Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Minggu, 06 Februari 2011

The Lord of The Ring (book 2)

Book 1
Book 2:
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10

Untuk buku 3 sampai buku 6, download saja DISINI, hehe, melelahkan kalau harus copy paste ke blog, mending langsung baca aja dari notepad :)

Book 2 - Bab 10

PERPECAHAN

Aragorn menuntun mereka ke cabang kanan Sungai. Di sini, di sisi baratnya, di bawah bayangan Tol Brandir, padang rumput hijau menghampar sampai ke tepi sungai dari kaki Amon Hen. Di belakangnya muncul lereng-lereng pertama bukit yang mendaki lembut, ditumbuhi pepohonan, dan pepohonan berbaris terus ke arah barat, sepanjang pantai sungai yang melengkung. Mata air kecil mengucur ke bawah, membasahi rumput.
"Di sini kita akan istirahat malam ini," kata Aragorn. "Ini halaman Parth Galen: tempat indah di musim panas zaman dulu. Mudah-mudahan kejahatan belum sampai ke sini."
Mereka menaikkan perahu-perahu ke tebing hijau, dan di sampingnya mereka menyiapkan perkemahan. Mereka berjaga bergantian, tapi tidak melihat maupun mendengar tanda-tanda kehadiran musuh. Seandainya Gollum berhasil mengikuti mereka, ia tetap tidak tampak dan tidak terdengar. Meski begitu, ketika malam semakin larut, Aragorn menjadi resah, banyak bergerak dalam tidurnya, dan sering terbangun. Pagi-pagi buta ia bangun dan mendatangi Frodo yang sedang giliran berjaga.
"Kenapa kau bangun?" tanya Frodo. "Bukan giliranmu jaga."
"Aku tidak tahu," jawab Aragorn, "tapi sebuah bayangan dan ancaman berkembang dalam tidurku. Sebaiknya kau menghunus pedangmu."
"Mengapa?" tanya Frodo. "Apa ada musuh di dekat kita?"
"Coba kita lihat, apa yang ditunjukkan Sting," jawab Aragorn. Frodo menghunus pedang Peri-nya dari sarungnya. Dengan cemas ia melihat tepi-tepinya bersinar redup dalam gelap. "Orc!" katanya.
"Tidak begitu dekat, tapi cukup dekat, rupanya."
"Sudah kukhawatirkan," kata Aragorn. "Tapi mungkin mereka bukan di sisi Sungai sebelah sini. Cahaya Sting redup, dan mungkin juga hanya menunjukkan mata-mata Mordor yang berkeliaran di lereng Amon Lhaw. Aku belum pernah mendengar tentang Orc di atas Amon Hen. Tapi siapa tahu apa yang bisa terjadi di masa buruk seperti sekarang, setelah Minas Tirith tidak lagi mengamankan jalan melalui Anduin. Kita harus berjalan hati-hati sekarang."

Pagi hari datang seperti api dan asap. Di Timur, kerumunan hitam awan-awan rendah menggantung bagaikan asap kebakaran besar. Matahari yang terbit menerangi awan-awan dari bawah dengan lidah api merah suram; tapi tak lama kemudian matahari naik ke atas mereka, ke langit yang jernih. Puncak Tol Brandir berlapis emas. Frodo memandang ke timur dan menatap pulau tinggi itu. Sisi-sisinya muncul dengan curam dari dalam air yang mengalir. Jauh di atas batu karang tinggi terdapat lereng-lereng yang didaki pepohonan, kepala demi kepala tersusun ke atas; dan di atasnya lagi wajah-wajah bebatuan kelabu yang tak bisa ditundukkan, dimahkotai puncak menara dari batu. Banyak burung terbang berputar-putar di atasnya, tapi tak ada tanda-tanda makhluk hidup lain.
Ketika mereka sudah makan, Aragorn memanggil semuanya berkumpul. "Hari ini tiba juga akhirnya," katanya. "Hari untuk membuat pilihan yang sudah lama kita tunda. Apa yang akan terjadi dengan Rombongan kita yang sudah berjalan bersama sejauh ini? Apakah kita akan pergi ke barat bersama Boromir dan menyongsong perang di Gondor, atau pergi ke timur, menuju Ketakutan dan Bayangan; ataukah kita akan memutuskan persekutuan dan pergi sesuai pilihan masing-masing? Apa pun yang akan kita lakukan, harus secepatnya dilakukan. Kita tak bisa berhenti lama di sini. Musuh ada di pantai timur, kita tahu itu; tapi aku cemas bahwa Orc sudah berada di sisi sungai sebelah sini."
Keheningan lama berlangsung, tak ada yang berbicara atau bergerak.
"Well, Frodo," kata Aragorn akhirnya. "Kurasa beban berada di pundakmu. Kaulah Pembawa Cincin yang ditunjuk Dewan Penasihat. Hanya kau yang bisa memilih jalanmu sendiri. Dalam hal ini, aku tak bisa memberimu saran. Aku bukan Gandalf, dan meski aku mencoba memerankan bagiannya, aku tidak tahu rencana atau harapan apa yang dimilikinya saat ini, seandainya ada. Tampaknya kalaupun dia ada di sini, kemungkinan terbesar pilihan tetap tergantung padamu. Begitulah nasibmu."
Frodo tidak langsung menjawab. Kemudian ia berbicara dengan lambat, "Aku tahu sekarang dibutuhkan kecepatan, tapi aku masih belum bisa memilih. Beban ini berat sekali. Berilah aku satu jam lagi, dan aku akan berbicara. Biarkan aku sendirian!"
Aragorn memandangnya dengan perasaan iba. "Baiklah, Frodo putra Drogo," katanya. "Kau akan mendapat satu jam untuk sendirian. Kami akan tetap di sini untuk beberapa saat. Tapi jangan pergi jauh atau di luar jarak panggil."
Frodo duduk sebentar dengan kepala tertunduk. Sam yang memperhatikan majikannya dengan saksama, menggelengkan kepala dan menggerutu, "Sudah jelas seperti tongkat lembing, tapi tidak baik kalau Sam Gamgee angkat bicara sekarang ini."
Tak lama kemudian, Frodo bangkit berdiri dan berjalan menjauh; Sam melihat bahwa sementara yang lain menahan diri dan tidak memandangnya, mata Boromir mengikuti Frodo dengan tajam, sampai ia hilang dari pandangan, di pepohonan di kaki Amon Hen.

Frodo, yang mula-mula mengembara tanpa tujuan di hutan, menyadari kakinya mengantarnya menuju lereng bukit. Ia sampai ke sebuah jalan setapak, reruntuhan yang semakin menyusut dari sebuah jalan di zaman dulu. Di tempat-tempat terjal sudah dipahat tangga batu, tapi kini mereka sudah retak dan usang, dan terbelah oleh akar-akar pepohonan. Untuk beberapa saat Frodo mendaki, tak peduli ke arah mana ia berjalan, sampai ia tiba di sebuah tempat berumput. Pohon-pohon rowan tumbuh di sekitarnya, dan di tengahnya ada batu lebar dan datar. Halaman dataran tinggi kecil itu terbuka di sisi Timur, dan sekarang terisi matahari pagi. Frodo berhenti dan memandang ke atas Sungai, jauh di bawahnya, ke arah Tol Brandir dan burung-burung yang terbang berputar-putar di jurang udara besar, di antara dirinya dengan pulau yang tak pernah diinjak. Bunyi Rauros menderum hebat, berbaur dengan dentuman berdenyut keras.
Frodo duduk di atas batu itu, bertopang dagu dengan dua tangan, sambil menatap ke arah timur, tapi tatapannya nyaris kosong. Semua yang sudah terjadi sejak Bilbo meninggalkan Shire melintas dalam benaknya, dan ia mengingat kembali serta merenungi semua yang bisa diingatnya dari perkataan Gandalf. Waktu berlalu, dan ia masih belum bisa memilih.
Mendadak ia tersentak dari renungannya: ada perasaan aneh bahwa sesuatu tengah mengintai di belakangnya, bahwa ada mata yang tidak ramah menatapnya. Ia melompat berdiri dan membalikkan badan; tapi dengan heran ia melihat hanya ada Boromir yang tersenyum ramah.
"Aku mengkhawatirkan kau, Frodo," katanya, melangkah maju. "Kalau Aragorn benar dan Orc sudah dekat, maka tidak boleh ada di antara kita yang berjalan sendirian, terutama kau: banyak sekali yang tergantung padamu. Di mana banyak orang, pembicaraan menjadi debat tanpa akhir. Tapi dua bersama mungkin bisa menemukan kebijakan."
"Kau baik hati," jawab Frodo. "Tapi kurasa tidak ada pembicaraan yang bisa membantuku. Karena aku tahu apa yang harus kulakukan, tapi aku takut melakukannya, Boromir. Takut."
Boromir berdiri diam. Rauros menderum tak henti-henti. Angin berbisik di dahan-dahan pohon. Frodo menggigil.
Tiba-tiba Boromir mendekat dan duduk di sampingnya. "Apa kau yakin kau tidak menderita sia-sia?" katanya. "Aku ingin menolongmu. Kau butuh saran dalam pilihanmu yang sulit. Tidakkah kau mau menerima saranku?"
"Rasanya aku sudah tahu saran apa yang akan kauberikan padaku, Boromir," kata Frodo. "Dan saranmu akan kedengaran bijak, kalau saja hatiku tidak memperingatkan lain."
"Peringatan? Peringatan terhadap apa?" kata Boromir tajam.
"Terhadap penundaan. Terhadap jalan yang tampak lebih mudah. Terhadap penolakan beban yang diberikan padaku. Terhadap... well, kalau perlu diungkapkan, terhadap kepercayaan atas kekuatan dan kebenaran Manusia."
"Meski begitu, kekuatan itu sudah lama melindungimu jauh di sana, di negerimu yang kecil, meski kau tidak tahu."
"Aku tidak meragukan keberanian bangsamu. Tapi dunia sedang berubah. Tembok-tembok Minas Tirith mungkin kelihatan kokoh, tapi tidak cukup kokoh. Kalau mereka jatuh, lalu bagaimana?"
"Kita semua akan jatuh dalam pertempuran gagah berani. Tapi masih ada harapan bahwa mereka tidak akan gagal."
"Tidak ada harapan selama Cincin itu masih utuh," kata Frodo.
"Ah! Cincin!" kata Boromir, matanya berbinar. "Cincin! Bukankah suatu takdir aneh, bahwa kita harus menderita begitu banyak ketakutan dan keraguan, hanya demi benda kecil semacam itu? Benda sekecil itu! Dan aku hanya melihatnya sekilas di Rumah Elrond. Apakah aku bisa melihatnya lagi?"
Frodo menengadah. Hatinya tiba-tiba menjadi dingin. Ia menangkap sinar aneh dalam mata Boromir, meski wajahnya masih ramah dan bersahabat. "Sebaiknya dia tetap tersembunyi," jawab Frodo.
"Terserah. Aku tidak peduli," kata Boromir. "Tapi apakah aku tidak boleh hanya membicarakannya? Karena kau selalu hanya memikirkan kekuatannya di tangan Musuh: tentang kegunaannya yang jahat, bukan yang baik. Dunia sedang berubah, katamu. Minas Tirith akan jatuh, kalau Cincin itu tetap utuh. Tapi mengapa? Memang akan begitu kalau Cincin ada di tangan Musuh. Tapi bagaimana kalau Cincin itu ada di tangan kita?"
"Bukankah kau juga ikut Rapat Akbar?" jawab Frodo. "Kita tak bisa menggunakan Cincin itu, dan apa yang dilakukan dengannya berubah menjadi jahat."
Boromir bangkit berdiri dan mondar-mandir tak sabar. "Begitu terus kau bicara," serunya. "Gandalf, Elrond-semua orang ini sudah mengajarimu berkata begitu. Mungkin untuk diri mereka sendiri mereka benar. Peri-peri dan separuh Peri serta penyihir mungkin akan bernasib jelek. Tapi sering aku meragukan, apakah mereka memang bijak atau sebenarnya hanya tidak berani. Tapi biarlah masing-masing apa adanya. Manusia berhati sejati, mereka tidak akan curang. Kami dari Minas Tirith setia selama tahun-tahun panjang pencobaan. Kami tidak menginginkan kekuatan raja penyihir, kami hanya ingin kekuatan untuk membela diri sendiri, kekuatan untuk perkara yang adil. Dan lihatlah! Dalam keadaan membutuhkan, kesempatan memunculkan Cincin Kekuasaan. Itu suatu hadiah, kataku; hadiah kepada musuh-musuh Mordor. Gila kalau tidak memanfaatkannya, memanfaatkan kekuatan Musuh untuk melawannya. Yang berani, yang kejam, hanya mereka yang akan memperoleh kemenangan. Apa yang tidak bisa dilakukan pejuang di saat seperti ini, seorang pemimpin besar? Apa yang tidak bisa dilakukan Aragorn? Atau kalau dia menolak, mengapa bukan Boromir? Cincin itu akan memberiku kekuatan Perintah. Aku akan mengusir pasukan-pasukan Mordor, dan semua manusia akan datang berduyun-duyun ke panji-panjiku!"
Boromir melangkah mondar-mandir, berbicara semakin keras. Seolah ia hampir lupa pada Frodo, sementara pembicaraannya melantur tentang tembok dan senjata, dan pengerahan manusia; ia menjabarkan rencana-rencana untuk persekutuan besar serta kemenangan hebat yang akan terwujud; ia akan menjatuhkan Mordor, dan ia sendiri menjadi raja yang hebat, baik, dan bijak. Mendadak ia berhenti dan mengibaskan tangannya.
"Dan mereka menyuruh kita membuang Cincin itu!" serunya. "Aku tidak mengatakan menghancacrkannya. Itu mungkin baik, kalau akal sehat bisa menunjukkan manfaatnya melakukan hal itu. Tapi tidak. Rencana satu-satunya yang disarankan pada kita adalah membiarkanmu masuk membabi buta ke dalam Mordor, dan menawarkan Musuh semua kesempatan untuk mengambilnya kembali. Bodoh!"
"Pasti kau melihat itu, kawanku," kata Boromir, tiba-tiba berbicara pada Frodo lagi. "Katamu kau takut. Kalau memang begitu, orang yang paling berani perlu memaafkanmu. Tapi bukankah sebenarnya akal sehatmu yang melawan?" "Tidak, aku takut," kata Frodo. "Hanya takut. Tapi aku senang mendengarmu berbicara terus terang. Sekarang pikiranku sudah terang."
"Kalau begitu, kau akan datang ke Minas Tirith untuk beberapa waktu?" Boromir mendesak. "Kotaku sekarang tidak jauh lagi; dan dari sana jaraknya tinggal sedikit, daripada dari sini ke Mordor. Kita sudah lama berada di belantara, dan kau perlu berita tentang Musuh sebelum bergerak. Ikutlah bersamaku, Frodo," kata Boromir. "Kau perlu istirahat sebelum meneruskan perjalanan, kalau kau harus pergi." ia meletakkan tangannya ke atas pundak hobbit itu dengan sikap bersahabat; tapi Frodo merasa tangan itu gemetar dengan gairah yang ditahan. Ia mundur cepat, dan menatap dengan cemas Manusia tinggi itu, hampir dua kali tingginya dan berlipat ganda tandingannya dalam kekuatan.
"Mengapa kau begitu tidak ramah?" kata Boromir. "Aku manusia sejati, bukan maling atau pemburu. Aku membutuhkan Cincin-mu: kau tahu itu sekarang; tapi aku bersumpah aku tidak berhasrat menyimpannya. Setidaknya bisakah kau membiarkan aku mencoba rencanaku? Pinjamkan aku Cincin itu!"
"Tidak! Tidak!" teriak Frodo. "Dewan Penasihat menyuruhku menjadi pembawanya."
"Karena kebodohan kita sendiri Musuh akan mengalahkan kita," seru Boromir. "Itu membuatku marah! Bodoh! Bodoh dan keras kepala! Sengaja lari menyongsong kematian dan menghancurkan tujuan kita. Kalau ada makhluk hidup yang berhak atas Cincin itu, maka manusia Numenor-lah yang berhak, bukan hobbit. Cincin itu bukan milikmu, kecuali karena suatu kebetulan yang buruk. Mestinya bisa jadi milikku. Seharusnya jadi milikku. Berikan padaku!"
Frodo tidak menjawab, tapi bergerak menjauh sampai mereka dibatasi oleh sebuah batu datar besar. "Ayo, ayo, kawanku!" kata Boromir dengan suara lebih lembut. "Kenapa tidak kaulepaskan saja? Kenapa tidak kaubebaskan dirimu dari keraguan dan ketakutan? Kau bisa menyalahkan aku, kalau mau. Kau bisa bilang aku terlalu kuat, dan bahwa aku mengambil Cincin itu dengan paksa. Karena aku memang terlalu kuat untukmu, hobbit," teriak Boromir; mendadak ia meloncati batu itu dan melompat ke arah Frodo. Wajahnya yang elok dan menyenangkan berubah menyeramkan; api berkobar di matanya.
Frodo mengelak ke samping, sekali lagi membuat batu berada di antara mereka. Hanya satu hal yang bisa dilakukannya: dengan gemetar ia mengeluarkan Cincin pada rantainya, dan dengan cepat mengalungkannya ke jarinya, tepat ketika Boromir melompat lagi ke arahnya. Boromir menarik napas kaget, memandang heran beberapa saat lamanya, kemudian berlari ke sana kemari, mencari di mana-mana di antara bebatuan dan pepohonan.
"Penipu jelek!" teriaknya. "Aku akan menangkapmu! Sekarang aku tahu pikiranmu. Kau akan membawa Cincin itu ke Sauron dan menjual kita semua. Kau hanya menunggu kesempatan untuk meninggalkan kami dalam kesulitan. Terkutuklah kau dan semua hobbit. Biar kalian mati dalam kegelapan!" Lalu ia tersandung sebuah batu, dan jatuh tertelungkup. Sejenak ia diam, seolah dihantam oleh kutukannya sendiri; lalu tiba-tiba ia menangis.
Ia bangkit dan menyapukan tangan ke matanya, menyeka air mata. "Apa yang sudah kukatakan?" serunya. "Apa yang sudah kulakukan? Frodo, Frodo!" ia memanggil. "Kembalilah! Aku sempat lupa diri tadi, tapi itu sudah berlalu. Kembalilah!"

