Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Kamis, 14 Oktober 2010

Bab 3

TIGA MENJADI ROMBONGAN

"Kau harus pergi diam-diam, dengan segera," kata Gandalf. Sudah dua atau tiga minggu berlalu, dan Frodo masih belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi.
"Aku tahu. Tapi sangat sulit melakukan keduanya," keluhnya. "Kalau aku menghilang seperti Bilbo, kisah itu akan menyebar sangat cepat di seluruh Shire."
"Tentu saja kau jangan menghilang!" kata Gandalf. "Itu sama sekali tidak baik! Aku tadi bilang segera, bukan dalam sekejap. Kalau kau bisa menemukan cara untuk menyelinap keluar dari Shire tanpa diketahui secara luas, maka bolehlah kau menunda sebentar. Tapi jangan menunda terlalu lama."
"Bagaimana kalau musim gugur, pada atau setelah Ulang Tahun kami?" tanya Frodo. "Mungkin aku sudah siap saat itu."
Sejujurnya, Frodo enggan berangkat, setelah tiba saatnya kini. Bag End terasa jauh lebih nyaman daripada yang dirasakannya selama bertahun-tahun ini, dan ia ingin mengecap sebanyak mungkin musim panasnya yang terakhir di Shire. Saat musim gugur datang, ia tahu bahwa sebagian hatinya setidaknya akan lebih siap mengembara, seperti selalu terjadi di musim itu. Bahkan dalam hati ia sudah memutuskan akan pergi pada ulang tahunnya yang kelima puluh: bersamaan dengan ulang tahun Bilbo yang keseratus dua puluh delapan. Rasanya itu hari yang pantas untuk berangkat mengikutinya. Yang utama dalam benak Frodo adalah mengikuti Bilbo; itu satu-satunya yang membuat pikiran untuk meninggalkan Shire bisa ditanggungnya. Ia berpikir sesedikit mungkin tentang Cincin itu, dan ke mana benda itu akan menuntunnya. Tapi tidak semua pikirannya ia ceritakan pada Gandalf. Sulit menebak apa yang diduga oleh penyihir itu.
Gandalf memandang Frodo dan tersenyum. "Baiklah," katanya. "Kurasa itu cukup-tapi jangan lebih lama lagi. Aku sudah sangat cemas. Sementara itu, berhati-hatilah, dan jangan sampai membocorkan satu petunjuk pun ke mana kau akan pergi! Dan awasi Sam Gamgee agar dia tidak berbicara. Kalau sampai dia buka mulut, aku benar-benar akan mengubahnya menjadi kodok."
"Tentang ke mana aku pergi," kata Frodo, "ihl akan sulit dibocorkan, karena aku sendiri belum punya rencana jelas."
"Jangan bodoh begitu!" kata Gandalf. "Aku bukan memperingatkanmu agar tidak meninggalkan alamat di kantor pos! Tapi kau akan meninggalkan Shire-dan itu sebaiknya tidak diketahui, sampai kau sudah jauh. Dan kau harus pergi, atau setidaknya berangkat, entah ke Utara, Selatan, Barat, atau Timur dan arah itu benar-benar tidak boleh ketahuan."
"Aku sudah began asyik memikirkan akan meninggalkan Bag End, dan tentang berpamitan, sampai-sampai aku tidak mempertimbangkan arah kepergianku," kata Frodo. "Sebab ke mana aku harus pergi? Dan berdasarkan apa aku harus menentukan arah? Apa yang harus kucari? Bilbo pergi untuk menemukan harta, lalu kembali; tapi aku pergi untuk membuang sebuah harta, dan tidak kembali, sejauh yang bisa kupahami."
"Tapi kau tidak tahu apa yang bakal terjadi," kata Gandalf. "Begitu pula aku. Mungkin saja tugasmulah untuk menemukan Celah Ajal itu; tapi pencarian itu bisa juga untuk orang lain: aku tidak tahu. Setidaknya kau belum siap untuk jalan panjang itu."
"Memang belum!" kata Frodo. "Tapi, sementara itu, arah mana yang harus kuambil?"
"Menuju bahaya; tapi jangan gegabah, maupun terlalu langsung," jawab sang penyihir. "Kalau kau ingin nasihatku, pergilah ke Rivendell. Perjalanan itu tidak akan terlalu berbahaya, meski Jalan ke sana tidak semudah dulu, dan akan semakin buruk pada penghujung tahun."
"Rivendell!" kata Frodo. "Baiklah: aku akan ke timur, dan aku akan menuju Rivendell. Aku akan membawa Sam untuk melihat para Peri; dia pasti senang sekali." Frodo berbicara dengan ringan, tapi hatinya tiba-tiba tergerak oleh hasrat besar untuk melihat rumah Elrond Halfelven, dan menghirup udara lembah dalam itu, di mana banyak bangsa Peri masih hidup dalam damai.

Suatu senja di musim panas, sebuah berita mengejutkan sampai di Semak Ivy dan Naga Hijau. Raksasa-raksasa dan tanda-tanda lain di Perbatasan Shire dilupakan untuk hal-hal yang lebih penting: Mr. Frodo akan menjual Bag End, bahkan ia sudah menjualnya-pada keluarga Sackville-Baggins!
"Dengan harga pantas pula," kata beberapa orang. "Dengan harga murah sekali," kata yang lain, "dan itu mungkin sekali kalau pembelinya Mistress Lobelia." (Otho sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, pada usia 102 yang matang tapi penuh kekecewaan.)
Alasan Mr. Frodo menjual Bag End bahkan lebih banyak menimbulkan perdebatan daripada soal harganya. Beberapa memegang -didukung oleh anggukan dan gelagat tersamar dari Mr. Baggins sendiri-bahwa uang Frodo mulai habis: ia akan meninggalkan Hobbiton dan hidup sederhana dengan hasil penjualan rumahnya, di Buckland, di tengah saudara-saudaranya dan keluarga Brandybuck. "Sejauh mungkin dari keluarga Sackville-Baggins," tambah beberapa orang. Tetapi gagasan tentang kekayaan tak terhingga keluarga Baggins dari Bag End sudah begitu berakar, sehingga kebanyakan orang sulit mempercayai hal ini, lebih sulit daripada alasan atau bukan alasan yang bisa ditawarkan khayalan mereka: kebanyakan orang menganggap itu merupakan petunjuk tentang rencana terselubung Gandalf. Meski Gandalf diam-diam saja dan tidak berkeliaran di siang hari, umum sudah tahu bahwa ia sedang "bersembunyi di Bag End". Tapi entah apa pun kaitan kepindahan ini dengan rencana-rencana sihir Gandalf, satu hal sudah jelas: Frodo Baggins akan kembali ke Buckland.
"Ya, aku akan pindah musim gugur ini," kata Frodo. "Merry Brandybuck sedang mencarikan lubang kecil yang nyaman untukku, atau mungkin sebuah rumah kecil."
Sebenarnya dengan bantuan Merry ia sudah memilih dan membeli sebuah rumah kecil di Crickhollow, di daerah luar Bucklebury. Pada semua orang, kecuali Sam, ia berpura-pura akan tinggal di sana untuk seterusnya. Keputusan untuk pergi ke timur telah menimbulkan gagasan tersebut; karena Buckland ada di perbatasan timur Shire, dan karena semasa kanak-kanak ia tinggal di sana, tidak akan terlalu mencurigakan seandainya ia mengatakan akan kembali ke sana.

