melihat mereka berjalan dengan kepala tertunduk dan Punggung bungkuk dibebani bawaan. Bahkan Strider tampak letih dan tidak bersemangat.
Sebelum perjalanan hari pertama selesai, rasa sakit Frodo semakin bertambah, tapi ia tidak mengungkapkannya untuk waktu lama. Empat hari berlalu, tanpa banyak perubahan pada tanah ataupun pemandangan, kecuali bahwa di belakang mereka Weathertop tenggelam perlahan-lahan, dan di depan mereka pegunungan di kejauhan semakin dekat. Namun sejak bunyi teriakan tadi, mereka tidak melihat atau mendengar tanda bahwa musuh sudah mengetahui pelarian mereka atau mengejar mereka. Mereka merasa takut pada saat-saat gelap, dan bergantian berjaga berpasangan di malam hari, setiap saat mengira akan melihat sosok-sosok hitam mengikuti mereka di malam kelabu, disinari samar-samar oleh bulan yang terselubung awan; tapi mereka tidak melihat apa pun, tidak mendengar suara kecuali desiran daun dan rumput layu. Tak sekali pun mereka merasakan kehadiran kejahatan yang menyerang mereka sebelum penyerbuan di lembah. Rasanya terlalu berlebihan untuk berharap bahwa para Penunggang itu sudah kehilangan jejak mereka lagi. Mungkin mereka sedang menunggu untuk menghadang di suatu tempat sempit?
Pada akhir hari kelima, tanah sekali lagi mulai menanjak landai, keluar dari lembah lebar yang telah mereka turuni. Strider sekarang memutar arah mereka ke timur laut lagi, dan pada hari keenam mereka sampai di puncak sebuah lereng yang mendaki panjang, dan melihat di kejauhan sekelompok bukit berhutan. Jauh di bawah mereka terlihat Jalan menyapu melingkari kaki bukit-bukit itu; dan di sebelah kanan mereka, sebuah sungai kelabu berkilau pucat di bawah sinar matahari yang tipis. Di kejauhan mereka melihat sungai lain lagi, di lembah berbatu yang setengah terselubung kabut.
"Aku khawatir kita terpaksa kembali ke Jalan untuk beberapa waktu," kata Strider. "Sekarang kita sudah sampai di Sungai Hoarwell, yang oleh bangsa Peri disebut Mitheithel. Sungai ini mengalir keluar dari Ettenmoors, dataran tinggi berbatu tempat bangsa troll di sebelah utara Rivendell, dan bergabung dengan Loudwater di Selatan. Beberapa orang menyebutnya Greyflood setelah itu. Sungainya besar sekali sebelum bermuara di Laut. Tak ada jalan melintasi sumbernya di Ettenmoors, kecuali melewati Jembatan Terakhir yang dilintasi Jalan."
"Sungai apa itu yang jauh di sana?" tanya Merry.
"Itu Loudwater, Bruinen dari Rivendell," jawab Strider. "Jalan menyusuri pinggiran bukit, sepanjang beberapa mil dari Jembatan, sampai ke Ford di Bruinen. Tapi aku belum memikirkan bagaimana kita akan menyeberangi sungai itu. Satu per satu sajalah! Kita akan beruntung kalau tidak ada rintangan menghadang di Jembatan Terakhir."

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, mereka turun lagi ke pinggir Jalan. Sam dan Strider berjalan di muka, tapi tidak menemukan tanda-tanda pelancong ataupun penunggang kuda. Di sini, di bawah bayangan pepohonan, hujan sudah turun beberapa waktu yang lalu. Strider memperkirakan hujan itu jatuh dua hari yang lalu, dan sudah menghilangkan semua jejak kaki. Tidak ada penunggang kuda yang lewat, sejauh ia bisa melihat.
Mereka bergegas secepat mungkin, dan setelah satu-dua mil mereka melihat Jembatan Terakhir di depan, pada dasar lereng pendek yang curam. Mereka takut akan melihat sosok-sosok hitam menunggu di sana, tapi ternyata tidak ada satu pun. Strider menyuruh mereka bersembunyi di dalam belukar di sisi Jalan, sementara ia main untuk menyelidiki.
Tak berapa lama kemudian, ia bergegas kembali. "Aku tidak melihat tanda-tanda ada musuh," katanya, "dan aku sangat ingin tahu apa artinya itu. Tapi aku menemukan sesuatu yang sangat aneh."
Ia mengulurkan tangannya, dan menunjukkan sebutir permata hijau pucat. "Aku menemukannya di dalam lumpur di tengah Jembatan," katanya. "Ini beryl, batu permata Peri. Apakah memang diletakkan di sana, atau jatuh tanpa sengaja, aku tidak tahu; tapi ini memberiku harapan. Aku akan menganggapnya tanda bahwa kita boleh melewati Jembatan; tapi di luar itu aku tidak berani tetap berjalan di Jalan, tanpa suatu tanda yang lebih jelas."

Segera mereka berjalan lagi. Mereka menyeberangi Jembatan dengan selamat, tidak mendengar bunyi apa pun kecuali bunyi air berputar-putar menabrak ketiga lengkungan jembatan itu. Satu mil dari sana mereka menjumpai sebuah jurang yang menjulur ke arah utara, melewati tanah terjal di sebelah kiri Jalan. Di sini Strider membelok, dan segera mereka hilang di tengah negeri suram dengan pohon-pohon gelap berbelok-belok melalui kaki perbukitan yang cemberut.
Para hobbit senang meninggalkan negeri yang muram dan Jalan yang berbahaya di belakang mereka; tapi negeri baru ini malah tampak mengancam dan tidak ramah. Saat mereka maju, bukit-bukit di sekitar mereka semakin tinggi. Di sana-sini, di atas dataran tinggi dan punggung bukit, mereka menangkap sekilas pemandangan tembok-tembok batu kuno dan puing-puing menara: mereka tampak mengancam. Frodo, yang tidak berjalan kaki, mempunyai waktu untuk memandang ke depan dan berpikir. Ia ingat cerita Bilbo tentang perjalanannya dan menara-menara mengancam di perbukitan sebelah utara Jalan, di negeri dekat hutan Troll, di mana ia mengalami petualangan seriusnya yang pertama. Frodo menduga sekarang mereka berada di wilayah yang sama, dan ia bertanya dalam hati, apakah mungkin mereka akan lewat di dekat tempat yang sama.
"Siapa yang tinggal di negeri ini?" tanya Frodo. "Dan siapa yang membangun menara-menara ini? Apakah ini negeri troll?"
"Bukan!" kata Strider. "Troll tidak membangun. Tidak ada yang hidup di negeri ini. Manusia pernah tinggal di sini, berabad-abad yang lalu; tapi sekarang tidak ada lagi. Mereka menjadi bangsa jahat, menurut dongeng-dongeng, karena mereka jatuh di bawah bayangan Angmar. Tapi semua musnah dalam perang yang membawa Kerajaan Utara ke kehancurannya. Tapi itu sudah begitu lama berlalu, hingga bukit-bukit pun sudah melupakan mereka, meski bayangan gelap masih menggantung di atas negeri ini."
"Di mana kau belajar kisah-kisah seperti itu, kalau semua negeri kosong dan pelupa?" tanya Peregrin. "Burung-burung dan hewan tidak menceritakan kisah-kisah semacam itu."
"Pewaris-pewaris Elendil tidak lupa semua kejadian di masa lalu," kata Strider, "dan banyak lagi hal yang bisa kuceritakan masih diingat di Rivendell."
"Seringkah kau ke Rivendell?" tanya Frodo.
"Sering," kata Strider. "Aku pernah tinggal di sana, dan aku masih kembali ke sana kalau bisa. Hatiku ada di sana; tapi bukan takdirku untuk duduk diam, meski di rumah indah milik Elrond."

Sekarang mereka mulai dikurung perbukitan. Jalan di belakang mereka masih tetap menuju Sungai Bruinen, tapi keduanya sekarang tertutup dari pandangan. Para pelancong itu masuk ke sebuah lembah panjang; sempit, dengan belahan dalam, gelap, dan sepi. Pohon-pohon dengan akar-akar tua dan terpelintir menggantung di atas batu karang, dan menumpuk di belakang menjadi lereng hutan cemara yang mendaki.
Para hobbit mulai kelelahan. Mereka maju sangat lambat, karena terpaksa memilih, jalan melalui' pedalaman, dibebani pohon-pohon tumbang dan batu-batu yang terguling. Selama mungkin mereka menghindari mendaki, demi Frodo, dan karena memang sulit untuk mencari jalan naik keluar dari lembah-lembah sempit itu. Mereka sudah dua hari berada di negeri itu ketika cuaca menjadi basah. Angin mulai berembus terus dari Barat, mencurahkan air dari lautan jauh ke atas kepala-kepala bukit yang gelap, dalam hujan rintik-rintik yang membuat basah kuyup. Di malam hari mereka semua basah kuyup, dan mereka bermalam dengan muram, karena tidak berhasil menyalakan api. Hari berikutnya perbukitan semakin tinggi dan lebih terjal di depan mereka, dan mereka terpaksa berbalik ke utara, keluar dari jalur arah semula. Strider rupanya mulai cemas: mereka sudah hampir sepuluh hari keluar dari Weathertop, dan persediaan makanan sudah sangat menipis. Hujan terus turun.
Malam itu mereka bermalam di suatu dataran berbatu, dengan tembok batu karang di belakang, di mana ada sebuah gua pendek, hanya semacam cekungan di dalam batu karang. Frodo resah. Hawa dingin dan basah membuat lukanya semakin pedih, rasa sakit dan dingin yang mematikan menghilangkan kantuk. Ia berbaring gelisah, can mendengarkan bunyi-bunyi malam dengan perasaan takut: angin di celah-celah pecahan batu karang, air menetes, keriutan, bunyi geletar jatuh batu yang tiba-tiba terlepas. Ia merasa ada sosok-sosok hitam mendekat untuk mencekiknya, tapi ketika ia bangkit duduk, ia tidak melihat apa pun kecuali punggung Strider yang duduk meringkuk, mengisap pipanya, dan berjaga. Ia berbaring lagi dan bermimpi buruk, di mana ia berjalan di halaman rumput kebunnya di Shire, tapi halaman itu kelihatan kabur dan samar-samar, kurang jelas dibanding dengan bayangan-bayangan tinggi hitam yang berdiri memandang dari atas pagar.

Di pagi hari ia terbangun, dan menyadari hujan sudah berhenti. Awan-awan masih tebal, tapi sudah pecah, dan serpihan-serpihan biru muncul di antaranya. Angin berubah arah lagi. Mereka tidak berangkat pagi-pagi. Segera sesudah sarapan yang dingin dan tidak enak, Strider pergi sendirian, menyuruh yang lain tetap di bawah perlindungan sebuah batu karang, sampai ia kembali. Ia akan mendaki, kalau bisa, dan mempelajari letak tanah.
Ketika kembali, ia tidak membawa berita gembira. "Kita sudah terlalu jauh ke utara," katanya, "dan kita harus menemukan cara untuk balik arah ke selatan lagi. Kalau tetap pada arah sekarang ini, kita akan sampai di Ettendales, jauh di utara Rivendell. Itu negeri troll, dan tidak begitu kukenal. Mungkin kita bisa mencari jalan untuk lewat dan sampai di Rivendell dari utara; tapi itu akan makan waktu terlalu lama, karena aku tidak tahu jalannya, dan makanan kita tidak akan cukup. Jadi, bagaimanapun kita harus menemukan Ford Bruinen."
Sisa hari itu mereka habiskan dengan merangkak di tanah berbatu. Mereka menemukan jalan di antara dua bukit yang membawa mereka kt sebuah lembah yang menjulur ke tenggara, arah yang mereka ingin ambil; tetapi, menjelang penghujung hari, jalan mereka dihadang punggung dataran tinggi; pinggirannya yang gelap, pada latar belakang langit, terpecah ke dalam banyak ujung, seperti gigi-gigi gergaji tumpul. Hanya ada dua pilihan: balik arah atau mendakinya.
Mereka memutuskan mencoba mendakinya, tapi ternyata sangat sulit. Tak lama kemudian, Frodo terpaksa turun dari kuda dan berjuang dengan berjalan kaki. Meski begitu, mereka putus asa menaikkan kuda mereka, atau bahkan mencari jalan untuk mereka sendiri, dengan dibebani begitu banyak barang. Cahaya hampir hilang, dan mereka semua kelelahan, ketika akhirnya mereka mencapai puncak. Mereka naik ke atas sebuah pelana sempit di antara dua puncak yang lebih tinggi, dan tanah turun lagi dengan curam, sedikit lebih jauh dari sana. Frodo melemparkan tubuhnya ke tanah, dan berbaring menggigil di sana. Tangan kirinya lumpuh, sisi tubuh serta pundaknya serasa dicengkeram cakar sedingin es. Pohon-pohon dan batu-batu di sekitarnya terlihat kabur dan kelam.
"Kita tak bisa pergi lebih jauh lagi," kata Merry pada Strider. "Aku khawatir ini sudah terlalu berat untuk Frodo. Aku sangat cemas tentang dia. Apa yang harus kita lakukan? Menurutmu, apakah mereka akan bisa menyembuhkannya di Rivendell, kalau kita bisa sampai ke sana?"
"Kita lihat saja nanti," kata Strider. "Tak ada lagi yang bisa kulakukan di belantara; dan justru karena lukanya, aku sangat ingin terus maju. Tapi aku setuju, kita tak bisa berjalan lebih jauh lagi malam ini."
"Apa masalahnya dengan majikanku?" tanya Sam dengan suara rendah, memandang memohon pada Strider. "Lukanya kecil, dan sudah tertutup. Tidak ada yang kelihatan, kecuali bekas putih di pundaknya."
"Frodo sudah disentuh senjata Musuh," kata Strider, "dan ada semacam racun atau kekuatan jahat yang berada di luar kemampuanku untuk menyembuhkan. Tapi jangan putus harapan, Sam!"