Tidak ada jawaban. Frodo bahkan tidak mendengar teriakan Boromir. Ia sudah jauh sekali, melompat membabi buta, mendaki jalan sampai ke puncak bukit. Teror dan kesedihan menggetarkan hatinya, dalam benaknya ia melihat wajah Boromir yang garang dan gila, dan matanya yang membara.
Tak lama kemudian, ia muncul sendirian di puncak Amon Hen, dan berhenti, terengah-engah. Seolah melalui kabut, ia melihat sebuah lingkaran datar yang luas, dilapisi ubin-ubin besar dan dikelilingi tembok rendah yang remuk; dan di tengah, dibangun di atas empat tiang berukir, ada takhta tinggi yang bisa dicapai melalui tangga. Ia naik dan duduk di kursi kuno itu, merasa seperti anak tersesat yang memanjat naik ke takhta raja pegunungan.
Mulanya ia hanya bisa melihat sedikit. Ia seolah berada di dunia kabut, di mana hanya ada bayang-bayang: Cincin itu masih dipakainya. Lalu di sana-sini kabut tersingkap, dan ia melihat banyak pemandangan: kecil dan jelas, seolah ada di bawah matanya, di atas sebuah meja, tap) sekaligus begitu jauh. Tak ada suara, hanya citra-citra hidup yang sangat terang. Dunia seolah menyusut dan terdiam. Ia duduk di Kursi Penglihatan, di Amon Hen, Bukit Mata Orang-Orang Numenor. Ke arah timur ia memandang, ke daratan luas yang belum dipetakan, padang-padang tak bernama, dan hutan-rimba yang belum dijelajahi. Ke Utara ia memandang, dan Sungai Besar menjulur seperti pita di bawahnya, Pegunungan Berkabut berdiri kecil dan keras, seperti gigi yang retak. Ke arah Barat ia menatap, dan melihat padang-padang rumput luas di Rohan; dan Orthanc, puncak menara Isengard, seperti paku hitam. Ke Selatan ia memandang, dan di bawah kakinya Sungai Besar melingkar seperti ombak tumbang dan meloncat ke atas air terjun Rauros, masuk ke dalam sumur berbuih; pelangi bercahaya bermain-main di atas uapnya. Dan ia melihat Ethir Anduin, delta besar Sungai, ribuan burung laut terbang berputar-putar seperti debu putih di bawah sinar matahari, dan di bawah mereka lautan hijau dan perak, beriak-riak tak putus-putus.
Tapi ke mana pun ia memandang, ia melihat tanda-tanda perang. Pegunungan Berkabut merangkak seperti gundukan semut: para Orc keluar dari ribuan lubang. Di bawah cabang-cabang pohon di Mirkwood ada perselisihan maut antara Peri dan Manusia dan hewan-hewan buruk. Negeri bangsa Beorning terbakar; awan menyelimuti Moria; asap naik di perbatasan Lorien.
Pasukan berkuda berderap di rumput Rohan; serigala-serigala keluar dari Isengard. Dari pelabuhan-pelabuhan Harad, kapal-kapal muncul di lautan; dan dari Timur, Manusia bergerak tak henti-hentinya: ahli pedang, ahli tombak, pemanah di atas kuda, kereta-kereta kepala suku, dan kereta penuh muatan. Seluruh kekuatan sang Penguasa Kegelapan sedang bergerak. Lalu memandang ke selatan lagi ia melihat Minas Tirith. Tampak sangat jauh dan indah: bertembok putih, banyak menaranya, gagah dan elok di atas kedudukannya di pegunungan; tembok-tembok bentengnya berkilauan dengan baja, dan menara-menara kecilnya tampak cerah dengan panji-panji. Sebersit harapan merekah di hatinya. Tapi berhadapan dengan Minas Tirith berdiri sebuah benteng lain, lebih besar dan lebih kuat. Tanpa ia sadari matanya tertarik ke arah timur. Melewati reruntuhan jembatan-jembatan Osgiliath, gerbang-gerbang Minas Morgul yang menyeringai, dan wilayah Pegunungan yang dihantui, matanya tertuju pada Gorgoroth, lembah teror di Negeri Mordor. Kegelapan menghampar di sana, di bawah Matahari. Gunung Maut terbakar, dan ban tajam naik. Akhirnya tatapannya terhenti: tembok demi tembok, atap-atap benteng hitam, kuat sekali, gunung besi, gerbang baja, menara kokoh, ia melihatnya: Barad-dur, Benteng Sauron. Semua harapannya sirna.
Tiba-tiba ia merasakan kehadiran sang Mata. Ada mata yang tidak tidur di Menara Kegelapan. Frodo tahu bahwa mata itu sudah menyadari tatapannya. Ada sorot garang dan bergairah di dalamnya. Mata itu melompat ke arahnya; hampir seperti jari, mencarinya. Segera mata itu akan menemukannya, tahu persis di mana dirinya. Mata itu menyentuh Amon Lhaw. Ia melirik Tol Brandir-Frodo melemparkan dirinya dari takhta itu, membungkuk, menutupi kepala dengan kerudungnya yang kelabu.
Ia mendengar suaranya sendiri berteriak, Takkan pernah! Takkan pernah! Atau sebenarnya, Aku 'kan datang, datang kepadamu? ia tidak tahu. Lalu seperti kilatan dari ujung lain kekuatan, timbul pikiran lain dalam benaknya: Lepaskan! Lepaskan! Bodoh, lepaskan! Lepaskan Cincin itu!
Kedua kekuatan itu bertempur dalam dirinya. Untuk sesaat, dalam keseimbangan sempurna antara kedua ujung yang tajam, Frodo menggeliat tersiksa. Mendadak ia menyadari dirinya sudah kembali sendirian. Frodo, tak ada Suara maupun Mata: ia bebas memilih, dan waktunya sangat singkat. Ia melepaskan Cincin dari jarinya. Ia berlutut di bawah sinar matahari terang di depan takhta tinggi. Sebuah bayangan gelap seolah lewat bagaikan lengan, di atasnya; gagal menyentuh Amon Hen dan menggapai ke barat, lalu menghilang. Lalu seluruh langit bersih dan biru, dan burung-burung bernyanyi di setiap pohon.
Frodo bangkit berdiri. Ia merasa sangat lelah, tapi kehendaknya kokoh dan hatinya lebih ringan. Ia berbicara keras-keras pada dirinya sendiri. "Sekarang aku akan melakukan apa yang harus kulakukan," katanya. "Setidaknya satu hal ini sudah jelas: kejahatan Cincin itu sudah bekerja, bahkan di dalam Rombongan kami sendiri, dan Cincin ini harus meninggalkan mereka sebelum menimbulkan kerusakan lebih banyak. Aku akan pergi sendirian. Beberapa orang tak bisa kupercayai, dan mereka yang bisa kupercayai terlalu kusayangi: Sam yang malang, Merry dan Pippin. Strider juga: hatinya merindukan Minas Tirith, dan dia akan dibutuhkan di sana, setelah Boromir jatuh ke dalam kejahatan. Aku akan pergi sendirian. Segera."
Ia melangkah cepat melewati jalan, dan kembali ke halaman tempat Boromir menemukannya. Lalu ia berhenti, mendengarkan. Ia merasa bisa mendengar teriakan dan panggilan dari hutan dekat pantai di bawah.
"Mereka sedang mencariku," katanya. "Aku ingin tahu, berapa lama aku sudah pergi? Berjam-jam, kukira." ia berdiri ragu. "Apa yang bisa kulakukan?" ia menggerutu. "Aku harus pergi sekarang, kalau tidak, aku takkan pernah pergi. Aku tidak akan mendapat kesempatan lagi. Aku tidak suka meninggalkan mereka, begitu saja, tanpa penjelasan. Tapi pasti mereka akan mengerti. Sam akan mengerti. Dan apa lagi yang bisa kulakukan?"
Perlahan-lahan ia mengeluarkan Cincin itu dan memakainya sekali lagi. Ia menghilang dan berjalan menuruni bukit, nyaris seperti desiran angin.

Yang lain tetap di tepi sungai untuk waktu sangat lama. Selama beberapa saat mereka tidak bersuara, sambil bergerak gelisah; tapi sekarang mereka duduk dalam lingkaran, dan berbicara. Sesekali mereka berusaha membicarakan hal lain, tentang perjalanan mereka yang lama dan sekian banyak petualangan; mereka bertanya pada Aragorn tentang wilayah Gondor dan sejarahnya yang kuno, serta sisa-sisa karya besarnya yang masih terlihat di negeri aneh di perbatasan Emyn Mull: raja-raja dari batu dan takhta Lhaw dan Hen, dan Tangga besar di samping air terjun Rauros. Tapi selalu saja pikiran dan percakapan mereka kembali ke Frodo dan Cincin itu. Apa yang akan dipilih Frodo? Mengapa ia ragu?
"Dia sedang mempertimbangkan jalan mana yang paling nekat, kukira," kata Aragorn. "Dan sebaiknya begitu. Sekarang makin mustahil bagi kita untuk pergi ke timur, karena jejak kita sudah tercium Gollum, dan kita perlu khawatir bahwa rahasia perjalanan kita sudah tersingkap. Tapi Minas Tirith masih jauh dari Api dan tugas menghancurkan Cincin itu.
"Kita bisa tinggal di sana untuk sementara, dan bertahan dengan berani; tapi Lord Denethor dan semua anak buahnya tak mungkin bisa melakukan apa yang menurut Elrond sekalipun berada di luar kekuasaannya: entah untuk merahasiakan Cincin itu, atau untuk menahan kekuatan lengkap Musuh saat dia datang untuk mengambilnya. Jalan mana yang akan dipilih salah satu di antara kita, kalau kita ada di tempat Frodo? Aku tidak tahu. Sekarang memang kita sangat kehilangan Gandalf."
"Kehilangan kita sangat menyedihkan," kata Legolas. "Namun begitu, kita harus mengambil keputusan tanpa pertolongannya. Mengapa kita tidak bisa mengambil keputusan, dan dengan demikian membantu Frodo? Kita panggil saja dia, lalu mengambil suara! Aku memilih Minas Tirith."
"Aku juga," kata Gimli. "Memang kita hanya diutus untuk membantu Pembawa Cincin di sepanjang perjalanan, tak perlu pergi lebih jauh daripada yang kita inginkan; dan tidak ada di antara kita yang berada di bawah sumpah atau perintah untuk mencari Gunung Maut. Dengan berat hati aku berpisah dari Lothlorien. Meski begitu, aku sudah berjalan sejauh ini, dan beginilah tekadku: sekarang, saat kita sampai pada pilihan terakhir, sudah jelas bagiku bahwa aku tak bisa meninggalkan Frodo. Aku ingin memilih Minas Tirith, tapi kalau dia tidak ke sana, maka aku akan mengikutinya."
"Aku juga akan mendampinginya," kata Legolas. "Kalau sekarang " berpisah, berarti tidak setia."
"Memang akan menjadi pengkhianatan, kalau kita semua meninggalkannya," kata Aragorn. "Tapi kalau dia pergi ke timur, tidak semua perlu pergi bersamanya. Menurutku itu tidak perlu. Sebab itu langkah nekat, entah yang berangkat delapan orang, tiga orang, dua orang, atau bahkan sendirian. Kalau kalian membolehkan aku memilih, maka aku akan menunjuk tiga pendamping: Sam, yang pasti tidak ta ;r han kalau tidak ikut; Gimli; dan aku sendiri. Boromir akan kembali ke kotanya sendiri, di mana ayahnya dan rakyatnya membutuhkannya, dan bersama dia yang lain harus pergi; atau setidaknya Meriadoc dan Peregrin, kalau Legolas tidak mau meninggalkan kami."
"Tidak bisa!" teriak Merry. "Kami tak bisa meninggalkan Frodo! Pippin dan aku berniat ikut dengannya, ke mana pun dia pergi, sampai sekarang. Tapi kami tidak menyadari apa artinya. Tampaknya be `" gitu berbeda ketika masih jauh di Shire atau di Rivendell. Gila dan kejam sekali kalau membiarkan Frodo pergi ke Mordor. Mengapa kita tak bisa menghentikannya?"
"Kita harus menghentikannya," kata Pippin. "Dan itu yang dia khawatirkan, aku yakin. Dia tahu kita tidak akan setuju dia pergi ke timur. Dan dia tidak mau meminta siapa pun untuk pergi dengannya. Kawanku yang malang. Bayangkan: pergi ke Mordor sendirian!" Pippin menggigil. "Tapi hobbit bodoh itu harus tahu bahwa dia tak perlu meminta. Dia harus tahu bahwa kalau kita tak bisa menghentikannya, kita tidak akan meninggalkannya."
"Maaf," kata Sam. "Kukira kalian tidak memahami majikanku sama sekali. Dia bukan ragu tentang jalan mana yang harus diambil. Tentu saja tidak! Apa manfaat ke Minas Tirith? Bagi dia, maksudku, maaf, Master Boromir," tambahnya, dan menoleh. Saat itulah mereka menyadari bahwa Boromir, yang pada mulanya duduk diam di luar lingkaran, sudah tidak di sana lagi.
"Nah, ke mana dia?" seru Sam, tampak cemas. "Dia agak aneh belakangan ini, menurutku. Tapi bagaimanapun dia tidak terlibat urusan ini. Dia mau pulang, seperti selalu dikatakannya; dan dia tak bisa disalahkan. Tapi Mr. Frodo tahu bahwa dia harus menemukan Celah Ajal, kalau -bisa. Tapi dia takut. Kini, setelah tiba saatnya, dia takut. Itu kesulitannya. Memang dia sudah belajar banyak, bisa dikatakan begitu kita semua juga-sejak kita meninggalkan rumah. Kalau tidak, dia pasti akan sangat takut, dan akan membuang begitu saja Cincin-nya ke dalam Sungai, lalu lari terbirit-birit. Tapi dia masih terlalu ketakutan untuk memulai. Dia juga tidak khawatir tentang kita, entah kita akan menemaninya atau tidak. Dia tahu kita berniat begitu. Itu hal lain yang menyusahkan hatinya. Kalau dia mengumpulkan keberanian untuk pergi, dia akan ingin pergi sendirian. Camkan kata-kataku! Kita akan mendapat masalah kalau dia kembali. Karena dia pasti akan mengumpulkan keberanian, sama pastinya dengan namanya, Baggins."
"Aku percaya kau berbicara lebih bijak daripada kami semua, Sam," kata Aragorn. "Dan apa yang harus kita lakukan, kalau kau terbukti benar?"
"Hentikan dia! Jangan biarkan dia pergi!" seru Pippin.
"Aku ragu," kata Aragorn. "Dia yang ditugaskan membawa Cincin itu, dan Beban untuk menyingkirkan benda itu ada di pundaknya. Kukira tidak sepantasnya kita mendorong dia ke arah mana pun. Kalaupun kita mencoba, belum tentu akan berhasil. Ada kekuatan-kekuatan lain yang sedang bekerja, dan jauh lebih kuat."
"Well, kuharap Frodo berhasil mengumpulkan keberanian, dan kembali kemari, biar semuanya beres," kata Pippin. "Menunggu begini sangat menyiksa! Pasti waktu satu jam itu sudah habis?"
"Ya," kata Aragorn. "Saw jam sudah lama lewat. Pagi sudah hampir berakhir. Kita harus memanggilnya."

Saat itu Boromir muncul. Ia keluar dari pepohonan dan melangkah ke arah mereka, tanpa berbicara. Wajahnya kelihatan muram dan sedih. Ia berhenti, seolah menghitung mereka yang hadir, lalu ia duduk menyendiri, matanya menatap ke bawah.
"Ke mana kau tadi, Boromir?" tanya Aragorn. "Apa kau melihat Frodo?"
Boromir ragu sejenak. "Ya dan tidak," ia menjawab lambat. "Ya, aku menemukannya di atas bukit, dan aku berbicara padanya. Aku mendesaknya agar pergi ke Minas Tirith dan jangan pergi ke timur. Aku marah-marah dan dia meninggalkan aku. Dia lenyap. Aku belum pernah melihat hat semacam itu, meski aku pernah mendengarnya dalam dongeng-dongeng. Pasti dia memakai Cincin-nya. Aku tak bisa menemukannya lagi. Kupikir dia kembali pada kalian."
"Hanya itu yang bisa kaukatakan?" kata Aragorn, menatap tajam dan tidak terlalu ramah kepada Boromir.
"Ya," jawab Boromir. "Untuk sementara, itu saja yang kukatakan."
"Ini gawat sekali!" seru Sam sambil melompat berdiri. "Aku tidak tahu apa yang sudah diperbuat Manusia ini. Mengapa Mr. Frodo memakai Cincin-nya? Sebenarnya dia tak perlu melakukan itu; dan kalau dia melakukannya, siapa tahu apa saja yang sudah terjadi!"