Gandalf tinggal di Shire selama lebih dari dua bulan. Lalu suatu sore, di akhir Juni, segera setelah rencana Frodo diatur, mendadak ia mengumumkan bahwa ia akan pergi lagi pagi berikutnya. "Hanya sebentar, kuharap," katanya. "Tapi aku akan keluar dari perbatasan selatan untuk mencari berita, kalau bisa. Aku sudah terlalu lama memangur."
Ia berbicara dengan ringan, tapi menurut Frodo ia kelihatan agak cemas. "Ada sesuatu?" tanyanya.
"Tidak; tapi aku mendengar sesuatu yang membuatku cemas dan perlu diselidiki. Kalau aku merasa kau perlu segera berangkat, aku akan cepat-cepat kembali, atau setidaknya mengirimkan pesan. Sementara itu, tetaplah pada rencanamu; tapi tingkatkan kewaspadaanmu, terutama dengan Cincin itu. Aku ingin menekankan sekali lagi: jangan gunakan!"'
Gandalf pergi saat fajar. "Aku akan kembali sewaktu-waktu," katanya. "Paling lambat aku akan kembali untuk pesta perpisahanmu. Kupikir mungkin kau akan membutuhkan aku untuk mendampingimu di Jalan."
Mulanya Frodo resah sekali, dan sering bertanya dalam hati, apa yang sudah didengar Gandalf; tapi kemudian kegelisahannya mereda, dan cuaca bagus membuat ia lupa sejenak akan kesulitannya. Shire belum pernah mengalami musim panas begitu indah, atau musim gugur yang begitu kaya: pohon-pohon sarat buah-buahan, madu menetes dari sarang lebah, dan tanaman jagung tinggi dan penuh.
Musim gugur sudah berlangsung lama ketika Frodo mulai cemas lagi tentang Gandalf. September sedang berlalu, dan masih belum ada berita darinya. Hari Ulang Tahun dan kepindahannya semakin dekat, dan Gandalf belum datang juga, atau mengirimkan pesan. Bag End mulai sibuk. Beberapa sahabat Frodo datang untuk tin-gal dan membantunya mengepak barang-barang: ada Fredegar Bolger dan Folco Boffin, dan tentu sahabat-sahabat dekatnya Pippin Took dan Merry Brandybuck. Bersama-sama mereka memporak-porandakan seluruh rumah itu.
Tanggal 20 September, dua kereta tertutup penuh muatan berangkat ke Buckland, mengantar perabot dan barang-barang yang tidak dijual oleh Frodo, ke rumahnya yang baru. Hari berikutnya Frodo benar-benar cemas, dan terus-menerus menunggu Gandalf. Kamis, pagi hari Ulang tahunnya, merekah dengan jernih dan indah seperti lama berselang, pada pesta besar Bilbo. Gandalf belum juga muncul. Senja hari itu Frodo mengadakan pesta perpisahannya: sederhana sekali, hanya makan malam untuk dirinya sendiri beserta keempat sahabatnya; tapi ia gelisah dan suasana hatinya tidak mendukung. Hatinya sangat susah, karena ia harus segera berpisah dengan sahabat-sahabat muda-nya. Ia bertanya-tanya bagaimana harus memberitahu mereka.
Namun keempat hobbit muda itu gembira sekali, dan pesta itu segera terasa meriah, meski Gandalf tidak hadir. Ruang makan kosong, hanya ada satu meja dan kursi-kursi, tapi hidangannya lezat, dan ada anggur bagus: anggur Frodo tidak termasuk barang yang dijual pada keluarga Sackville-Baggins.
"Apa pun yang terjadi dengan sisa barang-barangku, bila keluarga S.-Bs. sudah mencengkeramnya, setidaknya aku sudah menemukan rumah yang bagus untuk ini!" kata Frodo sambil mengosongkan gelasnya. Tetes terakhir Old Winyards.
Setelah menyanyikan banyak lagu, dan membahas banyak hat yang pernah mereka lakukan bersama, mereka bersulang untuk ulang tahun Bilbo, dan minum demi kesehatannya dan kesehatan Frodo, menurut kebiasaan Frodo. Lalu mereka keluar untuk menghirup udara segar dan melihat bintang-bintang, dan setelah itu pergi tidur. Pesta Frodo sudah berakhir, dan Gandalf belum datang juga.

Pagi berikutnya mereka sibuk mengisi sebuah kereta lain dengan sisa muatan. Merry mengawasi, dan pergi bersama Fatty (Fredegar Bolger). "Mesti ada yang berangkat lebih dulu, untuk menyiapkan rumah itu sebelum kau datang," kata Merry. "Nah, sampai ketemu-lusa, kalau kau tidak tidur di jalan!"
Setelah makan siang Folco pulang, tapi Pippin tetap tinggal Frodo resah dan gelisah, sia-sia menunggu kedatangan Gandalf. Ia memutuskan menunggu sampai malam tiba. Setelah itu, kalau Gandalf ingin segera menemuinya, ia akan ke Crickhollow, dan mungkin ia akan sampai lebih dulu di sana. Karena Frodo akan berjalan kaki. Rencananya-dengan alasan untuk bersenang-senang dan karena ingin melihat Hobbiton untuk terakhir kali, serta banyak alasan lain-adalah berjalan kaki dari Hobbiton ke Bucklebury Ferry, sambil bersantai.
"Sekalian berlatih," kata Frodo, sambil memandang dirinya sendiri di cermin berdebu, di koridor yang sudah setengah kosong. Ia sudah cukup lama tidak berjalan-jalan jauh, dan bayangannya di cermin kelihatan agak lembek, pikirnya.
Setelah makan siang, keluarga Sackville-Baggins datang-Lobelia dan Lotho, putranya yang berambut warna pasir. Frodo jengkel sekali. "Akhirnya rumah ini menjadi milik kami!" kata Lobelia ketika masuk. Sikapnya tidak sopan; juga tidak seluruhnya benar, karena penjualan Bag End baru berlaku efektif setelah tengah malam. Tapi mungkin Lobelia bisa dimaafkan: ia sudah menunggu tujuh puluh tujuh tahun lebih lama dari yang diharapkannya untuk mendapatkan Bag End, dan kini ia sudah berusia seratus tahun. Pokoknya ia datang untuk mengawasi bahwa semua barang yang sudah dibayarnya ada di situ, tidak dibawa pergi; dan ia ingin mengambil kunci-kuncinya. Makan waktu cukup lama untuk memuaskannya, karena ia membawa daftar lengkap dan memeriksa semuanya. Akhirnya ia pergi bersama Lotho dan kunci cadangan, dengan janji bahwa kunci yang lain akan dititipkan di rumah keluarga Gamgee di Bagshot Row. Lobelia mendengus, sikapnya jelas-jelas menunjukkan bahwa menurut pendapatnya, keluarga Gamgee bisa saja merampok habis rumah itu di malam hari. Frodo tidak menawarinya teh.
Ia minum teh sendiri bersama Pippin dan Sam Gamgee di dapur. Sudah diumumkan secara resmi bahwa Sam akan ikut ke Buckland "untuk membantu Mr. Frodo dan merawat kebunnya"; si Gaffer setuju, meski ia tidak began senang membayangkan dirinya bertetangga dengan Lobelia.
"Hidangan terakhir kita di Bag End!" kata Frodo, sambil mendorong kursinya ke belakang. Mereka meninggalkan piring-piring kotor untuk dicuci Lobelia. Pippin dan Sam mengikat ketiga ransel dan menumpuknya di teras. Lalu Pippin pergi berjalan-jalan di kebun. Sam menghilang.

Matahari terbenam. Bag End tampak sedih dan suram, dan tidak rapi. Frodo mengelilingi ruangan-ruangan yang sudah dikenalnya, melihat cahaya matahari terbenam memudar pada dinding-dinding, dan bayang-bayang merangkak keluar dari sudut-sudut. Di dalam rumah, kegelapan mulai menebar. Ia keluar dan melangkah ke gerbang di ujung jalan, lalu menapaki jalan pendek melewati Jalan Bukit. Ia setengah berharap akan melihat Gandalf muncul dari balik cahaya senja.
Langit jernih dan bintang-bintang bersinar terang. "Malam ini akan cerah," ia berkata keras-keras. "Bagus untuk sebuah awal. Aku merasa ingin berjalan. Aku sudah tidak tahan tetap di sini. Aku akan . berangkat dan Gandalf terpaksa mengikuti aku." ia membalikkan badannya untuk kembali, lalu berhenti, karena ia mendengar suara-suara, tepat di tikungan di ujung Bagshot Row. Satu suara jelas suara Gaffer tua; yang lainnya suara asing dan agak tidak menyenangkan. Ia tak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tapi ia mendengar jawaban si Gaffer yang terdengar agak melengking. Kedengarannya Pria tua itu kesal.
"Tidak, Mr. Baggins sudah pergi. Dia pergi pagi tadi, dan Sam-ku pergi bersamanya: pokoknya seluruh barangnya juga dibawa. Ya, sudah dijual dan dia pergi, kubilang. Kenapa? Wah, itu bukan urusanku atau urusanmu. Ke mana? Itu bukan rahasia. Dia pindah ke Bucklebury atau tempat semacamnya, jauh di sana. Ya... cukup jauh. Aku sendiri belum pernah pergi sejauh itu; banyak orang aneh di Buckland. Tidak, aku tidak bisa memberikan pesan. Selamat malam!"
Terdengar langkah kaki menuruni Bukit. Frodo agak heran, mengapa ia merasa sangat lega bahwa langkah-langkah itu tidak mendaki Bukit. "Mungkin aku sudah muak atas segala rasa ingin tahu orang tentang sepak terjangku," pikirnya. "Mereka semua begitu ingin tahu!" ia hampir saja mendatangi si Gaffer dan menanyakan siapa orang tadi; tapi ia membatalkan niatnya dan membalikkan badan, lalu dengan cepat berjalan kembali ke Bag End.
Pippin sedang duduk di atas ranselnya di teras. Sam tidak ada di sana. Frodo masuk ke dalam pintu yang gelap. "Sam!" panggilnya. "Sam': Sudah waktunya!"
"Datang, Sir!" terdengar jawaban dari dalam, lalu Sam muncul sambil menyeka mulutnya. Ia sudah berpamitan dengan tong bir di gudang bawah tanah.
"Semua sudah naik, Sam?" tanya Frodo.
"Ya, Sir. Sekarang aku pasti tahan, Sir."
Frodo menutup dan mengunci pintu yang bundar, lalu memberikan' kuncinya pada Sam. "Lari dan bawa ini ke rumahmu, Sam!" kata Frodo. "Lalu potong jalan lewat Row dan jumpai kami secepat mungkin, di gerbang di jalan luar padang rumput. Kita tidak akan melewati desa malam ini. Terlalu banyak telinga menguping dan mata mengintai." Sam lari kencang sekali.
"Nah, akhirnya kita berangkat!" kata Frodo. Mereka memanggul ransel dan meraih tongkat, dan berbelok menuju sisi barat Bag End. "Selamat tinggal!" kata Frodo, sambil memandang jendela-jendela yang gelap dan kosong. Ia melambaikan tangan, lalu berbalik dan (persis seperti Bilbo, seandainya ia tahu) bergegas mengikuti Peregrin, melewati jalan kebun. Mereka melompati tempat yang rendah di pagar semak di ujung dan berjalan ke padang rumput, masuk ke dalam kegelapan, bagai bunyi desir angin di rumput.