Malam di atas punggung bukit dingin sekali. Mereka menyalakan api kecil di bawah akar-akar kasar sebatang cemara yang menggantung di atas sebuah sumur dangkal; tampaknya seperti bekas tambang penggalian batu. Mereka duduk bersama. Angin bertiup dingin melewati celah, dan mereka mendengar puncak-puncak pepohonan di bawah mengerang dan mengeluh. Frodo berbaring setengah bermimpi, membayangkan sayap-sayap gelap yang tak henti-henti terbang melayang di atasnya, dan di atas sayap terbanglah para pengejar yang mencarinya di semua celah bukit
Pagi merekah cerah dan indah; udara bersih, tampak cahaya pucat dan jernih di langit yang sudah dibasuh hujan. Semangat mereka bangkit, tapi mereka mendambakan matahari untuk menghangatkan anggota tubuh yang kedinginan. Setelah hari terang, Strider membawa Merry bersamanya dan pergi mempelajari tanah dari ketinggian, sampai sebelah timur celah. Matahari sudah terbit dan sudah bersinar terang ketika ia kembali dengan kabar yang lebih menggembirakan. Sekarang mereka sudah berjalan kurang-lebih ke arah yang benar. Kalau mereka meneruskan perjalanan, menuruni sisi sebelah sana punggung bukit, Pegunungan akan berada di sebelah kiri mereka. Tak jauh di depan, Strider sudah melihat sekilas Loudwater lagi, dan ia tahu bahwa, meski tersembunyi dari pandangan, Jalan ke arah Ford tidak jauh dari Sungai dan terletak pada sisi yang paling dekat dengan mereka.
"Kita harus pergi ke Jalan lagi," kata Strider. "Kita tak bisa mengharapkan menemukan jalan melewati bukit-bukit ini. Bahaya apa pun yang ada di sana, Jalan itu adalah satu-satunya cara kita untuk sampai di Ford."

Selesai makan, mereka langsung berangkat. Perlahan mereka menuruni sebelah selatan punggung bukit: tapi jalan itu jauh lebih mudah daripada yang mereka duga, karena lerengnya tidak begitu terjal pada sisi ini, dan tak lama kemudian Frodo bisa menunggang kuda lagi. Kuda Bill Ferny yang malang ternyata punya bakat tak terduga untuk mencari jalan, dan untuk sebisa mungkin menghindari penunggangnya terguncang-guncang. Semangat rombongan itu kembali meningkat. Bahkan Frodo merasa agak baikan dalam cahaya pagi, tapi sebentar-sebentar kabut seolah menghalangi pandangannya, dan ia menyeka matanya.
Pippin agak lebih di depan yang lainnya. Tiba-tiba ia menoleh dan memanggil mereka. "Ada jalan di sini!" teriaknya.
Ketika mereka berdiri sejajar dengannya, mereka melihat Pippin tidak salah: di sana dengan jelas ada awal sebuah jalan, yang mendaki berkelok-kelok keluar dari hutan di bawah, dan menghilang di atas puncak bukit di belakang. Di beberapa tempat ia agak kabur dan dipenuhi tanaman, atau sesak dengan batu-batu dan pohon-pohon tumbang, tapi tampaknya pernah ramai digunakan. Jalan itu sudah dibuat oleh tangan-tangan kuat dan kaki berat. Di sana-sini pohon-pohon lama sudah ditebang atau dipatahkan, dan batu-batu besar dibelah atau digulingkan ke pinggir untuk membuka jalan.
Mereka mengikuti jalan itu untuk beberapa saat, karena merupakan jalan termudah untuk turun, tapi mereka berjalan hati-hati, dan kecemasan mereka semakin bertambah ketika mereka masuk ke hutan yang gelap, dan jalan itu semakin jelas dan lebar. Mendadak jalan itu keluar dari segerombolan pohon cemara, menurun curam di sebuah lereng, dan membelok tajam ke kin', mengitari pojok sebuah punggung bukit berbatu. Ketika sampai ke pojok itu, mereka melayangkan pan_ dang ke sekeliling dan melihat bahwa jalan itu menjulur terus di tanah datar, di bawah sebuah karang rendah yang dipenuhi pohon. Di tembok bebatuan ada sebuah pintu yang menggantung miring terbuka pada satu engselnya.
Di luar pintu itu mereka semua berhenti. Ada sebuah gua atau liang batu karang di belakangnya, tapi dalam keremangan tak ada yang terlihat. Strider, Sam, dan Merry mendorong sekuat tenaga, dan berhasil membuka pintu lebih lebar, lalu Strider dan Merry masuk. Mereka tidak pergi jauh, karena di lantai bertebaran banyak tulang-belulang, dan tidak ada yang terlihat dekat pintu masuk, kecuali beberapa guci kosong dan pot-pot pecah.
"Pasti ini gua troll, kalau itu memang ada!" kata Pippin. "Keluar, kalian berdua, dan mari kita pergi. Sekarang kita tahu siapa yang membuat jalan ini, dan sebaiknya kita secepatnya keluar dari sini."
"Tak perlu, kukira," kata Strider, yang keluar dari gua. "Memang ini sebuah lubang troll, tapi kelihatannya sudah lama ditinggalkan. Kurasa kita tak perlu takut. Tapi kita harus turun terus dengan hati-hati, dan nanti kita lihat saja."
Jalan itu berlanjut lagi dan pintu, dan membelok ke kanan lagi, melintasi tanah datar, terjun menuruni lereng yang berhutan rapat. Pippin, yang tidak mau menunjukkan pada Strider bahwa ia masih takut, berjalan di depan dengan Merry. Sam dan Strider di belakang mereka, mengapit kuda Frodo, karena jalan itu tidak cukup lebar untuk empat atau lima hobbit berjalan satu baris. Mereka belum berjalan jauh ketika Pippin datang berlari, disusul Merry. Mereka berdua tampak ketakutan.
"Ada troll!" Pippin berkata terengah-engah. "Di bawah, di tempat terbuka di hutan, tidak jauh dari sini. Kami melihatnya dari antara batang-batang pohon. Mereka besar sekali!"
"Kita akan pergi melihat mereka," kata Strider sambil memungut sebuah tongkat. Frodo tidak mengatakan apa-apa, tapi Sam kelihatan takut.

Matahari sekarang sudah tinggi, dan bersinar melalui ranting-ranting pohon yang sudah setengah gundul, menyinari tempat terbuka itu dengan bercak-bercak cahaya terang. Mereka berhenti tiba-tiba di pinggiran, dan mengintip melalui batang-batang pohon, sambil menahan napas. Di sana berdiri troll-troll: tiga troll besar. Satu membungkuk, dan dua yang lain berdiri memandangnya.
Strider berjalan maju dengan tak acuh. "Bangun, batu kuno!" katanya, dan ia mematahkan tongkatnya ke alas troll yang membungkuk.
Tidak terjadi apa-apa. Para hobbit terenyak kaget, lalu Frodo tertawa. "Well!" katanya. "Rupanya kita lupa sejarah keluarga kita! Ini pasti ketiga troll yang ditangkap Gandalf ketika mereka sedang bertengkar tentang cara yang tepat untuk memasak tiga belas Kurcaci dan satu hobbit."
"Aku sama sekali tidak tahu kita sudah berada di dekat tempat itu!" kata Pippin. Ia kenal betul kisah itu. Bilbo dan Frodo sudah cukup sering menceritakannya; tapi sebenarnya ia hanya setengah percaya. Bahkan sekarang ia memandang troll-troll dan batu itu dengan penuh curiga, bertanya-tanya apakah karena sihir mereka jangan-jangan hidup lagi.
"Kalian bukan hanya lupa sejarah keluarga kalian, tapi semua yang pernah kalian ketahui tentang troll," kata Strider. "Saat ini tengah hari, dan matahari bersinar cerah, tapi kalian mencoba menakut-nakutiku dengan cerita ada troll hidup menunggu kita di tempat terbuka ini! Pasti kalian sudah melihat, pada salah satu dan mereka ada sarang burung lama di belakang telinganya. Itu perhiasan yang sangat tidak lazim untuk troll hidup!"
Mereka semua tertawa. Frodo merasa semangatnya bangkit lagi: ingatan akan petualangan sukses Bilbo yang pertama sangat membesarkan hati. Matahari juga terasa hangat menghibur, dan kabut di depan matanya tampak agak tersingkap. Mereka beristirahat sejenak di tempat terbuka itu, dan makan siang di bawah bayangan kaki troll yang besar.
"Adakah yang mau menyanyi untuk kita, sementara matahari masih tinggi?" kata Merry ketika mereka selesai. "Sudah berhari-hari kita tidak mendengar lagu atau cerita."
"Tidak sejak Weathertop," kata Frodo. Yang lain memandangnya. Jangan khawatir tentang aku!" tambahnya. "Aku merasa jauh lebih baik, tapi rasanya aku tak bisa menyanyi. Mungkin Sam bisa menggali sesuatu dari ingatannya."
"Ayo, Sam!" kata Merry. "Kau punya banyak materi di dalam kepalamu, melebihi yang kauperlihatkan."
"Entah ya," kata Sam. "Tapi bagaimana kalau yang ini? Ini bukan puisi betulan, kalau kau paham: hanya sedikit omong kosong. Tap, patung-patung kuno ini mengingatkanku pada ini." Sambil berdiri, dengan tangan di belakang punggung, seolah berada di sekolah, ia mulai menyanyikan lagu lama.

Troll duduk sendirian di kursi batu,
Menggigit dan mengunyah tulang kaku;
Bertahun-tahun sudah menggigit tanpa lelah,
Karena daging susah didapat.
Babat! Rapat!
Troll tinggal sendirian di gua bukit batu,
Dan daging susah didapat.

Datang Tom bersepatu bot besar.
Katanya kepada Troll: "Maaf, apa yang kaukunyah itu?
Kok seperti tulang kering pamanku Tim,
Yang mestinya berbaring di kuburan.
Pelataran! Halaman!
Sudah lama pamanku mati,
Dan kukira dia di dalam kuburan."

"Anakku, " kata Troll, "tulang ini aku curi.
Tapi tulang dalam lubang tentu tak berarti.
Pamanmu sudah kaku seperti bongkah batu,
Sebelum aku menemukan tulangnya.
Tulangnya! Belulangnya!
Dia bisa kasih satu pada troll tua malang ini,
Karena dia tidak butuh tulang keringnya."

Kata Tom, "Aku tidak paham, kenapa yang semacam kau ini
Mengambil seenaknya, tanpa permisi
Tulang kering sanak ayahku;
Tulang tua itu, kembalikan!
Pakan! Lakan!
Tulang itu miliknya, meski dia sudah mati;
Jadi tulang itu kembalikan!"

"Supaya lebih kenyang," kata Troll sambil tertawa,
"kumakan kau sekalian, berikut tulang keringmu juga.
Sedikit daging sebag bisa membuatku bugar!
Kucoba gigiku padamu sekarang.
Ha sekarang! Lihat sekarang!
Aku jemu mengunyah tulang dan kulit lama;
Aku ingin makan kau sekarang."

Mangsa sudah tertangkap, begitu dikiranya,
Ternyata hanya angin dalam, genggamannya.
Sebelum ia sadar, Tom sudah menghindar
Dengan sepatu bot menendangnya.
Tendang dia! Kemplang dia!
Pikir Tom, tendangkan sepatu bot di pantatnya,
Biar dia tahu rasa.

Tapi... aduh, kerasnya daging dan tulang troll itu,
Lebih keras daripada bukit batu.
Ditendang berkali-kali, tidak berarti sama sekali,
Pantat troll tidak merasa apa-apa.
K'rasa apa! B'rasa apa!
Mendengar Tom mengerang, Troll tua merasa sangat lucu
Kar'na ia tahu, kaki Toni sakit luar biasa.

Kaki Tom kalah, dia pun pulanglah,
Dan kakinya tanpa bot lumpuh sudah;
Tapi Troll tak peduli, dan masih duduk sendiri,
Dengan tulang yang dicuri dari pemiliknya.
Biliknya! Ciliknya!
Pantat Troll masih sama,
Dan tulang yang dicuri dari pemiliknya!

"Wah, itu peringatan untuk kita semua!" tawa Merry. "Untung kau menggunakan tongkat, dan bukan tanganmu, Strider!"
"Di mana kaudengar itu, Sam?" tanya Pippin. "Aku belum pernah dengar kata-kata itu."
Sam bergumam tidak jelas. "Itu keluar dari kepalanya sendiri, tentu," kata Frodo. "Aku belajar banyak tentang Sam Gamgee dalam perjalanan ini. Mula-mula dia bersekongkol, sekarang dia melawak. Nanti dia akan menjadi tukang sihir... atau pejuang!"
"Kuharap tidak," kata Sam. "Aku tidak ingin menjadi salah satu!"

Di siang hari, mereka berjalan terus ke hutan. Mungkin mereka menapak tilas jalan yang dipakai bertahun-tahun lalu oleh Gandalf, Bilbo, dan para Kurcaci. Setelah beberapa mil, mereka keluar di puncak tebing tinggi di atas Jalan. Pada titik ini, Jalan sudah meninggalkan Hoarwell jauh di belakang, di lembahnya yang sempit, dan sekarang menempel dekat ke kaki bukit, menjulur dan berbelok-belok ke arah timur di antara pohon-pohon dan lereng tertutup tanaman heather yang menurun ke arah Ford dan Pegunungan. Tak jauh dari tebing, Strider menunjuk sebuah batu di tengah rumput. Di atasnya bisa terlihat lambang-lambang rune para Kurcaci dan tanda-tanda rahasia, tergores kasar dan sudah termakan cuaca.
"Lihat!" kata Merry. "Itu pasti batu yang menandai tempat emas para troll disembunyikan. Berapa sisa bagian Bilbo, Frodo?"
Frodo memandang batu itu, dan berharap Bilbo dulu tidak membawa pulang harta yang lebih berbahaya dan sulit dilepaskan. "Tidak ada yang tersisa," kata Frodo. "Bilbo membagi-bagikan semuanya. Katanya dia merasa harta itu sebenamya bukan miliknya, karena datang dari para perampok."