"Tapi dia tidak akan terus memakainya," kata Merry. "Tidak kalau dia sudah lolos dan tamu yang tak diundang, seperti Bilbo dulu." "Tapi ke mana dia pergi? Di mana dia?" seru Pippin. "Dia sudah lama sekali pergi."
"Berapa lama sejak terakhir kau melihat Frodo, Boromir?" tanya Aragorn.
"Setengah jam, mungkin," jawab Boromir. "Atau mungkin juga satu jam. Aku berkeliaran beberapa lama sesudahnya. Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!" Boromir memegangi kepalanya dengan dua tangan, dan duduk seolah membungkuk karena sedih.
"Satu jam sejak dia lenyap!" teriak Sam. "Kita harus berusaha mencarinya sekarang juga. Ayo!"
"Tunggu sebentar!" teriak Aragorn. "Kita harus berpasangan dan menyusun strategi sini, tahan dulu! Tunggu!"
Sia-sia saja. Mereka tidak memperhatikan Aragorn. Sam sudah lari lebih dulu. Merry dan Pippin mengikutinya, dan menghilang ke barat, ke dalam pepohonan dekat pantai, sambil berteriak: Frodo! Frodo! dengan suara hobbit mereka yang jernih dan tinggi. Legolas dan Gimli juga berlari. Kepanikan atau kegilaan mendadak seolah menimpa Rombongan itu.
"Kita semua akan tercerai-berai dan tersesat," erang Aragorn. "Boromir! Aku tidak tahu peran apa yang kaumainkan dalam kekacauan ini, tapi sekarang bantulah! Susullah kedua hobbit muda itu, dan setidaknya jaga mereka, meski kau tak bisa menemukan Frodo. Kembalilah ke tempat ini kalau kau menemukannya, atau jejaknya. Aku akan segera kembali."

Aragorn melompat lari dan mengejar Sam. Persis di halaman kecil di antara pohon rowan, ia berhasil menyusul Sam yang sedang bersusah payah mendaki, sambil terengah-engah dan memanggil, Frodo!
"Ikut aku, Sam!" kata Aragorn. "Jangan sampai satu di antara kita sendirian. Ada kejahatan berkeliaran. Aku bisa merasakannya. Aku akan pergi ke puncak, ke Takhta Amon Hen, untuk melihat apa yang bisa dilihat. Ikuti aku dan buka matamu lebar-lebar!" Aragorn memacu jalannya.
Sam berupaya keras, tapi tak bisa menyamai langkah Strider sang Penjaga Hutan, dan segera tertinggal di belakang. Ia belum melangkah jauh, tapi Aragorn sudah tak terlihat lagi di depan. Sam berhenti dan terengah-engah. Mendadak ia menepukkan tangan ke kepalanya.
"Hai, Sam Gamgee!" katanya keras-keras. "Kakimu terlalu pendek, jadi gunakanlah otakmu! Coba lihat dulu! Boromir tidak berbohong, itu bukan caranya; tapi dia tidak menceritakan seluruh ceritanya. Ada sesuatu yang membuat Mr. Frodo sangat ketakutan. Dia mengerahkan keberaniannya untuk bertindak, dengan tiba-tiba. Dia mengambil keputusan akhirnya-untuk pergi. Ke mana? Ke Timur. Tanpa Sam? Ya, bahkan tanpa Sam-nya. Itu kejam, sangat kejam."
Sam mengusapkan tangan ke matanya, menyeka air mata. "Tenang, Gamgee!" katanya. "Pikir, kalau bisa! Dia tak bisa terbang melintasi sungai, dan dia juga tak bisa melompati air terjun. Dia tak punya peralatan. Maka dia harus kembali ke perahu-perahu. Kembali ke perahu! Kembali ke perahu, Sam, secepat kilat!"
Sam membalikkan tubuh dan berlari kembali ke jalan setapak. Ia jatuh dan lututnya terluka. Ia bangkit dan terus berlari. Ia sampai ke pinggir halaman rumput Parth Galen di pantai, di mana perahu-perahu sudah dinaikkan keluar dari air. Tak ada siapa pun di sana. Terdengar teriakan-teriakan di hutan di belakang, tapi ia tidak memedulikannya. Ia berdiri menatap sejenak, diam melongo. Sebuah perahu sedang meluncur sendiri, turun dari tebing. Dengan berteriak Sam berlari melintasi rumput. Perahu itu masuk ke dalam air.
"Datang, Mr. Frodo! Datang!" teriak Sam, dan ia melemparkan dirinya dari tebing, menyambar perahu yang sedang berangkat itu. Tangkapannya meleset sekitar satu meter. Sambil berteriak, ia tercemplung jatuh ke sungai dalam yang deras. Ia tenggelam sambil kemasukan air, dan Sungai itu menutup di atas kepalanya yang berambut keriting.
Teriakan sedih keluar dan perahu kosong itu. Sebuah dayung berputar dan perahu itu membalik. Tepat pada waktunya, Frodo menjambak rambut Sam saat ia muncul ke atas, bergelembung-gelembung dan meronta-ronta. Ketakutan memancar dari matanya yang bulat cokelat.
"Naiklah, Sam, anakku!" kata Frodo. "Sekarang pegang tanganku!"
"Selamatkan aku, Mr. Frodo!" Sam terengah-engah. "Aku tenggelam. Aku tak bisa melihat tanganmu."
"Ini dia. Jangan mencubit-cubit, anakku! Aku tidak akan melepaskanmu. Tendang-tendanglah air, jangan menggelepar, nanti perahunya goyang. Nah, peganglah lambung perahu, dan biarkan aku memakal dayung."
Dengan beberapa kayuhan, Frodo membawa kembali perahunya ke tebing, dan Sam bisa memanjat keluar, basah seperti tikus air. Frodo melepaskan Cincin dan naik ke darat lagi.
"Dari semua gangguan menjengkelkan, kaulah yang terburuk, Sam!" kata Frodo.
"Oh, Mr. Frodo, itu kejam!" kata Sam sambil menggigil, "Kejam sekali, mencoba pergi tanpa aku. Kalau aku tidak menebak dengan benar, di mana kau sekarang?"
"Aman dalam perjalanan."
"Aman!" kata Sam. "Sendirian tanpa aku untuk menolongmu? Aku tidak akan tahan, aku bisa mati."
"Kau akan mati kalau kau pergi denganku, Sam," kata Frodo, "dan aku tidak tahan itu."
"Tidak sepasti kalau ditinggal," kata Sam.
"Tapi aku akan pergi ke Mordor."
"Aku sudah tahu itu, Mr. Frodo. Tentu saja kau akan ke sana. Dan aku akan pergi bersamamu."
"Nah, Sam," kata Frodo, "jangan ganggu aku! Yang lain setiap saat akan kembali. Kalau mereka mencegatku di sini, aku terpaksa berdebat dan menjelaskan, dan aku tidak akan pernah sampai hati atau mendapat kesempatan untuk berangkat. Tapi aku harus segera pergi. Ini jalan satu-satunya."
"Tentu saja," jawab Sam. "Tapi tidak sendirian. Aku juga ikut, atau tidak ada di antara kita yang pergi. Aku akan melubangi semua perahu dulu."
Frodo benar-benar tertawa. Perasaan hangat dan bahagia mendadak menyentuh hatinya. "Tinggalkan satu!" katanya. "Kita akan membutuhkannya. Tapi kau tak bisa ikut seperti ini, tanpa peralatan, makanan, atau apa pun."
"Tunggu sebentar, aku akan mengambil barang-barangku!" teriak Sam bersemangat. "Sudah siap semua. Aku sudah berpikir kita harus berangkat hari ini." ia berlari ke tempat perkemahan, mengambil ranselnya dari tumpukan yang disusun Frodo ketika ia mengosongkan perahu dari bawaan teman-temannya, meraih selembar selimut tambahan dan beberapa bungkusan makanan, lalu berlari kembali.
"Rusaklah seluruh rencanaku!" kata Frodo. "Sia-sia mencoba melarikan diri darimu. Tapi aku gembira, Sam. Aku tak bisa mengungkapkan betapa gembiranya aku. Ayo! Sudah jelas kita ditakdirkan harus pergi bersama. Kita akan pergi, dan mudah-mudahan yang lain menemukan Plan yang aman! Strider akan mengurus mereka. Kurasa kita tidak akan melihat mereka lagi."
"Mungkin kita masih akan bertemu mereka, Mr. Frodo. Mungkin masih." kata Sam.
Maka Frodo dan Sam mengawali tahap terakhir Pencarian bersama-sama. sama. Frodo mendayung menjauhi pantai, dan Sungai itu membawa mereka dengan cepat, melalui cabang barat melewati batu-batu karang Tol Brandir yang cemberut. Raungan air terjun besar semakin mendekat. Bahkan meski dibantu Sam, perlu kerja keras untuk menyeberangi arus di ujung selatan pulau, dan mengemudikan perahu ke timur, menuju pantai seberang.
Akhirnya mereka mendarat lagi di lereng selatan Amon Lhaw. Di sana mereka menemukan pantai sempit, dan mereka pun menarik perahu keluar, tinggi di atas air, dan menyembunyikannya sebaik mungkin di balik sebuah batu besar. Lain dengan membawa barang-barang mereka, keduanya berangkat, mencari jalan yang akan membawa mereka melintasi bukit-bukit kelabu Emyn Mull, dan turun ke Negeri Bayang-Bayang.
Tiga Cincin untuk raja-raja Peri di bawah langit,
Tujuh untuk raja-raja Kurcaci di balairung batu mereka, Sembilan untuk Insan Manusia yang ditakdirkan mati,
Satu untuk Penguasa Kegelapan di takhtanya yang kelam
Di Negeri Mordor di mana Bayang-Bayang merajalela.
Satu Cincin 'tuk menguasai mereka semua, Satu Cincin 'tuk menemukan mereka,
Satu Cincin 'tuk membawa mereka semua dan dalam kegelapan mengikat mereka
Di Negeri Mordor di mana Bayang-Bayang merajalela.

Daftar Isi
Sinopsis
BUKU TIGA
1. Kematian Boromir
2. Para Penunggang Kuda Rohan
3. Pasukan Uruk-Hai
4. Treebeard
5. Penunggang Putih
6. Raja Balairung Emas
7. Helm's Deep
8. Jalan ke Isengard
9. Banjir Besar
10. Suara Saruman
11. Palantir

BUKU EMPAT
1. Smeagol dijinakkan
2. Melintasi Rawa-Rawa
3. Gerbang Hitam Tertutup
4. Bumbu Masak dan Kelinci Rebus
5. Jendela yang Menghadap ke Barat
6. Kolam Terlarang
7. Perjalanan ke Persimpangan
8. Tangga Cirith Ungol
9. Sarang Shelob
10. Pilihan Master Samwise
SINOPSIS

Buku ini adalah buku kedua THE LORD OF THE RINGS.

Dalam buku pertama, The Fellowship of the Ring _ Sembilan Pembawa Cincin, diceritakan bahwa Cincin yang diwarisi Frodo dari Bilbo ternyata adalah Cincin Utama, yang paling penting dari rangkaian Cincin Kekuasaan. Karena itulah Frodo dan kawan-kawannya terpaksa pergi meninggalkan rumah mereka yang tenang di Shire. Sepanjang perjalanan, mereka terus dibayang-bayangi oleh Para Penunggang Hi­tam dari Mordor. Akhirnya, dengan bantuan Aragorn, Penjaga Hutan dari Eriador, mereka berhasil melewati berbagai bahaya mengerikan, dan tiba di Rumah Elrond di Rivendell.
Di sana diadakan Rapat Besar, dan diputuskan bahwa Cincin itu mesti dihancurkan. Frodo-lah yang ditunjuk sebagai Pembawa Cincin. Selain dirinya, akan ikut beberapa orang lain untuk membantunya dalam perjalanan menuju Gunung Api di Mordor, wilayah sang Musuh sendiri, untuk menghancurkan Cincin itu. Rombongan mereka terdiri atas: Aragorn dan Boromir putra Penguasa Gondor, mewakili Manusia; Legolas, putra Raja Peri di Mirkwood, mewakili kaum Peri; Gimli putra Gloin dari Pegunungan Sunyi, mewakili kaum Kurcaci; Frodo bersama pelayannya Samwise, dan dua kerabatnya, Meriadoc dan Peregrin, mewakili kaum hobbit; dan Gandalf si penyihir.
Rombongan itu mengadakan perjalanan panjang yang rahasia, jauh dari Rivendell di Utara. Ketika mendapat kesulitan menyeberangi Pegunungan Caradhras di musim dingin, Gandalf memimpin mereka melewati gerbang rahasia yang membawa mereka ke Tambang­Tambang Moria, mencari jalan di bawah pegunungan. Di sana Gandalf bertarung dengan Balrog, makhluk dahsyat dari dunia bawah, dan ia jatuh ke jurang tak berdasar. Maka Aragorn putra Arathorn mengambil alih pimpinan. Ia membawa mereka melewati Gerbang Timur Moria, melintasi Lorien, negeri kaum Peri, dan menyusuri Sungai Besar Anduin, hingga tiba di Air Terjun Rauros. Mereka menyadari bahwa ada mata-mata yang mengawasi, di antaranya Gollum, makhluk yang pernah memiliki Cincin itu di masa silam.
Kini mereka harus memutuskan, apakah akan berbelok ke timur, menuju Mordor, atau ikut dengan Boromir ke Minas Tirith, kota utama Gondor, untuk membantu dalam peperangan yang akan berlangsung. Atau haruskah mereka memisahkan diri? Ketika Frodo menegaskan bahwa ia hendak terus berjalan menuju Mordor, Boromir berusaha merampas Cincin itu. Buku pertama diakhiri dengan peristiwa jatuhnya Boromir pada nafsu untuk memiliki Cincin itu, yang berakibat pada menghilangnya Frodo serta Samwise; sementara itu, para anggota rombongan yang lain tercerai-berai karena serangan mendadak kaum Orc, yang sebagian melayani sang Penguasa Kegelapan dari Mordor, dan sebagian lagi pelayan Saruman dari Isengard.
Dalam buku kedua ini, The Two Towers Dua Menara, diceritakan nasib masing-masing anggota Rombongan setelah mereka tercerai-­berai, sampai kedatangan Kegelapan besar, dan pecahnya Perang Cincin, yang akan diceritakan dalam buku ketiga dan terakhir.
DUA MENARA
BAGIAN KEDUA
The Lord of the Rings