Di sisi barat kaki Bukit, mereka menjumpai gerbang yang membuka ke jalan sempit. Di sana mereka berhenti untuk menyetel tali ransel. Tak lama kemudian Sam muncul, berlari cepat terengah-engah; ranselnya yang berat diangkat tinggi di pundaknya, dan di kepalanya bertengger kantong tinggi tak berbentuk dari kain lakan, yang disebutnya topi. Dalam keremangan ia mirip sekali dengan Kurcaci.
"Aku yakin kau memasukkan barang-barang yang paling berat di ranselku," kata Frodo. "Aku kasihan kepada siput, dan semua yang memanggul rumah mereka di punggung."
"Aku masih bisa mengangkat lebih banyak, Sir. Ranselku cukup ringan," kata Sam dengan gagah berani dan tidak jujur.
"Tidak, kau tidak bisa, Sam!" kata Pippin. "Ini bagus untuknya. Ranselnya hanya berisi apa-apa yang dia suruh kita masukkan ke dalamnya. Akhir-akhir ini dia agak lamban, dan beban itu tidak akan terlalu berat baginya kalau dia sudah berjalan cukup jauh."

"Kalian mesti ramah pada hobbit tua ini!" tawa Frodo. "Aku akan setipis tongkat kayu willow sebelum sampai di Buckland. Tapi aku cuma bercanda tadi. Kurasa bebanmu memang terlalu berat, Sam. Akan kupertimbangkan nanti, saat mengepak lagi." Frodo memungut tongkatnya lagi. "Well, kita semua senang berjalan dalam gelap," katanya, "jadi marilah kita berjalan beberapa mil sebelum tidur."
Untuk beberapa saat mereka mengikuti jalan ke arah barat, kemudian meninggalkannya dan diam-diam masuk ke padang rumput ia-i. Me reka berbaris satu-satu melewati pagar-pagar tanaman dan deretan semak-semak rendah; malam gelap menyelimuti. Dalam jubah gelap mereka, ketiganya tidak kelihatan, seolah mereka semua mempunyai cincin sihir. Karena mereka semua hobbit, dan berusaha untuk diam, mereka tidak menimbulkan bunyi berisik yang bisa didengar para hobbit sekalipun. Bahkan binatang-binatang di padang dan hutan hampir tidak tahu mereka sedang lewat.
Setelah beberapa saat, mereka menyeberangi Air, sebelah barat Hobbiton, melalui jembatan papan sempit. Aliran sungai di tempat itu tidak lebih dari pita hitam yang berkelok-kelok, dibatasi pepohonan alder yang merunduk. Satu-dua mil lebih jauh ke selatan, mereka tergesa-gesa menyeberangi jalan besar dari Jembatan Brandywine; sekarang mereka berada di Tookland dan berbelok ke tenggara, menuju Green Hill Country. Saat mulai mendaki lereng-lerengnya yang pertama, mereka menoleh dan melihat lampu-lampu di Hobbiton berkelap-kelip di kejauhan, di lembah Air. Segera lembah itu lenyap di dalam lipatan tanah yang gelap, diikuti oleh Bywater di sebelah telaganya yang kelabu. Ketika cahaya dari pertanian terakhir sudah jauh di belakang, sambil mengintip dari antara pepohonan, Frodo membalikkan badan dan melambaikan tangan untuk berpamitan.
"Akan pernahkah aku memandang lembah itu lagi?" kata Frodo tenang.
Setelah berjalan kira-kira tiga jam, mereka beristirahat. Malam cerah> sejuk, dan berbintang, tetapi gumpalan-gumpalan kabut seperti asap merangkak ke atas lereng bukit dari sungai dan padang rumput. Pohon-pohon birch kurus yang bergoyang dalam angin sepoi di atas kepala mereka membentuk jaring hitam pada latar langit yang pucat. Mereka menyantap makan malam yang sangat sederhana (untuk ukuran hobbit), lalu meneruskan perjalanan. Segera mereka tiba di jalan sempit yang turun-naik, memudar kelabu di kegelapan di depan: jalan ke Woodhall dan Stock, dan Bucklebury Ferry. Jalan itu mendaki dari jalan utama di lembah Air, dan memutar menyusuri hamparan Green Hills, menuju Woody End, sudut liar Wilayah Timur.
Setelah beberapa saat, mereka terjun ke jalan setapak di antara pohon-pohon tinggi yang menggemersikkan daun-daun kering mereka di malam hari. Gelap sekali. Mula-mula mereka bercakap-cakap, atau menyenandungkan sebuah lagu bersama-sama, karena sekarang mereka sudah jauh dari telinga-telinga yang ingin tahu. Lalu mereka berjalan terus dalam keheningan, dan Pippin mulai tertinggal. Akhirnya, saat mereka mulai mendaki lereng terjal, ia berhenti dan menguap.
"Aku mengantuk sekali," katanya, "kurasa sebentar lagi aku bisa jatuh di jalan. Apa kalian akan tidur sambil jalan? Sudah hampir tengah malam."
"Kupikir kau suka berjalan dalam gelap," kata Frodo. "Tapi tak perlu terburu-buru. Merry menunggu kedatangan kita sekitar lusa; tapi itu berarti kita masih punya waktu hampir dua hari lagi. Kita akan berhenti di tempat pertama yang memungkinkan."
"Angin ada di Barat," kata Sam. "Kalau kita sampai di sisi lain bukit ini, kita akan menemukan tempat yang cukup terlindung dan hangat, Sir. Ada hutan cemara kering di depan sana, seingatku." Sam kenal baik wilayah dalam jarak dua puluh mil dari Hobbiton, tapi hanya sebatas itu pengetahuan ilmu buminya.
Sedikit melewati puncak bukit, mereka sampai di petak pepohonan cemara. Setelah meninggalkan jalan, mereka masuk ke dalam kegelapan pekat pepohonan yang berbau resin, dan mengumpulkan ranting-ranting mati serta buah cemara untuk membuat api. Tak lama kemudian, mereka sudah menyalakan api yang berderak ramai di kaki pohon cemara besar. Ketiganya duduk mengelilingi api untuk beberapa saat, sampai kepala mereka mengangguk-angguk. Lalu masing-masing meringkuk di sebuah lekukan akar pohon besar itu, dalam jubah dan selimut mereka, dan tak lama kemudian mereka sudah tertidur lelap. Mereka tidak berjaga; bahkan Frodo belum cemas akan bahaya, karena mereka masih berada di jantung Shire. Beberapa makhluk datang memandang mereka ketika api sudah padam. Seekor rubah yang sedang melintasi hutan berhenti sejenak untuk mengendus mereka.
"Hobbit!" pikirnya. "Hmm, apa lagi berikutnya? Aku sudah mendengar hal-hal aneh di negeri ini, tapi aku jarang mendengar ada hobbit tidur di luar, di bawah pohon. Tiga hobbit, lagi! Past' ada yang aneh di balik ini." ia benar sekali, tapi ia tak pernah tahu lebih dari itu.