Jalan itu sepi di bawah bayang-bayang panjang senja yang datang lebih awal. Tak ada tanda-tanda pelancong lain. Karena tidak ada arah -lain yang bisa diambil, mereka menuruni tebing dan membelok ke kiri, berjalan secepat mungkin. Dengan segera tampak sebuah punggung bukit, menghalangi cahaya matahari yang terbenam dengan cepat. Angin dingin mengalir ke bawah, menyambut mereka dari pegunungan di depan.
Mereka mulai mencari tempat bermalam di luar Jalan, namun mendadak terdengar bunyi yang membuat rasa takut kembali merayapi hati mereka: bunyi derap kaki kuda di belakang. Mereka menoleh, tapi tak bisa melihat jauh karena Jalan itu banyak membelok dan turun-naik. Secepat mungkin mereka merangkak keluar dari jalan dan masuk ke semak-semak heather dan belukar berry di lereng-lereng di atas, sampai tiba di sebuah kerumunan hazel yang tumbuh lebat. Saat mengintip ke luar dari semak-semak, mereka bisa melihat Jalan, samar-samar dan kelabu dalam cahaya yang sudah mulai suram, sekitar tiga puluh kaki di bawah sana. Bunyi derap kaki kuda semakin dekat. Derap langkahnya cepat, dengan bunyi klipeti-klipeti-klip ringan. Lalu samar-samar, seolah menjauh terembus angin, mereka mendengar dering redup, seperti bunyi bel-bel kecil berdenting.
"Kedengarannya bukan bunyi kuda Penunggang Hitam!" kata Frodo, mendengarkan dengan cermat. Hobbit-hobbit yang lain juga berharap demikian, tapi mereka masih curiga. Mereka sudah begitu lama hidup dalam ketakutan dikejar, sampai-sampai setiap bunyi dari belakang kedengaran mengancam dan tidak ramah. Tapi sekarang Strider mencondongkan badan ke depan, membungkuk ke tanah, dengan satu tangan di dekat telinga, dan pandangan gembira pada wajahnya.
Cahaya memudar, dan dedaunan di semak-semak bergemersik lembut. Bunyi bel-bel All jadi lebih jelas dan semakin dekat, dan klipeti-klip datanglah kaki-kaki yang cepat. Tiba'-tiba terlihat seekor kuda putih, mengilap dalam keremangan, berlari kencang. Dalam cahaya senja, tali kekangnya mengilat dan gemerlap, seolah bertaburan permata bintang-bintang yang hidup. Jubah penunggangnya berkibar-kibar di belakang, dan kerudungnya terbuka; rambutnya yang keemasan mengalun kemilau dalam angin kecepatannya. Frodo melihat seakan-akan ada cahaya putih yang bersinar dari dalam pakaian dan sosok penunggang itu, seolah menembus selubung tipis.
Strider melompat keluar dari persembunyian dan berlari kembali ke Jalan, melompat sambil berteriak melintasi semak-semak heather; tapi bahkan sebelum ia bergerak atau memanggil, penunggang itu sudah menghentikan kudanya dan berhenti, menengadah ke arah belukar tempat mereka berdiri. Ketika melihat Strider, ia turun dari kudanya dan berlari ke arahnya sambil berteriak, Ai na vedui Dunadan! Mae govannen! Bahasanya dan suaranya yang berdering jernih tidak menimbulkan keraguan lagi dalam hati mereka: penunggang itu dari bangsa Peri. Tak ada bangsa lain di dunia yang mempunyai suara yang begitu indah didengar. Tapi tampaknya ada nada ketergesaan atau ketakutan dalam teriakannya, dan sekarang mereka melihat ia berbicara cepat dan mendesak kepada Strider.
Segera Strider memanggil mereka, lalu para hobbit meninggalkan semak-semak dan bergegas turun ke Jalan. "Ini Glorfindel, yang tinggal di rumah Elrond," kata Strider.
"Salam, dan selamat bertemu akhirnya!" kata Pangeran Peri itu kepada Frodo. "Aku dikirim dari Rivendell untuk mencarimu. Kami khawatir kalian dalam bahaya di jalan."
"Kalau begitu, Gandalf sudah sampai di Rivendell?" seru Frodo gembira.
"Belum. Dia belum datang ketika aku berangkat, tapi itu sudah sembilan hari yang lalu," jawab Glorfindel. "Elrond menerima berita yang membuatnya cemas. Beberapa dari bangsaku, yang mengembara d" negerimu di luar Baranduin (Sungai Brandywine), mendengar bahwa ada masalah, dan segera mengirimkan pesan secepat mungkin. Kata mereka, Kaum Sembilan sudah di luar negeri mereka sendiri, dan bahwa kalian berkeliaran dengan membawa beban berat tanpa panduan, karena Gandalf belum kembali. Hanya sedikit di Rivendell yang bisa melawan Kaum Sembilan dengan terbuka; tapi yang ada, dikirim Elrond ke utara, barat, dan selatan. Sudah diperkirakan kalian akan mengambil jalan memutar jauh demi menghindari pengejaran, dan tersesat di belantara.
"Tugasku adalah mengambil Jalan ini, dan aku sampai di Jembatan Mitheithel, serta meninggalkan tanda di sana, kira-kira hampir tujuh hari yang lalu. Tiga anak buah Sauron ada di atas Jembatan itu, tapi mereka menarik diri dan aku mengejar mereka ke arah barat. Aku juga bertemu dua yang lain, tapi mereka berbalik arah ke selatan. Sejak itu aku mencari jejak kalian. Dua hari yang lalu aku menemukannya, dan mengikutinya melintasi Jembatan; hari ini aku mengamati di mana kalian turun lagi dari perbukitan. Tapi ayolah! Tidak ada waktu untuk berita lebih banyak. Karena kalian ada di sini, kita harus mengambil risiko bahaya di Jalan dan pergi. Ada lima di belakang kita, dan kalau mereka menemukan jejak kalian di Jalan, mereka akan menyusul kita bagai angin. Dan mereka belum semuanya. Di mana empat yang lain, aku tidak tahu. Aku khawatir Ford sudah diduduki untuk mencegat kita."
Sementara Glorfindel berbicara, kegelapan turun semakin dalam. Frodo merasa keletihan berat menyergapnya. Sejak matahari mulai terbenam, kabut di depan matanya semakin pekat, dan ia merasa ada bayang-bayang timbul di antara dirinya dan wajah kawan-kawannya. Sekarang rasa pedih menyerangnya, dan ia merasa dingin. Ia terhuyung, dan memegang tangan Sam.
"Majikanku sakit dan terluka," kata Sam marah. "ia tidak bisa meneruskan naik kuda setelah malam tiba. Dia butuh istirahat."
Glorfindel menangkap Frodo yang terkulai ke tanah, dan sambil mengangkatnya dengan lembut ke dalam pelukannya, ia memandang wajah Frodo dengan kecemasan mendalam.
Dengan singkat Strider menceritakan penyerangan terhadap kemah mereka di bawah Weathertop, dan tentang pisau mematikan itu. Ia mengeluarkan pangkalnya, yang disimpannya, dan memberikannya pada Peri itu. Glorfindel merinding saat mengambilnya, tapi ia memperhatikannya dengan saksama.
"Banyak hal jahat tertera di atas pangkal pisau ini," katanya "meski mungkin matamu tak bisa melihatnya. Simpanlah, Aragorn, sampai kita tiba di rumah Elrond! Tapi hati-hatilah, dan peganglah sesedikit mungkin! Aduh! Luka-luka akibat senjata ini ada di luar kemampuanku untuk menyembuhkan. Aku akan melakukan sebisaku, tapi kuminta kalian berjalan terus tanpa istirahat."
Ia menelusuri luka pada pundak Frodo dengan jemarinya, dan wajahnya semakin muram, seolah apa yang ditemukannya membuatnya resah. Tetapi rasa dingin di sisi tubuh dan lengan Frodo mulai berkurang; sedikit kehangatan merangkak turun dari pundak ke tangannya, dan rasa pedih itu jadi lebih ringan. Cahaya senja di sekitarnya seakan jadi agak terang, seolah sebuah awan sudah ditarik. Ia bisa melihat wajah kawan-kawannya lebih jelas, dan sedikit harapan baru serta kekuatan kembali kepadanya.
"Kau menunggang kudaku," kata Glorfindel. "Aku akan memendekkan sanggurdi sampai ke pinggir pelana, dan kau harus duduk sediam mungkin. Tapi kau tak perlu takut: kudaku tidak akan menjatuhkan penunggang yang kusuruh dibawanya. Langkahnya ringan dan lancar; dan kalau bahaya terlalu dekat, dia akan membawamu dengan kecepatan yang tak bisa ditandingi kuda-kuda hitam musuh."
"Tidak, tidak akan!" kata Frodo. "Aku tidak akan menunggangnya, kalau aku akan dibawa ke Rivendell atau ke tempat lain, meninggalkan teman-temanku dalam bahaya."
Glorfindel tersenyum. Katanya, "Menurutku teman-temanmu tidak akan berada dalam bahaya bila kau tidak bersama mereka! Kurasa para pengejar itu akan mengikutimu dan meninggalkan kami dengan tenteram. Kaulah sasaran mereka, Frodo. Kau dan apa yang kaubawa itu yang membawa kita semua ke dalam bahaya."

Frodo tak bisa menjawab, dan ia bisa dibujuk untuk menaiki kuda putih Glorfindel. Kuda mereka dibebani sebagian besar bawaan lain, agar mereka bisa berjalan lebih ringan. Untuk sementara mereka maju dengan kecepatan tinggi, tapi para hobbit mulai kesulitan menyamai kecepatan langkah kaki Peri yang tak pernah letih. Ia terus memacu mereka, masuk ke mulut kegelapan, dan masih terus dalam malam gelap berawan. Tak ada bintang maupun bulan. Baru saat fajar kelabu ia membolehkan mereka berhenti. Pippin, Merry, dan Sam saat itu sudah hampir tertidur sambil berdiri terhuyung-huyung; bahkan Strider tampak letih, terlihat dari pundaknya yang menggantung. Frodo duduk di atas kuda sambil bermimpi gelap.
Mereka membaringkan diri di dalam semak-semak heather beberapa Meter dari sisi jalan dan langsung tertidur Rasanya mereka baru saja memejamkan mata ketika Glorfindel, yang berjaga sendirian sementara mereka tidur, membangunkan mereka lagi. Matahari sudah tinggi di langit pagi itu, dan awan-awan serta kabut malam sebelumnya sudah sirna.
"Minumlah ini!" kata Glorfindel pada mereka, menuangkan untuk masing-masing sedikit minuman manis dari botol kulitnya yang bertatahkan perak. Cairannya jernih seperti air dari mata air, dan tidak ada rasanya, juga tidak terasa dingin ataupun panas di dalam mulut; tapi kekuatan dan semangat mengalir ke seluruh tubuh mereka saat meminumnya. Setelah itu, makan roti basi dan buah-buah kering (sekarang itu saja yang tersisa) bisa memuaskan rasa lapar mereka melebihi banyak sarapan enak yang pernah mereka nikmati di Shire.

Setelah beristirahat hampir lima jam, mereka masuk ke Jalan lagi. Glorfindel masih mendesak mereka berjalan terus, dan hanya mengizinkan dua perhentian singkat selama perjalanan hari itu. Dengan cara ini, mereka menempuh hampir dua puluh mil sebelum malam, dan sampai ke suatu titik di mana Jalan membelok ke kanan dan menurun menuju dasar lembah, yang sekarang langsung menuju Bruinen. Sejauh itu tidak ada tanda atau bunyi pengejaran yang bisa didengar para hobbit; tapi Glorfindel sering berhenti untuk mendengarkan sejenak, kalau mereka tertinggal di belakang; wajahnya mencerminkan kecemasan. Satu-dua kali ia berbicara dengan Strider dalam bahasa Peri.
Tapi, meski pemandu-pemandu mereka sangat cemas, jelas sekali bahwa para hobbit tak bisa meneruskan perjalanan lagi malam itu. Mereka berjalan terhuyung-huyung, pusing karena letih dan tak bisa memikirkan hal lain kecuali kaki dan tungkai mereka. Rasa sakit Frodo semakin menjadi-jadi, dan sepanjang hari itu benda-benda di sekitarnya terlihat kabur, sampai seperti bayangan kelabu. Ia hampir gembira menyambut malam hari, karena saat itu dunia jadi tidak terlalu pucat dan kosong.