Book 2 - Bab 9

SUNGAI BESAR

Frodo dibangunkan Sam. Ia menemukan dirinya terbaring, diselimuti dengan baik, di bawah pohon-pohon tinggi berkulit kelabu di sebuah pojok tenang, di hutan tebing barat Sungai Besar Anduin. Ia sudah tidur sepanjang malam, dan cahaya kelabu pagi tampak redup di antara dahan-dahan gundul. Gimli sedang sibuk dengan api kecil di dekatnya.
Mereka berangkat lagi sebelum pagi merebak. Bukan karena kebanyakan anggota Rombongan ingin terburu-buru pergi ke selatan: mereka puas bahwa keputusan yang harus mereka ambit, paling lambat saat mereka sampai ke Rauros dan Pulau Tindrock, masih beberapa hari di depan; dan mereka membiarkan Sungai itu membawa mereka dengan kecepatannya sendiri, tanpa ingin mempercepat perjalanan menuju bahaya yang ada di depan, arah mana pun yang mereka pilih pada akhirnya. Aragorn membiarkan mereka mengapung mengikuti aliran sungai sekehendak mereka, menghemat tenaga menghadapi keletihan yang akan datang. Tapi ia menuntut setidaknya mereka berangkat awal setup pagi, dan berjalan sampai larut sore; karena dalam hati ia merasa waktu sudah mendesak, dan ia khawatir sang Penguasa Kegelapan tidak berdiam diri ketika mereka berlama-lama di Lorien.
Meski demikian, mereka tidak melihat tanda-tanda ada musuh pada hari itu, atau keesokannya. Jam-jam menjemukan yang kelabu berlalu tanpa kejadian apa-apa. Ketika hari ketiga perjalanan mereka berlanjut, daratan lambat laun berubah: pohon-pohon semakin jarang, kemudian sama sekali hilang. Di tebing timur sebelah kiri, mereka melihat lereng-lereng panjang tak berbentuk, mendaki ke atas, menuju langit; cokelat dan layu tampaknya, seolah bekas diterjang api, tidak menyisakan sehelai pun kehijauan: suatu tanah kosong yang tidak ramah, tanpa satu pun pohon patah atau bebatuan kokoh untuk mengisi kekosongannya. Mereka telah tiba di Negeri-Negeri Cokelat yang terbentang luas dan kosong, antara Mirkwood Selatan dari bukit-bukit Emyn Mull. Entah wabah atau perang atau kejahatan apa dari Musuh yang telah menghancurkan wilayah itu, bahkan Aragorn pun tidak tahu.
Di sisi barat sebelah kiri, tanahnya juga tak berpohon, namun datar. Di banyak tempat, ada kehijauan dengan padang-padang rumput luas. Di sisi Sungai ini mereka melewati hutan-hutan alang-alang tinggi, begitu tinggi hingga menutupi seluruh pemandangan ke barat, ketika perahu-perahu kecil itu berdesir melewati tepi sungai yang bergetar. Bulu-bulu alang-alang yang layu membengkok dan bergoyang dalam udara dingin, mendesis perlahan dan sedih. Di sana-sini, melalui bukaan, Frodo bisa melihat sekilas padang-padang terhampar, jauh di belakangnya berdiri bukit-bukit di bawah matahari terbenam, dan jauh di batas penglihatan ada sebuah garis gelap, di mana berdiri berbaris punggung-punggung selatan Pegunungan Berkabut.
Tak ada tanda-tanda makhluk hidup yang bergerak, kecuali burung. Banyak sekali burung: unggas-unggas kecil bersiul dan berbunyi nyaring di tengah alang-alang, tapi jarang tampak. Sekali-dua kali para pengembara itu mendengar kepakan dan desiran sayap angsa. Ketika menengadah, mereka melihat sekawanan besar angsa terbang di angkasa.
"Angsa!" kata Sam. "Dan sangat besar pula!"
"Ya," kata Aragorn, "dan mereka angsa hitam."
"Betapa luas dan kosong, dan menyedihkan negeri ini!" kata Frodo. "Aku selalu membayangkan bahwa kalau kita berjalan ke selatan, suasana akan semakin hangat dan gembira, sampai musim dingin tertinggal di belakang untuk selamanya."
"Tapi kita belum berjalan jauh ke selatan," jawab Aragorn. "Sekarang masih musim dingin, dan kita jauh dari laut. Di sini dunia akan dingin, sampai musim semi merekah tiba-tiba, dan mungkin masih akan turun salju lagi. Jauh di Teluk Belfalas, ke mana Anduin mengalir, cuacanya hangat dan gembira-mungkin-atau bisa begitu kalau tidak ada Musuh. Tapi sekarang ini kita berada lebih dari enam puluh league, kukira, di sebelah selatan Wilayah Selatan Shire-mu, ratusan mil yang panjang di sana. Sekarang kau memandang ke arah barat-daya, melintasi padang utara Riddermark, Rohan, negeri para Penguasa Kuda. Tak lama lagi kita sampai ke muara Limlight yang mengalir dari Fangorn untuk bergabung dengan Sungai Besar. Itu batas utara Rohan; dan sejak dulu semua yang terletak antara Limlight
dan Pegunungan Putih menjadi milik bangsa Rohirrim. Negeri yang kaya dan nyaman, dan rumputnya tak tertandingi; tapi di masa kelam ini tak ada orang yang tinggal dekat Sungai atau sering naik kuda sampai ke pantainya. Anduin lebar sekali, tapi para Orc bisa menembakkan panah mereka jauh menyeberangi sungai; dan belakangan ini, katanya, mereka sudah berani menyeberangi` sungai, merampok ternak dan kuda Rohan."
Sam memandang dari tebing ke tebing dengan perasaan tidak enak. Sebelumnya, pepohonan kelihatan bermusuhan, seolah mereka mempunyai mata rahasia dan menyimpan bahaya tersembunyi; sekarang ia berharap pohon-pohon itu masih di sana. Ia merasa Rombongan mereka terlalu telanjang, mengapung dalam perahu-perahu terbuka di tengah negeri tanpa perlindungan, di sungai yang merupakan garis depan perang.
Pada satu-dua hari berikutnya, ketika mereka meneruskan perjalanan, terus mengarah ke selatan, perasaan tidak aman menghinggapi seluruh Rombongan. Sehari penuh mereka berdayung memacu perahu. Tebing-tebing lewat dengan cepat. Segera Sungai itu melebar dan jadi semakin dangkal; pantai-pantai panjang berbatu ada di sisi timur, dan ada beting-beting batu di dalam air, sehingga mereka harus mengemudi dengan hati-hati. Negeri-Negeri Cokelat menjelma menjadi perbukitan terbuka yang gersang, dari atasnya angin dingin dari Timur berembus. Di sisi lain, padang-padang menjelma menjadi bukit-bukit rendah, dengan rumput layu di tengah daratan yang penuh genangan air dan gerombolan rumput tebal. Frodo menggigil memikirkan halaman dan air mancur, hujan lembut dan jernih di Lothlorien. Hanya sedikit pembicaraan, dan tidak ada tawa di dalam perahu-perahu mereka. Setiap anggota Rombongan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Hati Legolas sedang berlari di bawah sinar bintang di malam musim panas, di suatu lembah utara di antara pepohonan beech; Gimli sedang memegang emas dalam pikirannya, mempertimbangkan pantaskah emas itu ditempa ke dalam wadah yang akan dipergunakan untuk menyimpan pemberian Lady Galadriel. Merry dan Pippin di perahu tengah merasa tidak nyaman, karena Boromir menggerutu sendirian, kadang-kadang menggigit kuku, seolah tengah diliputi keresahan atau keraguan, kadang-kadang mengangkat dayung dan memacu perahu sampai dekat ke perahu Aragorn. Pippin, yang duduk di haluan menghadap ke belakang, menangkap sinar aneh dalam mata Boromir, ketika ia menatap tajam ke Frodo. Sam sudah lama memutuskan bahwa, meski perahu mungkin tidak berbahaya seperti yang diyakininya selama ini, toh perahu itu jauh lebih tidak nyaman daripada yang dibayangkannya. Ia terkekang dan sengsara, tanpa kegiatan lain selain menatap dataran musim dingin merangkak lewat dan air kelabu di kedua sisinya. Bahkan ketika dayung harus digunakan, mereka tidak mempercayai Sam untuk mengayuh.
Ketika senja turun di hari keempat, Sam memandang ke belakang dari atas, kepala Frodo dan Aragorn dan perahu-perahu yang mengikuti; ia mengantuk dan sangat mendambakan tidur serta merasakan tanah di bawah jari kakinya. Mendadak sesuatu menarik perhatiannya: mula-mula ia memandangnya tanpa gairah, lain ia duduk tegak dan menyeka matanya; tapi ketika ia memandang lagi, "sesuatu" aku sudah tak terlihat.

Malam itu mereka bermalam di sebuah pulau kecil, dekat ke tebing barat. Sam berbaring diselubungi selimut di samping Frodo. "Aku mimpi aneh satu-dua jam sebelum kita berhenti, Mr. Frodo," katanya. "Atau mungkin itu bukan mimpi. Tapi pokoknya lucu."
"Well, apa itu?" kata Frodo, tahu bahwa Sam tidak akan diam sebelum menceritakannya, apa pun itu. "Aku tidak melihat atau memikirkan apa pun yang bisa membuatku tersenyum sejak kita meninggalkan Lothlorien."
"Bukan lucu semacam itu, Mr. Frodo. Ganjil. Aneh sekali, kalau aku bukan mimpi. Dan sebaiknya kau mendengarnya. Seperti ini: aku melihat batang kayu bermata!"
"Batang kayu memang benar," kata Frodo. "Banyak batang kayu di Sungai. Tapi tanpa mata!"
"Tidak bisa," kata Sam. "Justru mata aku yang membuat aku duduk tegak, bisa dikatakan begitu. Aku melihat sesuatu yang kukira batang kayu mengambang dalam cahaya remang-remang di belakang perahu Gimli; tapi aku tidak begitu memperhatikan. Kemudian tampaknya batang kayu itu menyusul kita perlahan-lahan. Dan itu aneh, karena kita semua mengambang bersama di atas aliran air. Persis saat itu aku melihat matanya: dua titik pucat, agak bersinar, pada benjolan di ujung terdekat batang itu. Lagi pula, ternyata itu bukan batang kayu, karena dia mempunyai kaki pengayuh, hampir seperti angsa, hanya kelihatan lebih besar, dan keluar-masuk ke dalam air.
"Saat itulah aku duduk tegak dan menyeka mataku, dengan maksud akan berteriak, kalau dia masih ada di sana setelah aku menghapus kantuk dari mataku. Sebab, benda apa pun itu, sekarang dia mulai mendekat dengan cepat dan sudah dekat sekali di belakang Gimli. Tapi apakah dua lampu itu melihat aku bergerak dan memandang, ataukah aku yang sadar kembali, aku tidak tahu. Ketika aku menengok lagi, dia sudah tidak di sana. Meski begitu, aku merasa melihat sekilas, dengan ekor mataku, begitu istilahnya, sesuatu yang gelap meluncur cepat ke bawah bayangan tebing. Tapi aku tak bisa melihat mata itu lagi.
"Aku berkata pada diriku sendiri, 'Mimpi lagi, Sam Gamgee.' Dan aku tidak berbicara lagi saat itu. Tapi sejak itu aku berpikir terus, dan sekarang aku tidak begitu yakin. Bagaimana menurutmu, Mr. Frodo?"
"Menurutku yang kaulihat itu tidak lebih dari sebatang kayu, juga senja dan kantuk dalam matamu, Sam," kata Frodo, "kalau Hit pertama kalinya mata aku terlihat. Tapi ini bukan pertama kalinya. Aku melihatnya di utara, sebelum kita sampai di Lorien. Dan aku melihat makhluk aneh yang mempunyai mata memanjat pohon malam itu. Haldir juga melihatnya. Dan ingatkah kau laporan para Peri yang mengejar gerombolan Orc?"
"Ah," kata Sam, "aku ingat; dan aku ingat lebih banyak lagi. Aku tidak suka pikiranku; tapi setelah memikirkan satu dan lain hal, termasuk cerita-cerita Mr. Bilbo dan lain-lain, rasanya aku bisa memberi nama pada makhluk itu, menebak-nebaknya. Sebuah nama yang jahat. Gollum, mungkin?"
"Ya, aku yang kukhawatirkan selama beberapa waktu belakangan ini," kata Frodo. "Sejak malam di atas flet. Kuduga dia bersembunyi di Moria, dan menangkap jejak kita di sana; tapi kuharap masa-masa kita di Lorien akan membuat dia kehilangan jejak lagi. Makhluk malang aku pasti bersembunyi di hutan dekat Silverlode, memperhatikan kita berangkat!"
"Kira-kira begitu," kata Sam. "Dan sebaiknya kita sedikit lebih waspada, atau kita akan merasakan jari-jari menjijikkan aku di leher kita suatu hari nanti, kalau kita bisa bangun untuk merasakan sesuatu. Dan itulah tujuan pembicaraanku. Tak perlu mengganggu Strider atau yang lain malam ini. Aku akan berjaga. Aku bisa tidur besok, karena aku cuma menjadi muatan di perahu ini, bisa dibilang begitu."
"Aku bisa bilang begitu," kata Frodo, "kau adalah 'muatan bermata'. Kau boleh berjaga, kalau kau berjanji akan membangunkan aku menjelang pagi, kalau tidak ada yang terjadi sebelumnya."

Di pagi buta Frodo terjaga dari tidur yang dalam dan gelap, dan menyadari bahwa Sam membangunkannya. "Sayang sekali harus membangunkanmu," bisik Sam, "tapi kau sudah berpesan begitu. Tidak ada yang bisa diceritakan, atau tidak banyak. Rasanya aku mendengar suara cemplungan dan mendengus-dengus, beberapa waktu lain; tapi banyak bunyi aneh seperti itu terdengar di dekat sungai pada malam hari."
Sam berbaring, dan Frodo bangkit duduk, meringkuk dalam selimutnya, melawan rasa kantuknya. Bermenit-menit atau berjam-jam lewat dengan lamban, dan tidak ada yang terjadi. Frodo baru saja menyerah pada godaan untuk berbaring lagi ketika suatu sosok gelap, hampir tidak kelihatan, mengambang dekat ke salah satu perahu yang berlabuh. Tangan panjang keputih-putihan terlihat samar-samar ketika sosok itu keluar dari air dan memegang bibir perahu; dua mata seperti lampu yang bersinar dingin memandang ke dalam perahu, kemudian mata itu naik dan memandang Frodo di atas pulau. Jaraknya tidak lebih dari dua meter atau lebih, dan Frodo mendengar bunyi desis perlahan napas yang ditarik. Frodo berdiri, menghunus Sting dari sarungnya, dan menghadap ke kedua mata itu. Langsung sinar mata itu padam. Terdengar bunyi desis lagi dan cemplungan, dan sosok kayu gelap itu meluncur cepat dalam air, menghilang di malam gelap. Aragorn bergerak dalam tidurnya, membalikkan tubuh, dan bangkit duduk.
"Ada apa?" bisiknya, melompat berdiri dan mendekati Frodo. "Aku merasakan sesuatu dalam tidurku. Kenapa kau menghunus pedangmu?"
"Gollum," jawab Frodo. "Atau setidaknya dia, kuduga."
"Ah!" kata Aragorn. "Kalau begitu, kau juga tahu tentang perampok kecil kita, bukan? Dia terus berjalan di belakang kita di Moria, sampai ke Nimrodel. Sejak kita naik perahu, dia berbaring di atas batang kayu dan mengayuh dengan tangan dan kakinya. Aku mencoba menangkapnya sekali-dua kali di malam hari, tapi dia lebih lihai daripada rubah, dan sama licinnya seperti ikan. Aku berharap perjalanan lewat sungai akan mengalahkannya, tapi dia makhluk air yang terlalu cerdik.
"Besok kita terpaksa mencoba meluncur lebih cepat. Sekarang kau berbaring saja, dan aku akan berjaga sepanjang sisa malam ini. Aku berharap bisa menangkap makhluk malang itu. Kita bisa memanfaatkan dia. Tapi kalau tidak bisa, kita harus mencoba melepaskan diri darinya. Dia berbahaya sekali. Selain dia sendiri bisa membunuh di malam hari, dia bisa membuat musuh yang sedang berkeliaran jadi tahu jejak kita."

Malam itu berlalu tanpa Gollum menunjukkan bayangannya lagi. Setelah itu Rombongan tersebut terus waspada, tapi mereka tidak melihat Gollum lagi sepanjang perjalanan itu. Kalau ia masih mengikuti mereka, maka ia sangat hati-hati dan cerdik. Atas permintaan Aragorn, sekarang mereka mendayung cukup lama, dan tebing-tebing lewat dengan cepat. Tapi mereka hanya sedikit melihat daratan, karena kebanyakan mereka berjalan di malam dan senja hari, beristirahat di pa-1 hari, dan bersembunyi sebisa mungkin, sesuai keadaan daratan. Dengan cara ini, waktu berlalu tanpa kejadian apa pun sampai hari ketujuh.
Cuaca masih mendung dan kelabu, an-in bertiup dari Timur, tapi ketika senja menjelma menjadi malam, langit di barat mulai jernih, dan kolam-kolam cahaya redup, berwarna kuning dan hijau pucat, tersingkap di bawah kerumunan awan kelabu. Di sana kulit putih Bulan baru terlihat bersinar di danau-danau nun jauh. Sam memandangnya dan mengerutkan ails.
Keesokan harinya, daratan di kedua sisi sungai mulai berubah cepat. Tebing-tebing mulai mendaki dan jadi berbatu-batu. Tak lama kemudian, mereka melewati daratan berbukit batu karang, di kedua pantai ada lereng-lereng curam yang terkubur di bawah semak-semak berduri dan semak buah sloe, kusut dengan bramble dan tanaman merambat. Di belakangnya berdiri batu-batu karang rendah yang hancur, dan cerobong-cerobong batu kelabu yang termakan cuaca dan gelap karena dipenuhi tanaman ivy; di belakangnya lagi menjulang punggung-punggung bukit bermahkotakan cemara yang menggeliat-geliat tertiup angin. Mereka sudah mendekati daratan berbukit kelabu. Emyn Muil, perluasan Belantara sebelah selatan.
Banyak burung di sekitar batu karang dan cerobong batu, dan sepanjang hari kawanan burung berputar-putar jauh tinggi di angkasa, hitam berlatar belakang langit pucat. Ketika mereka berbaring di perkemahan hari itu, Aragorn memperhatikan burung-burung itu dengan ragu, bertanya dalam hati, apakah Gollum sudah berbuat kenakalan, dan kabar tentang perjalanan mereka sekarang sedang bergerak di belantara. Ketika matahari sedang terbenam, dan Rombongan mereka bersiap-siap berangkat lagi, ia melihat sebuah bercak, gelap di depan cahaya yang memudar: seekor burung besar tinggi dan jauh sekali, kadang berputar-putar, kadang terbang terus perlahan ke selatan.
"Apa itu, Legolas?" tanya Aragorn, menunjuk ke langit utara. "Apakah itu seekor dang, seperti yang kuduga?"
"Ya," kata Legolas. "Itu elang, elang pemburu. Pertanda apa itu kira-kira? Dia jauh dari pegunungan."
"Kita tidak akan berangkat sampai gelap sama sekali," kata Aragorn.

Malam kedelapan perjalanan mereka. Sunyi dan tidak berangin; angin timur yang kelabu sudah berlalu. Bulan sabit tipis sudah muncul lebih awal saat matahari terbenam, tapi langit di atas jernih, dan meski jauh di selatan ada kerumunan awan yang masih bersinar redup, di Barat bintang-bintang bercahaya terang.
"Ayo!" kata Aragorn. "Kita akan memberanikan diri lagi melakukan perjalanan malam hari. Kita sampai ke wilayah Sungai yang tidak begitu kukenal, sebab aku belum pernah melakukan perjalanan melalui air di wilayah ini, antara sini dengan air terjun Sarn Gebir. Tapi bila perkiraanku benar, air terjun itu masih bermil-mil jaraknya dari sini. Tapi masih ada berbagai tempat berbahaya sebelum kita tiba di sana: batu-batu dan pulau berbatu di sungai. Kita harus waspada dan mencoba mendayung tidak terlalu cepat."
Sam di perahu pelopor ditugasi sebagai pengawas. Ia berbaring sambil mengintai ke dalam kegelapan. Malam kelam, tapi bintang-bintang di atas sangat terang, cahayanya tercermin di permukaan Sungai. Sudah dekat tengah malam, dan mereka sudah mengambang untuk beberapa saat, hampir tidak menggunakan dayung, ketika mendadak Sam berteriak. Hanya beberapa meter di depan, sosok-sosok gelap muncul di sungai, dan ia mendengar putaran air berpacu. Ada aliran deras yang membelok ke kiri, ke pantai timur yang salurannya mulus. Ketika mereka tersapu ke samping, para pengembara itu bisa melihat, dekat sekali sekarang, buih-buih pucat Sungai memukul batu-batu tajam yang menjorok jauh ke tengah, seperti pinggiran bergerigi. Perahu-perahu semuanya berkerumun.
"Hai, Aragorn!" teriak Boromir, ketika perahunya menabrak perahu pelopor. "Ini gila! Kita tak bisa menentang Air Terjun di malam hari! Tapi tidak ada perahu yang bisa bertahan di Sarn Gebir, baik siang maupun malam."
"Kembali, kembali!" teriak Aragorn. "Putar! Putar, kalau bisa!" ia mendorong dayungnya ke dalam air, berusaha menahan perahu dan memutarnya.
"Aku salah hitung," katanya pada Frodo. "Aku tidak tahu kita sudah berjalan sejauh ini: Anduin mengalir lebih kencang daripada perkiraanku. Sarn Gebir pasti sudah dekat sekali."