Pagi datang, pucat dan lembap. Frodo bangun lebih dulu, dan menemukan punggung bajunya berlubang oleh akar pohon, dan lehernya kaku. "Berjalan demi kesenangan! Kenapa aku tidak memakai kereta saja?" pikirnya, seperti yang selalu dilakukannya pada awal perjalanan. "Dan semua tempat tidur buluku yang indah sudah dijual pada keluarga Sackville-Baggins! Akar-akar pohon ini pantas untuk mereka!" Ia meregangkan badannya. "Bangun, hobbit-hobbit!" teriaknya. "Ini pagi yang indah."
"Apanya yang indah?" kata Pippin, sambil mengintip dari balik selimutnya dengan satu mata. "Sam! Siapkan sarapan untuk jam setengah sepuluh! Apa kau sudah menghangatkan air mandi?"
Sam melompat bangun, matanya masih mengantuk. "Tidak, Sir, belum, Sir!" katanya.
Frodo menyentakkan selimut dari tubuh Pippin dan menggulingkannya, lalu ia berjalan ke pinggir hutan. Di sebelah timur, matahari sedang terbit merah dari balik kabut tebal yang menyelimuti dunia. Pohon-pohon musim gugur yang mendapat sentuhan merah keemasan bagaikan berlayar tanpa akar di lautan remang-remang. Sedikit di bawah Frodo, agak ke kiri, jalanan menurun curam masuk ke cekungan dan lenyap.
Ketika Frodo kembali, Sam dan Pippin sudah menyalakan api. "Air!" teriak Pippin. "Mana airnya?"
"Aku tidak menyimpan air di kantongku," kata Frodo.
"Kami pikir kau pergi mencari air," kata Pippin, yang sibuk menyusun makanan dan cangkir. "Sebaiknya kau pergi sekarang."
"Kau bisa ikut juga," kata Frodo, "dan membawa semua botol air." Ada sungai kecil di kaki bukit. Mereka mengisi botol-botol dan ceret kecil mereka di sebuah air terjun kecil yang airnya jatuh beberapa meter dari atas bebatuan kelabu yang menonjol. Dingin sekali, seperti es; mereka merepet dan terengah-engah saat membasuh wajah dan tangan.
Sudah lewat jam sepuluh ketika mereka selesai sarapan dan telah mengikat kembali ransel-ransel. Cuaca hari itu mulai bagus dan panas. Mereka melangkah menuruni lereng, dan menyeberangi aliran sungai yang masuk ke bawah jalan, lalu menaiki lereng berikutnya, dan turun-naik punggung bukit lain; saat itu jubah, selimut, air, makanan, dan perlengkapan lainnya sudah terasa berat membebani.
Perjalanan hari itu kelihatannya akan panas dan melelahkan. Namun setelah beberapa mil jalanan itu tidak lagi naik-turun: ia mendaki berkelok-kelok sampai ke puncak tebing, lalu siap turun untuk terakhir kali. Di depan mereka terlihat dataran rendah dengan bercak-bercak kecil pepohonan, yang di kejauhan melebur menjadi kabut hutan kecokelatan. Mereka memandang ke seberang Woody End, ke arah Sungai Brandywine. Jalanan di depan mereka berkelok-kelok seperti seutas tali.
"Jalanan ini seperti tak ada habisnya," kata Pippin, "tapi aku bakal habis kalau tidak istirahat. Sudah waktunya makan siang." ia duduk di tebing sisi jalan dan memandang ke timur, ke dalam keremangan tempat Sungai berada, dan ujung Shire tempat ia menghabiskan seluruh hidupnya. Sam berdiri di dekatnya. Matanya yang bulat terbuka lebar, karena ia memandangi negeri yang belum pernah dilihatnya, sampai ke ufuk baru.
"Apa kaum Peri tinggal di dalam hutan itu?" tanyanya.
"Aku belum pernah dengar itu," kata Pippin. Frodo diam. Ia juga sedang menatap ke arah timur, sepanjang jalan, seolah ia belum pernah melihatnya. Tiba-tiba ia berbicara dengan suara keras, tapi seolah hanya untuk dirinya sendiri, mengatakan perlahan-lahan,

Jalan ini tak ada habisnya
Dari pintu ternpat ia bermula.
Terbentang hingga di kejauhan sana,
Mesti kujalani sedapat aku bisa,
Kaki letih, tapi kuberjalan juga,
Sampai kudapati jalan yang lebih lega,
Di mana banyak jalur dan urusan bertemu.
Lalu ke mana? Tak tahulah aku.

"Itu seperti sajak Bilbo," kata Pippin. "Atau itu salah satu tiruanmu? Kedengarannya tidak terlalu membangkitkan semangat."
"Aku tidak tahu," kata Frodo. "Sajak itu datang padaku seolah aku yang menciptakannya; tapi mungkin dulu aku pernah mendengarnya. Memang sajak itu sangat mengingatkanku pada Bilbo di tahun-tahun terakhir sebelum dia pergi. Dia sering mengatakan bahwa hanya ada satu Jalan; bahwa jalan itu seperti sebuah sungai besar: mata airnya ada di setiap ambang pintu, dan setiap jalan adalah anak sungainya. 'Berbahaya sekali, Frodo, kalau keluar pintu,' begitu dia biasa berkata. 'Kalau kau masuk ke Jalan itu, dan kau tak bisa mengendalikan kakimu, tak bisa dipastikan ke mana kau akan digiringnya. Sadarkah kau, bahwa jalan ini melewati Mirkwood, dan bila kaubiarkan, dia akan menuntunmu sampai ke Gunung Sunyi, atau bahkan ke tempat-tempat yang lebih jauh dan buruk?' Dia sering mengatakan itu di jalan luar pintu depan Bag End, terutama kalau dia habis berjalan-jalan jauh."
"Hmm, jalan ini tidak akan menyapuku ke mana pun, setidaknya selama satu jam," kata Pippin sambil melepas ikatan ranselnya. Yang lain mengikuti, menyandarkan ransel mereka pada tebing, dan menjulurkan kaki ke arah jalan. Setelah beristirahat, mereka makan siang, lalu istirahat lagi.