Para hobbit masih letih ketika mereka berangkat lagi pagi-pagi keesokan harinya. Masih bermil-mil jarak antara mereka dan Ford, dan mereka berjalan terpincang-pincang dengan kecepatan terbaik yang bisa mereka upayakan.
"Bahaya paling besar yang mengancam kita adalah sebelum kita sampai di sungai," kata Glorfindel. "Hatiku memperingatkan bahwa pengejaran sudah sangat dekat di belakang kita, dan bahaya lain mungkin menunggu di Ford."
Jalan itu masih menurun terus dari bukit. dan sekarang di beberapa tempat ada banyak rumput di kedua sisinya; di situlah para hobbit berjalan bila mungkin, untuk meredakan kelelahan kaki mereka. Siang itu mereka tiba di bagian Jalan yang dinaungi bayang-bayang gelap pohon-pohon cemara tinggi, lalu terjun ke dalam sebuah terowongan dalam, dengan dinding-dinding curam dari batu merah yang basah. Langkah mereka menimbulkan gema yang terus terdengar sementara mereka bergegas maju; serasa ada banyak langkah kaki yang mengikuti. Tiba-tiba, seolah melewati gerbang cahaya, Jalan itu keluar lagi dari ujung terowongan ke udara terbuka. Di sana, di dasar sebuah lereng terjal, di depan mereka terhampar tanah datar sepanjang satu mil; dan di seberangnya Ford dari Rivendell. Di sisi seberang ada tebing terjal kecokelatan, dilintasi jalan berkelok-kelok; dan di belakangnya gunung-gunung tinggi menjulang, pundak demi pundak, dan puncak demi puncak, ke langit yang memudar.
Masih ada bunyi gema seperti langkah kaki yang mengejar di terowongan di belakang mereka; bunyi berdesir seolah angin yang muncul dan mengalir melalui ranting-ranting pohon cemara. Suatu saat Glorfindel menoleh dan mendengarkan, lalu ia melompat ke depan dengan teriakan keras.
"Cepat!" teriaknya. "Cepat! Musuh sudah dekat!"
Kuda putih melompat maju. Para hobbit berlari menuruni lereng. Glorfindel dan Strider menyusul sebagai penjaga garis belakang. Mereka baru separuh jalan melintasi tanah datar, ketika tiba-tiba ada bunyi kuda lari berderap. Keluar dari gerbang yang baru saja mereka tinggalkan, muncul seorang Penunggang Hitam. Ia menahan kudanya dan berhenti, bergoyang di pelananya. Satu lagi mengikutinya, lalu yang lain lagi, dan dua lagi.
"Jalan maju! Jalan?" teriak Glorfindel pada Frodo.
Frodo tidak langsung menuruti perintahnya, karena keengganan yang aneh timbul dalam dirinya. Menahan kudanya agar berjalan perlahan, ia menoleh ke belakang. Penunggang-Penunggang Hitam tampak duduk di atas kuda-kuda mereka yang besar, bagai patung-patung yang mengancam di atas bukit yang gelap dan kokoh, sementara semua hutan dan tanah di sekitar mereka seolah tertelan kabut. Tiba-tiba dalam hati Frodo tahu bahwa mereka diam-diam memerintahkannya menunggu. Dalam sekejap ketakutan dan kebencian bangkit dalam dirinya. Tangan kirinya melepaskan tali kekang dan memegang Pangkal pedangnya, dan dengan satu kilatan merah ia menghunusnya.
"Jalan terus! Jalan terus!" teriak Glorfindel, lalu dengan nyaring dan jelas ia memanggil kudanya dalam bahasa Peri: noro lim, noro lim, Asfaloth!
Serentak kuda putih itu melompat maju dan berpacu seperti angin sepanjang sisa terakhir Jalan. Pada saat bersamaan, kuda-kuda hitam berpacu menuruni bukit mengejarnya, dan dari para Penunggang terdengar teriakan mengerikan, seperti yang terdengar oleh Frodo memenuhi hutan di Wilayah Timur nun jauh di sana. Teriakan itu dijawab: dengan ngeri Frodo dan teman-temannya melihat empat penunggang lain keluar dari pohon-pohon dan batu-batu di sebelah kiri. Dua melaju ke arah Frodo, dua lainnya berpacu kencang sekali menuju Ford, untuk memotong pelariannya. Sepertinya mereka melaju pesat bagai angin, dengan cepat sosok mereka semakin besar dan gelap, ketika lintasan mereka bertemu dengan lintasannya.
Sejenak Frodo menoleh ke belakang. Ia sudah tak bisa melihat teman-temannya lagi. Penunggang-Penunggang Hitam mulai tertinggal: bahkan kuda-kuda besar mereka tak bisa menandingi kecepatan kuda Peri putih milik Glorfindel. Ia melihat ke depan lagi, dan harapannya memudar. Kelihatannya sebelum mencapai Ford jalannya akan dipotong oleh para Penunggang lain yang sudah bersembunyi untuk menyergapnya. Ia bisa melihat mereka dengan jelas sekarang: rupanya mereka sudah melepaskan kerudung dan mantel hitam mereka, sekarang mereka berjubah putih dan kelabu. Pedang terhunus di tangan mereka yang pucat; topi baja di kepala mereka. Mata mereka dingin berkilauan, dan mereka meneriakinya dengan suara-suara menyeramkan.
Ketakutan memenuhi seluruh benak Frodo. Ia tak ingat lagi pedangnya. Tak ada teriakan dari mulutnya. Ia memejamkan mata dan berpegangan erat pada rambut tengkuk kudanya. Angin bersiul di telinganya, dan bel-bel pada tali kekang berbunyi liar dan nyaring. Embusan angin dingin menusuknya bagai tombak ketika kuda Peri itu berpacu bagai kilatan api putih, seolah bersayap, lewat tepat di depan Penunggang terdepan.
Frodo mendengar bunyi cemplungan air.. Air berbuih di sekitar kakinya. Ia merasakan gerakan mengangkat dan menyentak cepat saat kudanya keluar dari sungai dan berjuang mendaki jalan berbatu. Ia sedang mendaki tebing terjal. Ia sudah di seberang Ford.
Tetapi para pengejar sudah dekat sekali. Di atas tebing, kuda Frodo berhenti dan membalikkan badan sambil meringkik galak. Ada Sembilan Penunggang di tepi air di bawah, dan semangat Frodo merosot di depan wajah-wajah mereka yang menengadah mengancam• Rasanya tak ada yang bisa mencegah mereka menyeberangi sungai semudah yang telah ia lakukan; dan ia merasa sia-sia mencoba melarikan diri melintasi jalan panjang dan tidak pasti dari Ford ke pinggir Rivendell, kalau para Penunggang itu sudah menyeberang. Bagaimanapun, ia merasa diperintah dengan mendesak untuk berhenti. Kebencian kembali bergejolak dalam dirinya, tapi ia sudah tak punya kekuatan untuk menolaknya.
Tiba-tiba Penunggang terdepan memacu kudanya maju. Kuda itu berhenti di batas air dan berdiri pada kaki belakangnya. Dengan upaya keras Frodo duduk tegak dan mengacungkan pedangnya.
"Kembali!" teriaknya. "Kembalilah ke Negeri Mordor, dan jangan kejar aku lagi!" Suaranya kedengaran tipis dan melengking di telinganya sendiri. Para Penunggang itu berhenti, tapi Frodo tidak mempunyai kekuatan seperti Bombadil. Musuh-musuhnya menertawakannya dengan bunyi tawa kasar dan mengerikan. "Ke sini! Ke sini!" teriak mereka. "Kami akan membawamu ke Mordor!"
"Pergilah!" bisik Frodo.
"Cincin! Cincin!" teriak mereka dengan suara menyeramkan, dan serentak pemimpin mereka menyuruh kudanya maju ke dalam air, diikuti dari dekat oleh dua pengikutnya.
"Demi Elbereth dan Luthien sang Putri Cantik," kata Frodo dengan upaya terakhir, sambil mengangkat pedangnya, "kau tidak akan mendapatkan Cincin ataupun diriku!"
Lalu pemimpin mereka, yang sudah separuh menyeberangi Ford, berdiri mengancam di sanggurdinya, dan mengangkat tangannya. Frodo merasa kelu. Lidahnya terpaku di mulutnya, dan jantungnya berdebar kencang. Pedangnya patah dan jatuh dari tangannya yang gemetar. Kuda Peri berdiri di kedua kaki belakangnya dan mendengus. Kuda hitam terdepan sudah hampir menginjak tepi sungai.
Pada saat itu terdengar geraman dan desiran: bunyi air deras menggulingkan banyak batu. Samar-samar Frodo melihat sungai di bawahnya naik, dan dari alirannya muncul barisan gelombang berbusa. Nyala putih tampak berkelip di puncak-puncaknya, dan ia serasa melihat penunggang-penunggang putih -di atas kuda-kuda putih dengan Surai berbuih di tengah air. Tiga Penunggang yang masih berada di tengah Ford tenggelam: mereka lenyap, terkubur tiba-tiba di bawah buih yang menggelegak. Mereka yang masih di belakang mundur dengan ngeri.
Dengan kesadarannya yang mulai hilang, Frodo mendengar teriakan-teriakan, dan rasanya di belakang Penunggang yang ragu-ragu di tepi sungai, ia melihat sebuah sosok bercahaya putih yang menyala-nyala, dan di belakangnya berlarian sosok-sosok kabur kecil melambaikan api, yang menyala merah di dalam kabut kelabu yang mulai menutupi dunia.
Kuda-kuda hitam menggila, dan sambil melompat maju dengan ketakutan mereka membawa penunggang mereka ke dalam air bah yang mengganas. Teriakan tajam mereka tenggelam dalam raungan sungai ketika mereka tersapu air. Lalu Frodo merasa dirinya jatuh, dan raungan serta kebingungan itu seolah naik dan membenamkannya bersama musuh-musuhnya. Setelah itu ia tak melihat dan mendengar apa-apa lagi.

Bab 11

PISAU DALAM GELAP

Saat mereka bersiap-siap tidur di penginapan di Bree, kegelapan menggantung di atas Buckland; kabut mengalir di lembah dan sepanjang tepi sungai. Rumah di Crickhollow sepi sekali. Fatty Bolger membuka pintu dengan hati-hati dan mengintip ke luar. Suatu perasaan takut muncul dalam dirinya dan tumbuh terus sepanjang hari, hingga ia tak bisa beristirahat atau tidur: ada ancaman yang menggantung dalam udara malam tak berangin itu. Ketika ia memandang ke luar, ke dalam kegelapan, sebuah bayangan hitam bergerak di bawah pepohonan; gerbang terbuka sendiri dan tertutup lagi tanpa suara. Rasa ngeri mencekam Fatty. Ia mundur, dan sejenak berdiri gemetaran di lorong. Lalu ia menutup pintu dan menguncinya.
Malam semakin larut. Terdengar pelan bunyi kuda digiring diam-diam sepanjang jalan. Di luar gerbang mereka berhenti, dan tiga sosok masuk, seperti bayangan malam merangkak di tanah. Satu pergi ke pintu, dua lainnya menyebar ke masing-masing sudut rumah; di sana mereka berdiri diam seperti bayangan batu, sementara malam semakin larut. Rumah dan pepohonan seakan-akan menunggu tanpa bernapas.
Ada gerakan samar-samar di antara dedaunan, dan seekor ayam jantan berkokok di kejauhan. Jam-jam dingin sebelum fajar sedang berlalu. Sosok dekat pintu bergerak. Dalam kegelapan tanpa bulan atau bintang, sebuah pedang terhunus berkilauan, seolah sebuah cahaya dingin telah dihunus. Ada gedoran lembut tapi berat, dan pintu bergetar.
"Buka, atas nama Mordor!" kata sebuah suara tajam dan menancam.
Pada pukulan kedua, pintu itu roboh dan ambruk ke dalam, papan-papannya hancur dan kuncinya patah. Sosok-sosok hitam masuk dengan cepat.
Pada saat itu, di antara pohon-pohon di dekat situ, sebuah terompet berbunyi nyaring, mengoyak malam bagai api di puncak bukit.

BANGUN! AWAS! API! MUSUH! BANGUN!

Fatty Bolger tidak berdiam diri. Begitu melihat sosok-sosok gelap merangkak di kebun, ia tahu ia harus lari pergi dari sana, kalau tidak ia akan mati. Dan ia berlari keluar dari pintu belakang, melintasi kebun dan melewati padang-padang. Ketika sampai di rumah terdekat, lebih dari satu mil jauhnya, ia roboh di ambang pintunya. "Tidak, tidak, tidak!" ia berteriak. "Jangan, jangan aku! Aku tidak menyimpannya,!" Setelah beberapa saat, baru orang-orang memahami apa yang dibicarakannya. Akhirnya mereka mengerti bahwa ada musuh di Buckland, serangan aneh dari Old Forest. Lalu mereka tidak membuang-buang waktu lagi.

AWAS! API! MUSUH!

Kaum Brandybuck meniup Terompet Isyarat dari Buckland, yang sudah seratus tahun tak pernah dibunyikan, tidak sejak serigala-serigala putih datang di Musim Dingin Naas, ketika Sungai Brandywine membeku.

BANGUN! BANGUN!

Dari jauh terdengar bunyi terompet balasan. Tanda peringatan itu menyebar cepat.
Sosok-sosok hitam tersebut lari dari rumah. Salah satu menjatuhkan jubah hobbit di atas tangga, saat ia berlari. Di jalan terdengar bunyi derap kaki kuda, semakin kencang, memukul-mukul lalu menghilang di kejauhan. Di seluruh Crickhollow terompet berbunyi, suara-suara berteriak dan kaki-kaki berlari. Tapi para Penunggang Hitam melaju bagai angin kencang ke Gerbang Utara. Biarkan orang-orang kecil itu meniup terompet! Sauron akan membereskan mereka nanti. Sementara itu, mereka punya tugas lain: sekarang mereka sudah tahu rumah it" kosong dan Cincin sudah pergi. Mereka melaju melewati penjaga-penjaga di gerbang dan menghilang dari Shire.

Di awal malam, Frodo mendadak terbangun dari tidur lelap, seolah terganggu oleh suatu bunyi atau kehadiran. Ia melihat Strider masih duduk waspada di kursinya: matanya mengilat dalam cahaya api yang sudah dibesarkan dan menyala terang; tapi ia tidak memberi isyarat ataupun bergerak.
Frodo segera tertidur lagi; tapi mimpinya kembali terganggu oleh bunyi angin dan derap kaki kuda. Angin seolah berpusar di sekitar rumah dan mengguncangnya; dan di kejauhan ia mendengar terompet ditiup dengan kalut. Ia membuka mata dan mendengar seekor ayam jantan berkokok nyaring di halaman penginapan. Strider sudah menyingkap tirai-tirai dan membuka kerai-kerai dengan bunyi berdentang. Cahaya pagi yang kelabu memasuki ruangan itu, dan udara dingin merayap melalui jendela yang terbuka.
Setelah membangunkan mereka semua, Strider memimpin mereka ke kamar tidur. Ketika melihatnya, mereka lega sudah mengikuti nasihat Strider: jendela-jendela tampak dibuka paksa dan bergelayut lepas, tirai-tirai berkibar-kibar; ranjang-ranjang berantakan, guling-guling tersayat dan dilempar ke lantai; keset cokelat sudah terkoyak-koyak hancur berantakan.
Strider langsung pergi menjemput pemilik penginapan. Mr. Butterbur yang malang kelihatan mengantuk dan takut. Ia hampir tidak memejamkan mata sepanjang malam (begitu katanya), tapi ia sama sekali tidak mendengar bunyi apa pun.
"Belum pernah hal seperti ini terjadi padaku!" teriaknya sambil mengangkat tangannya penuh kengerian. "Tamu-tamu tak bisa tidur di ranjang mereka sendiri, guling-guling bagus hancur, dan sebagainya! Apa yang sedang terjadi pada dunia kita ini?"
"Masa-masa gelap," kata Strider. "Tapi untuk sementara kau masih bisa hidup tenang, kalau kami sudah pergi. Kami akan segera berangkat. Jangan repot-repot menyiapkan sarapan: minum dan satu kunyahan sambil berdiri sudah cukup. Kami akan siap dalam beberapa menit."
Mr. Butterbur bergegas pergi untuk memastikan kuda-kuda mereka sudah disiapkan, dan untuk mengambilkan sekadar makanan. Tapi segera ia kembali dengan kaget. Kuda-kuda sudah hilang! Pintu kandang semuanya terbuka di malam hari, dan kuda-kuda lenyap; bukan hanya kuda-kuda Merry, tapi semua kuda dan hewan di tempat itu.
Semangat Frodo runtuh mendengar kabar tersebut. Bagaimana mereka bisa sampai ke Rivendell dengan berjalan kaki, dikejar musuh berkuda? Sama saja seperti hendak pergi ke Bulan. Strider duduk diam sejenak, memandang para hobbit, seolah menimbang kekuatan dan keberanian mereka.
"Kuda-kuda tidak akan membantu kita melarikan diri dari pengejar
berkuda," akhirnya ia berkata, sambil merenung, seakan-akan bisa menerka apa yang dipikirkan Frodo. "Tidak banyak bedanya kalaupun kita berjalan kaki, apalagi di jalan yang rencananya akan kuambil. Memang aku juga berniat jalan kaki. Yang mengganggu pikiranku adalah makanan dan persediaannya. Kita tak bisa berharap menemukan sesuatu untuk dimakan antara sini dan Rivendell, kecuali apa-apa yang kita bawa; dan kita barns membawa banyak persediaan; karena mungkin saja kita tertahan, atau terpaksa berjalan memutar, jauh dari jalan yang langsung. Berapa banyak yang siap kalian angkut di punggung kalian?"
"Sebanyak yang diperlukan," kata Pippin dengan semangat menurun, tapi berusaha menunjukkan bahwa ia lebih tegar daripada kelihatannya (atau daripada yang dirasakannya).
"Aku bisa mengangkut cukup untuk dua orang," kata Sam dengan gagah.
"Tak adakah yang bisa dilakukan, Mr. Butterbur?" tanya Frodo. "Bisakah kita mendapatkan beberapa kuda di desa, atau seekor saja untuk mengangkut barang-barang? Mungkin kita tak bisa menyewanya, tapi barangkali kita bisa membelinya," tambahnya, ragu, sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah ia mampu mengeluarkan biaya itu.
"Aku ragu," kata pemilik penginapan itu dengan sedih. "Dua-tiga kuda yang ada di Bree juga berkandang di halamanku, dan mereka juga lenyap. Sedangkan hewan-hewan lain, kuda atau kuda kecil untuk muatan dan sebagainya, hanya sedikit di Bree, dan mereka tidak dijual. Tapi aku akan berusaha sebisaku. Aku akan menyuruh Bob berkeliling segera."
"Ya," kata Strider enggan, "sebaiknya begitu. Setidaknya satu kuda harus kita coba cari. Tapi harapan untuk berangkat pagi-pagi lenyap sudah, apalagi berangkat diam-diam! Sama saja kita meniup terompet mengumumkan keberangkatan kita. Pasti itu bagian dari rencana mereka."
"Ada satu segi positifnya; kata Merry, "dan ini cukup menguntungkan, kuharap: kita bisa sarapan sambil menunggu-dan duduk menikmatinya. Mari kita panggil Nob!"

Keberangkatan mereka tertunda lebih dari tiga jam. Bob kembali dengan laporan tidak ada kuda atau kuda kecil yang bisa didapat di lingkungan itu, biar dengan uang sekalipun-kecuali satu: Bill Ferny punya satu yang mungkin mau ia jual. "Makhluk malang yang sudah setengah mati kelaparan," kata Bob, "tapi dia tidak mau menjualnya kalau tidak tiga kali lipat harganya, karena dia tahu kau sangat membutuhkannya; kalau tidak begitu, bukan Bill Ferny namanya."
"Bill Ferny?" tanya Frodo. "Apakah ini bukan tipuan? Jangan-jangan hewan itu lari pulang kepadanya dengan semua barang kita, atau membantu melacak jejak kita, atau semacamnya?"
"Mungkin juga," kata Strider. "Tapi aku tak bisa membayangkan hewan mana pun lari pulangkepadanya, setelah lepas darinya. Kuduga ini hanya akal busuk Master Ferny: dia ingin memanfaatkan situasi kita. Bahaya utama adalah bahwa hewan itu mungkin sudah sekarat. Tapi tampaknya tak ada pilihan lain. Berapa dia minta?"
Harga yang dipasang Bill Ferny dua belas penny perak; dan memang itu sedikitnya tiga kali lipat harga kuda di wilayah itu. Ternyata kuda itu kurus kering, kurang makan, dan tidak bersemangat, tapi tampaknya belum sekarat. Mr. Butterbur sendiri yang membayarnya, dan menawarkan kepada Merry tambahan delapan belas penny untuk ganti rugi kuda-kuda yang hilang. Ia orang jujur, dan cukup berada menurut ukuran Bree; tapi tiga puluh penny merupakan pukulan berat untuknya, dan disiasati Bill Ferny membuatnya terasa semakin berat.
Tapi kelak ternyata ia beruntung juga. Belakangan ketahuan bahwa hanya satu kuda yang benar-benar dicuri. Yang lainnya diusir, atau lari ketakutan, dan ditemukan berkeliaran di berbagai bagian Bree yang berlainan. Kuda-kuda Merry sudah lari jauh, dan akhirnya (karena memakai akal sehat) mereka pergi ke Downs, mencari Fatty Lumpkin. Maka mereka dipelihara untuk sementara oleh Tom Bombadil, dan bisa hidup senang. Tapi ketika kabar tentang kejadian di Bree terdengar oleh Tom, ia mengirimkan mereka ke Mr. Butterbur, yang dengan demikian mendapat lima hewan bagus dengan harga sangat lumayan. Kuda-kuda itu memang harus bekerja lebih keras di Bree, tapi Bob memperlakukan. mereka dengan baik; jadi, secara keseluruhan mereka beruntung: mereka lepas dari perjalanan gelap dan berbahaya. Tapi mereka tidak pernah sampai ke Rivendell.
Namun, sementara itu, Mr. Butterbur hanya tahu ia kehilangan uang selamanya. Dan ada kesulitan lain. Keadaan langsung hiruk-pikuk begitu tamu-tamu lain bangun dan mendengar kabar penyerangan ke Penginapan tersebut. Pelancong-pelancong dari selatan kehilangan beberapa kuda dan dengan nyaring menyalahkan si pemilik penginapan, Sampai ketahuan bahwa salah satu di antara mereka juga hilang malam itu, tak lain tak bukan pendamping Bill Ferny yang juling. Kecurigaan langsung tertuju padanya.
"Kalau kalian bergaul dengan maling kuda, dan membawanya ke rumahku," kata Butterbur marah, "kalian harus bayar sendiri segala kerugian, bukannya datang meneriaki aku! Pergi sana, tanyakan pada Bill Ferny, ke mana kawan kalian yang ganteng itu!" Tapi ternyata orang itu bukan kawan siapa pun, dan tidak ada yang ingat kapan ia bergabung dengan rombongan mereka.
Setelah sarapan, para hobbit harus mengepak ulang barang-barang mereka, dan mengumpulkan persediaan tambahan untuk perjalanan yang sekarang akan lebih panjang. Sudah mendekati jam sepuluh ketika akhirnya mereka berangkat. Saat itu seluruh Bree sudah berdengung penuh gairah. Pertunjukan lenyapnya Frodo; kedatangan para Penunggang Hitam; perampokan kandang kuda; dan yang juga menarik adalah berita bahwa Strider sang Penjaga Hutan bergabung dengan hobbit-hobbit misterius itu-semua itu menjadi suatu kisah yang melegenda selama bertahun-tahun kemudian. Kebanyakan penduduk Bree dan Staddle, dan bahkan banyak dari Combe dan Archet, berkerumun di jalan untuk melihat keberangkatan para pengembara tersebut. Tamu-tamu lain di penginapan bergerombol di pintu atau bergelantungan dari jendela-jendela.
Strider berubah pikiran, dan memutuskan meninggalkan Bree melalui jalan utama. Setiap usaha berjalan langsung melintasi pedalaman justru akan memperparah keadaan: separuh penduduk akan mengikuti mereka, untuk melihat rencana mereka, dan mencegah mereka masuk ke tanah milik pribadi.
Mereka pamit pada Nob dan Bob, dan kepada Mr. Butterbur dengan banyak terima kasih. "Kuharap kita bertemu lagi suatu hari nanti, kalau keadaan sudah gembira lagi," kata Frodo. "Aku ingin sekali tinggal di rumahmu dengan tenteram untuk beberapa waktu."
Mereka melaju pergi, cemas dan patah hati, di bawah tatapan kerumunan orang. Tidak semua wajah tampak ramah, juga kata-kata yang diteriakkan.. Tapi Strider kelihatannya dihormati kebanyakan orang Bree, dan mereka yang ditatapnya menutup mulut dan mundur. Strider berjalan di depan dengan Frodo; berikutnya Merry dan Pippin; dan terakhir Sam menuntun kuda, yang mengangkut bawaan sebanyak yang tega mereka bebankan padanya; tapi kuda itu sudah tidak kelihatan terlalu sedih lagi, seolah ia setuju dengan perubahan nasibnya. Sam menggigit sebutir apel sambil merenung. Ia membawa apel satu saku penuh: hadiah perpisahan dari Nob dan Bob. "Apel untuk berjalan, dan pipa untuk duduk," katanya. "Tapi kuduga tak lama lagi aku akan kehilangan keduanva."
Hobbit-hobbit itu tidak menghiraukan kepala-kepala yang ingin tahu, yang mengintip dari balik pintu atau menjulur di atas tembok atau pagar ketika mereka lewat. Tapi, ketika mereka semakin dekat ke gerbang terjauh, Frodo melihat sebuah rumah gelap dan tidak terawat di balik sebuah pagar tebal: rumah terakhir di desa. Di dalam salah satu jendela ia menangkap sekilas wajah pucat dengan mata juling yang lick tapi wajah itu segera menghilang.
"Jadi, di situlah orang selatan bersembunyi!" pikirnya. "Dia mirip sekali dengan goblin."
Dari atas pagar, seorang pria menatap dengan berani. Ia mempunyai alis tebal dan mata mencemooh berwarna gelap; mulutnya yang lebar terkulum mengejek. Ia mengisap pipa hitam pendek. Ketika mereka mendekat, ia mengeluarkan pipa itu dari mulutnya dan meludah.
"Pagi, Longshanks!" katanya. "Berangkat pagi? Dapat teman akhirnya?" Strider mengangguk, tapi tidak menjawab.
"Pagi, kawan-kawan kecil!" ia berkata pada yang lain. "Kuduga kalian tahu siapa yang mendampingi kalian? Dia itu Stick-at-naught Strider! Meski aku pernah mendengar nama lain yang tidak begitu bagus. Waspadalah nanti malam! Dan kau, Sammie, jangan memperlakukan kudaku yang malang dengan kasar! Pah!" ia meludah lagi.
Sam menoleh cepat. "Dan kau, Ferny," katanya, "simpanlah wajah jelekmu itu, atau kau akan tahu rasa." Dengan jentikan mendadak, cepat bagai kilat, sebutir apel melayang dari tangan Sam dan tepat mengenai hidung Bill. Bill terlambat menunduk, dan terdengar makian dari balik pagar. "Sayang apel bagus disia-siakan," kata Sam menyesal, dan berjalan terus.

Akhirnya desa sudah tertinggal di belakang mereka. Anak-anak dan orang-orang lain yang mengikuti mereka akhirnya jemu, dan pulang kembali sesampainya di Gerbang Selatan. Rombongan hobbit melewati gerbang, dan menyusuri Jalan sepanjang beberapa mil. Jalan itu menikung ke kiri, melingkar kembali ke garisnya yang menuju timur, sambil memutari kaki Bree-hill, lalu menurun tajam ke dalam wilayah berhutan. Di sebelah kiri, mereka bisa melihat beberapa rumah dan lubang hobbit di Staddle, di lereng tenggara bukit yang landai; di dasar lembah yang dalam di sebelah utara Jalan ada untaian asap membubung yang menunjukkan letak Combe; Archet tersembunyi di dalam pepohonan di luar sana.
Setelah Jalan menurun untuk beberapa lama, dan Bree-hill sudah tertinggal di belakang, tinggi dan cokelat, mereka sampai ke suatu jalan sempit yang mengarah ke Utara. "Di sini kita meninggalkan jalan terbuka dan melalui jalan tersembunyi," kata Strider.
"Bukan 'jalan pintas', kuharap," kata Pippin. "Jalan pintas kan-ii yang terakhir, yang melintasi hutan, hampir saja berakhir dengan bencana."
"Ah, tapi waktu itu aku tidak bersama kalian," tawa Strider. "Jalan pintasku, pendek ataupun panjang, tidak akan keliru." ia menengok ke semua sisi sepanjang jalan. Tidak ada makhluk lain kelihatan, dan dengan cepat ia memimpin jalan menuju lembah berhutan.
Rencana Strider, sejauh yang mereka pahami, adalah pergi ke Archet dulu, tapi mengambil jalan ke arah kanan dan melewatinya dari sebelah timur, lalu mengarah selurus mungkin melewati belantara ke Bukit Weathertop. Dengan cara itu, kalau semua berjalan lancar, mereka akan memotong lengkungan besar Jalan, yang setelah itu menikung ke selatan untuk menghindari Rawa-Rawa Midgewater. Tapi, tentu saja, mereka harus melintasi rawa-rawa itu sendiri, dan uraian Strider tentang rawa-rawa tersebut tidak menggembirakan.
Sementara itu, berjalan kaki bukannya tidak nyaman. Bahkan, seandainya tidak ada peristiwa-peristiwa menggegerkan pada malam sebelumnya, mereka pasti akan menikmati bagian perjalanan ini, lebih daripada yang sebelum-sebelumnya. Matahari bersinar, cerah tapi tidak terlalu panas. Hutan di lembah masih penuh dedaunan dan berwarna-warni, kelihatan tenteram dan segar. Strider menuntun mereka dengan yakin melewati banyak persimpangan, yang pasti akan membuat mereka tersesat, seandainya mereka pergi sendiri. Strider mengambil jalan berkelok-kelok dengan banyak putaran, dan kembali ke arah semula, demi menyesatkan para pengejar.
"Pasti Bill Ferny memperhatikan di mana kita meninggalkan Jalan," katanya, "meski kuduga bukan dia sendiri yang menguntit kita. Dia cukup kenal pedalaman sekitar sini, tapi dia tahu dia bukan tandinganku di dalam hutan. Yang kukhawatirkan adalah apa yang akan diceritakannya pada yang lain. Kuduga mereka berada tidak begitu jauh dari sini. Lebih baik kalau mereka mengira kita pergi ke Archet."

Entah karena keahlian Strider, atau karena alasan lain, mereka tidak melihat tanda-tanda ataupun mendengar bunyi makhluk hidup lain se panjang hari itu: baik yang berkaki dua, kecuali burung, ataupun yang berkaki empat, kecuali seekor rubah dan beberapa ekor bajing. Hari berikutnya mereka mulai berjalan dengan arah tetap ke timur; semuanva masih tetap tenang dan damai. Pada hari ketiga keluar dan Bree, mereka meninggalkan Chetwood. Tanah semakin menurun selama itu, sejak mereka menyimpang dari Jalan, dan sekarang mereka masuk ke suatu dataran luas yang jauh lebih sulit dilewati. Mereka sudah jauh sekali di luar perbatasan Bree, di alam liar tanpa jalan jelas, dan sedang mendekati Rawa-Rawa Midgewater.
Sekarang tanah menjadi lembap, di beberapa tempat berair, dan di sana-sini mereka menjumpai genangan air, hamparan luas alang-alang, dan rumput yang dipenuhi celoteh burung-burung tersembunyi. Mereka harus memilih jalan dengan hati-hati, agar kaki tetap kering dan agar tetap pada arah yang mereka tuju. Mulanya kemajuan mereka cukup bagus, tapi semakin jauh jalan mereka semakin lambat dan berbahaya. Rawa-rawa itu membingungkan dan berbahaya, bahkan para Penjaga Hutan pun sulit menemukan jalan pasti di antara tanah lembut basah yang selalu berpindah-pindah. Lalat-lalat mulai menyiksa, dan udara penuh kawanan serangga kecil yang merangkak ke bawah lengan baju dan celana, serta ke dalam rambut mereka.
"Aku dimakan hidup-hidup!" teriak Pippin. "Midgewater! Lebih banyak serangganya daripada airnya!"
"Mereka hidup dari apa kalau tidak bisa mendapat hobbit?" tanya Sam sambil menggaruk lehernya.
Mereka menghabiskan hari yang sengsara di pedalaman sepi dan tidak nyaman itu. Tempat mereka berkemah lembap, dingin, dan tidak nyaman; serangga-serangga yang terus menggigiti membuat mereka tak bisa tidur. Juga banyak makhluk mengerikan berkeliaran di antara alang-alang dan rumput tebal; rupanya mereka saudara-saudara yang jahat dari jangkrik, kalau menilai bunyinya. Jumlah mereka ribuan, dan mereka berdecit terus, niik-briik, briik-niik, tanpa henti sepanjang malam, sampai hobbit-hobbit hampir kalut.
Hari berikutnya, hari keempat, agak lebih baik, tapi malamnya tetap tidak nyaman. Meski Neekerbreeker (sebutan Sam untuk mereka) sudah ditinggal di belakang, serangga-serangga kecil masih mengejar mereka.
Saat Frodo berbaring, letih tapi tak bisa memejamkan mata, tampak seberkas cahaya di langit timur di kejauhan: cahaya yang menyala dan menghilang berkali-kali. Bukan cahaya fajar, karena fajar baru datang beberapa jam lagi.
"Cahaya apa itu?" katanya pada Strider, yang bangkit dan sedang berdiri memandang ke dalam kegelapan malam.
"Aku tidak tahu," jawab Strider. "Terlalu jauh untuk dilihat. Seperti kilat yang meloncat dari puncak-puncak bukit."
Frodo berbaring lagi, tapi untuk waktu lama ia masih bisa melihat kilatan cahaya putih itu, dan di depan cahaya itu sosok Strider yang tinggi gelap, berdiri diam dan waspada. Akhirnya Frodo tertidur dengan gelisah.

Mereka belum berjalan jauh di hari kelima, saat mereka meninggalkan genangan air yang bertebaran di mana-mana dan rumpun-rumpun ilalang terakhir di rawa-rawa di belakang. Tanah di depan mulai menanjak lagi dengan teratur. Jauh di timur, mereka bisa melihat barisan bukit. Yang tertinggi di antaranya berada di sebelah kanan barisan, agak terpisah dari yang lain. Puncaknya berbentuk kerucut, agak datar pada ujungnya.
"Itu Weathertop," kata Strider. "Jalan Lama yang sudah kita tinggalkan jauh di sebelah kanan kita, membentang ke selatannya dan lewat tidak jauh dari kakinya. Mungkin kita bisa sampai di sana tengah hari besok, kalau kita berjalan lurus ke sana. Kusarankan kita melakukan itu."
"Apa maksudmu?" tanya Frodo.
"Maksudku, kalau kita sudah sampai di sana, kita tidak tahu apa yang akan kita temukan. Tempat itu dekat sekali ke Jalan."
"Tapi kan kita berharap bertemu Gandalf di sana?"
"Ya, tapi harapannya kecil sekali. Kalau toh dia pergi ke sini, mungkin dia tidak lewat Bree, sehingga dia tidak tahu apa yang kita, lakukan. Dan bagaimanapun, kecuali kalau kita beruntung datang hampir bersamaan waktu, bisa saja kita tidak saling bertemu; tidak aman bagi dia atau kita untuk menunggu lama di sana. Kalau para Penunggang gagal menemukan kita di belantara ini, kelihatannya sangat mungkin mereka juga akan pergi ke Weathertop. Dari atas sana, pemandangannya luas sekali ke semua arah. Bahkan banyak sekali burung dan hewan di pedalaman yang bisa melihat kita saat kita berdiri di sini, dari atas puncak bukit. Tidak semua burung bisa dipercaya, dan ada mata-mata lain yang jauh lebih jahat daripada mereka."
Para hobbit memandang cemas ke arah bukit-bukit di kejauhan. Sam memandang ke langit yang pucat, khawatir melihat elang atau rajawali melayang di atas mereka, dengan mata tajam dan tidak bersahabat. "Kau benar-benar membuatku merasa kesepian dan tidak nyaman, Strider!" kata Sam.
"Apa saranmu?" tanya Frodo.
"Kupikir," kata Strider perlahan, seolah tidak begitu yakin, "kurasa hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah sebisa mungkin berjalan lurus ke timur dari sini, ke arah perbukitan di sana, jangan ke Weathertop. Di sana kita bisa menemukan jalan yang kukenal, yang menyusuri kaki perbukitan; jalan itu akan membawa kita ke Weathertop dari arah utara, dan tidak begitu kelihatan. Lalu kita bisa melihat apa yang bisa kita lihat."
Sepanjang hari itu mereka berjalan lambat dan susah payah, sampai senja yang dingin turun. Tanah semakin kering dan lebih gersang; tapi kabut dan uap sudah mereka tinggalkan di rawa-rawa di belakang. Beberapa burung sedih berbunyi nyaring dan meratap, sampai matahari merah bulat tenggelam perlahan ke dalam bayang-bayang di sebelah barat; lalu keheningan kosong mengelilingi mereka. Para hobbit teringat cahaya lembut matahari terbenam yang melirik melalui jendela-jendela riang di Bag End nun jauh di sana.
Di penghujung hari itu, mereka sampai ke sebuah sungai yang mengembara turun dari perbukitan, dan hilang di tengah genangan rawa-rawa. Mereka mendaki tebingnya sementara hari masih terang. Sudah malam ketika mereka akhirnya berhenti dan bersiap-siap berkemah di bawah beberapa pohon alder kerdil di pinggir sungai. Di depan berdiri punggung perbukitan yang suram dan tidak berpohon, berlatar belakang langit senja. Malam itu mereka bergantian berjaga, dan Strider tampaknya sama sekali tidak tidur. Bulan bertambah besar, dan pada jam-jam awal malam cahaya kelabu dingin menggantung di atas tanah.
Keesokan paginya mereka berangkat begitu matahari terbit. Udara dipenuhi embun beku, dan langit berwarna biru- pucat jernih. Para hobbit merasa segar, seolah sudah tidur semalaman tanpa terputus. Mereka sudah mulai terbiasa berjalan jauh dengan makanan terbatas-setidaknya lebih terbatas daripada yang biasa mereka makan di Shire yang, menurut mereka, tidak akan. cukup untuk membuat mereka kuat berdiri. Pippin menyatakan Frodo tampak dua kali lebih besar daripada biasanya.
"Aneh sekali," kata Frodo sambil mengencangkan ikat pinggangnya, "mengingat justru sekarang badanku menyusut. Kuharap proses penyusutan ini tidak berlangsung terus-menerus, kalau tidak, bisa-bisa aku menjadi hantu!"
"Jangan membicarakan hal-hal semacam itu!" kata Strider cepat, dengan nada serius yang agak mengherankan.

Bukit-bukit semakin dekat, membentuk punggung berombak, sering menjulang sampai hampir seribu kaki, dan di sana-sini terjun lagi ke celah atau bukaan rendah yang mengantar ke negeri timur di sebelah sana. Sepanjang puncak punggung bukit, para hobbit bisa melihat pemandangan yang tampaknya seperti sisa-sisa tembok yang dipenuhi tanaman hijau dan tanggul-tanggul, di celah-celahnya masih berdiri puing-puing bangunan batu lama. Di malam hari, mereka sudah sampai di kaki lereng sebelah barat, dan di sanalah mereka bermalam. Malam itu malam kelima bulan Oktober, dan mereka sudah enam, hari keluar dari Bree.
Pagi harinya, untuk pertama kali sejak meninggalkan Chetwood, mereka menemukan jejak jalan yang jelas terlihat. Mereka membelok ke kanan dan menyusurinya ke arah selatan. Jalur itu menjalar dengan cerdik, mengambil garis yang tampaknya dipilih agar sedapat mungkin tersembunyi dari pandangan, baik dari atas bukit maupun dari dataran di barat. Jalur itu terjun ke dalam lembah-lembah kecil, memeluk tebing-tebing curam; di bagian yang melewati tanah yang lebih datar dan terbuka, pada kedua sisinya ada barisan batu besar dan batu pahat yang menutupi pelancong yang lewat, hampir seperti pagar.
"Aku ingin tahu, siapa yang membuat jalan ini, dan untuk apa," kata Merry, saat mereka menyusuri salah satu jalur tersebut, yang bebatuannya sangat besar dan rapat. "Aku tidak menyukainya: kelihatannya agak... yah, berbau barrow-wight. Apakah ada barrow di Weathertop?"
"Tidak. Tidak ada barrow di Weathertop, maupun di perbukitan ini;" jawab Strider. "Manusia dari Barat tidak hidup di sini, meski di hari-hari akhir, untuk beberapa saat mereka mempertahankan perbukitan terhadap kejahatan yang datang dari Angmar. Jalan ini dibuat untuk kepentingan benteng-benteng di sepanjang tembok. Tapi jauh sebelumnya, di masa-masa awal Kerajaan Utara, mereka membangun menara pengawasan besar di Weathertop, Amon Sul namanya. Menara itu sudah dibakar dan hancur, dan tidak ada yang tersisa sekarang, kecuali sebuah lingkaran yang terjungkir, seperti mahkota kasar pada kepala bukit tuanya. Namun dulu ia pernah menjulang tinggi dan indah. Konon Elendil berdiri di sana, memperhatikan kedatangan Gil-galad dari Barat, di masa Persekutuan Terakhir."
Para hobbit menatap Strider. Kelihatannya ia pakar dongeng-dongeng kuno, selain piawai hidup di tanah liar. "Siapa Gil-galad?" tanya Merry; tapi Strider tidak menjawab, tampaknya tenggelam dalam pikirannva sendiri. Tiba-tiba sebuah suara rendah bergumam,

Gil-galad Raja Peri
Tentangnya para pemetik harpa bernyanyi sedih:
kerajaannya yang terakhir, indah merdeka antara
Pegunungan dan Samudra.

Panjang pedangnya, tajam tombaknya,
kemilau dari kejauhan, topi bajanya;
hamparan bintang di langit luas
di perisai peraknya terpantul jelas.

Tapi lama sudah ia pergi,
entah di mana ia tinggal kini;
dalam kegelapan bintangnya menghilang
di tanah Mordor, negeri bayang-bayang.

Yang lain menoleh penuh keheranan, karena suara itu suara Sam.
"Jangan berhenti!" kata Merry.
"Hanya itu yang kutahu," kata Sam terbata-bata, wajahnya memerah. "Aku belajar itu dari Mr. Bilbo, ketika aku masih kecil. Dia biasa menceritakan dongeng-dongeng seperti itu, karena tahu aku suka sekali mendengarkan tentang bangsa Peri. Mr. Bilbo yang mengajariku menulis. Dia sangat terpelajar, Mr. Bilbo yang budiman. Dan dia suka menulis puisi. Dialah yang menulis syair itu tadi."
"Dia tidak mengarang-ngarang," kata Strider. "Syair itu bagian dari syair tentang Kejatuhan Gil-galad, yang tertulis dalam bahasa kuno. Pasti Bilbo menerjemahkannya. Aku tidak tahu itu."
"Masih banyak sekali lanjutannya," kata Sam, "semua tentang Mordor. Aku tidak belajar bagian itu, aku menggigil kalau mendengar bagian itu. Aku tak pernah mengira akan pergi ke sana sendiri!"
"Pergi ke Mordor!" teriak Pippin. "Kuharap tidak sampai terjadi!"
"Jangan sebut nama itu keras-keras!" kata Strider.

Sudah tengah hari ketika mereka hampir mencapai ujung selatan jalan itu. Di depan mereka, dalam cahaya pucat jernih matahari Oktober, tampak sebuah tebing hijau-kelabu, menjulur naik seperti jembatan ke lereng utara bukit. Mereka memutuskan langsung mendaki ke puncaknya, sementara hari masih terang benderang. Tak mungkin lagi menyembunyikan diri, dan mereka hanya bisa berharap tidak ada musuh atau mata-mata yang melihat. Tak kelihatan ada yang bergerak di perbukitan. Juga tidak tampak tanda-tanda kehadiran Gandalf di sekitar situ.
Di sisi barat Weathertop, mereka menemukan sebuah cekungan terlindung, dengan lembah berbentuk mangkuk di dasarnya, dan pinggiran berumput. Di sana mereka meninggalkan Sam dan Pippin dengan kuda dan muatannya, serta ransel-ransel. Tiga yang lainnya berjalan terus. Setelah setengah jam mendaki dengan susah payah, Strider mencapai mahkota bukit; Frodo dan Merry menyusul, lelah dan terengah-engah. Lereng terakhir curam sekali dan berbatu-batu.
Di puncaknya, seperti sudah dikatakan Strider, mereka menemukan sebuah lingkaran sisa bangunan batu kuno, sekarang remuk atau tertutup rumput panjang. Tapi di tengahnya tersusun setumpukan batu. Warnanya kehitaman, seolah kena api. Di sekitarnya tanah kering terbakar sampai ke akarnya, dan di dalam lingkaran itu rumputnya hangus dan mengerut, seolah nyala api telah menyapu puncak bukit itu; tapi tidak ada tanda-tanda makhluk hidup.
Berdiri di pinggir puing lingkaran itu, mereka melihat pemandangan luas di bawah, kebanyakan tanah kosong tanpa ciri-ciri khusus, kecuali beberapa bercak hutan jauh di selatan, dengan kilauan air di sana-sini di kejauhan. Di bawah mereka, pada sisi selatan ini, Jalan Lama tergelar bagai sebuah pita, muncul dari Barat dan melingkar-lingkar naik-turun, sampai menghilang di balik punggung tanah gelap di sebelah timur. Tidak ada yang bergerak di atasnya. Mengikuti garisnya ke arah timur, mereka melihat Pegunungan: kaki bukit yang lebih dekat tampak cokelat dan suram; di belakangnya berdiri bentuk-bentuk tinggi kelabu, dan di belakangnya lagi ada puncak-puncak tinggi putih berkilauan di antara awan-awan.
"Nah, di sinilah kita!" kata Merry. "Sangat muram dan tidak mengundang tampaknya! Tidak ada air dan tidak ada naungan. Dan tidak ada tanda-tanda dari Gandalf. Tapi aku tidak menyalahkannya kalau dia tidak menunggu-kalau dia memang sudah ke sini."
"Aku jadi bertanya-tanya," kata Strider, menatap sekelilingnya sambil merenung. "Meski dia sehari-dua hari di belakang kita di Bree, dia bisa datang ke sini lebih dulu. Dia bisa menunggang kuda sangat cepat kalau perlu." Mendadak ia berhenti dan memandang batu di atas tumpukan; lebih datar daripada yang lain, dan lebih putih, seolah tidak terkena api. Ia memungutnya dan mengamatinya, membalikkan batu itu di tangannya. "Batu ini belum lama dipegang,' katanya. "Bagaimana dengan tanda-tanda ini?"
Pada permukaan bawah yang datar, Frodo melihat beberapa goresan: I"•III. "Kelihatannya ada garis tegak, titik, lalu tiga garis tegak lagi," kata Frodo.
"Garis tegak di sebelah kiri mungkin lambang G dengan cabang tipis" kata Strider. "Mungkin itu tanda yang ditinggalkan Gandalf, meski kita tak bisa yakin. Goresannya halus, dan memang kelihatan masih baru. Tapi tanda-tanda itu bisa juga punya arti yang lain sama sekali, dan tidak berhubungan dengan kita. Para Penjaga Hutan juga menggunakan lambang, dan mereka sesekali juga datang ke sini."
"Apa artinya, kalau misalnya Gandalf yang membuatnya?" tanya Merry.
"Menurutku," jawab Strider, "maksudnya G 3, dan merupakan tanda bahwa Gandalf ada di sini tanggal 3 Oktober: tiga hari yang lain. Itu juga menunjukkan dia sedang terburu-buru dan bahaya mengancamnya, sehingga dia tak punya waktu atau tidak berani menulis sesuatu yang lebih panjang atau lebih jelas. Kalau memang begitu, maka kita harus hati-hati."
"Kalau saja kita bisa yakin bahwa memang Gandalf yang membuat goresan itu, apa pun artinya," kata Frodo. "Akan sangat menghibur kalau tahu dia sedang dalam perjalanan, di depan atau di belakang kita."
"Mungkin," kata Strider. "Aku sendiri yakin dia sudah ke sini, dan berada dalam bahaya. Pernah ada kobaran api di sini saat itu, dan aku jadi teringat cahaya yang kita lihat tiga hari yang lalu di langit timur. Kuduga dia diserang di puncak bukit ini, tetapi apa hasilnya aku tidak tahu. Ia sudah tidak di sini lagi, dan sekarang kita harus menjaga diri sendiri dan pergi sendiri ke Rivendell, sebaik mungkin."
"Berapa jauhkah Rivendell?" tanya Merry sambil melihat sekelilingnya dengan letih. Dunia terlihat liar dan luas dari atas Weathertop.
"Aku tidak tahu apakah Jalan ini pernah diukur dalam mil setelah melewati Penginapan Terlupakan, satu hari perjalanan dari Bree ke timur," jawab Strider. "Ada yang bilang itu jauh sekali, dan ada yang bilang sebaliknya. Jalan ini aneh, dan orang-orang senang kalau sudah sampai di akhir perjalanan mereka, baik waktunya panjang ataupun pendek. Tapi aku tahu berapa lama waktu untuk menempuhnya bila aku sendiri berjalan kaki, dengan cuaca bagus dan tidak ada musibah: dua belas hart dari sini sampai Ford Bruinen, di mana Jalan melintasi Loudwater yang mengalir keluar dari Rivendell. Setidaknya masih ada perjalanan dua minggu di depan kita, karena kupikir kita tidak akan bisa menggunakan Jalan."
"Dua minggu!" kata Frodo. "Banyak yang bisa terjadi dalam waktu itu."
"Memang," kata Strider.
Mereka berdiri diam sejenak di puncak bukit, dekat ujung selatan. Di tempat sepi itu, Frodo untuk pertama kali menyadari bahwa ia tak punya rumah dan berada dalam bahaya. Dengan getir ia menyesali, kenapa ia tidak bisa tetap berada di Shire yang tenang dan dicintainya ia menatap ke bawah, ke Jalan yang dibencinya, matanya tertuju ke barat-ke rumahnya. Mendadak ia menyadari ada dua bercak hitam bergerak perlahan menyusurinya, pergi ke barat; dan ketika ia memandang lagi, ia melihat tiga bercak lain merangkak ke timur untuk menghadang mereka. Frodo berteriak dan memegang tangan Strider.
"Lihat," katanya sambil menunjuk ke bawah.
Strider segera menjatuhkan diri ke tanah di belakang puing lingkaran, sambil menarik Frodo di sebelahnya. Merry juga menjatuhkan diri di sampingnya.
"Apa itu?" bisiknya.
"Aku tidak tahu, tapi aku mengkhawatirkan hal terburuk," jawab Strider.
Perlahan mereka merangkak ke pinggir lingkaran lagi, dan mengintip melalui celah antara dua batu runcing. Cahaya sudah tidak begitu terang, karena pagi yang cerah sudah memudar, dan awan-awan yang merangkak keluar dari Timur sudah menyusul matahari yang akan terbenam. Mereka semua bisa melihat bercak-bercak hitam itu, tapi baik Frodo maupun Merry tidak bisa melihat jelas bentuk mereka; namun perasaan mereka mengatakan bahwa di sana, jauh di bawah, para Penunggang Hitam berkumpul di Jalan di bawah kaki bukit.
"Ya," kata Strider, yang dengan penglihatannya yang tajam tidak ragu lagi. "Musuh ada di sini!"
Bergegas mereka merangkak pergi, menuruni sisi utara bukit, untuk mencari kawan-kawan mereka.

Sam dan Peregrin tidak tinggal diam. Mereka sudah menjelajahi lembah kecil dan lereng-lereng sekitamya. Tak jauh dari sana, mereka menemukan sumber mata air jernih di sisi bukit, dan di dekatnya jejak kaki yang belum berusia lebih dari dua hari. Di lembahnya sendiri mereka menemukan bekas api yang belum lama, dan tanda-tanda lain dari perkemahan yang terburu-buru. Ada beberapa batuan yang sudah jatuh di ujung lembah yang paling dekat ke bukit. Di belakangnya Sam menemukan kayu-kayu api yang ditumpuk rapi.
"Aku ingin tahu, apakah Gandalf sudah ke sini," katanya pada Pippin. "Siapa pun yang menyimpan barang-barang ini di sini, berniat kembali ke sini rupanya."
Strider sangat tertarik dengan penemuan-penemuan itu. "Coba tadi aku menunggu dan menjelajahi sendiri tanah di bawah sini," katanya, bergegas ke mata air untuk memeriksa jejak kaki.
"Seperti sudah kukhawatirkan," katanya ketika ia kembali. "Sam dan Pippin menginjak tanah lembek, dan jejaknya sudah rusak atau bercampur. Para Penjaga Hutan datang ke sini baru-baru ini. Merekalah yang meninggalkan kayu api di tempat ini. Tapi juga ada beberapa jejak yang lebih baru, yang bukan dibuat oleh para Penjaga Hutan. Setidaknya satu set baru, hanya sehari-dua hari yang lalu, dibuat oleh sepatu bot berat. Setidaknya satu. Aku belum yakin saat ini, tapi kurasa ada banyak kaki bersepatu bot." ia berhenti bicara dan tenggelam dalam pikiran cemas.
Masing-masing hobbit membayangkan para Penunggang berjubah dan bersepatu bot. Kalau para Penunggang sudah menemukan lembah itu, semakin cepat Strider menuntun mereka ke tempat lain semakin baik. Sam memandang cekungan itu dengan rasa sangat tak suka, setelah mendengar kabar musuh mereka ada di Jalan, hanya beberapa mil dari sana.
"Tidakkah kita sebaiknya cepat pergi dari sini, Mr. Strider?" tanya Sam tak sabar. "Sudah mulai sore, dan aku tidak suka tempat ini: entah mengapa membuat semangatku patah."
"Ya, kita memang harus memutuskan apa yang mesti dilakukan segera," jawab Strider sambil mendongak, mempertimbangkan waktu dan cuaca. "Yah, Sam," katanya akhirnya, "aku juga tidak suka tempat ini, tapi aku tidak tahu tempat lain yang lebih baik, yang bisa kita capai sebelum malam. Setidaknya kita berada di luar pandangan untuk sementara, dan kalau kita bergerak, kita akan jauh lebih mungkin terlihat oleh mata-mata. Yang bisa kita lakukan hanyalah menyimpang dari jalan kita, kembali ke utara, di sisi bukit sebelah sini, yang tanahnya sedikit-banyak sama seperti di sini. Jalan sudah diawasi, tapi kita harus melintasinya, kalau ingin mencoba bersembunyi di semak-semak sebelah selatan. Di sebelah utara Jalan, di seberang bukit, tanahnya kosong dan datar sepanjang bermil-mil."
"Apakah para Penunggang itu bisa melihat?" tanya Merry. "Maksudku, sepertinya mereka lebih banyak menggunakan hidung daripada mata, untuk mengendus-endus mencari kita, kalau mengendus adalah kata yang tepat untuk itu, setidaknya di waktu terang. Tapi kau menyuruh kami tiarap ketika kau melihat mereka di bawah; dan sekarang katamu kita bisa terlihat kalau bergerak."
"Aku terlalu ceroboh di atas- bukit," jawab Strider. "Aku begitu bersemangat ingin mencari tanda dari Gandalf; tapi kita salah, naik bertiga dan berdiri begitu lama di sana. Karena kuda-kuda hitam bisa melihat, dan para Penunggang itu bisa menggunakan manusia dan makhluk-makhluk lain sebagai mata-mata, seperti sudah terbukti di Bree. Mereka sendiri tidak melihat dunia sebagaimana kita melihatnya, tapi bentuk-bentuk kita melontarkan bayangan ke dalam benak mereka, yang hanya bisa dihancurkan oleh matahari tengah hari; dan dalam gelap mereka menerima banyak tanda dan bentuk yang tersembunyi bagi kita: saat itulah mereka perlu paling ditakuti. Dan sepanjang waktu mereka mencium darah makhluk hidup, menginginkannya dan membencinya. Ada indra-indra lain selain penglihatan dan penciuman, Kita bisa merasakan kehadiran mereka-meresahkan hati kita, begitu kita sampai di sini, dan sebelum kita melihat mereka: mereka bisa lebih tajam lagi merasakan kehadiran kita. Juga," tambahnya, dan suaranya menjadi bisikan, "Cincin itu menarik mereka."
"Apakah tidak ada cara untuk lari?" kata Frodo, melihat dengan kalut ke sekelilingnya. "Kalau aku bergerak, aku akan kelihatan dan diburu!"
Strider meletakkan tangannya di bahu Frodo. "Masih ada harapan," katanya. "Kau tidak sendirian. Mari kita ambil kayu yang sudah disiapkan di sini untuk api, sebagai suatu tanda. Hanya sedikit perlindungan atau pertahanan di sini, tapi api bisa dimanfaatkan. Sauron bisa memakai api, dan hal-hal lainnya, untuk maksud jahatnya, tapi para Penunggang ini tidak menyukai api, dan takut terhadap mereka yang menggunakannya. Api adalah sahabat kita di hutan belantara."
"Mungkin," gerutu Sam. "Tapi api itu juga bisa menunjukkan dengan jelas di mana kita berada, selain kalau kita berteriak."

Di pojok paling rendah dan paling terlindung di lembah itu, mereka menyalakan api dan menyiapkan makanan. Bayang-bayang senja mulai turun, dan hawa mulai dingin. Tiba-tiba mereka menyadari bahwa mereka sudah lapar sekali, karena mereka tidak makan apa pun sejak sarapan; tapi mereka hanya berani membuat makan malam sederhana saja. Negeri di depan mereka kosong dari semua makhluk hidup, kecuali burung dan hewan, tempat-tempat tidak ramah yang ditinggalkan semua bangsa di dunia. Kadang-kadang para Penjaga Hutan lewat di seberang perbukitan, tapi jumlahnya hanya sedikit dan mereka tidak bermalam. Pengembara lain sangat langka, dan dari jenis jahat: sesekali bangsa troll berkeliaran keluar dari lembah-lembah utara Pegunungan Berkabut. Hanya di Jalan bisa ditemukan pelancong, paling sering orang-orang kerdil, bergegas untuk urusan mereka sendiri, dan tidak suka memberikan pertolongan atau berbicara dengan orang asing
"Entah apakah persediaan makanan kita bisa mencukupi," kata Frodo. "Kita sudah cukup hati-hati dalam beberapa hari terakhir, dan makan malam ini bukan pesta; tapi kita sudah menghabiskan lebih banyak daripada seharusnya, kalau kita masih harus berjalan selama dua minggu, dan mungkin lebih."
"Ada makanan di belantara," kata Strider, "buah berry, akar-akaran, dan tanaman; dan aku punya keterampilan sebagai pemburu bila diperlukan. Kau tidak perlu takut mati kelaparan sebelum musim dingin tiba. Tapi mengumpulkan dan menangkap makanan adalah pekerjaan panjang dan melelahkan, dan kita perlu buru-buru. Jadi, kencangkan ikat pinggang kalian, dan pikirkan penuh harapan meja-meja makan di rumah Elrond!"
Hawa dingin semakin menusuk, sementara hari semakin gelap. Mengintip keluar dari lembah, mereka sekarang hanya bisa melihat tanah kelabu yang menghilang cepat ke dalam bayang-bayang. Langit di alas sudah jernih lagi, dan perlahan-lahan terisi bintang-bintang yang berkelap-kelip. Frodo dan kawan-kawannya meringkuk mengelilingi api, terbungkus dengan segala macam busana dan selimut yang mereka miliki; tapi Strider sudah puas dengan satu mantel, dan duduk agak menjauh, sambil mengisap pipanya dengan termenung.
Saat malam tiba dan nyala api mulai terang Strider menceritakan dongeng-dongeng pada mereka, untuk mengalihkan benak mereka dari ketakutan. Ia tahu banyak riwayat dan legenda dari zaman dulu, tentang Peri dan Manusia, perbuatan baik dan jahat di Zaman Peri. Mereka bertanya dalam hati, berapa usia Strider, dan di mana ia belajar semua kisah itu.
"Ceritakan tentang Gil-galad," kata Merry tiba-tiba, ketika Strider berhenti sebentar di akhir cerita tentang Kerajaan-Kerajaan Peri. "Apakah kau tahu lebih banyak tentang syair kuno yang kaubicarakan tadi?"
"Memang," jawab Strider. "Begitu juga Frodo, karena itu berhubungan erat dengan kita." Merry dan Pippin memandang Frodo yang sedang menatap ke dalam api.
"Aku hanya tahu sedikit yang diceritakan Gandalf padaku," kata Frodo perlahan. "Gil-galad adalah yang terakhir dari raja-raja agung bangsa Peri di Dunia Tengah. Gil-galad berarti sinar bintang dalam bahasa Peri. Dengan Elendil, sahabat kaum Peri, dia pergi ke negeri..."
"Jangan!" Strider memotong, "menurutku dongeng itu jangan diceritakan sekarang, saat anak buah Musuh berada di dekat kita. Kalau kita berhasil mencapai rumah Elrond, kalian bisa mendengarnya di sana, diceritakan selengkapnya."
"Kalau begitu, ceritakan dongeng lain dari masa lalu," pinta Sam, 'dongeng tentang bangsa Peri sebelum masa hilangnya. Aku ingin sekali mendengar lebih banyak tentang kaum Peri; kegelapan terasa begitu mencekam."
"Akan kuceritakan kisah Tinuviel," kata Strider, "singkat saja, karena ini kisah panjang yang akhirnya tidak diketahui; dan sekarang tidak ada yang ingat dengan betul kisah ini, seperti diceritakan di masa lalu, kecuali Elrond. Suatu kisah indah, meski sedih, seperti semua dongeng Dunia Tengah, namun mungkin kisah ini bisa membangkitkan semangat kalian." ia diam sejenak, lalu mulai menyanyi perlahan, bukannya berbicara,

Dedaunan panjang, rumput hijau,
Tinggi indah pepohonan cemara,
Dan di padang tampak cahaya kemilau
Bintang-bintang berkelip di keremangan
Tinuviel menari di sana
Diiringi nada suling indah memukau,
Cahaya bintang gemerlap di rambutnya,
Pun di pakaiannya berkilauan.

Datang Beren dari pegunungan dingin nan sepi,
Di bawah dedaunan tersesat mengembara,
Menyusuri sepanjang tepi Sungai Peri
Melangkah sendiri, dicekam kepedihan.
Mengintip di antara ranting-ranting cemara
Terpesona oleh bunga-bunga emas indah tak terperi
Pada jubah dan lengan si gadis jelita,
Dan rambutnya yang terurai, sekelam bayangan.

Terpesona ia oleh pemandangan itu
Kakinya yang letih seketika pulih;
Kuat dan tangkas, ia bergegas maju,
Menggapai alur-alur sinar bulan kemilau.
Di rimba belantara hutan Peri
Tinuviel lari dengan kaki-kaki lincah berpacu,
Dan tinggallah Beren mengembara sendiri
Di belantara sepi, mendengarkan terpukau.

Sering ia dengar tapak-tapak lincah
Kaki-kaki ringan bagai tanpa suara,
Atau musik yang memancar di bawah tanah,
Tersembunyi bergetar di liang-liang.
Kini layu tergeletak berkas-berkas cemara,
Berguguran satu per satu sambil mendesah
Daun-daun beech ikut berjatuhan pula
Di hutan musim dingin melayang-layang.

Beren s'lalu mencari si gadis Peri
Di hamparan tebal daun-daun berguguran,
Di bawah cahaya bulan dan bintang yang berseri
Di angkasa dingin dan berembun beku.
Jubah Tinuviel gemerlap di bawah sinar rembulan,
Seperti di puncak bukit nan jauh dan tinggi
Ia menari, dan di kakinya bertaburan
Kabut perak yang gemetar malu-malu.

Musim dingin berlalu, Tinuviel datang lagi,
Nyanyiannya membangunkan musim semi,
Bagai hujan rintik dan burung penyanyi,
Mencairkan air yang dingin beku.
Di kakinya merekah bunga-bunga Peri
Berkembang indah dan berseri kembali
Ingin Beren menari dan bernyanyi
Di atas rumput bersamanya selalu.

Beren datang menghampiri, namun Tinuviel lari.
Tinuviel! Tinuviel!
Dipanggilnya nama si gadis Peri;
Si gadis pun berhenti, bagai tersihir
Sesaat tertegun si gadis Tinuviel
Terpikat suara Beren yang menggugah hati,
Beren mendatangi, dan luluhlah Tinicviel
Oleh pesona yang mengikatnya sampai akhir.

Kala menatap mata Tinuviel si Jelita
Yang tersembunyi bayangan rambutnya,
Tampak oleh Beren tercermin di dalamnya.
Kemilau bintang-bintang yang gemetar perlahan
Tinuviel nan cantik memesona,
Gadis Peri yang bijaksana,
Mengurai rambutnya menutupi dirinya
Dan lengan-lengannya yang gemerlap keperakan.

Nasib membawa mereka mengembara,
Lewat gunung berbatu dingin kelabu,
Lewat lorong besi dan pintu kegelapan nan menyiksa,
Dan hutan bayangan tanpa harapan.
Dipisahkan Samudra luas yang menderu,
Sebelum akhirnya kembali berjumpa,
Kini mereka t'lah lama berlalu
Bernyanyi tanpa duka, di dalam hutan.

Strider menarik napas panjang, dan berhenti sebelum berbicara lagi. "Itu sebuah lagu," katanya, "di antara kaum Peri disebut anntennath, tapi sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Umum, dan ini hanya gema kasar dari lagu itu. Lagu ini menceritakan perjumpaan Beren, putra Barahir, dengan Luthien Tinuviel. Beren manusia biasa, tapi Luthien adalah putri Thingol, raja Peri di Dunia Tengah, ketika dunia masih muda; dia gadis tercantik yang pernah ada di antara anak-anak dunia. Kecantikannya seperti bintang-bintang di atas kabut negeri-negeri Utara, dan wajahnya bercahaya. Di masa itu, Musuh Besar tinggal di Angband di Utara, dan Sauron hanyalah anak buahnya. Bangsa Peri dari Barat kembali ke Dunia Tengah untuk berperang dengannya, demi merebut kembali Silmaril yang telah dicurinya; nenek moyang Manusia mendukung para Peri. Tapi Musuh menang dan Barahir tewas dibunuh. Beren, yang melarikan diri melalui bahaya besar, pergi lewat Pegunungan Teror, masuk ke Kerajaan Thingol yang tersembunyi di hutan Neldoreth. Di sana dia melihat Luthien menyanyi dan menari di padang, di sisi Sungai Esgalduin yang tersihir; Beren menamainya Tinuviel, artinya burung bulbul dalam bahasa kuno. Banyak penderitaan menimpa mereka setelah itu, dan mereka terpisah untuk waktu lama. Tinuviel menyelamatkan Beren dari penjara bawah tanah Sauron, dan bersama-sama mereka melewati bahaya-bahaya besar, bahkan menjatuhkan Musuh Besar dan takhtanya, dan mengambil dan mahkota besinya satu dari tiga Silmaril, yang paling cemerlang di antara semua berlian, untuk maskawin Luthien kepada Thingol ayahnya. Namun pada akhirnya Beren dibunuh Serigala yang datang dari gerbang Angband, dan dia mail di pelukan Tinuviel. Tapi Tinuviel memilih menjadi manusia biasa, dan mati di dunia, agar bisa menyusul Beren; dalam lagunya dikatakan bahwa mereka berjumpa lagi di seberang Samudra Pemisah, hidup lagi bersama-sama selama suatu masa singkat di hutan hijau, mereka mati lama berselang, meninggalkan dunia fana ini. Begitulah, hanya Luthien Tinuviel dan bangsa Peri yang mati dan meninggalkan dunia, dan mereka kehilangan dia yang paling mereka cintai. Tapi dari keturunannya muncul garis silsilah bangsawan Peri masa lampau yang turun di antara Manusia. Sampai sekarang keturunannya masih hidup, dan konon silsilahnya tidak akan pernah berhenti. Elrond dan Rivendell termasuk sanaknya. Karena dan Beren dan Luthien lahirlah ahli waris Dior Thingol; dan dari dia turun Elwing the White yang dinikahi Earendil, dia yang berlayar dengan kapalnya, keluar dari kabut dunia, masuk ke lautan surga, dengan Silmaril di dahinya. Dan dari Earendil lahirlah Raja-raja dan Numenor, yaitu Westernesse."
Sementara Strider berbicara, mereka memperhatikan wajahnya yang bergairah aneh, disinari cahaya remang-remang nyala api merah. Matanya berbinar, suaranya dalam dan gagah. Di atasnya terbentang langit gelap berbintang. Mendadak cahaya pucat muncul dari atas mahkota Weathertop di belakang Strider. Bulan yang semakin besar mendaki perlahan ke atas bukit yang melindungi mereka, dan bintang-bintang di atas puncak bukit memudar.
Kisah itu berakhir. Para hobbit bergerak dan meregangkan tubuh. "Lihat!" kata Merry. "Bulan sudah tinggi: pasti sudah larut malam."
Yang lain juga menengadah. Ketika itulah mereka melihat di puncak bukit sesuatu yang kecil dan gelap, berlatar belakang kilauan bulan yang sedang naik. Mungkin juga sesuatu itu hanya sebuah baru besar atau karang menonjol yang kena cahaya pucat.
Sam dan Merry bangkit dan menjauh dari api. Frodo dan Pippin tetap duduk diam. Strider memperhatikan cahaya bulan di atas bukit dengan cermat. Semua diam dan tenang, tapi Frodo merasa ketakutan, setelah Strider tidak berbicara lagi. Ia meringkuk lebih dekat ke api. Pada saat itu Sam berlari kembali dari pinggir lembah.
"Aku tidak tahu apa itu," katanya, "tapi tiba-tiba aku merasa takut. Aku tidak berani keluar dan lembah ini; aku merasa sesuatu sedang merangkak naik di lerengnya."
"Apakah kau melihat sesuatu?" tanya Frodo sambil melompat bangkit.
"Tidak, Sir. Aku tidak melihat apa pun, tapi aku tidak berhenti untuk melihat."
"Aku melihat sesuatu," kata Merry, "atau kupikir begitu di sebelah barat sana, di mana sinar bulan jatuh ke atas dataran rendah di balik bayangan puncak bukit, aku menyangka ada dua atau tiga sosok hitam. Kelihatannya mereka bergerak ke arah sini."
"Tetaplah dekat ke api, dengan wajah menghadap ke luar!" teriak Strider. "Siapkan beberapa tongkat panjang di tangan kalian!"
Untuk waktu lama, hampir tanpa bernapas, mereka duduk di sana, diam dan waspada, membelakangi api, masing-masing menatap ke dalam kekelaman di sekitar. Tak ada yang terjadi. Tak ada bunyi atau gerakan di malam itu. Frodo bergerak, merasa perlu memecah kesunyian: ia ingin sekali berteriak keras.
"Sst!" bisik Strider. "Apa itu?" Pippin menarik napas kaget pada saat bersamaan.
Dari atas bibir lembah kecil itu, di sisi yang jauh dari bukit, mereka merasa sebuah bayangan muncul, satu bayangan atau lebih dari satu. Mereka mengamati lebih tajam, dan bayangan-bayangan itu seolah bertambah. Tak lama kemudian, tak bisa diragukan lagi: tiga atau empat sosok tinggi gelap berdiri di lereng, memandang mereka. Begitu hitam, hingga tampak bagaikan lubang hitam dalam keremangan di belakang. Frodo merasa mendengar desis samar-samar, seperti napas beracun, dan ada hawa dingin yang menusuk tajam. Lalu sosok-sosok itu perlahan-lahan mendekat.
Kengerian melanda Pippin dan Merry, dan mereka tiarap ke tanah. Sam mengerut ke sisi Frodo. Frodo sama ngerinya dengan kawan-kawannya; ia gemetar, seakan-akan sangat kedinginan, tapi ketakutannya tertelan dalam suatu godaan mendadak untuk memasang Cincin-nya. Hasrat ini mencengkeramnya, dan ia tak bisa memikirkan hal lain. Ia tidak lupa Barrow, juga tidak lupa pesan Gandalf; tapi seolah ada yang mendorongnya untuk tidak mengacuhkan semua peringatan, dan ia sangat ingin menyerah. Bukan karena berharap bisa melarikan diri, atau melakukan sesuatu, baik ataupun buruk: ia hanya merasa harus mengambil Cincin itu dan memasangnya di jarinya. Ia tak mampu berbicara. Ia merasa Sam memandangnya, seolah tahu bahwa majikannya sedang dalam kesulitan besar, tapi Frodo tak bisa menoleh kepadanya. Ia memejamkan mata dan berjuang untuk beberapa saat; tapi kemudian ia tak tahan lagi. Akhirnya perlahan-lahan ia mengeluarkan rantainya, dan menyelipkan Cincin itu di jari telunjuk tangan kirinya.
Dalam sekejap, meski semua yang lain tetap seperti sebelumnya, remang-remang dan gelap, sosok-sosok itu menjadi jelas sekali. Ia mampu melihat menembus selubung hitam mereka. Ada lima sosok tinggi: dua berdiri di bibir lembah, tiga maju mendekat. Pada wajah putih mereka menyala mata yang tajam dan tidak kenal kasihan; di bawah mantel mereka ada jubah kelabu panjang; di atas rambut mereka yang kelabu ada topi baja dari perak; di tangan mereka yang kurus kering ada pedang baja. Mata mereka menemukan dirinya dan menusuknya, saat mereka lari mendekati. Dengan nekat ia menghunus pedangnya. Pedang itu menyala merah, seperti sebatang puntung berapi. Dua dari sosok itu berhenti. Yang ketiga lebih tinggi daripada yang lain: rambutnya panjang mengilat, dan di atas topi bajanya ada mahkota. Di satu tangan ia memegang pedang panjang, dan di tangan lainnya sebilah pisau; pisau dan tangan yang memegangnya sama-sama bersinar dengan cahaya pucat. Ia melompat maju dan menghantam Frodo.
Tepat pada saat itu Frodo melemparkan diri ke depan, ke atas tanah, dan ia mendengar dirinya sendiri berteriak nyaring, Oh Elbereth! Gilthoniel! Pada saat yang sama ia memukul kaki musuhnya. Teriakan nyaring terdengar di malam kelam, dan Frodo merasa perih, seakan-akan sebatang anak panah dari es beracun menembus pundak kirinya. Ketika pingsan, ia menangkap sekilas-seolah melalui kabut yang berputar-putar-sosok Strider meloncat keluar dari kegelapan dengan tongkat kayu menyala di kedua tangannya. Dengan upaya terakhir, sambil menjatuhkan pedangnya, Frodo melepaskan Cincin di jarinya dan menggenggamnya erat-erat dalam kepalan tangannya.