Dengan upaya keras, mereka mengendalikan perahu dan memutarnya perlahan; pada mulanya mereka hanya bisa melaju lambat sekali melawan arus, dan selama itu mereka terbawa semakin dekat ke tebing timur. Kini tebing itu menjulang gelap dan mengancam dalam kegelapan malam.
"Dayung bersama-sama, dayung!" teriak Boromir. "Dayung! Kalau tidak, kita akan terempas ke tebing." Bahkan saat Boromir masih bicara, Frodo sudah merasa lunas perahu menggesek bebatuan di bawah.
Tepat pada saat itu ada bunyi dentingan busur: beberapa panah berdesing lewat di atas mereka, dan beberapa jatuh di antara mereka. Satu menghantam Frodo di antara bahunya, dan ia bergerak maju sambil berteriak, melepaskan dayungnya, tapi panah itu jatuh terpental, ditahan oleh rompi logamnya yang tersembunyi. Satu yang lain menembus kerudung Aragorn: dan yang ketiga menancap pada pinggiran lambung perahu, dekat tangan Merry. Sam merasa bisa melihat sekilas sosok-sosok hitam berlarian ke sana kemari di atas tumpukan papan panjang yang terletak di bawah pantai timur. Tampaknya mereka dekat sekali.
"Yrch!" kata Legolas, memakai bahasanya sendiri.
"Orc!" teriak Gimli.
"Gara-gara Gollum, aku yakin," kata Sam pada Frodo. "Dan tempat yang manis pula untuk dipilih. Sungai ini seolah bertekad mengantar kita langsung ke tangan mereka!"
Mereka semua bersandar ke depan sambil mendayung dengan giat: bahkan Sam ikut mengayuh. Setiap saat mereka menunggu gigitan panah berbulu hitam. Banyak panah mendesing di atas kepala, atau menghunjam masuk ke air di dekat mereka; tapi tidak ada lagi yang kena sasaran. Malam gelap, tapi tidak terlalu gelap untuk mata-malam para Orc, dan di bawah cahaya bintang, mereka pasti menjadi sasaran empuk bagi musuh yang cerdik, kecuali kalau jubah-jubah kelabu dari Lorien dan kayu kelabu dari perahu-perahu buatan Peri bisa mengalahkan kejahatan para pemanah dari Mordor.
Kayuhan demi kayuhan mereka terus mendayung. Dalam kegelapan, sulit untuk yakin apakah mereka memang bergerak; tapi lambat laun putaran air semakin berkurang, dan bayangan tebing timur memudar kembali ke dalam kegelapan malam. Akhirnya, sejauh mereka bisa menduga, mereka sudah sampai ke tengah aliran sungai lagi dan perahu mereka sudah diputar balik cukup jauh di atas bebatuan yang menonjol. Lalu, sambil setengah berputar, mereka mendorong perahu-perahu mereka sekuat tenaga menuju pantai barat. Di bawah bayangan semak-semak yang condong di atas permukaan air, mereka berhenti dan menarik napas.
Legolas meletakkan dayungnya dan mengambil busur yang dibawanya dari Lorien. Lalu ia melompat ke darat dan mendaki beberapa langkah ke atas tebing. Sambil menarik busur dan memasang panah, ia membalikkan badan, mengintai kembali ke arah Sungai, ke dalam kegelapan. Di seberang sungai terdengar teriakan-teriakan nyaring, tapi tidak terlihat apa-apa.
Frodo memandang Legolas yang berdiri tinggi di atasnya, menatap ke dalam malam kelam, mencari sasaran untuk dipanah. Kepalanya gelap, bermahkotakan bintang-bintang putih tajam yang bersinar di kolam-kolam hitam langit di belakangnya. Tapi kini awan-awan besar naik dan meluncur dari Selatan, mengirimkan pengawal-pengawal gelap ke padang-padang berbintang. Rasa cemas mendadak menyerang Rombongan.
"Elbereth Gilthoniel!" keluh Legolas sambil menengadah. Ketika ia mengangkat kepala ke langit, sebuah bentuk gelap seperti awan tapi bukan awan, karena ia bergerak jauh lebih cepat-muncul dari kehitaman di Selatan, dan melaju cepat mendekati Rombongan, menutupi semua cahaya ketika semakin mendekat. Tak lama kemudian, ia tampak sebagai makhluk besar bersayap, lebih hitam daripada sumur di malam hari. Suara-suara garang naik menyambutnya dari seberang sungai. Rasa dingin tiba-tiba mengaliri Frodo dan mencengkeram jantungnya; rasa dingin mematikan, seperti ingatan pada luka lama di pundaknya. Ia berjongkok, seolah hendak bersembunyi.
Mendadak busur besar dari Lorien berdesing. Dengan nyaring sebatang anak panah lepas dari busur Legolas. Frodo mendongakkan kepala. Hampir tepat di atasnya, bentuk bersayap itu melayang. Ada bunyi teriakan parau ketika ia jatuh dari udara, menghilang ke dalam kegelapan pantai timur. Langit kembali bersih. Ada keributan banyak suara jauh sekali, menyumpah dan meraung dalam kegelapan, kemudian sepi. Baik panah maupun teriakan tak muncul lagi dari timur malam itu.

Sesudah beberapa saat, Aragorn memimpin perahu-perahu kembali ke arah hulu. Mereka mereka-reka jalan sepanjang pinggir sungai, sampai jarak tertentu, hingga mereka menemukan sebuah teluk kecil yang dangkal. Beberapa pohon rendah tumbuh dekat ke pinggir air, dan di belakangnya mendaki sebuah tebing berbatu yang curam. Di sini Rombongan memutuskan tinggal dan menunggu fajar: tak ada gunanya mencoba maju lebih jauh malam itu. Mereka tidak menyiapkan tempat berkemah dan tidak menyalakan api, tapi berbaring meringkuk di dalam perahu-perahu yang ditambatkan saling berdekatan.
"Terpujilah busur Galadriel, serta tangan dan mata Legolas!" kata Gimli sambil mengunyah kue lembas. "Itu tembakan hebat dalam gelap, kawanku!"
"Tapi siapa yang tahu apa yang dikenainya?"
"Aku tidak tahu," kata Gimli. "Tapi aku gembira bahwa bayangan itu tidak semakin dekat. Aku sama sekali tidak menyukainya. Terlalu mengingatkanku pada bayangan di Moria-bayangan Balrog," ia mengakhiri perkataannya sambil berbisik.
"Itu bukan Balrog," kata Frodo, masih menggigil karena kedinginan yang menimpanya. "Makhluk ini lebih dingin. Kukira dia adalah..." Lalu ia berhenti dan diam.
"Kaupikir dia apa?" tanya Boromir bergairah, mencondongkan tubuhnya keluar dari perahu, seolah mencoba menangkap sekilas wajah Frodo.
"Kukira... tidak, aku tidak akan mengatakannya," jawab Frodo. "Apa pun itu, kejatuhannya sudah membuat cemas musuh kita."
"Kelihatannya begitu," kata Aragorn. "Tapi di mana mereka, dan berapa banyak, dan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, kita tidak tahu. Malam ini kita semua pasti tak bisa tidur! Kegelapan menyembunyikan kita saat ini. Tapi apa yang akan ditunjukkan pagi hari, siapa yang tahu? Senjata-senjata harus dalam jangkauan!"

Sam duduk mengetuk-ngetuk pangkal pedangnya, seolah ia sedang menghitung dengan jarinya, dan melihat ke langit. "Ini aneh sekali," ia bergumam. "Bulan itu sama, entah dilihat di Shire maupun di Belantara, atau seharusnya begitu. Tapi mungkin dia sudah keluar dari jadwalnya, atau aku sama sekali salah hitung. Kau ingat, Mr. Frodo, Bulan sedan memudar ketika kita berbaring di atas flet di pohon: itu seminggu sebelum bulan purnama, kupikir. Dan kita sudah seminggu dalam perjalanan tadi malam, lalu muncul Bulan Baru setipis rautan kuku, seolah kita sama sekali tidak pernah tin-gal di negeri Peri.
"Well, aku bisa ingat tiga malam di sana dengan pasti, dan aku rasanya ingat beberapa hal lagi, tapi aku berani bersumpah itu tidak sampai satu bulan penuh. Seolah-olah waktu di dalam negeri itu tak bisa dihitung!"
"Dan mungkin memang begitulah keadaannya," kata Frodo. "Di negeri itu, kita berada di suatu masa yang di tempat lain sudah lama berlalu. Menurutku, baru sejak Silverlode membawa kita kembali ke Anduin kita kembali ke waktu yang mengalir melalui negeri makhluk hidup, sampai ke Laut Besar. Dan aku tidak ingat ada bulan di Caras Galadhon, baik bulan baru maupun lama. Hanya ada bintang-bintang di malam hari, dan matahari di siang hari."
Legolas bergerak di dalam perahunya. "Tidak, waktu tak pernah berlambat-lambat," katanya, "tapi perubahan dan pertumbuhan tidak selalu sama pada semua benda dan tempat. Untuk para Peri, dunia bergerak, dan dia bergerak sangat cepat sekaligus sangat lambat. Cepat, karena mereka sendiri hanya sedikit berubah, sementara semua yang lain berpacu lewat: sangat menyedihkan bagi mereka. Lambat, karena mereka tidak menghitung tahun-tahun yang berlalu, tidak untuk diri mereka sendiri. Musim-musim yang berlalu hanya sekadar riak-riak yang selalu diulang dalam aliran yang amat sangat panjang. Meski begitu, di bawah Matahari semua hal harus menemui akhirnya suatu saat nanti."
"Tapi 'akhir' itu berjalan lamban sekali di Lorien," kata Frodo. "Kekuasaan Lady Galadriel menahannya. Jam-jam bermuatan penuh, meski kelihatan pendek, di Caras Galadhon, di mana Galadriel memakai Cincin Peri."
"Seharusnya hal itu tidak diungkapkan di luar Lorien, juga tidak kepadaku," kata Aragorn. "Jangan bicarakan lagi! Tapi 'begitulah, Sam: di negeri itu kau kehilangan hitungan. Di sana waktu berlalu sangat cepat untuk kita, seperti untuk bangsa Peri. Bulan tua berlalu, bulan baru membesar dan memudar di dunia luar, sementara kita berlama-lama di sana. Dan tadi malam sebuah bulan baru datang lagi. Muslin dingin sudah hampir sirna. Waktu mengalir ke musim semi dengan hanya sedikit harapan."

Malam itu berlalu sepi sekali. Tidak ada lagi suara atau teriakan yang terdengar di seberang sungai. Para pengembara itu meringkuk dalam perahu masing-masing, merasakan perubahan cuaca. Udara menjadi panas dan hening sekali di bawah awan-awan besar yang lembap, yang datang mengalir-dari Selatan dan lautan yang jauh. Bunyi desiran Sungai di atas bebatuan air terjun tampaknya semakin keras dan dekat. Ranting-ranting pohon di atas mereka mulai menetes.
Ketika pagi merekah, dunia sekitar mereka menjadi lembut dan sedih. Perlahan-lahan fajar tumbuh menjadi cahaya pucat, membaur dan tidak berbayang-bayang. Kabut menggantung di alas Sungai, dan kabut putih menyapu pantai; tebing di seberang tidak tampak.
"Aku benci kabut," kata Sam, "tapi yang ini kelihatannya menguntungkan. Mungkin sekarang kita bisa lolos tanpa goblin-goblin terkutuk itu melihat kita."
"Mungkin begitu," kata Aragorn. "Tapi akan sulit menemukan jalan, kecuali kabut tersingkap nanti. Dan kita harus menemukan jalan, kalau mau melewati Sarn Gebir dan mencapai Emyn Mull."
"Aku tidak mengerti, kenapa kita harus melewati Air Terjun atau mengikuti Sungai lebih jauh lagi," kata Boromir. "Kalau Emyn Mull ada di depan kita, kita bisa meninggalkan perahu-perahu tiram ini, dan berjalan ke arah barat dan selatan, sampai tiba di Entwash dan masuk ke negeriku sendiri."
"Itu bisa, kalau kita menuju Minas Tirith," kata Aragorn, "tapi itu belum disepakati. Dan perjalanan ke arah sana bisa lebih berbahaya daripada kedengarannya. Lembah Entwash datar dan penuh tanah basah, dan kabut di sana merupakan bahaya mematikan bagi yang berjalan kaki dan membawa muatan. Aku tidak akan meninggalkan perahu kita sampai benar-benar perlu. Sungai Jill setidaknya suatu jalan yang jelas."
"Tapi Musuh menguasai tebing timur," protes Boromir. "Kalaupun kau bisa melewati Gerbang-Gerbang Argonath dan datang tanpa cedera ke Tindrock, apa yang akan kaulakukan kemudian? Melompat dari air terjun dan mendarat di rawa-rawa?"
"Tidak!" jawab Aragorn. "Lebih baik kita mengangkat perahu kita melalui jalan kuno ke kaki Rauros, dan di sana masuk ke air lagi. Tidakkah kau tahu, Boromir, atau kau memilih untuk melupakan Tan--a Utara, dan takhta tinggi di atas Amon Hen, yang dibangun di masa raja-raja agung? Setidaknya aku ingin berdiri di tempat tinggi itu lagi, sebelum menentukan arahku selanjutnya. Di sana, mungkin, kita akan melihat suatu pertanda yang bisa membimbing kita."
Boromir bertahan lama melawan pilihan itu; tapi ketika sudah jelas bahwa Frodo akan mengikuti Aragorn ke mana pun ia pergi, Borornir menyerah. "Bukan watak Orang Minas Tirith untuk meninggalkan kawan-kawannya ketika mereka membutuhkan dia," katanya, "dan kalian akan membutuhkan kekuatanku, agar bisa mencapai Tindrock. Ke pulau tinggi itu aku akan pergi, tapi tidak lebih jauh lagi. Di sana aku akan pulang ke rumahku, sendirian kalau pertolonganku tidak membuahkan imbalan didampingi kawan."

Hari semakin siang, dan kabut sudah agak tersingkap. Diputuskan bahwa Aragorn dan Legolas segera maju menelusuri pantai, sementara yang lain tetap tingQal di dekat perahu. Aragorn berharap akan menemukan jalan yang bisa dilalui sambil menggotong perahu dan muatan ke bagian sungai yang lebih tenang di luar Jeram.
"Perahu-perahu Peri mungkin tidak akan tenggelam," kata Aragorn, "tapi itu bukan berarti kita bisa melewati Sam Gebir hidup-hidup. Belum ada yang pernah melakukan itu. Tidak ada jalan yang dibangun Orang-Orang Gondor di wilayah ini, karena bahkan di masa kejayaan mereka, wilayah mereka tidak sampai mencapai Anduin di luar Emyn Mull; tapi ada jalan angkutan di suatu tempat di pantai barat, kalau aku bisa menemukannya. Mestinya belum hancur, karena perahu-perahu ringan dulu biasa pergi dari Belantara ke Osgiliath, dan masih begitu sampai beberapa tahun yang lalu, ketika Orc dari Mordor mulai berkembang biak."
"Jarang sekali dalam hidupku ada perahu yang keluar dari Utara, dan para Orc berkeliaran di pantai timur," kata Boromir. "Kalau kau maju terus, bahaya akan tumbuh bersama setiap mil, meski kau menemukan jalan."
"Bahaya ada di depan, di setiap jalan ke selatan," kata Aragorn. "Tunggulah kami satu hari. Kalau kami tidak kembali dalam waktu itu, kau akan tahu bahwa kami ditimpa malapetaka. Maka kau harus menunjuk pemimpin baru dan mengikutinya sebaik mungkin."
Dengan hati berat Frodo melihat Aragorn dan Legolas mendaki tebing terjal dan hilang dalam kabut; tapi ketakutannya terbukti tidak berdasar. Hanya dua atau tiga jam berlalu, dan baru tengah hari, ketika sosok-sosok kabur kedua penjelajah itu muncul kembali.
"Semua beres," kata Aragorn ketika menuruni tebing. "Ada jalan setapak, yang menuju sebuah dermaga yang masih bisa digunakan. Jaraknya tidak jauh: puncak Jeram hanya setengah mil di bawah kita, dan hanya satu mil lebih sedikit panjangnya. Tidak jauh dari sana, sungai menjadi mulus dan jernih lagi, meski deras alirannya. Pekerjaan terberat adalah membawa perahu-perahu dan barang bawaan kita ke jalan angkutan yang lama. Kami sudah menemukannya, tapi cukup jauh dari tepi sungai sini, dan membentang di bawah lambung dinding batu karang, sekitar dua ratus meter atau lebih dari pantai. Kami tidak menemukan"letak dermaga utara. Kalau masih ada, mungkin sudah kita lewati tadi malam. Kita bisa bersusah payah melawan arus, dan mungkin tidak melihatnya karena kabut. Aku khawatir kita harus meninggalkan Sungai sekarang, dan menuju jalan angkutan sedapat mungkin dari sini."
"Itu tidak akan mudah, meski seandainya kita semua Manusia," kata Boromir.
"Tapi kita akan mencoba apa adanya," kata Aragorn.
"Ya, kita akan mencobanya," kata Gimli. "Langkah kaki Manusia akan ketinggalan di jalan yang kasar, sementara Kurcaci bisa terus berjalan, meski bebannya dua kali berat badannya sendiri, Master Boromir!"
Memang pekerjaan itu ternyata sangat berat, tapi akhirnya selesai juga. Muatan dikeluarkan dari dalam perahu dan dibawa ke puncak tebing, di mana ada tempat datar. Lalu perahu-perahu ditarik keluar dari air dan diangkat ke atas. Perahu-perahu itu tidak seberat yang mereka sangka. Dari pohon apa yang tumbuh di negeri Peri mereka dibuat, bahkan Legolas pun tidak tahu; kayunya alot, tapi ringan sekali. Merry dan Pippin bisa menggotong perahu mereka dengan mudah berdua saja, sepanjang tanah datar. Meski begitu, butuh kekuatan dua Manusia untuk mengangkat dan menyeretnya melewati daratan yang sekarang dilewati Rombongan. Tanah itu menanjak menjauh dari Sungai, tanah kosong penuh bergelimpangan batu-batu kapur kelabu, dengan lubang-lubang tersembunyi yang diselubungi rumput-rumput tinggi dan semak; ada semak bramble dan lembah-lembah kecil terjal; di sana-sini ada kolam-kolam berlumpur yang menampung air dari teras-teras yang lebih jauh di pedalaman.
Satu demi satu Boromir dan Aragorn menggotong perahu-perahu, sementara yang lain bekerja keras dan melangkah susah payah di belakang mereka, dengan barang-barang bawaan masing-masing. Akhirnya semuanya selesai dipindahkan dan diletakkan di jalan. Tanpa banyak rintangan, kecuali dari ranting-ranting yang menggeletak dan bebatuan yang terjatuh, mereka bergerak maju bersama-sama. Kabut masih menggantung tebal di atas dinding batu karang yang remuk. Dan di sebelah kiri mereka kabut menyelimuti Sungai: mereka bisa mendengarnya mendesir dan berbuih melewati ujung-ujung dan geligi tajam Sam Gebir, tapi mereka tak bisa melihatnya. Dua kali mereka melakukan perjalanan itu, sebelum semua terbawa dengan aman ke dermaga selatan.
Di sana jalan membelok kembali ke tepi sungai, menjulur turun dengan lembut ke pinggir kolam kecil yang dangkal. Tampaknya seolah digali di tebing sungai, bukan dengan tangan, melainkan oleh air yang berputar-putar turun dari Sam Gebir, menghantam batu karang rendah yang menjorok sedikit ke tengah. Di luarnya pantai mendaki menjadi baru karang kelabu, dan tak ada jalan lagi untuk pejalan kaki.
Siang yang pendek sudah lewat, dan senja remang-remang berawan mulai mengepung. Mereka duduk di tepi air, mendengarkan desiran dan deruman kacau Jeram yang tersembunyi di dalam kabut; mereka letih dan mengantuk, hati mereka sama muramnya seperti hari yang sedang berlalu.
"Nah, di sinilah kita, dan di sini kita harus bermalam sekali lagi," kata Boromir. "Kita perlu tidur. Walau seandainya Aragorn berniat melewati Gerbang-Gerbang Argonath di malam hari, kita semua sudah terlalu lelah kecuali, pasti, Kurcaci kita yang kokoh."
Gimli tidak menjawab: ia sudah mengangguk-angguk mengantuk sambil duduk.
"Mari kita istirahat sebanyak mungkin sekarang," kata Aragorn. "Besok kita harus berjalan lagi saat hari terang. Kecuali cuaca berubah kembali lagi dan mengkhianati kita, kita punya kesempatan bagus untuk menyelinap pergi, tanpa terlihat oleh mata mana pun di pantai timur. Tapi malam ini dua orang sekaligus harus berjaga, setiap kali giliran bergantian: tiga jam istirahat dan satu jam jaga."