Matahari mulai rendah, dan cahaya senja sudah muncul ketika mereka menuruni bukit. Sejauh itu mereka tidak bertemu seorang pun di jalan. Jalan ini tidak banyak digunakan, karena hampir tidak cocok untuk kereta, dan hanya sedikit lalu lintas ke Woody End. Setelah berjalan lagi selama kurang-lebih satu jam, Sam berhenti sejenak, seolah sedang mendengarkan. Mereka sekarang sudah berada di tanah datar; setelah melalui banyak belokan, jalan itu mengarah lurus ke depan, melewati tanah berumput dengan pepohonan tinggi di sana-sini, membentuk pinggiran hutan yang semakin dekat.
"Aku bisa mendengar suara tapak kaki kuda di belakang sana," kata Sam.
Mereka menoleh, tapi tikungan jalan menghalangi pandangan mereka. "Gandalf-kah itu yang menyusul kita?" kata Frodo; tapi saat mengatakan itu pun ia merasa bahwa yang datang itu bukan Gandalf, dan mendadak muncul hasrat untuk bersembunyi dari pandangan penunggang kuda itu.
"Mungkin ini tidak begitu penting," kata Frodo meminta maaf, tapi aku lebih senang tidak kelihatan di jalan-oleh siapa pun. Aku sudah muak kelakuanku diperhatikan dan dibahas. Dan kalau itu memang Gandalf," tambahnya setelah berpikir-pikir, "kita bisa memberinya sedikit kejutan, untuk membalasnya karena dia terlambat. Ayo kita bersembunyi !"
Kedua pendampingnya lari cepat ke kiri, dan masuk ke sebuah cekungan tak jauh dari jalan. Di sana mereka tengkurap rata ke tanah. Frodo agak ragu: rasa ingin tahu, atau suatu perasaan lain, bertempur dengan keinginannya bersembunyi. Bunyi langkah kuda semakin dekat. Tepat pada waktunya ia menjatuhkan diri ke dalam rumpun alang-alang tinggi, di batik sebatang pohon yang bayangannya menutupi jalan. Lalu ia mengangkat kepala dan mengintip dengan hati-hati dari atas salah satu akar besar.
Dari batik tikungan datang seekor kuda hitam; bukan kuda hobbit, tapi kuda ukuran normal; di atasnya duduk seorang laki-laki besar; ia seperti meringkuk di atas pelana, terbungkus jubah hitam lebar dan kerudung, hingga yang tampak di bawahnya hanya sepatu botnya di sanggurdi yang tinggi; wajahnya tidak tampak, karena tertutup bayang-bayang.
Ketika mencapai pohon dan sejajar dengan Frodo, kuda itu berhenti. Penunggangnya duduk diam dengan kepala menunduk, seolah sedang mendengarkan. Dari batik kerudung muncul suara mendengus, seperti orang sedang berusaha mengendus ban yang sukar ditangkap; kepala orang itu bergerak dari sisi ke sisi jalan.
Mendadak perasaan takut ketahuan menyelimuti Frodo, dan ia ingat Cincin-nya. Ia hampir tidak berani bernapas, namun hasrat untuk mengeluarkan cincin itu dari sakunya jadi begitu kuat, sampai ia perlahan-lahan mulai menggerakkan tangannya. Ia merasa ia hanya perlu memasang cincin itu di jarinya, lain ia akan selamat. Nasihat Gandalf terasa tak masuk akal. Bilbo juga sudah pernah menggunakan Cincin itu. "Dan aku masih berada di Shire," pikirnya ketika tangannya menyentuh rantai pengikat cincin. Tepat pada saat itu si penunggang kuda duduk tegak dan menggoyangkan tali kekang. Kudanya melangkah maju, mula-mula perlahan-lahan, lain menderap cepat.
Frodo merangkak ke tepi jalan, memperhatikan si penunggang kuda sampai menghilang di kejauhan. Ia tidak begitu yakin, tapi kelihatannya sebelum menghilang dari pandangan, kuda itu mendadak membelok masuk ke pepohonan di sebelah kanan.
"Yah, menurutku itu aneh sekali, dan cukup meresahkan," kata Frodo pada dirinya sendiri, sambil berjalan menghampiri teman temannya. Pippin dan Sam tetap tiarap di tengah rerumputan tinggi, dan tidak melihat apa pun; maka Frodo menguraikan tentang penunggang tadi dan tingkah lakunya yang aneh.
"Aku tak bisa bilang kenapa, tapi aku yakin dia mencari atau mengendus-endus mencariku; dan aku juga yakin tak ingin ditemukan olehnya. Aku belum pernah melihat atau merasakan yang semacam itu di Shire."
"Tapi apa urusan Makhluk Besar dengan kita?" kata Pippin. "Dan apa yang dilakukannya di bagian dunia ini?"
"Ada beberapa Manusia berkeliaran," kata Frodo. "Penduduk di Wilayah Selatan bermasalah dengan Makhluk-Makhluk Besar. Kalau tak salah. Tapi aku belum pernah mendengar tentang penunggang kuda ini. Aku heran dia datang dari mana."
"Maaf," kata Sam tiba-tiba. "Aku tahu dari mana dia datang. Dia datang dari Hobbiton, kecuali ada lebih dari satu penunggang kuda. Dan aku tahu ke mana dia akan pergi."
"Apa maksudmu?" kata Frodo tajam, menatap Sam dengan tercengang. "Kenapa tadi kau tidak bicara?"
"Aku baru ingat, Sir. Begini, ketika aku pulang ke rumahku tadi malam dengan membawa kunci, ayahku bilang padaku, Halo, Sam! katanya. Kukira kau sudah pergi tadi pagi bersama Mr Frodo. Ada orang aneh menanyakan Mr. Baggins dari Bag End, dan dia baru saja pergi. Aku sudah menyuruhnya pergi ke Bucklebury. Aku tidak begitu suka padanya. Dia kelihatan sangat kecewa, ketika kukatakan bahwa Mr. Baggins sudah meninggalkan rumahnya selamanya. Dia mendesis padaku. Membuatku merinding. Orang macam apa dia? kataku pada ayahku. Aku tidak tahu, katanya, tapi dia bukan hobbit. Dia tinggi dan kehitaman, dan dia membungkuk di depanku. Kuduga dia salah satu Makhluk Besar dari wilayah asing. Cara bicaranya aneh.
"Aku tidak bisa tin-gal untuk mendengarkan lebih banyak, Sir, karena Anda sudah menungguku; aku sendiri tidak begitu memedulikannya. Ayahku sudah mulai tua, dan sudah sangat rabun; pasti sudah hampir gelap ketika orang ini datang mendaki Bukit dan menemukan ayahku sedang menghirup udara di ujung Row kita. Kuharap dia atau aku tidak menyebabkan masalah, Sir."
"Bagaimanapun, Gaffer tak bisa disalahkan," kata Frodo. "Sebenarnya aku mendengar dia berbicara dengan orang asing, yang rupanya menanyakanku. Aku hampir saja menemuinya, untuk menanyakan siapa dia. Seandainya aku melakukan itu, atau kau menceritakannya padaku. Aku mungkin akan lebih berhati-hati di jalan."
"Tapi mungkin tidak ada hubungan antara penunggang kuda ini dengan orang asing yang menanyai Gaffer," kata Pippin. "Kita meninggalkan Hobbiton dengan diam-diam, dan menurutku dia tak mungkin mengikuti kita."
"Bagaimana tentang caranya mengendus-endus itu, Sir?" kata Sam. "Dan ayahku bilang dia orang hitam."
"Aku menyesal tidak menunggu Gandalf," gumam Frodo. "Tapi mungkin itu hanya akan memperburuk masalah."
"Kalau begun, kau tahu atau menduga sesuatu tentang penunggang kuda ini?" kata Pippin, yang menangkap kata-kata yang digumamkannya.
"Aku tidak tahu, dan rasanya lebih baik aku tidak menduga-duga," kata Frodo.
"Baiklah, Sepupu Frodo. Kau bisa menyimpan rahasiamu untuk sementara, kalau kau ingin misterius. Sementara itu, apa yang harus kita lakukan? Aku ingin makan sedikit sup, tapi entah mengapa aku merasa sebaiknya kita pergi dan sini. Omonganmu tentang penunggang yang mengendus-endus dengan hidung tak tampak itu membuatku cemas."
"Ya, sebaiknya kita jalan terus sekarang," kata Frodo, "tapi jangan di tengah jalan-siapa tahu penunggang kuda itu kembali, atau yang lain menyusulnya. Kita harus berjalan cukup jauh hari ini. Buckland masih bermil-mil jauhnya."

Bayang-bayang pepohonan sudah panjang dan tipis di atas rumput, ketika mereka berangkat lagi. Kini mereka berjalan pada jarak selemparan batu di sebelah kiri jalan, dan sedapat mungkin menghindari terlihat. Tapi ini justru jadi menghambat; karena rumputnya tebal dan rapat, tanahnya tidak rata, dan pepohonan mulai merapat menjadi belukar.
Matahari sudah terbenam merah di balik bukit-bukit di belakang mereka, dan senja mulai turun sebelum mereka kembali ke jalan, di ujung jalur panjang yang menggaris lurus sepanjang beberapa mil. Pada titik tersebut, jalanan itu berbelok dan masuk ke dataran rendah Yale, menuju Stock; tapi ada jalan setapak yang bercabang ke kanan, berkelok-kelok melalui hutan pohon ek kuno, menuju Woodhall. "Kita lewat sana," kata Frodo.
Tak jauh dari pertemuan jalan tadi, mereka sampai di seba-tang pohon besar yang masih hidup; ranting-ranting kecil yang tumbuh di sekeliling dahan-dahannya yang patah dan sudah lama jatuh masih berdaun, tapi batangnya kosong dan bisa dimasuki melalui sebuah celah besar di sisi yang jauh dari jalan. Hobbit-hobbit itu merangkak masuk, duduk di tumpukan dedaunan dan kayu busuk. Mereka beristirahat dan makan ringan, bercakap-cakap pelan dan sesekali mendengarkan.
Sudah senja ketika mereka merangkak kembali ke jalan. Angin Barat mendesah di dahan-dahan. Dedaunan berbisik. Tak lama kemudian, perlahan tapi pasti, jalan itu mulai diselimuti keremangan senja. Sebuah bintang muncul di atas pepohonan, di Timur yang mulai menggelap di depan mereka. Mereka berjalan berjajar dengan langkah seirama, agar tetap bersemangat. Setelah beberapa saat, ketika bintang-bintang semakin rapat dan terang, perasaan gelisah pun hilang, dan mereka tidak lagi mendengarkan bunyi derap langkah kuda. Mereka mulai bersenandung pelan, sebagaimana biasa dilakukan para hobbit kalau sedang berjalan, terutama kalau sudah mendekati rumah di malam hari. Kebanyakan hobbit biasanya menyanyikan lagu makan malam atau lagu tidur, tetapi hobbit-hobbit ini menyenandungkan lagu perjalanan (meski, tentu saja, bukan tanpa menyebut makan malam dan tidur). Bilbo Baggins yang mengarang sajaknya, mengikuti lagu yang sudah setua bukit-bukit; ia mengajarkannya pada Frodo saat mereka berjalan-jalan di lembah Air dan berbincang-bincang tentang Petualangan.

Api pendiangan menyala merah,
Ada tempat tidur di dalam rumah;
Tetapi belum lelah kaki kita,
Di balik tikungan masih ada
Pohon atau batu berdiri tiba-tiba
Yang belum dilihat orang, kecuali kita.
Daun dan rumput, pohon dan bunga,
Biarkan saja! Biarkan saja!
Bukit dan air luas terbentang,
Lewati saja, walau mengundang!

Di balik tikungan mungkin menunggu
Get-bang rahasia atau jalan baru,
Meski hari ini kita lewati,
Esok mungkin kita kembali
Menapaki jalan tersembunyi
Menuju Bulan atau Matahari.
Apel dan duri, kacang dan stroberi,
Biarkan pergi! Biarkan pergi!
Pasir dan batu, telaga dan lembah,
Selamat berpisah! Selamat berpisah!

Rumah ada di belakang, dunia di depan,
Kita menapaki begitu banyak jalan
Lewat bayang-bayang, sampai ke ujung malam,
Dan semua bintang menyala temaram.
Maka dunia di belakang dan rumah di depan,
Kita kembali ke rumah, dan ke peraduan.
Kabut dan senja, awan dan bayangan,
Akan terlupakan! Akan terlupakan!
Api dan lampu, daging dan roti,
Sekarang tidur! Tidur bermimpi!

Lagu itu berakhir. "Dan sekarang tidur! Dan sekarang tidur!" nyanyi Pippin dengan suara nyaring.
"Ssstt!" kata Frodo. "Rasanya aku mendengar derap kaki kuda lagi."
Mereka berhenti mendadak, berdiri diam seperti bayangan pohon, sambil mendengarkan. Memang ada bunyi derap kaki kuda di jalan, agak di belakang, datang menunggang angin, perlahan dan jelas. Dengan cepat dan diam-diam mereka keluar dari jalan, lari ke dalam bayangan yang lebih gelap di bawah pohon-pohon ek.
"Jangan terlalu jauh!" kata Frodo. "Aku tak ingin terlihat, tapi aku ingin melihat, apakah itu Penunggang Hitam lain."
"Baiklah!" kata Pippin. "Tapi jangan lupa, dia suka mengendus-endus!"
Derap langkah kuda semakin dekat. Mereka tak punya waktu untuk menemukan tempat persembunyian yang lebih bagus daripada kegelapan menyeluruh di bawah pepohonan; Sam dan Pippin membungkuk di belakang batang pohon besar, sementara Frodo merangkak kembali beberapa meter ke arah jalan. Jalan itu terlihat kelabu pucat, bagai sebuah garis cahaya yang memudar melewati hutan. Di atasnya bintang-bintang bertebaran di langit yang redup, tapi tak ada bulan.
Bunyi langkah kuda berhenti. Frodo melihat sesuatu yang gelap melewati tempat yang agak terang di antara dua pohon, kemudian berhenti. Kelihatannya seperti bayangan hitam seekor kuda yang dituntun suatu bayangan hitam yang lebih kecil. Bayangan gelap itu berdiri dekat tempat mereka meninggalkan jalan, dan ia bergoyang ke kiri ke kanan. Frodo merasa mendengar bunyi mendengus. Bayangan itu membungkuk ke tanah, lalu mulai merangkak ke arahnya.
Sekali lagi hasrat untuk memakai Cincin menyergap Frodo; kali ini lebih kuat daripada sebelumnya. Begitu kuat, sampai-sampai tangannya sudah masuk ke dalam saku, nyaris sebelum ia menyadari apa yang dilakukannya. Tapi pada saat itu terdengar bunyi seperti campuran nyanyian dan tawa. Suara-suara jernih naik-turun di udara berbintang. Bayangan gelap itu menegakkan diri dan pergi. Ia memanjat kudanya yang gelap, dan seolah lenyap ke dalam kegelapan di seberang. Frodo bernapas kembali.
"Peri-peri!" seru Sam dengan bisikan parau. "Peri, Sir!" ia pasti sudah lari keluar dari balik pepohonan, menghampiri suara-suara itu, seandainya mereka tidak menahannya.
"Ya, mereka Peri," kata Frodo. "Kadang-kadang kita bisa bertemu mereka di Woody End. Mereka tidak tinggal di Shire, tapi di musim Semi dan Gugur mereka mengembara ke Shire, keluar dari negeri mereka sendiri, jauh di luar Bukit-Bukit Menara. Aku bersyukur mereka datang! Kalian tidak melihat, tapi Penunggang Hitam itu berhenti di sin, dan sudah mulai merangkak ke arah kita ketika terdengar nyanyian mereka. Begitu mendengar suara mereka, dia menyelinap pergi."
"Bagaimana dengan para Peri itu?" kata Sam, terlalu bergairah, sampai tak peduli tentang penunggang kuda tadi. "Tidak bisakah kita pergi melihat mereka?"
"Dengar! Mereka sedang menuju kemari," kata Frodo. "Kita tunggu saja di sini."
Suara nyanyian semakin dekat. Satu suara jernih terdengar lebih jelas di antara yang lain. Ia menyanyi dalam bahasa Peri, yang hanya sedikit dikenal Frodo, dan sama sekali tidak dikenal oleh yang lainnya. Paduan suara dan irama itu meresap ke dalam pikiran mereka, membentuk diri menjadi kata-kata yang hanya sebagian mereka pahami. Beginilah lagu yang didengar Frodo:
Putih-salju! Putih-salju! Oh wanita jelita!
Oh Ratu di seberang Samudra Barat!
Oh Cahaya 'tuk kami yang mengembara
Di tengah pohon yang berderet rapat!

Gilthoniel! Oh Elbereth!
Jernih matamu, terang napasmu!
Putih-salju! Putih-salju! Kami bernyanyi untukmu
Di negeri jauh, seberang Samudra itu,

Oh bintang-bintang di tahun nan gelap
Ditebar oleh tangannya yang bercahaya,
Di padang berangin yang terang gemerlap
Bunga-bunga perakmu meliuk berdansa!

Oh Elbereth! Gilthoniel!
kami masih ingat, kami yang tinggal
Di negeri jauh di bawah pepohonan rapat,
Cahaya bintangmu di atas Samudra Barat.