Tidak ada yang terjadi malam itu, selain gerimis singkat saw jam sebelum fajar. Kabut sudah mulai menipis. Mereka berjalan sedekat mungkin ke tepi barat, dan mereka bisa melihat bentuk-bentuk kabur batu-batu karang rendah yang menjulang semakin tinggi dinding-dinding gelap dengan kaki di dalam sungai yang mengalir kencang. Tengah hari awan-awan semakin rendah, dan hujan mulai turun deras.. Mereka menebarkan penutup kulit ke atas perahu-perahu, agar tidak kebanjiran dan bisa terus mengambang; hanya sedikit yang bisa terlihat di depan atau di sekitar mereka melalui tirai kelabu yang berjatuhan.
Ternyata hujan tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan langit di atas semakin terang, kemudian tiba-tiba awan-awan pecah, pinggirannya yang basah mengalir ke arah utara Sungai. Kabut sudah hilang. Di depan mereka terhampar sebuah jurang lebar, dengan tebing berbatu besar yang ditumbuhi beberapa pohon pada beting dan retakannya. Bentangan sungai semakin sempit-dan Sungai mengalir semakin kencang. Sekarang mereka meluncur cepat, tanpa harapan bisa berhenti atau memutar, apa pun yang akan mereka temui di depan. Di atas mereka, ada jalur langit biru pucat, di sekeliling mereka Sungai yang gelap penuh bayangan, dan di depan mereka berdiri bukit-bukit Emyn Muil yang hitam, menutupi matahari, dan tak terlihat satu pun bukaan.
Frodo, yang mengintai ke depan, melihat di kejauhan dua batu karang besar mendekat: seperti puncak besar atau tiang batu tampaknya. Tinggi dan curam, serta mengancam, berdiri di kedua sisi sungai.
Ada celah sempit di antaranya, dan Sungai menyapu perahu-perahu ke arah celah tersebut.
"Lihatlah Argonath, Pilar-Pilar Raja-Raja!" teriak Aragorn. "Kita akan segera melewatinya. Atur perahu-perahu berbaris, jaga jarak masing-masing sejauh mungkin! Tetap di tengah sungai!"
Ketika Frodo terbawa mendekati mereka, kedua pilar besar itu menjulang menyambutnya, seperti menara. Di matanya, mereka tampak seperti raksasa. Sosok-sosok besar kelabu yang diam, namun mengancam. Lalu ia melihat bahwa mereka memang dibentuk dan dihias: keterampilan dan kekuatan masa lain telah mengukir mereka, dan bentuk mereka masih seperti pada saat mereka dipahat, bertahan terhadap sinar matahari dan hujan selama perjalanan tahun-tahun yang terlupakan. Di atas landasan besar yang dibangun dalam air, berdiri dua raja dari batu: masih dengan mata kabur dan alis bercelah mereka mengerutkan kening ke arah Utara. Tangan kiri masing-masing terangkat, dengan telapak tangan menghadap keluar, dalam isyarat memperingatkan; di masing-masing tangan kanan ada kapak; di atas masing-masing kepala ada topi baja dan mahkota yang runtuh. Kekuatan hebat dan keagungan masih tercermin dalam sosok mereka, pengawas-pengawas bisu dari kerajaan yang sudah lama hilang. Rasa kagum bercampur takut meliputi Frodo, dan ia gemetar, memejamkan mata dan tidak berani menengadah ketika perahu semakin dekat. Bahkan Boromir pun menundukkan kepala ketika perahu-perahu melewati patung-patung itu, tampak lemah dan tak berarti, seperti dedaunan kecil di bawah bayangan pengawas-pengawas Numenor. Begitulah, mereka masuk ke dalam jurang gelap Gerbang.
Batu-batu karang yang mengerikan mendaki terjal sampai ketinggian yang tak bisa diduga di kedua sisi. Jauh di sana tampak langit redup. Air sungai hitam menderum dan bergema, dan angin berteriak berembus di atas mereka. Frodo yang berlutut mendengar Sam bergumam dan mengerang di depan, "Tempat macam apa ini! Tempat mengerikan! Biarkan aku keluar dari perahu ini, dan aku tidak akan pernah membasahi kakiku dalam genangan air lagi, apalagi sungai!"
"Jangan cemas!" kata sebuah suara asing di belakangnya. Frodo menoleh dan melihat Strider, tapi bukan Strider; karena si Penjaga Hutan yang tangguh dimakan cuaca sudah tak ada lagi. Sebagai gantinya, di buritan duduk Aragorn putra Arathorn, gagah dan tegak, mengemudikan perahu dengan kayuhan andal; kerudungnya tersingkap ke belakang, rambutnya yang gelap berkibar ditiup angin, dan matanya bersinar-sinar: sosok seorang raja yang kembali dari pengasingan kenegerinya sendiri.
"Jangan takut!" katanya. "Sudah lama aku berhasrat ingin melihat patung-patung Isildur dan Anarion, raja-rajaku dulu. Di bawah bayangan mereka, Elessar, putra batu-Peri dari Arathorn, dari Rumah Valandil putra Isildur, pewaris Elendil, tidak takut pada apa pun!"
Lalu sinar matanya meredup, dan ia berbicara pada dirinya sendiri, "Seandainya Gandalf ada di sini! Hatiku rindu pada Minas Anor dan tembok-tembok kotaku sendiri! Tapi ke mana sekarang aku akan pergi?"
Jurang itu panjang dan gelap, penuh dengan bunyi angin dan air yang mengalir deras serta batuan yang bergema. Jurang itu agak melengkung ke barat, sehingga pada mulanya semuanya gelap di depan; tapi, tak lama kemudian, Frodo melihat celah tinggi bercahaya di depannya, yang semakin besar. Dengan cepat ia mendekat, dan mendadak perahu-perahu meluncur melewatinya, keluar ke dalam cahaya lebar jernih.

Matahari, yang sudah jauh dari tengah hari, bersinar di langit yang berangin. Air yang tertahan menyebar ke dalam telaga panjang lonjong, Nen Hithoel yang pucat, dipagari bukit-bukit curam yang sisi-sisinya dipenuhi pepohonan, tapi kepala mereka gundul, bersinar dingin dalam cahaya matahari. Di ujung jauh sebelah selatan menjulang tiga puncak. Yang tengah berdiri lebih maju daripada yang lain, memisahkan dari mereka sebuah pulau di tengahnya, dan di sekelilingnya Sungai melontarkan lengan-lengannya yang pucat berkilauan. Jauh tapi keras, dibawa angin, terdengar bunyi menderum seperti bunyi guruh yang terdengar dari jauh.
"Lihatlah Tol Brandir!" kata Aragorn sambil menunjuk ke selatan, ke puncak yang tinggi. "Di sebelah kiri berdiri Amon Lhaw, dan di sebelah kanan adalah Amon Hen, Bukit-Bukit Pendengaran dan Penglihatan. Di masa raja-raja agung, di sana ada tempat-tempat duduk tinggi, dan di sana pengawas berjaga. Tapi konon" tak pernah ada kaki manusia yang menginjak Tol Brandir. Sebelum kegelapan malam tiba, kita akan sampai ke sana. Aku mendengar bunyi abadi Rauros memanggil."
Rombongan itu sekarang beristirahat sejenak, meluncur ke selatan, mengikuti arus yang mengalir di tengah telaga. Mereka makan sedikit, lalu mengambil dayung dan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan. Sisi-sisi bukit di barat masuk ke dalam bayangan, Matahari menjadi bundar dan merah. Di sana-sini bintang redup mengintip. Ketiga puncak itu menjulang tinggi di depan mereka, gelap di senja hari. Rauros menderum keras. Malam sudah menyelubungi air yang mengalir ketika para pengembara itu akhirnya sampai ke bawah bayangan bukit-bukit.
Hari kesepuluh perjalanan mereka berakhir sudah. Belantara ada di belakang. Mereka tak bisa pergi lebih jauh tanpa memilih antara jalan timur dan jalan barat. Tahap terakhir Pencarian ada di depan.

Book 2 - Bab 8

SELAMAT TINGGAL LORIEN

Malam itu Rombongan dipanggil lagi ke istana Celeborn. Di sana Lord Celeborn dan Lady Galadriel menyambut mereka dengan kata-kata indah. Akhirnya Celeborn membicarakan keberangkatan mereka.
Katanya, "Sekaranglah saatnya mereka yang mau melanjutkan Pencarian harus menguatkan hati untuk meninggalkan negeri ini. Mereka yang tak ingin melanjutkan, boleh tetap tinggal di sini, untuk sementara. Tapi entah mereka pergi atau tinggal, tak ada kepastian akan kedamaian. Karena sekarang kita sudah mendekati kiamat. Mereka yang mau, boleh menunggu di sini, hingga jalan dunia terbuka lagi, atau sampai kami mengumpulkan mereka untuk kebutuhan terakhir Lorien. Setelah itu mereka boleh kembali ke negeri mereka sendiri, atau pergi ke rumah peristirahatan lama untuk mereka yang jatuh dalam pertempuran."
Hening sekali. "Mereka semua bertekad terus maju," kata Galadriel yang menatap ke dalam mata mereka.
"Bagiku," kata Boromir, "jalan pulang ke rumahku ada di depan, dan bukan kembali."
"Itu benar," kata Celeborn, "tapi apakah seluruh Rombongan ini akan pergi bersamamu ke Minas Tirith?"
"Kami belum menentukan arah jalan kami, kata Aragorn. "Di luar Lothlorien, aku tidak tahu rencana Gandal£ Bahkan menurutku dia belum punya tujuan jelas."
"Mungkin tidak," kata Celeborn, "tapi kalau kau meninggalkan negeri ini, kau tidak bisa lagi melupakan Sungai Besar. Seperti beberapa di antara kalian sudah tahu, sungai itu tak bisa diseberangi pelancong yang membawa muatan di antara Lorien dan Gondor, kecuali dengan perahu. Dan bukankah jembatan-jembatan Osgiliath sudah putus dan semua pelabuhan sekarang dikuasai Musuh?
"Di sisi mana kalian akan berjalan? Jalan ke Minas Tirith terletak di sisi ini, di barat; tapi jalan lurus Pencarian terletak di sebelah timur Sungai, di pantai yang lebih gelap. Pantai mana yang akan kalian ambil?"
"Kalau saranku diperhatikan, maka kami akan mengambil pantai barat, dan jalan ke Minas Tirith," jawab Boromir. "Tapi aku bukan pemimpin Rombongan." Yang lain tidak berbicara, Aragorn kelihatan ragu dan resah.
"Kulihat kau belum tahu harus melakukan apa," kata Celeborn. "Bukan bagianku untuk memilihkan bagimu; tapi aku akan mencoba membantumu sebisaku. Ada beberapa di antara kalian yang bisa menangani perahu: Legolas, yang bangsanya mengenal Sungai Forest yang deras; Boromir dari Gondor; dan Aragorn si pengembara."
"Dan satu hobbit!" teriak Merry. "Tidak semua dari kami memandang perahu seperti kuda liar. Keluargaku tinggal di tepi Brandywine."
"Bagus sekali," kata Celeborn. "Kalau begitu, aku akan melengkapi Rombongan-mu dengan perahu-perahu. Perahunya harus kecil dan ringan, sebab kalau kau pergi jauh melewati air, akan ada tempat-tempat di mana kau terpaksa menggotongnya. Kau akan sampai ke Air Terjun Sarn Gebir, dan mungkin akhirnya sampai ke air terjun besar Rauros, di mana Sungai mengguruh terjun dari Nen Hithoel; dan ada bahaya-bahaya lain. Perahu akan membuat perjalanan kalian tidak terlalu melelahkan, untuk sementara waktu. Tapi perahu itu tidak akan memberi kalian pertolongan: pada akhirnya kalian harus meninggalkannya dan keluar dari Sungai, membelok ke barat-atau timur."
Aragorn mengucapkan terima kasih banyak pada Celeborn. Pemberian perahu sangat menghibur hatinya, karena mereka jadi tak perlu menentukan arah untuk beberapa hari mendatang. Yang lain juga tampak lebih berpengharapan. Apa pun bahaya yang ada di depan, rasanya lebih baik mengambang melalui sungai lebar Anduin untuk menghadapinya, daripada berjalan susah payah dengan punggung, membungkuk. Hanya Sam yang agak ragu: setidaknya ia masih beranggapan perahu sama buruknya dengan kuda liar, atau lebih buruk lagi, dan tidak semua bahaya yang sudah dilaluinya membuatnya berpandangan lebih baik tentang perahu.
"Semuanya akan disiapkan untukmu, dan menunggu kalian di pelabuhan sebelum tengah hari besok," kata Celeborn. "Aku akan mengirim anak buahku pada kalian untuk membantu mempersiapkan perjalanan. Sekarang kami doakan kalian semua malam yang indah dan tidur nyenyak."
"Selamat tidur kawan-kawanku!" kata Galadriel. "Tidurlah dengan damai! Jangan risaukan perjalanan kalian. Mungkin jalan yang masing-masing akan kalian lewati sudah terhampar di depan kalian, meski kalian tidak melihatnya. Selamat malam!"

Rombongan itu berpamitan dan kembali ke paviliun mereka. Legolas pergi bersama mereka, karena inilah malam terakhir mereka di Lothlorien, dan meski sudah mendengar kata-kata Galadriel tadi, mereka tetap ingin membicarakan perjalanan mereka bersama-sama.
Untuk waktu lama mereka berdebat tentang apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara terbaik mencoba memenuhi tujuan mereka dengan Cincin: tapi mereka tidak berhasil mencapai keputusan. Jelas sekali beberapa di antara mereka ingin pergi ke Minas Tirith dulu, untuk mengelak dari teror Musuh untuk sementara waktu. Mereka sebenarnya bersedia mengikuti seorang pemimpin menyeberangi Sungai dan masuk ke kegelapan Mordor; tapi Frodo tidak berbicara, dan Aragorn masih bercabang pikirannya.
Rencana Aragorn, ketika Gandalf masih bersama mereka, adalah pergi dengan Boromir, dan dengan pedangnya membantu menyelamatkan Gondor. Karena ia percaya pesan-pesan dalam mimpinya memang suatu panggilan, dan bahwa saatnya sudah tiba bag' pewaris Elendil untuk maju bertanding dengan Sauron, merebut kekuasaan. Tapi di Moria beban Gandalf beralih ke pundaknya; dan ia tahu ia tak bisa meninggalkan Cincin sekarang, kalau Frodo akhirnya menolak pergi dengan Boromir. Meski begitu, pertolongan apa yang bisa ia berikan pada Frodo, kecuali berjalan dengan membabi buta mendampinginya masuk ke kegelapan?
"Aku akan pergi ke Minas Tirith, sendirian kalau terpaksa, karena itu tugasku," kata Boromir. Setelah itu ia diam sejenak, duduk menatap Frodo, seolah mencoba membaca pikiran hobbit itu. Akhirnya ia berbicara lagi perlahan, seolah berdebat dengan dirinya sendiri. "Kalau kau hanya ingin menghancurkan Cincin," katanya, "maka perang dan senjata tidak banyak gunanya; dan Orang-Orang Minas Tirith tak bisa membantu. Tapi kalau kau ingin menghancurkan kekuatan bersenjata Penguasa Kegelapan, maka bodoh sekali kalau kau masuk ke wilayahnya tanpa kekerasan; dan bodoh sekali untuk membuangnya." ia berhenti mendadak, seolah menyadari ia tengah mengucapkan pikirannya keras-keras. "Maksudku, bodoh sekali untuk membuang kehidupan dengan sia-sia," katanya. "Ini adalah pilihan antara mempertahankan tempat yang kuat dan berjalan terang-terangan masuk ke tangan kematian. Setidaknya, begitulah pendapatku."
Frodo menangkap sesuatu yang baru dan aneh dalam tatapan Boromir, dan ia memandang pria itu dengan tajam. Jelas pikiran Boromir berbeda dengan kata-katanya yang terakhir. Bodoh sekali untuk membuangnya? Membuang apa? Cincin Kekuasaan? ia pernah mengatakan hal semacam ini di Dewan, tapi kemudian ucapannya dikoreksi oleh Elrond. Frodo memandang Aragorn, tapi tampaknya Aragorn sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan tidak menunjukkan tanda bahwa ia mendengar kata-kata Boromir. Dengan demikian, debat mereka berakhir. Merry dan Pippin sudah tertidur, dan Sam mengangguk-angguk. Malam semakin larut.