Lagu itu berakhir. "Mereka itu Peri-Peri Bangsawan! Mereka menyebut nama Elbereth!" kata Frodo heran. "Jarang sekali kaum Peri tertinggi itu terlihat di Shire. Tak banyak yang tersisa di Dunia Tengah, sebelah timur Samudra Besar. Ini benar-benar suatu kebetulan aneh!"
Hobbit-hobbit itu duduk dalam bayang-bayang di tepi jalan. Tak lama kemudian, para Peri datang melewati jalan, menuju lembah. Mereka lewat sangat perlahan, dan para hobbit bisa melihat cahaya bintang berkilauan di atas rambut mereka dan di dalam mata mereka. Mereka tidak membawa lampu, namun saat mereka berjalan, suatu cahaya gemerlap seolah jatuh di sekitar kaki mereka, seperti sinar bulan yang sedang terbit di atas punggung bukit. Mereka sekarang diam, dan ketika Peri terakhir lewat, la menoleh memandang para hobbit, dan tertawa.
"Hidup, Frodo!" serunya. "Kau masih di luar, malam-malam begini. Atau kau tersesat?" Lalu la memanggil yang lain dengan nyaring, dan seluruh rombongan berhenti dan berkumpul.
"Ini benar-benar ajaib!" kata mereka. "Tiga hobbit di hutan, di malam hari! Kami belum pernah menyaksikan hal seperti ini sejak Bilbo pergi. Apa artinya ini?"
"Artinya," kata Frodo, "kelihatannya kami berjalan searah dengan kalian. Aku senang berjalan di bawah bintang-bintang. Tapi aku akan lebih senang bila didampingi rombonganmu."
"Tapi kami tidak butuh didampingi, lagi pula hobbit-hobbit menjemukan sekali," tawa mereka. "Selain itu, bagaimana kau tahu kami juga menuju arah yang sama denganmu? Kau tidak tahu ke mana kami akan pergi."
"Dan bagaimana kau tahu namaku?" Frodo balik bertanya.
"Kami tahu banyak hal," kata mereka. "Kami sering melihatmu bersama Bilbo sebelum ini, meski kau belum tentu melihat kami."
"Siapa kau, dan siapa rajamu?" tanya Frodo.
"Aku Gildor," jawab pemimpin mereka, Peri yang pertama memanggilnya. "Gildor Inglorion dan Rumah Finrod. Kami Orang Buangan, dan kebanyakan bangsa kami sudah pergi lama sekali. Kami pun hanya sementara berlama-lama di sini, sebelum kembali menyeberangi Samudra Besar. Tetapi beberapa saudara kami masih tinggal dalam damai di Rivendell. Ayo, Frodo, ceritakan pada kami, apa yang sedang kaulakukan? Karena kami melihat bayangan ketakutan menyelimuti kalian."
"Oh, Orang-Orang Bijak!" sela Pippin dengan bergairah. "Ceritakan pada kami tentang para Penunggang Hitam!"
"Penunggang Hitam?" mereka berkata dengan suara berbisik. "Mengapa kau bertanya tentang Penunggang Hitam?"
"Karena dua Penunggang Hitam menyusul kami hari ini, atau satu penunggang melakukan itu dua kali," kata Pippin, "baru saja dia pergi, ketika kalian mendekat."
Para Peri tidak langsung menjawab, tetapi berbicara di antara mereka sendiri dengan pelan-pelan, dalam bahasa mereka. Akhirnya Gildor berbicara kepada para hobbit. "Kami tidak akan membicarakannya di sini," katanya. "Menurut kami, sebaiknya kalian ikut kami sekarang. Ini bukan kebiasaan kami, tapi untuk kali ini kami akan membawa kalian dalam perjalanan kami, dan kalian akan tidur bersama kami malam ini, kalau kalian mau."
"Oh, Bangsa Elok! Ini sungguh keberuntungan tak terduga," kata Pippin. Sam tak mampu berbicara.
"Aku berterima kasih padamu, Gildor Inglorion," kata Frodo sambil membungkuk. "Elen sila lumenn' ornentielvo, sebuah bintang bersinar pada jam pertemuan kita," tambahnya dalam bahasa tinggi kaum Peri.
"Hati-hati, teman-teman!" seru Gildor sambil tertawa. "Jangan bicarakan hal-hal rahasia! Dia mengerti Bahasa Kuno. Bilbo memang guru yang balk. Hidup, sahabat kaum Peri!" katanya, sambil membungkuk di depan Frodo. "Mari, sekarang kau dan kawan-kawanmu bergabung dengan rombonganku! Sebaiknya kalian berjalan di tengah, supaya tidak tersesat. Kau mungkin akan lelah sebelum kami berhenti."
"Mengapa? Ke mana kalian akan pergi?" tanya Frodo.
"Malam ini kami akan ke hutan di bukit-bukit di atas Woodhall. Jaraknya beberapa mil, tapi di akhir perjalanan kalian akan beristirahat, dan ini akan mempersingkat perjalanan kalian besok."
Mereka berjalan lagi dalam keheningan, berlalu bagai bayangan dan cahaya samar-samar: karena para Peri (melebihi kaum hobbit) bisa berjalan tanpa suara atau bunyi langkah kaki, bila mereka mau. Pippin segera merasa mengantuk, dan terhuyung-huyung sekali-dua kali; tapi seorang Peri jangkung di sampingnya selalu mengulurkan tangan dan menyelamatkannya agar tidak jatuh. Sam berjalan di sisi Frodo, seolah dalam mimpi, dengan ekspresi setengah ketakutan dan setengah gembira, penuh keheranan.
Hutan-hutan di kedua sisi semakin rapat; pohon-pohon lebih muda dan tebal; jalanan pun semakin menurun, masuk ke sebuah lipatan perbukitan, dengan banyak sekali tanah rendah bersemak hazel di tebing-tebing di kedua sisinya. Akhirnya para Peri membelok dari jalan. Suatu jalur hijau untuk berkuda terbentang hampir tak kelihatan di antara semak-semak di sebelah kanan; mereka mengikuti jalur ini, yang membelok naik ke tebing berhutan, sampai ke puncak bahu bukit yang menonjol di dataran rendah dari lembah sungai. Mendadak mereka keluar dari bawah bayang-bayang pohon, dan di depan mereka terhampar padang rumput luas, kelabu di bawah langit malam. Padang rumput itu diapit hutan di ketiga sisinya; tetapi di sebelah timur, tanah menurun curam, dan di bawah kaki mereka tampak puncak-puncak pohon gelap yang tumbuh di dasar lembah. Di seberang, dataran rendah terhampar samar-samar dan rata di bawah bintang-bintang. Lebih dekat dengan mereka, beberapa lampu berkelap-kelip di desa Woodhall.
Para Peri duduk di rumput dan bercakap-cakap perlahan; mereka seolah tidak memperhatikan para hobbit lagi. Frodo dan teman-temannya membungkus diri dengan mantel dan selimut, dan mereka langsung mengantuk. Malam berlanjut, dan cahaya-cahaya di lembah mulai padam. Pippin tertidur, berbantalkan bukit kecil hijau.
Jauh di Timur tergantung Remmirath, Bintang Jala, dan perlahan di atas kabut, Borgil merah terbit, menyala bagai berlian api. Lalu seembus udara menyingkap seluruh kabut itu, bagai menyibakkan kerudung, dan di sana Ksatria Pedang Langit bersandar, merayap perlahan memanjat ujung dunia-Menelvagor dengan ikat pinggangnya yang kemilau.- Para Peri mulai bernyanyi. Tiba-tiba di bawah pepohonan muncul nyala api dengan cahaya merah.
"Mari!" para Peri memanggil hobbit-hobbit. "Mari! Sekarang saatnya mengobrol dan bersuka ria!"
Pippin bangkit duduk dan menggosok matanya. Ia menggigil. "Ada api di balairung, dan makanan untuk tamu yang lapar," kata seorang Peri yang berdiri di depannya.
Di ujung selatan padang rumput itu ada tempat terbuka. Di sana hamparan rumput hijau berlanjut ke dalam hutan, membentuk ruangan luas seperti balairung, beratapkan cabang-cabang pohon. Batang-batang pohon tegak bagaikan tiang di kedua sisinya. Di tengah ada api unggun menyala, dan di atas tiang-tiang pohon, obor-obor bercahaya emas dan perak menyala tenang. Peri-peri duduk mengelilingi api, di rumput atau di tunggul-tunggul kayu pohon tua yang digergaji. Beberapa berjalan kian kemari, membawa cangkir dan menuangkan minuman; yang lain membawa makanan di piring-piring dan nampan-nampan.
"Makanan ini hanya sekadarnya," kata mereka kepada para hobbit, "karena kita menginap di hutan kayu, jauh dari balairung-balairung kami. Kalausuatu waktu kalian menjadi tamu di rumah kami, kami akan menghidangkan yang lebih baik."
"Ini pun sudah cukup meriah, seperti pesta ulang tahun," kata Frodo.
Setelahnya Pippin hanya ingat sedikit sekali tentang makanan dan minuman yang dihidangkan, karena pikirannya dipenuhi cahaya pada wajah kaum peri, serta suara-suara yang begitu beragam dan indah, yang membuatnya merasa bak bermimpi dalam keadaan terjaga. Tapi ia ingat ada roti yang rasanya melebihi kelezatan roti tawar putih bagi orang yang hampir mati kelaparan; buah-buahan semanis buah berry liar, dan lebih kaya daripada buah-buahan yang dirawat di kebun-kebun; ia menghabiskan secangkir cairan wangi yang sejuk bagai air mancur jernih, dan keemasan bagai siang musim panas.