Di pagi hari, saat mereka mulai mengemasi barang-barang mereka yang sedikit, beberapa Peri yang bisa berbicara bahasa mereka datang membawakan banyak hadiah, berupa makanan dan pakaian untuk perjalanan. Makanannya kebanyakan berupa kue yang sangat tipis, bagian dalamnya berwarna krem. Gimli mengambil salah satu kue dan memandangnya dengan ragu.
"Cram," katanya berbisik, lain ia mematahkan ujung yang garing dan mengunyahnya. Ekspresi wajahnya cepat berubah, dan ia memakan seluruh sisa kue itu dengan senang.
"Cukup, cukup!" seru para Peri sambil tertawa. "Kau sudah makan cukup untuk sehari perjalanan panjang."
"Kukira ini hanya semacam cram, seperti yang dibuat orang-orang Dale untuk perjalanan di belantara," kata Gimli.
"Memang begitu," jawab mereka. "Tapi kami menyebutnya lembas atau waybread, roil perjalanan, dan ini lebih menguatkan daripada makanan mana pun yang dibuat Manusia, dan lebih lezat daripada cram."
"Memang begitu," kata Gimli. "Wah, bahkan lebih enak daripada kue madu kaum Beorning, dan itu merupakan pujian besar, karena kaum Beorning adalah tukang roti terbaik yang kukenal; tapi di masa kini mereka tidak bersedia membagi-bagikan kue mereka kepada pelancong. Kalian tuan rumah yang sangat baik hati!"
"Tapi kami sarankan kalian menghemat makanan itu," kata mereka. Makanlah sedikit saja setiap kali, dan hanya kalau dibutuhkan. Karena kue-kue ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan kalian bila makanan lain tidak ada. Kue-kue ini akan tetap manis selama beberapa hari, kalau dibiarkan utuh dan tetap dalam bungkusan mereka, seperti sekarang ini. Satu kue cukup untuk membuat seorang pelancong bertahan selama satu hari kerja keras, meski dia salah satu Manusia jangkung dari Minas Tirith."
Kemudian para Peri membuka dan memberikan pada setiap anggota Rombongan pakaian yang mereka bawa. Untuk setiap orang sudah disediakan kerudung dan jubah, sesuai ukuran masing-masing, dari bahan semacam sutra yang ringan tapi hangat, hasil tenunan kaum Galadhrim. Sulit disebut warnanya: kelabu bernada senja di bawah pepohonan, dan kalau digerakkan, atau diletakkan di bawah cahaya lain, tampak hijau seperti daun yang remang-remang, atau cokelat seperti padang kosong di malam hari, perak-senja seperti air di bawah sinar bintang. Setiap jubah diikat di leher, den-an bros seperti daun hijau berurat perak.
"Apakah ini jubah sihir?" tanya Pippin, memandangnya dengan kagum.
"Aku tidak tahu maksudmu," jawab pemimpin kelompok Peri. "Ini pakaian indah, dan tenunannya bagus, karena dibuat di negeri ini. Memang ini jubah kaum Peri, kalau itu maksudmu. Daun dan dahan, air dan batu: mereka memiliki warna dan keindahan semua itu, di bawah senja Lorien yang kami cintai; karena kami memasukkan pikiran tentang semua yang kami cintai ke dalam segala sesuatu yang kami buat. Tapi ini pakaian, bukan senjata, dan tidak bisa menangkis batang tombak atau mata pisau. Tapi mereka akan sangat berguna: ringan dipakai, dan cukup hangat atau sejuk, sesuai kebutuhan. Dan kau akan menyadari bahwa pakaian ini akan sangat membantumu menyembunyikan diri dari pandangan mata yang tidak ramah, baik kau berjalan di antara bebatuan atau pepohonan. Kalian benar-benar sangat disayangi Lady! Karena dia sendiri dan gadis-gadis pelayannya yang menenun bahan ini; dan belum pernah kami memakaikan pakaian bangsa kami sendiri pada orang asing."

Setelah makan pagi, Rombongan itu pamit kepada halaman dekat air mancur. Hati mereka terasa berat; karena tempat itu indah sekali, dan sudah terasa seperti rumah sendiri, meski mereka tak bisa menghitung siang dan malam yang sudah mereka lewatkan di sana. Saat mereka berdiri sejenak memandang air putih di bawah sinar matahari, Haldir datang mendekati, melintasi rumput hijau lapangan itu. Frodo menyambutnya dengan gembira.
"Aku sudah kembali dari Pagar-Pagar Utara," kata Peri itu, "dan aku sekarang dikirim untuk menjadi pemandu kalian lagi. Lembah Dimrill penuh nap dan awan asap, dan pegunungannya resah. Ada bunyi berisik dari dalam bumi. Seandainya ada di antara kalian yang berniat pulang ke utara, ke rumah kalian, kalian takkan mungkin melewati jalan itu. Tapi marilah! Jalan kalian sekarang ke selatan."
Ketika mereka melewati Caras Galadhon, jalan-jalan yang hijau tampak kosong; tapi di pepohonan di atas banyak suara bergumam dan bernyanyi. Mereka sendiri berjalan diam. Akhirnya Haldir menuntun mereka menuruni lereng-lereng selatan bukit, dan mereka kembali mendekati gerbang besar yang digantungi lampu-lampu, dan ke jembatan putih; dan begitulah, mereka keluar dan pergi dari kota bangsa Peri. Lalu mereka keluar dari jalan berubin dan men-ambil rute yang masuk ke gerombolan pohon mallorn yang rapat, dan berjalan terus, melewati wilayah hutan berbayang-bayang keperakan, terus-menerus turun, ke selatan dan ke timur, menuju tebing Sungai.
Mereka sudah berjalan sekitar sepuluh mil, dan tengah hari telah menjelang ketika mereka tiba di sebuah tembok hijau yang tinggi. Melalui sebuah bukaan, tiba-tiba mereka sudah keluar dari antara pepohonan. Di depan mereka terhampar halaman panjang rumput yang bersinar-sinar, bertatahkan elanor emas yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Halaman itu menjulur sampai ke suatu lidah sempit di antara pinggiran yang cerah: di sebelah kanan dan barat, Silverlode mengalir kemilau; di sebelah kiri dan timur, Sungai Besar mengalunkan airnya yang luas, dalam, dan gelap. Di pantai seberang, hutan masih membentang ke selatan, sejauh mata memandang, tapi semua tebing kosong dan gersang. Tak ada mallorn yang merentangkan dahan-dahan bermuatan emas di luar Negeri Lorien.
Di tebing Silverlode, agak jauh dari tempat pertemuan sungai, ada dermaga dari batu dan kayu putih. Banyak perahu dan tongkang berlabuh di sana. Beberapa dicat dengan warna cerah, dan gemerlap dengan perak, emas, dan hijau, tapi kebanyakan hanya kelabu atau putih. Tiga perahu kelabu kecil sudah disiapkan bagi para pelancong, dan ke dalamnya para Peri menaikkan bawaan mereka. Mereka juga menambahkan gulungan tambang, tiga gulling untuk setiap perahu. Tampak ramping, tapi kuat, terasa seperti sutra, berwarna kelabu seperti jubah-jubah Peri.
"Apa ini?" tanya Sam, memegang satu yang tergeletak di rumput.
"Itu tambang!" jawab para Peri dari atas perahu. "Jangan pernah berjalan jauh tanpa membawa tambang! Dan harus yang kuat dan ringan. Tambang ini kuat dan ringan. Akan membantu dalam banyak kebutuhan."
"Kau tak perlu mengatakan itu padaku!" kata Sam. "Aku datang tanpa membawa tambang satu pun, dan aku cemas selama iii. Tapi aku bertanya-tanya, tambang ini dibuat dari bahan apa, karena aku tahu sedikit tentang pembuatan tambang; sudah kebiasaan dalam keluargaku, bisa dikatakan begitu."
"Tambang ini terbuat dari hithlain," kata Peri itu, "tapi sekarang tak ada waktu untuk mengajarimu seni pembuatannya. Seandainya kami tahu keterampilan ini kausukai, kami bisa banyak mengajarimu. Sayang sekali! Kecuali suatu saat kau kembali ke sini, kau harus puas dengan pemberian kami ini. Mudah-mudahan berguna bagimu!"
"Ayo!" kata Haldir. "Semua sudah siap. Masuklah ke perahu! Tapi hati-hatilah pada mulanya!"
"Perhatikan kata-katanya!" kata Peri-Peri yang lain. "Perahu-perahu ini ringan dan andal, tidak seperti perahu bangsa lain. Tidak akan karam, meski bermuatan penuh; tapi mereka akan melawan bila diperlakukan kasar. Sebaiknya kalian membiasakan diri naik-turun dari perahu, selagi ada tempat berlabuh di sini, sebelum kalian berangkat mengikuti aliran sungai."

Rombongan diatur sebagai berikut: Aragorn, Frodo; dan Sam dalam satu perahu; Boromir, Merry, dan Pippin di perahu lain; perahu ketiga diisi Legolas dan Gimli, yang sudah menjadi sahabat kental sekarang. Di perahu terakhir inilah sebagian besar barang dan bungkusan dimasukkan. Perahu-perahu digerakkan dan dikemudikan dengan dayung pendek berbilah lebar berbentuk daun. Ketika semua sudah siap, Aragorn memimpin mereka sebagai percobaan melalui Silverlode. Alirannya deras, dan mereka maju perlahan. Sam duduk di haluan, memegang pinggiran perahu, dan memandang sedih ke arah pantai. Matahari yang berkilauan di permukaan air menyilaukan matanya. Saat mereka melewati padang hijau Tongue, pepohonan melengkung ke bawah, sampai menyentuh tepian sungai. Di sana-sini daun-daun keemasan berputar mengambang di atas aliran sungai yang beriak. Udara sangat cerah dan tenang, dan hening sekali, kecuali nyanyian bernada tinggi dari burung-burung lark di kejauhan.
Mereka mengikuti tikungan tajam di sungai, dan di sana, berlayar gagah di depan, menuju ke arah mereka, tampak seekor angsa besar. Air beriak-riak di kedua sisi dadanya yang putih, di bawah lehernya yang melengkung. Paruhnya mengilat seperti emas yang dipoles, dan matanya bersinar bagai permata hitam yang dipasang di tengah permata kuning; sayapnya yang besar dan putih setengah terangkat. Musik mengalun melintasi sungai ketika ia mendekat, dan mendadak mereka menyadari bahwa itu sebuah kapal, dibangun dan diukir dengan keterampilan Peri hingga menyerupai seekor angsa. Dua Peri berpakaian putih mengemudikannya dengan kayuh hitam. Di tengah kapal duduk Celeborn, dan di belakangnya berdiri Galadriel, jangkung dan putih; di rambutnya ada rangkaian bunga emas, di tangannya ia memegang harpa, dan ia bernyanyi. Sedih dan manis bunyi suaranya, di udara yang jernih dan sejuk:

Tentang dedaunan aku bernyanyi, daun-daun emas, daun-daun emas yang tumbuh di sana
Tentang angin aku bernyanyi, angin yang datang dan membuat terlena.
Di bawah Matahari, di bawah rembulan, berbuih-buih Lautan luas,
Dan di pantai Ilmarin tumbuh sebatang Pohon emas.
Di bawah bintang-bintang Ever-eve ia bersinar,
Di samping tembok Elven Tirion, di Eldamar
Daun-daun emasnva lama tumbuh di sana,
Namun di seberang Samudra, Peri-Peri menitikkan air mata.
Oh Lorien! Musim dingin t'lah tiba, Hari yang gersang dan tak berdaun;
Daun-daun berguguran ke dalam air, namun Sungai terus bergerak mengalun.
Oh Lorien! Terlalu lama pantaimu kutinggalkan,
Dan bunga elanor emas, mahkotanya mulai memudar perlahan,
Ingin kubernyanyi tentang kapal, tapi kapal apa 'kan datang padaku,
Kapal apa mau membawaku, menyeberangi Samudra seluas itu?

Aragorn menghentikan perahunya ketika Kapal Angsa itu sampai di sampingnya. Lady Galadriel mengakhiri nyanyiannya dan menyalami mereka. "Kami datang untuk mengucapkan selamat jalan," katanya, . "dan mengantar kalian dengan berkat dari negeri ini."
"Meski kalian sudah menjadi tamu kami," kata Celeborn, "kalian belum makan bersama kami, maka 'dari itu kami mengundang kalian ke pesta perpisahan, di sini... di antara air mengalir yang akan membawa kalian jauh dari Lorien."
Angsa itu bergerak perlahan menuju dermaga. Mereka memutar perahu dan mengikutinya. Di sana, di ujung Egladil, di hamparan rumput hijau, pesta perpisahan berlangsung; tapi Frodo hanya sedikit makan dan minum; ia lebih banyak memperhatikan kecantikan Lady Galadriel dan suaranya. Galadriel tidak lagi tampak berbahaya atau mengerikan, sosoknya pun tidak tampak menyimpan kekuatan tersembunyi. Di mata Frodo, ia kelihatan nyata sekaligus tidak nyata, bagaikan pemandangan yang hidup dari sesuatu yang telah ditinggalkan jauh di belakang, oleh aliran sungai Waktu; sosok Peri yang seperti itulah yang sesekali masih terlihat oleh manusia di belakang hari.

Setelah mereka makan dan minum, sambil duduk di rumput, Celeborn berbicara lagi tentang perjalanan mereka, dan sambil mengangkat tangannya ia menunjuk ke selatan, ke hutan-hutan di luar Tongue.
"Kalau kalian melalui air," katanya, "kalian tidak akan menemukan pepohonan lagi. Kalian akan sampai ke sebuah negeri gersang. Di sana Sungai mengalir di lembah berbatu di tengah dataran tinggi gersang, dan setelah bermil-mil dia sampai ke pulau tinggi Tindrock, yang kami sebut Tol Brandir. Di sana dia menjulurkan lengannya ke tebing curam pulau itu, lalu jatuh dengan berisik dan penuh asap melewati air terjun Rauros, turun ke Nindalf, yang dalam bahasa kalian disebut Wetwang. Itu adalah wilayah luas tanah berair, di mana aliran sungai jadi berbelit-belit dan banyak terbagi. Di sana Entwash mengalir masuk dari banyak muara di Hutan Fangorn di barat. Sekitar sungai itu, di sisi sebelah sini Sungai, terletak Rohan. Di sisi yang lebih jauh terdapat bukit-bukit gersang Emyn Muil. Angin bertiup dari Timur di sana, karena bukit-bukit itu memandang ke luar, melewati Rawa-Rawa Mati dan negeri-negeri Noman, sampai Cirith Gorgor dan gerbang-gerbang hitam Mordor.
"Boromir, dan siapa pun yang akan pergi bersamanya mencari Minas Tirith, sebaiknya meninggalkan Sungai Besar di atas Rauros dan menyeberangi Entwash sebelum sampai ke rawa-rawa. Tapi jangan terlalu jauh mengarungi sungai itu, juga jangan mengambil risiko tersesat di Hutan Fangorn. Itu negeri aneh, dan sekarang hanya sedikit dikenal. Tapi Boromir dan Aragorn pasti tidak membutuhkan peringatan ini."
"Memang kami sudah mendengar tentang Fangorn di Minas Tirith," kata Boromir. "Tapi dari apa yang pernah kudengar, tampaknya kebanyakan berupa dongeng nenek-nenek, seperti yang kita ceritakan pada anak-anak kita. Semua yang letaknya di sebelah Utara Rohan sekarang begitu jauh dari kami, sehingga khayalan bisa bergerak bebas. Sejak dulu Fangorn berada di perbatasan dunia kita; tapi sudah lama sekali berlalu, sejak ada di antara kami yang mengunjunginya, untuk membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran legenda-legenda yang sudah turun-temurun dari zaman dulu.
"Aku sendiri sesekali ke Rohan, tapi aku belum pernah melewatinya ke arah utara. Ketika aku dikirim sebagai utusan, aku melewati Celah di kaki Pegunungan Putih, melintasi Isen dan Greyflood, masuk ke Northerland. Perjalanan panjang dan melelahkan. Empat ratus league jaraknya, dan makan waktu berbulan-bulan; karena aku kehilangan kudaku di Tharbad, di tempat dangkal Greyflood. Setelah perjalanan itu, dan jalan yang kulalui bersama Rombongan ini, aku tidak ragu bahwa aku bisa menemukan jalan melalui Rohan, dan Fangorn juga, kalau terpaksa."
"Kalau begitu, aku tak perlu mengatakan apa-apa lagi." kata Celeborn. "Tapi jangan meremehkan pengetahuan yang sudah turun-temurun; karena sering kali nenek-nenek tua mengingat hal-hal yang dulu memang perlu diketahui orang-orang bijak."

Kini Galadriel bangkit dari rumput. Sambil mengambil cangkir dari salah seorang dayang-dayangnya, ia mengisinya dengan anggur madu putih dan memberikannya pada Celeborn.
"Kini saatnya minum anggur perpisahan," kata Galadriel. "Minumlah, Lord Galadhrim! Dan janganlah hatimu sedih, meski malam harus mengikuti siang, dan senja sudah menjelang."
Lalu ia membawa cangkir itu kepada masing-masing anggota Rombongan, dan memohon mereka meminumnya, serta mengucapkan selamat jalan pada mereka. Tapi, setelah mereka minum, ia menyuruh mereka duduk lagi di rumput. Kursi-kursi dibawa untuk Galadriel dan Celeborn. Dayang-dayangnya berdiri diam di sekitarnya, dan sejenak ia menatap tamu-tamunya. Akhirnya ia berbicara lagi.
"Kita sudah minum dari cangkir perpisahan," katanya, "dan kegelapan jatuh di antara kita. Tapi, sebelum kalian pergi, aku membawa banyak hadiah di kapalku, untuk diberikan pada kalian oleh Lord dan Lady Galadhrim, sebagai kenang-kenangan kepada Lorien." Lalu ia memanggil mereka bergantian.
"Ini hadiah dari Celeborn dan Galadriel kepada pemimpin Rombongan," katanya kepada Aragorn; lalu ia memberikan sebuah sarung pedang yang dibuat sesuai ukuran pedangnya. Sarung itu berhiaskan gambar bunga-bunga dan daun-daun terbuat dari perak dan emas, di atasnya, dalam lambang Peri yang dibentuk oleh batu-batu permata, tertulis nama Anduril dan garis keturunan pedang itu.
"Pedanyang dihunus dari sarung ini tidak akan ternoda atau patah, bahkan bila kalah," katanya. "Tapi adakah hal lain yang kauinginkan dariku pada perpisahan ini? Karena kegelapan akan mengalir di antara kita, dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi, kecuali jauh di sana, di suatu jalan yang tak ada jalur kembali."
Aragorn menjawab, "Lady, kau tahu semua hasratku, dan sudah lama kau menyimpan harta satu-satunya yang kucari. Namun bukan hakmu untuk memberikannya padaku, meski kau mau; hanya melalui kegelapan aku bisa mencapainya."
"Namun mungkin ini akan meringankan hatimu," kata Galadriel, "karena benda ini diberikan padaku untuk dirawat dan disimpan untuk diberikan kepadamu, seandainya kau melalui negeri ini." Lalu dari pangkuannya ia mengambil sebuah batu besar berwarna hijau bening, dipasang pada sebuah bros perak yang ditempa dalam bentuk elang dengan sayap terkembang; ketika ia mengangkatnya, perhiasan itu bersinar seperti cahaya matahari melalui dedaunan musim semi. "Batu ini dulu kuberikan kepada Celebrian, putriku, dan dia memberikannya kepada putrinya; sekarang dia datang kepadamu sebagai tanda harapan. Saat ini terimalah nama yang sudah diramalkan bagimu, Elessar, batu Peri dari rumah Elendil!"
Aragorn mengambil batu itu dan memasang bros di dadanya, dan mereka yang melihatnya terkagum-kagum: karena sebelumnya mereka tidak memperhatikan betapa jangkung dan gagah sosok Aragorn, seperti seorang raja. Mereka juga melihat seolah-olah perjalanan tahun yang keras lepas dari pundaknya. "Untuk hadiah-hadiah yang kauberikan padaku, aku mengucapkan terima kasih," kata Aragorn. "Oh, Lady Lorien, dari siapa turun Celebrian dan Arwen Evenstar. Bagaimana lagi bisa kunaikkan puji-pujian?"
Galadriel menundukkan kepalanya, kemudian beralih kepada Boromir, dan kepadanya ia memberikan ikat pinggang emas; kepada Merry dan Pippin ia memberikan ikat pinggang kecil dari perak, masing-masing dengan gesper yang ditempa menyerupai bunga emas. Kepada Legolas ia memberikan busur sama den-an yang digunakan bangsa Galadhrim, lebih panjang dan kokoh daripada panah Mirkwood, dan diikat dengan seutas rambut Peri. Bersama itu diberikannya juga setabung anak panah.
"Untukmu, tukang kebun kecil dan pecinta pohon," kata Galadriel pada Sam, "aku hanya punya hadiah kecil." ia meletakkan ke tangan Sam sebuah kotak kecil dari kayu kelabu polos, tidak berhias, kecuali satu lambang perak di tutupnya. "Ini huruf G untuk Galadriel," katanya, "tapi juga bisa berarti 'kebun' dalam bahasamu. Di dalam kotak ini ada tanah dari kebun buah-buahanku, dan berkat yang masih bisa dilimpahkan Galadriel ada di dalamnya. Tanah ini tidak akan membuatmu bertahan di jalan, atau membelamu terhadap bahaya; tapi kalau kau menyimpannya dan kelak kau kembali pulang, mungkin dia baru menunjukkan manfaatnya. Meski lingkungan sekitarmu gersang dan kosong, kebunmu akan menjadi satu dari sedikit kebun paling indah di Dunia Tengah, kalau kau menaburkan tanah itu di sana. Lalu kau akan ingat pada Galadriel, dan kau akan melihat sekilas pemandangan di Lorien dari jauh, yang hanya kausaksikan di saat musim din,-In. Sebab musim semi dan musim panas kami sudah lewat, dan takkan terlihat lagi di dunia, kecuali dalam ingatan."
Wajah Sam memerah sampai ke telinganya, dan ia menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar, ketika ia memegang erat kotak itu dan membungkuk sebagus mungkin.
"Dan hadiah apa yang akan diminta seorang Kurcaci dari ban-sa Peri?" tanya Galadriel kepada Gimli.
"Tidak ada, Lady," jawab Gimli. "Sudah cukup bagiku telah melihat Lady bangsa Galadhrim, dan mendengarkan kata-katanya yang lembut."
"Dengar itu, hat para Peri!" seru Galadriel kepada semua di sekitarnya. "Jangan ada lagi yang mengatakan bahwa Kurcaci adalah bangsa yang rakus dan tidak tahu berterima kasih! Tapi Gimli, putra Min, pasti ada sesuatu yang kauinginkan, yang bisa kuberikan. Sebutkan, kumohon! Kau tidak boleh menjadi satu-satunya tamu tanpa hadiah."
"Tidak ada, Lady Galadriel," kata Gimli, membungkuk rendah dan berbicara terbata-bata. "Tidak ada, kecuali kalau boleh kecuali diizinkan untuk meminta... maksudku untuk menyebut... satu helai rambutmu yang keindahannya melebihi emas di bumi, seperti bintang melebihi permata-permata dari tambang. Aku tidak layak meminta hadiah seperti itu. Tapi kau memerintahkan aku untuk menyebutkan hasratku."
Para Peri tersentak dan bergumam kaget, dan Celeborn menatap Kurcaci itu dengan heran, tapi Galadriel tersenyum. "Konon keterampilan bangsa Kurcaci ada pada tangan mereka, bukan pada lidah," katanya, "tapi itu tidak berlaku bagi Gimli. Karena belum pernah ada yang mengajukan permintaan yang begitu berani, namun begitu sopan. Dan bagaimana aku bisa menolak, karena aku yang memerintahkannya berbicara? Tapi katakan padaku, apa yang akan kaulakukan dengan hadiah seperti itu?"
"Menyimpannya dengan hati-hati, Lady," jawab Gimli, "sebagai kenangan terhadap kata-katamu pada pertemuan kita yang pertama. Dan kalau aku suatu saat nanti kembali ke tukang pandai besi di rumah, maka rambut itu akan diawetkan dalam kristal yang tak bisa hancur, untuk menjadi pusaka rumahku, dan sebagai ikrar iktikad baik antara wilayah Gunung dan Hutan, sampai akhir zaman." Lalu Galadriel membuka salah satu jalinan rambutnya yang panjang, memotong tiga helai rambut emas, dan meletakkannya di tangan Gimli. "Kukatakan padamu, bersama dengan pemberian ini," katanya. "Aku tidak meramal, karena semua ramalan sekarang sia-sia: di satu pihak ada kegelapan, dan di pihak lain hanya harapan. Tapi kalau harapan akhirnya menang, maka kukatakan padamu, Gimli putra Gloin, bahwa tanganmu akan dialiri emas, namun emas itu tidak akan menguasai hatimu.
"Dan kau, Pembawa Cincin," kata Galadriel, berbicara pada Frodo. "Aku mendatangimu terakhir, meski tempatmu bukan yang terakhir dalam pikiranku. Untukmu aku sudah menyiapkan ini." ia mengangkat sebuah tabung kecil dari kristal: berkilauan ketika ia menggerakkannya, dan sinar-sinar putih keluar dari tangannya. "Dalam tabung ini," katanya, "ada cahaya bintang Earendil, dimasukkan ke dalam air dari air mancurku. Dia akan bersinar lebih terang pada malam hari. Semoga ini menjadi cahaya bagimu di tempat-tempat gelap, ketika semua cahaya lain padam. Ingatlah Galadriel dan Cermin-nya!"
Frodo menerima tabung itu, dan untuk beberapa saat, ketika tabung itu bersinar di antara mereka, ia sekali lagi melihat Galadriel berdiri seperti ratu, agung dan cantik, namun tak lagi mengerikan. Ia membungkuk, dan tak bisa menemukan kata-kata untuk diucapkan.

Setelah itu Galadriel bangkit berdiri, dan Celeborn menuntunnya kembali ke dermaga. Tengah hari yang kuning menggantung di atas daratan hijau Tongue, dan air berkilau keperakan. Semuanya akhirnya siap. Rombongan itu menempati tempat masing-masing, seperti tadi. Sambil meneriakkan salam perpisahan, para Peri dari Lorien mendorong mereka keluar ke air yang mengalir, dengan tongkat panjang kelabu, dan air yang beriak perlahan-lahan membawa mereka pergi. Para pengembara itu duduk diam, tak bergerak ataupun berbicara. Di tebing hijau dekat ujung Tongue, Lady Galadriel berdiri sendirian dan diam. Saat melewatinya mereka menoleh, dan mata mereka memperhatikannya perlahan mengambang menjauh dari mereka. Sebab seperti itulah tampaknya bagi mereka: Lorien menyelinap mundur, seperti kapal cemerlang dengan pohon-pohon sihir sebagai tiang, berlayar ke pantai-pantai terlupakan, sementara mereka duduk tak berdaya di perbatasan dunia yang kelabu tanpa dedaunan.
Sementara mereka memandang, Silverlode mengalir keluar ke aliran Sungai Besar, perahu-perahu mereka membelok dan mulai melaju ke selatan. Tak lama kemudian, sosok putih Lady Galadriel menjadi kecil dan jauh. Ia bercahaya seperti jendela kaca di atas bukit, jauh di bawah matahari yang sedang terbenam, atau seperti danau di kejauhan,
yang terlihat dari gunung: sebuah kristal yang jatuh ke pangkuan bumi. Frodo merasa melihat Galadriel mengangkat tangannya sebagai perpisahan terakhir, dan jauh tapi tajam, suaranya yang jernih terdengar, bernyanyi menunggang angin. Tapi kini ia bernyanyi dalam bahasa Peri kuno dari seberang Laut, dan Frodo tak mengerti kata-katanya: musiknya indah, namun tidak menghiburnya.
Tapi kata-kata Peri itu akan selalu terpatri dalam ingatan Frodo, dan jauh setelahnya ia menerjemahkannya, sebisa mungkin: bahasanya seperti bahasa Peri dalam lagu, dan menceritakan hal-hal yang hanya sedikit diketahui di Dunia Tengah.

Ai! laurie lantar lassi surinen,
yeni unotime ve ramar aldaron!
Yeni ve linte yuldar avanier
mi oromardi lisse-miruvoreva
Andune pella, Vardo tellumar
nu luini yassen tintilar I eleni
omaryo airetari-lirinen.

Si man I yulma enquantuva?

An si Tintalle Varda Oisolosseo
ve fanyar maryat Elentari ortane
ar ilye tier undulave lumbule;
ar sindanoriello caita mornie
I falmalinnar imbe met, ar hisie
untupa Calaciryo miri oiale.
Si vanwa na, Romello vanwa, Valimar!

Namarie! Nai hiruvalye Valimar.
Nai elye hiruva. Namarie!

"Ah! Bagaikan emas, daun-daun berjatuhan dalam tiupan angin, tahun-tahun panjang seperti sayap pepohonan! Tahun-tahun panjang sudah berlalu, seperti tegukan cepat anggur manis di aula-aula megah di luar Barat, di bawah kubah-kubah Varda di mana bintang-bintang bergetar dalam nyanyiannya, suci dan agung. Siapa sekarang akan mengisi kembali cangkir untukku? Karena kini si Pembuat Api, Varda, Ratu Bintang, dari Gunung Everwhite, mengangkat tangannya seperti awan, dan semua jalan terbenam dalam kegelapan; dan di luar negeri kelabu itu kegelapan menutupi ombak berbuih di antara kita, dan kabut menyelubungi permata Calacirya untuk selamanya. Kini Valimar hilang, hilang dari Timur! Selamat tinggal! Mungkin kau akan menemukan Valimar. Mungkin kau akan menemukannya. Selamat tinggal!" Varda adalah nama Lady yang oleh bangsa Peri di negeri terasing ini disebut Elbereth.

Mendadak aliran Sungai membelok, tebingnya naik di kedua sisi, dan cahaya Lorien pun tersembunyi. Ke negeri elok itu Frodo tak pernah lagi kembali.
Para pengembara itu sekarang menghadapi perjalanan mereka; matahari ada di depan, dan mata mereka silau, karena semuanya tergenang air mata. Gimli menangis terang-terangan.
"Aku telah melihat pemandangan terindah, untuk terakhir kali," katanya kepada Legolas, sahabatnya. "Mulai sekarang takkan ada yang indah bagiku, kecuali hadiahnya." ia meletakkan tangannya di dada.
"Katakan padaku, Legolas, kenapa aku ikut dalam Pencarian ini? Aku sama sekali tidak tahu, di mana bahayanya yang utama! Elrond berkata benar, bahwa kita takkan bisa meramalkan apa yang bakal kita temui di jalan. Siksaan dalam gelap adalah bahaya yang kutakuti, namun itu tidak menahanku untuk ikut. Tapi aku tidak akan ikut seandainya aku tahu bahaya kebahagiaan dan cahaya. Sekarang aku menderita luka paling parah dalam perpisahan ini, kalaupun malam ini juga aku langsung dihadapkan pada sang Penguasa Kegelapan. Aduh, malangnya Gimli putra Gloin!"
"Tidak!" kata Legolas. "Malang kita semua! Dan semua yang mengembara di dunia, di hari-hari masa sisa ini. Karena begitulah keadaannya: menemukan dan kehilangan, seperti yang dialami mereka yang perahunya melaju di air. Tapi menurutku kau termasuk diberkati, Gimli putra Gloin: sebab kehilanganmu kauderita atas kemauan sendiri, padahal kau bisa saja memilih yang lain. Tapi kau tidak meninggalkan kawan-kawanmu, dan setidaknya imbalan yang akan kauterima adalah bahwa ingatan kepada Lothlorien akan selalu jelas tak bernoda di dalam hatimu, tak akan mengabur atau membusuk."
"Mungkin," kata Gimli, "dan terima kasih atas kata-katamu. Kata-kata yang tulus, tapi semua penghiburan seperti itu dingin rasanya. Kenangan bukanlah apa yang kuinginkan. Kenangan hanya seperti cermin, meski sejernih Kheled-zaram. Begitulah menurut kata hati Gimli si Kurcaci. Bangsa Peri mungkin punya pandangan lain. Memang kudengar bahwa bagi mereka, ingatan lebih seperti dunia alam sadar daripada seperti mimpi. Namun tidak demikian halnya bagi Kurcaci.
"Tapi sudahlah, jangan kita bicarakan lagi hal itu. Perhatikan perahu! Dia terlalu rendah masuk ke air, dengan semua muatan ini, dan Sungai Besar deras alirannya. Aku tak ingin membenamkan kesedihanku di dalam air dingin." ia mengangkat sebuah dayung, dan mengemudi ke arah tebing barat, mengikuti perahu Aragorn di depan, yang sudah bergerak keluar dari aliran tengah.
Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan panjang mengarungi sungai deras, terus menuju selatan. Pohon-pohon gundul menjulang di sepanjang tebing di kedua sisi, dan mereka tak bisa melihat sama sekali daratan di belakangnya. Angin berhenti dan Sungai terus mengalir tanpa suara. Tak ada cericip burung memecah kesunyian. Matahari jadi berkabut ketika hari semakin sore, sampai ia bersinar di langit pucat seperti mutiara putih tinggi. Lalu ia memudar ke Barat, dan senja datang dengan cepat, disusul malam kelabu tak berbintang. Sampai larut malam mereka mengapung jauh, mengemudikan perahu di bawah bayangan hutan yang menggantung di atas. Pohon-pohon besar lewat bagai hantu-hantu, menjorokkan akar-akar mereka yang terpelintir dan haus ke dalam air dari balik kabut. Dingin dan suram. Frodo duduk mendengarkan pukulan dan geluguk lemah Sungai yang resah di antara akar-akar pepohonan dan kayu apung dekat pantai, sampai kepalanya mengangguk-angguk dan ia tertidur gelisah.