Sam tak pernah bisa menjelaskan dengan kata-kata, maupun menggambarkan kepada dirinya sendiri, apa yang dirasakan atau dipikirkannya malam itu, meski peristiwa itu terpatri dalam ingatannya sebagai salah satu kejadian besar dalam hidupnya. Paling-paling ia hanya bisa mengatakan, "Wah, Sir, kalau aku bisa menumbuhkan apel seperti itu, baru aku akan menyebut diriku tukang kebun. Tapi sebenarnya nyanyiannya yang menyentuh hatiku, kalau Anda paham maksudku."
Frodo duduk, makan, minum, dan bercakap-cakap dengan riang; namun pikirannya terutama tertuju kepada kata-kata yang diucapkan. Ia tahu sedikit bahasa Peri, dan ia mendengarkan dengan penuh gairah. Sesekali ia berbicara pada mereka yang melayaninya, dan mengucapkan terima kasih dalam bahasa mereka. Mereka tersenyum kepadanya dan sambil tertawa berkata, "Ini dia permata di antara para hobbit."
Setelah beberapa saat, Pippin tertidur; ia diangkat dan dibawa ke sebuah punjung di bawah pepohonan; di sana ia diletakkan di ranjang empuk, dan ia tidur sepanjang malam. Sam menolak meninggalkan majikannya. Ketika Pippin sudah-pergi, ia datang dan duduk meringkuk dekat kaki Frodo, di mana akhirnya ia mengangguk-angguk dan memejamkan matanya. Frodo masih lama terjaga sambil bercakap-cakap dengan Gildor.
Mereka membicarakan banyak hat, lama dan baru, dan Frodo banyak bertanya pada Gildor tentang kejadian-kejadian di dunia luas di luar Shire. Berita-beritanya kebanyakan sedih dan mengancam: tentang kegelapan yang semakin meluas, perang-perang Manusia, dan pelarian kaum Peri. Akhirnya Frodo mengajukan pertanyaan yang paling dekat di hatinya,
"Katakan, Gildor, apa kau pernah bertemu Bilbo sejak dia meninggalkan kami?"
Gildor tersenyum. "Ya," jawabnya. "Dua kali. Dia berpamitan dengan kami, persis di tempat ini. Tapi aku bertemu lagi dengannya. satu kali, jauh dari sini." ia tak mau mengatakan lebih banyak tentang Bilbo, dan Frodo terdiam.
"Kau tidak banyak bertanya atau bercerita tentang hal-hal yang menyangkut dirimu sendiri, Frodo," kata Gildor. "Tapi aku sudah tahu sedikit, dan aku bisa membaca lebih banyak di wajahmu, dan dalam apa yang tersirat di balik pertanyaan-pertanyaanmu. Kau meninggalkan Shire, tapi kau ragu akan menemukan apa yang kaucari, atau berhasil melakukan niatmu, atau apakah kau akan pernah kembali. Bukankah begitu?"
"Memang," kata Frodo, "tapi kusangka kepergianku adalah rahasia yang hanya diketahui Gandalf dan Sam yang setia." ia memandang Sam yang mendengkur pelan.
"Rahasia ini tidak akan sampai ke telinga Musuh melalui kami," kata Gildor.
"Musuh?" kata Frodo. "Kalau begitu, kau tahu mengapa aku meninggalkan Shire?"
"Aku tidak tahu alasan Musuh mengejarmu," jawab Gildor, "tapi aku merasa memang itulah yang terjadi-meski ini terasa aneh bagiku. Aku ingin memperingatkanmu bahwa bahaya ada di depan maupun di belakangmu, dan di kedua sisi."
"Maksudmu para Penunggang itu? Aku sudah cemas bahwa mereka adalah pengabdi Musuh. Siapa sebenarnya para Penunggang Hitam itu?"
"Apakah Gandalf tidak menceritakan apa pun padamu?"
"Tidak tentang makhluk semacam itu."
"Kalau begitu, tidak pada tempatnya kalau aku mengatakan lebih banyak jangan-jangan nanti perasaan takut membuatmu tidak berani melanjutkan perjalanan. Menurutku kau berangkat tepat pada waktunya, kalau bisa dikatakan belum terlambat. Sekarang kau hams bergegas, dan jangan tinggal atau kembali; karena Shire bukan lagi tempat perlindungan yang aman bagimu."
"Tak bisa kubayangkan penjelasan apa lagi yang lebih mengerikan daripada petunjuk-petunjuk dan peringatanmu," seru Frodo. "Aku tahu ada bahaya di depanku, tapi aku tak menduga akan menemukannya di dalam Shire kami sendiri. Tak bisakah seorang hobbit berjalan dari Air ke Sungai dengan tenteram?"
"Tapi ini bukan Shire-mu sendiri," kata Gildor. "Ada makhluk-makhluk lain yang tinggal di sini sebelum hobbit; dan makhluk-makhluk lain pula yang akan menetap di sini kalau hobbit sudah musnah. Dunia luas terbentang di sekitarmu: kau bisa memagari dirimu, tapi kau tak bisa selamanya menahan dunia di luar."
"Aku tahu-tapi selama ini Shire selalu terasa aman dan akrab.
Apa yang bisa kulakukan sekarang? Rencanaku adalah meninggalkan Shire diam-diam, dan pergi ke Rivendell; tapi sekarang langkahku mantap, bahkan sebelum aku sampai di Buckland."
"Kupikir kau harus tetap mengikuti rencanamu," kata Gildor. "Menurutku Jalan ini tidak akan terlalu sulit untuk keberanianmu. Tapi kalau kau mengharapkan nasihat lebih jelas, kau harus bertanya pada Gandalf. Aku tidak tahu alasan pelarianmu, karena itu aku tidak tahu dengan cara apa pengejarmu akan menyerangmu. Gandalf pasti tahu hal-hal ini. Kurasa kau akan bertemu dengannya sebelum meninggalkan Shire?"
"Kuharap begitu. Tapi aku cemas. Aku sudah berhari-hari menunggu Gandalf. Seharusnya dia datang ke Hobbiton paling lambat dua malam yang lalu; tapi dia sama sekali tidak muncul. Sekarang aku bertanya-tanya, apa yang terjadi. Haruskah aku menunggunya'?"
Gildor diam sejenak. "Aku tidak senang mendengar ini," akhirnya ia berkata. "Keterlambatan Gandalf itu pertanda kurang baik. Tapi kata pepatah: jangan mencampuri urusan para Penyihir, karena mereka halus dan cepat marah. Pilihannya ada padamu: pergi atau menunggu."
"Ada pepatah lain," jawab Frodo, "Jangan minta nasihat pada kaum Peri, karena mereka akan mengatakan ya maupun tidak."
"Begitukah?" tawa Gildor. "Kaum Peri jarang memberikan nasihat begitu saja, karena nasihat adalah pemberian berbahaya, walau datangnya dari yang bijak dan untuk yang bijak pula; salah-salah segala sesuatunya bisa berakibat buruk. Tapi apa yang kauinginkan? Kau belum banyak bercerita tentang dirimu sendiri, jadi bagaimana aku bisa memilih lebih baik daripadamu? Tapi kalau kau meminta nasihat, demi persahabatan aku akan memberikannya. Menurutku kau harus pergi sekarang juga, tanpa ditunda; dan kalau Gandalf tidak datang sebelum kau berangkat, maka kusarankan jangan pergi sendirian. Bawalah teman-teman yang bersedia ikut dan bisa dipercaya. Sekarang kau hams bersyukur, karena aku tidak memberikan nasihat ini dengan senang hati. Kaum Peri punya pekerjaan dan masalah sendiri, dan mereka tak peduli dengan kehidupan kaum hobbit atau makhluk-makhluk lain di bumi. Jalan kami jarang bersilangan dengan Plan mereka, baik secara kebetulan atau sengaja. Pertemuan kita ini mungkin bukan sekadar kebetulan, tapi tujuannya tidak jelas untukku, dan aku takut bicara terlalu banyak."
"Aku sangat bersyukur," kata Frodo, "tapi aku berharap kau mau mengatakan padaku, siapa sebenarnya Penunggang Hitam itu. Kalau aku menuruti nasihatmu, mungkin untuk waktu lama aku tidak akan bertemu Gandalf, dan aku perlu tahu bahaya apa yang mengejarku."
"Tidak cukupkah mengetahui bahwa mereka adalah pengabdi Musuh?" jawab Gildor. "Larilah dari mereka! Jangan bicara dengan mereka! Mereka mematikan. Jangan tanya lebih banyak padaku! Tapi aku punya firasat bahwa, sebelum semuanya berakhir, kau, Frodo putra Drogo, akan mengetahui lebih banyak tentang hal-hal jahat ini daripada Gildor Inglorion. Semoga Elbereth melindungimu!"
"Tapi di mana aku harus menemukan keberanian itu?" tanya Frodo. "Itu yang terutama kubutuhkan."
"Keberanian bisa ditemukan di tempat-tempat tak terduga," kata Gildor. "Berharaplah! Sekarang tidurlah! Besok pagi kami sudah akan pergi; tapi kami akan mengirimkan pesan-pesan ke seluruh pelosok negeri. Rombongan Pengembara akan tahu tentang perjalananmu, dan mereka yang memiliki kekuatan untuk kebaikan akan berjaga-jaga. Akan kusebut kau sahabat Peri; semoga bintang-bintang bersinar pada ujung jalanmu! Jarang kami begitu senang bertemu orang asing, dan indah sekali mendengar kata-kata Bahasa Kuno itu dari bibir para pengembara lain di dunia."
Frodo mulai mengantuk, sementara Gildor baru selesai berbicara. "Aku akan tidur sekarang," katanya. Peri itu menuntunnya ke sebuah punjung di sebelah Pippin. Frodo mengempaskan tubuh ke sebuah ranjang, dan langsung tertidur lelap tanpa mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar