Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Kamis, 14 Oktober 2010

Bab 12

PELARIAN KE FORD

Ketika Frodo sadar kembali, ia masih mencengkeram Cincin itu dengan erat. Ia berbaring dekat api, yang sekarang sudah ditumpuk tinggi dan menyala terang sekali. Ketiga kawannya membungkuk di atasnya.
"Apa yang terjadi? Di mana raja pucat itu?" tanya Frodo liar.
Sesaat mereka terlalu gembira mendengar ia berbicara, sehingga tidak langsung menjawabnya; lagi pula, mereka tidak memahami pertanyaannya. Akhirnya ia tahu dari Sam bahwa mereka tidak melihat apa pun, kecuali bentuk-bentuk samar-samar dan gelap yang datang ke arah mereka. Mendadak dengan ngeri Sam menyadari majikannya sudah hilang; pada scat itu sebuah bayangan hitam berlari melewatinya, dan ia jatuh. Ia mendengar suara Frodo, tapi seakan-akan datang dari jauh sekali, atau dari bawah tanah, meneriakkan kata-kata aneh. Mereka tidak melihat apa pun lagi, sampai mereka tersandung tubuh Frodo yang berbaring seperti mati, wajah tertelungkup di atas rumput, dengan pedangnya di bawahnya. Strider menyuruh mereka mengangkatnya dan membaringkannya di dekat api, lalu ia menghilang. Sekarang semua itu sudah cukup lama berlalu.
Sam jelas sudah mulai meragukan Strider lagi; tapi sementara mereka berbicara, Strider kembali, muncul tiba-tiba dari kegelapan. Mereka bergerak kaget, dan Sam menghunus pedangnya, sambil berdiri di atas Frodo; tapi Strider dengan cepat berjongkok di sisinya.
"Aku bukan Penunggang Hitam, Sam," katanya lembut, " juga tidak bersekongkol dengan mereka. Aku tadi berupaya mencari tahu tentang gerakan mereka; tapi aku tidak menemukan apa pun. Aku tidak mengerti, mengapa mereka pergi dan tidak menyerang lagi. Tapi sekarang tidak ada perasaan tentang kehadiran mereka di mana pun."
Setelah mendengar cerita Frodo, Strider menjadi sangat khawatir. Ia menggelengkan kepala dan mengeluh, lalu menyuruh Pippin dan Merry memanaskan sebanyak mungkin air yang bisa mereka tampung dalam ceret kecil mereka, dan membasuh luka Frodo dengan itu. "Jaga agar api tetap bagus, dan usahakan Frodo tetap hangat!" katanya. Lalu ia bangkit dan berjalan menjauh, memanggil Sam. "Rasanya sekarang aku lebih memahami hal ini," katanya dengan suara rendah. "Kelihatannya hanya ada lima orang di pihak musuh. Mengapa mereka tidak semua di sini, aku tidak tahu; tapi kurasa mereka tak menduga akan mendapat perlawanan. Mereka mundur untuk sementara. Tapi tidak jauh. Mereka akan kembali lain kali, kalau kita tak bisa lari. Mereka hanya menunggu, karena mengira tujuan mereka sudah hampir tercapai, dan bahwa Cincin itu tak bisa terbang lebih jauh lagi. Aku cemas mereka mengira majikanmu sudah mendapat luka mematikan, yang akan membuatnya menyerah menuruti kemauan mereka. Kita lihat saja!"
Sam tercekik menahan tangis. "Jangan putus asa!" kata Strider. "Kau harus mempercayai aku sekarang. Frodo-mu ternyata lebih tangguh daripada yang kuduga, meski Gandalf sudah memperkirakan hal itu. Dia tidak tewas, dan kurasa dia akan sanggup melawan kekuatan jahat dari lukanya, lebih lama daripada yang diharapkan musuh-musuhnya. Aku akan berusaha sebisaku untuk membantu dan menyembuhkannya. Jagalah dia baik-baik, sementara aku pergi!" Strider bergegas pergi dan lenyap kembali ditelan kegelapan.

Frodo tertidur sebentar, meski rasa pedih dari lukanya lambat lawn semakin berat, dan rasa dingin yang mematikan menyebar dari pundaknya ke tangan dan sisi tubuhnya. Kawan-kawannya menjaganya, menghangatkannya, dan membasuh lukanya. Malam berlalu perlahan dan melelahkan. Fajar mulai merebak di langit, dan lembah kecil itu mulai dipenuhi cahaya kelabu, ketika Strider akhirnya kembali.
"Lihat!" teriak Strider; sambil membungkuk ia memungut sebuah jubah hitam yang tergeletak di tanah, tersembunyi kegelapan. Satu kaki di atas kelimannya ada sayatan. "Ini bekas sapuan pedang Frodo," katanya. "Aku khawatir ini satu-satunya cedera yang diderita musuh; karena dia tak bisa terluka, dan semua mata pisau yang menusuk Raja mengerikan itu pasti hancur. Yang lebih mematikan untuknya adalah nama Elbereth."
"Dan lebih mematikan untuk Frodo adalah ini!" ia membungkuk lagi dan mengangkat sebuah pisau panjang tipis. Ada kilauan dingin di dalamnya. Saat Strider mengangkatnya di bawah cahaya yang semakin terang, mereka memandang keheranan, karena mata pisau itu tampaknya melebur dan lenyap seperti asap di udara, meninggalkan pangkalnya di tangan Strider. "Aduh!" teriaknya. "Inilah pisau terkutuk yang menimbulkan luka ini. Pada masa sekarang, hanya sedikit orang yang punya keahlian menyembuhkan, untuk menandingi senjata jahat seperti itu. Tapi aku akan berusaha semampuku."
Strider duduk di tanah, mengambil pangkal pisau itu dan meletakkannya di lututnya, sambil menyanyikan lagu lambat dalam bahasa asing. Lalu ia menyisihkan pisau itu dan berbicara dengan nada lembut kepada Frodo, dengan kata-kata yang tak bisa ditangkap oleh yang lain. Dari tas pinggangnya ia mengeluarkan beberapa helai daun panjang.
"Daun-daun ini," katanya, "sudah kucari jauh sekali; karena tanaman ini tidak tumbuh di bukit-bukit gersang, melainkan di semak-semak jauh di selatan Jalan. Aku menemukannya dalam kegelapan, dengan mencium bau daunnya." ia menghancurkan satu dengan jarinya, dan daun itu mengeluarkan ban manis dan pedas. "Untung aku bisa menemukannya, sebab inilah tanaman penyembuh yang dibawa Manusia dari Barat ke Dunia Tengah. Mereka menamakannya athelas, sekarang jarang tumbuh dan hanya ada di tempat-tempat mereka pernah tinggal atau berkemah di masa lalu; daun ini tidak dikenal di Utara, kecuali oleh beberapa pengembara di Belantara. Daun ini punya banyak manfaat bagus, tapi untuk luka semacam ini mungkin kekuatan penyembuhannya tidak seberapa."
Ia melemparkan daun-daun itu ke dalam air mendidih dan membasuh bahu Frodo. Wangi uapnya sangat menyegarkan, dan mereka yang tidak terluka merasa pikiran mereka menjadi tenang dan jernih. Tanaman itu juga berpengaruh terhadap luka Frodo, sebab Frodo merasa kepedihan dan rasa dingin membeku di sisi tubuhnya agak berkurang; tapi tangannya masih tetap mati rasa, dan ia tak bisa mengangkat atau menggunakannya. Dengan getir ia menyesali kebodohannya, dan mengomeli dirinya sendiri karena kelemahannya; sekarang ia sadar bahwa dengan memakai Cincin itu ia bukan mengikuti hasratnya sendiri, melainkan mengikuti kemauan Musuh yang menguasainya. Ia bertanya dalam hati, apakah ia akan selamanya cacat, dan bagaimana mereka akan berhasil meneruskan perjalanan. Ia merasa terlalu lemah untuk berdiri.
Yang lainnya juga sedang membahas pertanyaan tersebut. Mereka mengambil keputusan cepat untuk meninggalkan Weathertop sesegera mungkin. "Kurasa musuh sudah mengawasi tempat ini sejak lama," kata Strider. "Kalau Gandalf pernah ke sini, maka dia terpaksa menyingkir dan tidak akan kembali. Bagaimanapun, kita akan berada dalam bahaya besar di sini setelah gelap, sejak penyerangan semalam. Kalaupun kita pergi, hampir tak mungkin kita bertemu bahaya yang lebih besar."
Begitu hari terang, mereka makan tergesa-gesa dan berkemas. Frodo tak mampu berjalan, maka mereka membagi bagian terbesar bawaan mereka di antara mereka berempat, dan menempatkan Frodo di alas kuda. Dalam beberapa hari terakhir, hewan malang itu sudah banyak mengalami kemajuan; ia bahkan sudah kelihatan lebih gemuk dan kuat, dan mulai menunjukkan rasa sayang kepada majikan-majikannya yang baru, terutama Sam. Pasti perlakuan Bill Ferny kepadanya buruk sekali, sampai-sampai perjalanan di hutan malah terasa jauh lebih baik daripada kehidupannya yang lama.
Mereka berangkat ke arah selatan. Ini berarti harus menyeberangi Jalan, tapi itulah rute tercepat untuk sampai ke wilayah yang lebih banyak hutannya. Dan mereka butuh makanan; karena Strider mengatakan Frodo harus tetap hangat, terutama di malam hari, sementara api bisa memberikan perlindungan bagi mereka semua. Strider juga berniat memperpendek perjalanan mereka dengan memotong satu lagi lengkungan besar Jalan; ke arah timur melewati Weathertop, jalan itu berubah haluan dan membelok lebar ke arah utara.

Mereka berjalan perlahan dan hati-hati mengitari lereng bukit sebelah barat daya, dan setelah beberapa saat mereka sampai ke pinggir jalan. Tak ada tanda-tanda adanya para Penunggang. Tapi sementara bergegas menyeberangi Jalan, mereka mendengar dua teriakan di kejauhan: sebuah suara dingin memanggil dan suara dingin lain menjawab. Dengan gemetar mereka melompat dan berlari ke belukar yang ada di depan. Tanah di depan mereka melandai ke selatan, tapi liar dan tak ada jejak jalan: semak-semak dan pohon-pohon kerdil tumbuh dalam kerumunan rapat, dengan banyak tempat kosong di antaranya. Rumput jarang sekali, kasar dan kelabu; dan dedaunan di semak-semak sudah pudar dan rontok. Suatu wilayah yang tidak menyenangkan. Mereka hanya berbicara sedikit, sambil berjalan susah payah. Frodo sangat sedih ketika melihat mereka berjalan dengan kepala tertunduk dan Punggung bungkuk dibebani bawaan. Bahkan Strider tampak letih dan tidak bersemangat.
Sebelum perjalanan hari pertama selesai, rasa sakit Frodo semakin bertambah, tapi ia tidak mengungkapkannya untuk waktu lama. Empat hari berlalu, tanpa banyak perubahan pada tanah ataupun pemandangan, kecuali bahwa di belakang mereka Weathertop tenggelam perlahan-lahan, dan di depan mereka pegunungan di kejauhan semakin dekat. Namun sejak bunyi teriakan tadi, mereka tidak melihat atau mendengar tanda bahwa musuh sudah mengetahui pelarian mereka atau mengejar mereka. Mereka merasa takut pada saat-saat gelap, dan bergantian berjaga berpasangan di malam hari, setiap saat mengira akan melihat sosok-sosok hitam mengikuti mereka di malam kelabu, disinari samar-samar oleh bulan yang terselubung awan; tapi mereka tidak melihat apa pun, tidak mendengar suara kecuali desiran daun dan rumput layu. Tak sekali pun mereka merasakan kehadiran kejahatan yang menyerang mereka sebelum penyerbuan di lembah. Rasanya terlalu berlebihan untuk berharap bahwa para Penunggang itu sudah kehilangan jejak mereka lagi. Mungkin mereka sedang menunggu untuk menghadang di suatu tempat sempit?
Pada akhir hari kelima, tanah sekali lagi mulai menanjak landai, keluar dari lembah lebar yang telah mereka turuni. Strider sekarang memutar arah mereka ke timur laut lagi, dan pada hari keenam mereka sampai di puncak sebuah lereng yang mendaki panjang, dan melihat di kejauhan sekelompok bukit berhutan. Jauh di bawah mereka terlihat Jalan menyapu melingkari kaki bukit-bukit itu; dan di sebelah kanan mereka, sebuah sungai kelabu berkilau pucat di bawah sinar matahari yang tipis. Di kejauhan mereka melihat sungai lain lagi, di lembah berbatu yang setengah terselubung kabut.
"Aku khawatir kita terpaksa kembali ke Jalan untuk beberapa waktu," kata Strider. "Sekarang kita sudah sampai di Sungai Hoarwell, yang oleh bangsa Peri disebut Mitheithel. Sungai ini mengalir keluar dari Ettenmoors, dataran tinggi berbatu tempat bangsa troll di sebelah utara Rivendell, dan bergabung dengan Loudwater di Selatan. Beberapa orang menyebutnya Greyflood setelah itu. Sungainya besar sekali sebelum bermuara di Laut. Tak ada jalan melintasi sumbernya di Ettenmoors, kecuali melewati Jembatan Terakhir yang dilintasi Jalan."
"Sungai apa itu yang jauh di sana?" tanya Merry.
"Itu Loudwater, Bruinen dari Rivendell," jawab Strider. "Jalan menyusuri pinggiran bukit, sepanjang beberapa mil dari Jembatan, sampai ke Ford di Bruinen. Tapi aku belum memikirkan bagaimana kita akan menyeberangi sungai itu. Satu per satu sajalah! Kita akan beruntung kalau tidak ada rintangan menghadang di Jembatan Terakhir."

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, mereka turun lagi ke pinggir Jalan. Sam dan Strider berjalan di muka, tapi tidak menemukan tanda-tanda pelancong ataupun penunggang kuda. Di sini, di bawah bayangan pepohonan, hujan sudah turun beberapa waktu yang lalu. Strider memperkirakan hujan itu jatuh dua hari yang lalu, dan sudah menghilangkan semua jejak kaki. Tidak ada penunggang kuda yang lewat, sejauh ia bisa melihat.
Mereka bergegas secepat mungkin, dan setelah satu-dua mil mereka melihat Jembatan Terakhir di depan, pada dasar lereng pendek yang curam. Mereka takut akan melihat sosok-sosok hitam menunggu di sana, tapi ternyata tidak ada satu pun. Strider menyuruh mereka bersembunyi di dalam belukar di sisi Jalan, sementara ia main untuk menyelidiki.
Tak berapa lama kemudian, ia bergegas kembali. "Aku tidak melihat tanda-tanda ada musuh," katanya, "dan aku sangat ingin tahu apa artinya itu. Tapi aku menemukan sesuatu yang sangat aneh."
Ia mengulurkan tangannya, dan menunjukkan sebutir permata hijau pucat. "Aku menemukannya di dalam lumpur di tengah Jembatan," katanya. "Ini beryl, batu permata Peri. Apakah memang diletakkan di sana, atau jatuh tanpa sengaja, aku tidak tahu; tapi ini memberiku harapan. Aku akan menganggapnya tanda bahwa kita boleh melewati Jembatan; tapi di luar itu aku tidak berani tetap berjalan di Jalan, tanpa suatu tanda yang lebih jelas."

Segera mereka berjalan lagi. Mereka menyeberangi Jembatan dengan selamat, tidak mendengar bunyi apa pun kecuali bunyi air berputar-putar menabrak ketiga lengkungan jembatan itu. Satu mil dari sana mereka menjumpai sebuah jurang yang menjulur ke arah utara, melewati tanah terjal di sebelah kiri Jalan. Di sini Strider membelok, dan segera mereka hilang di tengah negeri suram dengan pohon-pohon gelap berbelok-belok melalui kaki perbukitan yang cemberut.
Para hobbit senang meninggalkan negeri yang muram dan Jalan yang berbahaya di belakang mereka; tapi negeri baru ini malah tampak mengancam dan tidak ramah. Saat mereka maju, bukit-bukit di sekitar mereka semakin tinggi. Di sana-sini, di atas dataran tinggi dan punggung bukit, mereka menangkap sekilas pemandangan tembok-tembok batu kuno dan puing-puing menara: mereka tampak mengancam. Frodo, yang tidak berjalan kaki, mempunyai waktu untuk memandang ke depan dan berpikir. Ia ingat cerita Bilbo tentang perjalanannya dan menara-menara mengancam di perbukitan sebelah utara Jalan, di negeri dekat hutan Troll, di mana ia mengalami petualangan seriusnya yang pertama. Frodo menduga sekarang mereka berada di wilayah yang sama, dan ia bertanya dalam hati, apakah mungkin mereka akan lewat di dekat tempat yang sama.
"Siapa yang tinggal di negeri ini?" tanya Frodo. "Dan siapa yang membangun menara-menara ini? Apakah ini negeri troll?"
"Bukan!" kata Strider. "Troll tidak membangun. Tidak ada yang hidup di negeri ini. Manusia pernah tinggal di sini, berabad-abad yang lalu; tapi sekarang tidak ada lagi. Mereka menjadi bangsa jahat, menurut dongeng-dongeng, karena mereka jatuh di bawah bayangan Angmar. Tapi semua musnah dalam perang yang membawa Kerajaan Utara ke kehancurannya. Tapi itu sudah begitu lama berlalu, hingga bukit-bukit pun sudah melupakan mereka, meski bayangan gelap masih menggantung di atas negeri ini."
"Di mana kau belajar kisah-kisah seperti itu, kalau semua negeri kosong dan pelupa?" tanya Peregrin. "Burung-burung dan hewan tidak menceritakan kisah-kisah semacam itu."
"Pewaris-pewaris Elendil tidak lupa semua kejadian di masa lalu," kata Strider, "dan banyak lagi hal yang bisa kuceritakan masih diingat di Rivendell."
"Seringkah kau ke Rivendell?" tanya Frodo.
"Sering," kata Strider. "Aku pernah tinggal di sana, dan aku masih kembali ke sana kalau bisa. Hatiku ada di sana; tapi bukan takdirku untuk duduk diam, meski di rumah indah milik Elrond."

Sekarang mereka mulai dikurung perbukitan. Jalan di belakang mereka masih tetap menuju Sungai Bruinen, tapi keduanya sekarang tertutup dari pandangan. Para pelancong itu masuk ke sebuah lembah panjang; sempit, dengan belahan dalam, gelap, dan sepi. Pohon-pohon dengan akar-akar tua dan terpelintir menggantung di atas batu karang, dan menumpuk di belakang menjadi lereng hutan cemara yang mendaki.
Para hobbit mulai kelelahan. Mereka maju sangat lambat, karena terpaksa memilih, jalan melalui' pedalaman, dibebani pohon-pohon tumbang dan batu-batu yang terguling. Selama mungkin mereka menghindari mendaki, demi Frodo, dan karena memang sulit untuk mencari jalan naik keluar dari lembah-lembah sempit itu. Mereka sudah dua hari berada di negeri itu ketika cuaca menjadi basah. Angin mulai berembus terus dari Barat, mencurahkan air dari lautan jauh ke atas kepala-kepala bukit yang gelap, dalam hujan rintik-rintik yang membuat basah kuyup. Di malam hari mereka semua basah kuyup, dan mereka bermalam dengan muram, karena tidak berhasil menyalakan api. Hari berikutnya perbukitan semakin tinggi dan lebih terjal di depan mereka, dan mereka terpaksa berbalik ke utara, keluar dari jalur arah semula. Strider rupanya mulai cemas: mereka sudah hampir sepuluh hari keluar dari Weathertop, dan persediaan makanan sudah sangat menipis. Hujan terus turun.
Malam itu mereka bermalam di suatu dataran berbatu, dengan tembok batu karang di belakang, di mana ada sebuah gua pendek, hanya semacam cekungan di dalam batu karang. Frodo resah. Hawa dingin dan basah membuat lukanya semakin pedih, rasa sakit dan dingin yang mematikan menghilangkan kantuk. Ia berbaring gelisah, can mendengarkan bunyi-bunyi malam dengan perasaan takut: angin di celah-celah pecahan batu karang, air menetes, keriutan, bunyi geletar jatuh batu yang tiba-tiba terlepas. Ia merasa ada sosok-sosok hitam mendekat untuk mencekiknya, tapi ketika ia bangkit duduk, ia tidak melihat apa pun kecuali punggung Strider yang duduk meringkuk, mengisap pipanya, dan berjaga. Ia berbaring lagi dan bermimpi buruk, di mana ia berjalan di halaman rumput kebunnya di Shire, tapi halaman itu kelihatan kabur dan samar-samar, kurang jelas dibanding dengan bayangan-bayangan tinggi hitam yang berdiri memandang dari atas pagar.

Di pagi hari ia terbangun, dan menyadari hujan sudah berhenti. Awan-awan masih tebal, tapi sudah pecah, dan serpihan-serpihan biru muncul di antaranya. Angin berubah arah lagi. Mereka tidak berangkat pagi-pagi. Segera sesudah sarapan yang dingin dan tidak enak, Strider pergi sendirian, menyuruh yang lain tetap di bawah perlindungan sebuah batu karang, sampai ia kembali. Ia akan mendaki, kalau bisa, dan mempelajari letak tanah.
Ketika kembali, ia tidak membawa berita gembira. "Kita sudah terlalu jauh ke utara," katanya, "dan kita harus menemukan cara untuk balik arah ke selatan lagi. Kalau tetap pada arah sekarang ini, kita akan sampai di Ettendales, jauh di utara Rivendell. Itu negeri troll, dan tidak begitu kukenal. Mungkin kita bisa mencari jalan untuk lewat dan sampai di Rivendell dari utara; tapi itu akan makan waktu terlalu lama, karena aku tidak tahu jalannya, dan makanan kita tidak akan cukup. Jadi, bagaimanapun kita harus menemukan Ford Bruinen."
Sisa hari itu mereka habiskan dengan merangkak di tanah berbatu. Mereka menemukan jalan di antara dua bukit yang membawa mereka kt sebuah lembah yang menjulur ke tenggara, arah yang mereka ingin ambil; tetapi, menjelang penghujung hari, jalan mereka dihadang punggung dataran tinggi; pinggirannya yang gelap, pada latar belakang langit, terpecah ke dalam banyak ujung, seperti gigi-gigi gergaji tumpul. Hanya ada dua pilihan: balik arah atau mendakinya.
Mereka memutuskan mencoba mendakinya, tapi ternyata sangat sulit. Tak lama kemudian, Frodo terpaksa turun dari kuda dan berjuang dengan berjalan kaki. Meski begitu, mereka putus asa menaikkan kuda mereka, atau bahkan mencari jalan untuk mereka sendiri, dengan dibebani begitu banyak barang. Cahaya hampir hilang, dan mereka semua kelelahan, ketika akhirnya mereka mencapai puncak. Mereka naik ke atas sebuah pelana sempit di antara dua puncak yang lebih tinggi, dan tanah turun lagi dengan curam, sedikit lebih jauh dari sana. Frodo melemparkan tubuhnya ke tanah, dan berbaring menggigil di sana. Tangan kirinya lumpuh, sisi tubuh serta pundaknya serasa dicengkeram cakar sedingin es. Pohon-pohon dan batu-batu di sekitarnya terlihat kabur dan kelam.
"Kita tak bisa pergi lebih jauh lagi," kata Merry pada Strider. "Aku khawatir ini sudah terlalu berat untuk Frodo. Aku sangat cemas tentang dia. Apa yang harus kita lakukan? Menurutmu, apakah mereka akan bisa menyembuhkannya di Rivendell, kalau kita bisa sampai ke sana?"
"Kita lihat saja nanti," kata Strider. "Tak ada lagi yang bisa kulakukan di belantara; dan justru karena lukanya, aku sangat ingin terus maju. Tapi aku setuju, kita tak bisa berjalan lebih jauh lagi malam ini."
"Apa masalahnya dengan majikanku?" tanya Sam dengan suara rendah, memandang memohon pada Strider. "Lukanya kecil, dan sudah tertutup. Tidak ada yang kelihatan, kecuali bekas putih di pundaknya."
"Frodo sudah disentuh senjata Musuh," kata Strider, "dan ada semacam racun atau kekuatan jahat yang berada di luar kemampuanku untuk menyembuhkan. Tapi jangan putus harapan, Sam!"

Malam di atas punggung bukit dingin sekali. Mereka menyalakan api kecil di bawah akar-akar kasar sebatang cemara yang menggantung di atas sebuah sumur dangkal; tampaknya seperti bekas tambang penggalian batu. Mereka duduk bersama. Angin bertiup dingin melewati celah, dan mereka mendengar puncak-puncak pepohonan di bawah mengerang dan mengeluh. Frodo berbaring setengah bermimpi, membayangkan sayap-sayap gelap yang tak henti-henti terbang melayang di atasnya, dan di atas sayap terbanglah para pengejar yang mencarinya di semua celah bukit
Pagi merekah cerah dan indah; udara bersih, tampak cahaya pucat dan jernih di langit yang sudah dibasuh hujan. Semangat mereka bangkit, tapi mereka mendambakan matahari untuk menghangatkan anggota tubuh yang kedinginan. Setelah hari terang, Strider membawa Merry bersamanya dan pergi mempelajari tanah dari ketinggian, sampai sebelah timur celah. Matahari sudah terbit dan sudah bersinar terang ketika ia kembali dengan kabar yang lebih menggembirakan. Sekarang mereka sudah berjalan kurang-lebih ke arah yang benar. Kalau mereka meneruskan perjalanan, menuruni sisi sebelah sana punggung bukit, Pegunungan akan berada di sebelah kiri mereka. Tak jauh di depan, Strider sudah melihat sekilas Loudwater lagi, dan ia tahu bahwa, meski tersembunyi dari pandangan, Jalan ke arah Ford tidak jauh dari Sungai dan terletak pada sisi yang paling dekat dengan mereka.
"Kita harus pergi ke Jalan lagi," kata Strider. "Kita tak bisa mengharapkan menemukan jalan melewati bukit-bukit ini. Bahaya apa pun yang ada di sana, Jalan itu adalah satu-satunya cara kita untuk sampai di Ford."

Selesai makan, mereka langsung berangkat. Perlahan mereka menuruni sebelah selatan punggung bukit: tapi jalan itu jauh lebih mudah daripada yang mereka duga, karena lerengnya tidak begitu terjal pada sisi ini, dan tak lama kemudian Frodo bisa menunggang kuda lagi. Kuda Bill Ferny yang malang ternyata punya bakat tak terduga untuk mencari jalan, dan untuk sebisa mungkin menghindari penunggangnya terguncang-guncang. Semangat rombongan itu kembali meningkat. Bahkan Frodo merasa agak baikan dalam cahaya pagi, tapi sebentar-sebentar kabut seolah menghalangi pandangannya, dan ia menyeka matanya.
Pippin agak lebih di depan yang lainnya. Tiba-tiba ia menoleh dan memanggil mereka. "Ada jalan di sini!" teriaknya.
Ketika mereka berdiri sejajar dengannya, mereka melihat Pippin tidak salah: di sana dengan jelas ada awal sebuah jalan, yang mendaki berkelok-kelok keluar dari hutan di bawah, dan menghilang di atas puncak bukit di belakang. Di beberapa tempat ia agak kabur dan dipenuhi tanaman, atau sesak dengan batu-batu dan pohon-pohon tumbang, tapi tampaknya pernah ramai digunakan. Jalan itu sudah dibuat oleh tangan-tangan kuat dan kaki berat. Di sana-sini pohon-pohon lama sudah ditebang atau dipatahkan, dan batu-batu besar dibelah atau digulingkan ke pinggir untuk membuka jalan.
Mereka mengikuti jalan itu untuk beberapa saat, karena merupakan jalan termudah untuk turun, tapi mereka berjalan hati-hati, dan kecemasan mereka semakin bertambah ketika mereka masuk ke hutan yang gelap, dan jalan itu semakin jelas dan lebar. Mendadak jalan itu keluar dari segerombolan pohon cemara, menurun curam di sebuah lereng, dan membelok tajam ke kin', mengitari pojok sebuah punggung bukit berbatu. Ketika sampai ke pojok itu, mereka melayangkan pan_ dang ke sekeliling dan melihat bahwa jalan itu menjulur terus di tanah datar, di bawah sebuah karang rendah yang dipenuhi pohon. Di tembok bebatuan ada sebuah pintu yang menggantung miring terbuka pada satu engselnya.
Di luar pintu itu mereka semua berhenti. Ada sebuah gua atau liang batu karang di belakangnya, tapi dalam keremangan tak ada yang terlihat. Strider, Sam, dan Merry mendorong sekuat tenaga, dan berhasil membuka pintu lebih lebar, lalu Strider dan Merry masuk. Mereka tidak pergi jauh, karena di lantai bertebaran banyak tulang-belulang, dan tidak ada yang terlihat dekat pintu masuk, kecuali beberapa guci kosong dan pot-pot pecah.
"Pasti ini gua troll, kalau itu memang ada!" kata Pippin. "Keluar, kalian berdua, dan mari kita pergi. Sekarang kita tahu siapa yang membuat jalan ini, dan sebaiknya kita secepatnya keluar dari sini."
"Tak perlu, kukira," kata Strider, yang keluar dari gua. "Memang ini sebuah lubang troll, tapi kelihatannya sudah lama ditinggalkan. Kurasa kita tak perlu takut. Tapi kita harus turun terus dengan hati-hati, dan nanti kita lihat saja."
Jalan itu berlanjut lagi dan pintu, dan membelok ke kanan lagi, melintasi tanah datar, terjun menuruni lereng yang berhutan rapat. Pippin, yang tidak mau menunjukkan pada Strider bahwa ia masih takut, berjalan di depan dengan Merry. Sam dan Strider di belakang mereka, mengapit kuda Frodo, karena jalan itu tidak cukup lebar untuk empat atau lima hobbit berjalan satu baris. Mereka belum berjalan jauh ketika Pippin datang berlari, disusul Merry. Mereka berdua tampak ketakutan.
"Ada troll!" Pippin berkata terengah-engah. "Di bawah, di tempat terbuka di hutan, tidak jauh dari sini. Kami melihatnya dari antara batang-batang pohon. Mereka besar sekali!"
"Kita akan pergi melihat mereka," kata Strider sambil memungut sebuah tongkat. Frodo tidak mengatakan apa-apa, tapi Sam kelihatan takut.

Matahari sekarang sudah tinggi, dan bersinar melalui ranting-ranting pohon yang sudah setengah gundul, menyinari tempat terbuka itu dengan bercak-bercak cahaya terang. Mereka berhenti tiba-tiba di pinggiran, dan mengintip melalui batang-batang pohon, sambil menahan napas. Di sana berdiri troll-troll: tiga troll besar. Satu membungkuk, dan dua yang lain berdiri memandangnya.
Strider berjalan maju dengan tak acuh. "Bangun, batu kuno!" katanya, dan ia mematahkan tongkatnya ke alas troll yang membungkuk.
Tidak terjadi apa-apa. Para hobbit terenyak kaget, lalu Frodo tertawa. "Well!" katanya. "Rupanya kita lupa sejarah keluarga kita! Ini pasti ketiga troll yang ditangkap Gandalf ketika mereka sedang bertengkar tentang cara yang tepat untuk memasak tiga belas Kurcaci dan satu hobbit."
"Aku sama sekali tidak tahu kita sudah berada di dekat tempat itu!" kata Pippin. Ia kenal betul kisah itu. Bilbo dan Frodo sudah cukup sering menceritakannya; tapi sebenarnya ia hanya setengah percaya. Bahkan sekarang ia memandang troll-troll dan batu itu dengan penuh curiga, bertanya-tanya apakah karena sihir mereka jangan-jangan hidup lagi.
"Kalian bukan hanya lupa sejarah keluarga kalian, tapi semua yang pernah kalian ketahui tentang troll," kata Strider. "Saat ini tengah hari, dan matahari bersinar cerah, tapi kalian mencoba menakut-nakutiku dengan cerita ada troll hidup menunggu kita di tempat terbuka ini! Pasti kalian sudah melihat, pada salah satu dan mereka ada sarang burung lama di belakang telinganya. Itu perhiasan yang sangat tidak lazim untuk troll hidup!"
Mereka semua tertawa. Frodo merasa semangatnya bangkit lagi: ingatan akan petualangan sukses Bilbo yang pertama sangat membesarkan hati. Matahari juga terasa hangat menghibur, dan kabut di depan matanya tampak agak tersingkap. Mereka beristirahat sejenak di tempat terbuka itu, dan makan siang di bawah bayangan kaki troll yang besar.
"Adakah yang mau menyanyi untuk kita, sementara matahari masih tinggi?" kata Merry ketika mereka selesai. "Sudah berhari-hari kita tidak mendengar lagu atau cerita."
"Tidak sejak Weathertop," kata Frodo. Yang lain memandangnya. Jangan khawatir tentang aku!" tambahnya. "Aku merasa jauh lebih baik, tapi rasanya aku tak bisa menyanyi. Mungkin Sam bisa menggali sesuatu dari ingatannya."
"Ayo, Sam!" kata Merry. "Kau punya banyak materi di dalam kepalamu, melebihi yang kauperlihatkan."
"Entah ya," kata Sam. "Tapi bagaimana kalau yang ini? Ini bukan puisi betulan, kalau kau paham: hanya sedikit omong kosong. Tap, patung-patung kuno ini mengingatkanku pada ini." Sambil berdiri, dengan tangan di belakang punggung, seolah berada di sekolah, ia mulai menyanyikan lagu lama.

Troll duduk sendirian di kursi batu,
Menggigit dan mengunyah tulang kaku;
Bertahun-tahun sudah menggigit tanpa lelah,
Karena daging susah didapat.
Babat! Rapat!
Troll tinggal sendirian di gua bukit batu,
Dan daging susah didapat.

Datang Tom bersepatu bot besar.
Katanya kepada Troll: "Maaf, apa yang kaukunyah itu?
Kok seperti tulang kering pamanku Tim,
Yang mestinya berbaring di kuburan.
Pelataran! Halaman!
Sudah lama pamanku mati,
Dan kukira dia di dalam kuburan."

"Anakku, " kata Troll, "tulang ini aku curi.
Tapi tulang dalam lubang tentu tak berarti.
Pamanmu sudah kaku seperti bongkah batu,
Sebelum aku menemukan tulangnya.
Tulangnya! Belulangnya!
Dia bisa kasih satu pada troll tua malang ini,
Karena dia tidak butuh tulang keringnya."

Kata Tom, "Aku tidak paham, kenapa yang semacam kau ini
Mengambil seenaknya, tanpa permisi
Tulang kering sanak ayahku;
Tulang tua itu, kembalikan!
Pakan! Lakan!
Tulang itu miliknya, meski dia sudah mati;
Jadi tulang itu kembalikan!"

"Supaya lebih kenyang," kata Troll sambil tertawa,
"kumakan kau sekalian, berikut tulang keringmu juga.
Sedikit daging sebag bisa membuatku bugar!
Kucoba gigiku padamu sekarang.
Ha sekarang! Lihat sekarang!
Aku jemu mengunyah tulang dan kulit lama;
Aku ingin makan kau sekarang."

Mangsa sudah tertangkap, begitu dikiranya,
Ternyata hanya angin dalam, genggamannya.
Sebelum ia sadar, Tom sudah menghindar
Dengan sepatu bot menendangnya.
Tendang dia! Kemplang dia!
Pikir Tom, tendangkan sepatu bot di pantatnya,
Biar dia tahu rasa.

Tapi... aduh, kerasnya daging dan tulang troll itu,
Lebih keras daripada bukit batu.
Ditendang berkali-kali, tidak berarti sama sekali,
Pantat troll tidak merasa apa-apa.
K'rasa apa! B'rasa apa!
Mendengar Tom mengerang, Troll tua merasa sangat lucu
Kar'na ia tahu, kaki Toni sakit luar biasa.

Kaki Tom kalah, dia pun pulanglah,
Dan kakinya tanpa bot lumpuh sudah;
Tapi Troll tak peduli, dan masih duduk sendiri,
Dengan tulang yang dicuri dari pemiliknya.
Biliknya! Ciliknya!
Pantat Troll masih sama,
Dan tulang yang dicuri dari pemiliknya!

"Wah, itu peringatan untuk kita semua!" tawa Merry. "Untung kau menggunakan tongkat, dan bukan tanganmu, Strider!"
"Di mana kaudengar itu, Sam?" tanya Pippin. "Aku belum pernah dengar kata-kata itu."
Sam bergumam tidak jelas. "Itu keluar dari kepalanya sendiri, tentu," kata Frodo. "Aku belajar banyak tentang Sam Gamgee dalam perjalanan ini. Mula-mula dia bersekongkol, sekarang dia melawak. Nanti dia akan menjadi tukang sihir... atau pejuang!"
"Kuharap tidak," kata Sam. "Aku tidak ingin menjadi salah satu!"

Di siang hari, mereka berjalan terus ke hutan. Mungkin mereka menapak tilas jalan yang dipakai bertahun-tahun lalu oleh Gandalf, Bilbo, dan para Kurcaci. Setelah beberapa mil, mereka keluar di puncak tebing tinggi di atas Jalan. Pada titik ini, Jalan sudah meninggalkan Hoarwell jauh di belakang, di lembahnya yang sempit, dan sekarang menempel dekat ke kaki bukit, menjulur dan berbelok-belok ke arah timur di antara pohon-pohon dan lereng tertutup tanaman heather yang menurun ke arah Ford dan Pegunungan. Tak jauh dari tebing, Strider menunjuk sebuah batu di tengah rumput. Di atasnya bisa terlihat lambang-lambang rune para Kurcaci dan tanda-tanda rahasia, tergores kasar dan sudah termakan cuaca.
"Lihat!" kata Merry. "Itu pasti batu yang menandai tempat emas para troll disembunyikan. Berapa sisa bagian Bilbo, Frodo?"
Frodo memandang batu itu, dan berharap Bilbo dulu tidak membawa pulang harta yang lebih berbahaya dan sulit dilepaskan. "Tidak ada yang tersisa," kata Frodo. "Bilbo membagi-bagikan semuanya. Katanya dia merasa harta itu sebenamya bukan miliknya, karena datang dari para perampok."

Jalan itu sepi di bawah bayang-bayang panjang senja yang datang lebih awal. Tak ada tanda-tanda pelancong lain. Karena tidak ada arah -lain yang bisa diambil, mereka menuruni tebing dan membelok ke kiri, berjalan secepat mungkin. Dengan segera tampak sebuah punggung bukit, menghalangi cahaya matahari yang terbenam dengan cepat. Angin dingin mengalir ke bawah, menyambut mereka dari pegunungan di depan.
Mereka mulai mencari tempat bermalam di luar Jalan, namun mendadak terdengar bunyi yang membuat rasa takut kembali merayapi hati mereka: bunyi derap kaki kuda di belakang. Mereka menoleh, tapi tak bisa melihat jauh karena Jalan itu banyak membelok dan turun-naik. Secepat mungkin mereka merangkak keluar dari jalan dan masuk ke semak-semak heather dan belukar berry di lereng-lereng di atas, sampai tiba di sebuah kerumunan hazel yang tumbuh lebat. Saat mengintip ke luar dari semak-semak, mereka bisa melihat Jalan, samar-samar dan kelabu dalam cahaya yang sudah mulai suram, sekitar tiga puluh kaki di bawah sana. Bunyi derap kaki kuda semakin dekat. Derap langkahnya cepat, dengan bunyi klipeti-klipeti-klip ringan. Lalu samar-samar, seolah menjauh terembus angin, mereka mendengar dering redup, seperti bunyi bel-bel kecil berdenting.
"Kedengarannya bukan bunyi kuda Penunggang Hitam!" kata Frodo, mendengarkan dengan cermat. Hobbit-hobbit yang lain juga berharap demikian, tapi mereka masih curiga. Mereka sudah begitu lama hidup dalam ketakutan dikejar, sampai-sampai setiap bunyi dari belakang kedengaran mengancam dan tidak ramah. Tapi sekarang Strider mencondongkan badan ke depan, membungkuk ke tanah, dengan satu tangan di dekat telinga, dan pandangan gembira pada wajahnya.
Cahaya memudar, dan dedaunan di semak-semak bergemersik lembut. Bunyi bel-bel All jadi lebih jelas dan semakin dekat, dan klipeti-klip datanglah kaki-kaki yang cepat. Tiba'-tiba terlihat seekor kuda putih, mengilap dalam keremangan, berlari kencang. Dalam cahaya senja, tali kekangnya mengilat dan gemerlap, seolah bertaburan permata bintang-bintang yang hidup. Jubah penunggangnya berkibar-kibar di belakang, dan kerudungnya terbuka; rambutnya yang keemasan mengalun kemilau dalam angin kecepatannya. Frodo melihat seakan-akan ada cahaya putih yang bersinar dari dalam pakaian dan sosok penunggang itu, seolah menembus selubung tipis.
Strider melompat keluar dari persembunyian dan berlari kembali ke Jalan, melompat sambil berteriak melintasi semak-semak heather; tapi bahkan sebelum ia bergerak atau memanggil, penunggang itu sudah menghentikan kudanya dan berhenti, menengadah ke arah belukar tempat mereka berdiri. Ketika melihat Strider, ia turun dari kudanya dan berlari ke arahnya sambil berteriak, Ai na vedui Dunadan! Mae govannen! Bahasanya dan suaranya yang berdering jernih tidak menimbulkan keraguan lagi dalam hati mereka: penunggang itu dari bangsa Peri. Tak ada bangsa lain di dunia yang mempunyai suara yang begitu indah didengar. Tapi tampaknya ada nada ketergesaan atau ketakutan dalam teriakannya, dan sekarang mereka melihat ia berbicara cepat dan mendesak kepada Strider.
Segera Strider memanggil mereka, lalu para hobbit meninggalkan semak-semak dan bergegas turun ke Jalan. "Ini Glorfindel, yang tinggal di rumah Elrond," kata Strider.
"Salam, dan selamat bertemu akhirnya!" kata Pangeran Peri itu kepada Frodo. "Aku dikirim dari Rivendell untuk mencarimu. Kami khawatir kalian dalam bahaya di jalan."
"Kalau begitu, Gandalf sudah sampai di Rivendell?" seru Frodo gembira.
"Belum. Dia belum datang ketika aku berangkat, tapi itu sudah sembilan hari yang lalu," jawab Glorfindel. "Elrond menerima berita yang membuatnya cemas. Beberapa dari bangsaku, yang mengembara d" negerimu di luar Baranduin (Sungai Brandywine), mendengar bahwa ada masalah, dan segera mengirimkan pesan secepat mungkin. Kata mereka, Kaum Sembilan sudah di luar negeri mereka sendiri, dan bahwa kalian berkeliaran dengan membawa beban berat tanpa panduan, karena Gandalf belum kembali. Hanya sedikit di Rivendell yang bisa melawan Kaum Sembilan dengan terbuka; tapi yang ada, dikirim Elrond ke utara, barat, dan selatan. Sudah diperkirakan kalian akan mengambil jalan memutar jauh demi menghindari pengejaran, dan tersesat di belantara.
"Tugasku adalah mengambil Jalan ini, dan aku sampai di Jembatan Mitheithel, serta meninggalkan tanda di sana, kira-kira hampir tujuh hari yang lalu. Tiga anak buah Sauron ada di atas Jembatan itu, tapi mereka menarik diri dan aku mengejar mereka ke arah barat. Aku juga bertemu dua yang lain, tapi mereka berbalik arah ke selatan. Sejak itu aku mencari jejak kalian. Dua hari yang lalu aku menemukannya, dan mengikutinya melintasi Jembatan; hari ini aku mengamati di mana kalian turun lagi dari perbukitan. Tapi ayolah! Tidak ada waktu untuk berita lebih banyak. Karena kalian ada di sini, kita harus mengambil risiko bahaya di Jalan dan pergi. Ada lima di belakang kita, dan kalau mereka menemukan jejak kalian di Jalan, mereka akan menyusul kita bagai angin. Dan mereka belum semuanya. Di mana empat yang lain, aku tidak tahu. Aku khawatir Ford sudah diduduki untuk mencegat kita."
Sementara Glorfindel berbicara, kegelapan turun semakin dalam. Frodo merasa keletihan berat menyergapnya. Sejak matahari mulai terbenam, kabut di depan matanya semakin pekat, dan ia merasa ada bayang-bayang timbul di antara dirinya dan wajah kawan-kawannya. Sekarang rasa pedih menyerangnya, dan ia merasa dingin. Ia terhuyung, dan memegang tangan Sam.
"Majikanku sakit dan terluka," kata Sam marah. "ia tidak bisa meneruskan naik kuda setelah malam tiba. Dia butuh istirahat."
Glorfindel menangkap Frodo yang terkulai ke tanah, dan sambil mengangkatnya dengan lembut ke dalam pelukannya, ia memandang wajah Frodo dengan kecemasan mendalam.
Dengan singkat Strider menceritakan penyerangan terhadap kemah mereka di bawah Weathertop, dan tentang pisau mematikan itu. Ia mengeluarkan pangkalnya, yang disimpannya, dan memberikannya pada Peri itu. Glorfindel merinding saat mengambilnya, tapi ia memperhatikannya dengan saksama.
"Banyak hal jahat tertera di atas pangkal pisau ini," katanya "meski mungkin matamu tak bisa melihatnya. Simpanlah, Aragorn, sampai kita tiba di rumah Elrond! Tapi hati-hatilah, dan peganglah sesedikit mungkin! Aduh! Luka-luka akibat senjata ini ada di luar kemampuanku untuk menyembuhkan. Aku akan melakukan sebisaku, tapi kuminta kalian berjalan terus tanpa istirahat."
Ia menelusuri luka pada pundak Frodo dengan jemarinya, dan wajahnya semakin muram, seolah apa yang ditemukannya membuatnya resah. Tetapi rasa dingin di sisi tubuh dan lengan Frodo mulai berkurang; sedikit kehangatan merangkak turun dari pundak ke tangannya, dan rasa pedih itu jadi lebih ringan. Cahaya senja di sekitarnya seakan jadi agak terang, seolah sebuah awan sudah ditarik. Ia bisa melihat wajah kawan-kawannya lebih jelas, dan sedikit harapan baru serta kekuatan kembali kepadanya.
"Kau menunggang kudaku," kata Glorfindel. "Aku akan memendekkan sanggurdi sampai ke pinggir pelana, dan kau harus duduk sediam mungkin. Tapi kau tak perlu takut: kudaku tidak akan menjatuhkan penunggang yang kusuruh dibawanya. Langkahnya ringan dan lancar; dan kalau bahaya terlalu dekat, dia akan membawamu dengan kecepatan yang tak bisa ditandingi kuda-kuda hitam musuh."
"Tidak, tidak akan!" kata Frodo. "Aku tidak akan menunggangnya, kalau aku akan dibawa ke Rivendell atau ke tempat lain, meninggalkan teman-temanku dalam bahaya."
Glorfindel tersenyum. Katanya, "Menurutku teman-temanmu tidak akan berada dalam bahaya bila kau tidak bersama mereka! Kurasa para pengejar itu akan mengikutimu dan meninggalkan kami dengan tenteram. Kaulah sasaran mereka, Frodo. Kau dan apa yang kaubawa itu yang membawa kita semua ke dalam bahaya."

Frodo tak bisa menjawab, dan ia bisa dibujuk untuk menaiki kuda putih Glorfindel. Kuda mereka dibebani sebagian besar bawaan lain, agar mereka bisa berjalan lebih ringan. Untuk sementara mereka maju dengan kecepatan tinggi, tapi para hobbit mulai kesulitan menyamai kecepatan langkah kaki Peri yang tak pernah letih. Ia terus memacu mereka, masuk ke mulut kegelapan, dan masih terus dalam malam gelap berawan. Tak ada bintang maupun bulan. Baru saat fajar kelabu ia membolehkan mereka berhenti. Pippin, Merry, dan Sam saat itu sudah hampir tertidur sambil berdiri terhuyung-huyung; bahkan Strider tampak letih, terlihat dari pundaknya yang menggantung. Frodo duduk di atas kuda sambil bermimpi gelap.
Mereka membaringkan diri di dalam semak-semak heather beberapa Meter dari sisi jalan dan langsung tertidur Rasanya mereka baru saja memejamkan mata ketika Glorfindel, yang berjaga sendirian sementara mereka tidur, membangunkan mereka lagi. Matahari sudah tinggi di langit pagi itu, dan awan-awan serta kabut malam sebelumnya sudah sirna.
"Minumlah ini!" kata Glorfindel pada mereka, menuangkan untuk masing-masing sedikit minuman manis dari botol kulitnya yang bertatahkan perak. Cairannya jernih seperti air dari mata air, dan tidak ada rasanya, juga tidak terasa dingin ataupun panas di dalam mulut; tapi kekuatan dan semangat mengalir ke seluruh tubuh mereka saat meminumnya. Setelah itu, makan roti basi dan buah-buah kering (sekarang itu saja yang tersisa) bisa memuaskan rasa lapar mereka melebihi banyak sarapan enak yang pernah mereka nikmati di Shire.

Setelah beristirahat hampir lima jam, mereka masuk ke Jalan lagi. Glorfindel masih mendesak mereka berjalan terus, dan hanya mengizinkan dua perhentian singkat selama perjalanan hari itu. Dengan cara ini, mereka menempuh hampir dua puluh mil sebelum malam, dan sampai ke suatu titik di mana Jalan membelok ke kanan dan menurun menuju dasar lembah, yang sekarang langsung menuju Bruinen. Sejauh itu tidak ada tanda atau bunyi pengejaran yang bisa didengar para hobbit; tapi Glorfindel sering berhenti untuk mendengarkan sejenak, kalau mereka tertinggal di belakang; wajahnya mencerminkan kecemasan. Satu-dua kali ia berbicara dengan Strider dalam bahasa Peri.
Tapi, meski pemandu-pemandu mereka sangat cemas, jelas sekali bahwa para hobbit tak bisa meneruskan perjalanan lagi malam itu. Mereka berjalan terhuyung-huyung, pusing karena letih dan tak bisa memikirkan hal lain kecuali kaki dan tungkai mereka. Rasa sakit Frodo semakin menjadi-jadi, dan sepanjang hari itu benda-benda di sekitarnya terlihat kabur, sampai seperti bayangan kelabu. Ia hampir gembira menyambut malam hari, karena saat itu dunia jadi tidak terlalu pucat dan kosong.

Para hobbit masih letih ketika mereka berangkat lagi pagi-pagi keesokan harinya. Masih bermil-mil jarak antara mereka dan Ford, dan mereka berjalan terpincang-pincang dengan kecepatan terbaik yang bisa mereka upayakan.
"Bahaya paling besar yang mengancam kita adalah sebelum kita sampai di sungai," kata Glorfindel. "Hatiku memperingatkan bahwa pengejaran sudah sangat dekat di belakang kita, dan bahaya lain mungkin menunggu di Ford."
Jalan itu masih menurun terus dari bukit. dan sekarang di beberapa tempat ada banyak rumput di kedua sisinya; di situlah para hobbit berjalan bila mungkin, untuk meredakan kelelahan kaki mereka. Siang itu mereka tiba di bagian Jalan yang dinaungi bayang-bayang gelap pohon-pohon cemara tinggi, lalu terjun ke dalam sebuah terowongan dalam, dengan dinding-dinding curam dari batu merah yang basah. Langkah mereka menimbulkan gema yang terus terdengar sementara mereka bergegas maju; serasa ada banyak langkah kaki yang mengikuti. Tiba-tiba, seolah melewati gerbang cahaya, Jalan itu keluar lagi dari ujung terowongan ke udara terbuka. Di sana, di dasar sebuah lereng terjal, di depan mereka terhampar tanah datar sepanjang satu mil; dan di seberangnya Ford dari Rivendell. Di sisi seberang ada tebing terjal kecokelatan, dilintasi jalan berkelok-kelok; dan di belakangnya gunung-gunung tinggi menjulang, pundak demi pundak, dan puncak demi puncak, ke langit yang memudar.
Masih ada bunyi gema seperti langkah kaki yang mengejar di terowongan di belakang mereka; bunyi berdesir seolah angin yang muncul dan mengalir melalui ranting-ranting pohon cemara. Suatu saat Glorfindel menoleh dan mendengarkan, lalu ia melompat ke depan dengan teriakan keras.
"Cepat!" teriaknya. "Cepat! Musuh sudah dekat!"
Kuda putih melompat maju. Para hobbit berlari menuruni lereng. Glorfindel dan Strider menyusul sebagai penjaga garis belakang. Mereka baru separuh jalan melintasi tanah datar, ketika tiba-tiba ada bunyi kuda lari berderap. Keluar dari gerbang yang baru saja mereka tinggalkan, muncul seorang Penunggang Hitam. Ia menahan kudanya dan berhenti, bergoyang di pelananya. Satu lagi mengikutinya, lalu yang lain lagi, dan dua lagi.
"Jalan maju! Jalan?" teriak Glorfindel pada Frodo.
Frodo tidak langsung menuruti perintahnya, karena keengganan yang aneh timbul dalam dirinya. Menahan kudanya agar berjalan perlahan, ia menoleh ke belakang. Penunggang-Penunggang Hitam tampak duduk di atas kuda-kuda mereka yang besar, bagai patung-patung yang mengancam di atas bukit yang gelap dan kokoh, sementara semua hutan dan tanah di sekitar mereka seolah tertelan kabut. Tiba-tiba dalam hati Frodo tahu bahwa mereka diam-diam memerintahkannya menunggu. Dalam sekejap ketakutan dan kebencian bangkit dalam dirinya. Tangan kirinya melepaskan tali kekang dan memegang Pangkal pedangnya, dan dengan satu kilatan merah ia menghunusnya.
"Jalan terus! Jalan terus!" teriak Glorfindel, lalu dengan nyaring dan jelas ia memanggil kudanya dalam bahasa Peri: noro lim, noro lim, Asfaloth!
Serentak kuda putih itu melompat maju dan berpacu seperti angin sepanjang sisa terakhir Jalan. Pada saat bersamaan, kuda-kuda hitam berpacu menuruni bukit mengejarnya, dan dari para Penunggang terdengar teriakan mengerikan, seperti yang terdengar oleh Frodo memenuhi hutan di Wilayah Timur nun jauh di sana. Teriakan itu dijawab: dengan ngeri Frodo dan teman-temannya melihat empat penunggang lain keluar dari pohon-pohon dan batu-batu di sebelah kiri. Dua melaju ke arah Frodo, dua lainnya berpacu kencang sekali menuju Ford, untuk memotong pelariannya. Sepertinya mereka melaju pesat bagai angin, dengan cepat sosok mereka semakin besar dan gelap, ketika lintasan mereka bertemu dengan lintasannya.
Sejenak Frodo menoleh ke belakang. Ia sudah tak bisa melihat teman-temannya lagi. Penunggang-Penunggang Hitam mulai tertinggal: bahkan kuda-kuda besar mereka tak bisa menandingi kecepatan kuda Peri putih milik Glorfindel. Ia melihat ke depan lagi, dan harapannya memudar. Kelihatannya sebelum mencapai Ford jalannya akan dipotong oleh para Penunggang lain yang sudah bersembunyi untuk menyergapnya. Ia bisa melihat mereka dengan jelas sekarang: rupanya mereka sudah melepaskan kerudung dan mantel hitam mereka, sekarang mereka berjubah putih dan kelabu. Pedang terhunus di tangan mereka yang pucat; topi baja di kepala mereka. Mata mereka dingin berkilauan, dan mereka meneriakinya dengan suara-suara menyeramkan.
Ketakutan memenuhi seluruh benak Frodo. Ia tak ingat lagi pedangnya. Tak ada teriakan dari mulutnya. Ia memejamkan mata dan berpegangan erat pada rambut tengkuk kudanya. Angin bersiul di telinganya, dan bel-bel pada tali kekang berbunyi liar dan nyaring. Embusan angin dingin menusuknya bagai tombak ketika kuda Peri itu berpacu bagai kilatan api putih, seolah bersayap, lewat tepat di depan Penunggang terdepan.
Frodo mendengar bunyi cemplungan air.. Air berbuih di sekitar kakinya. Ia merasakan gerakan mengangkat dan menyentak cepat saat kudanya keluar dari sungai dan berjuang mendaki jalan berbatu. Ia sedang mendaki tebing terjal. Ia sudah di seberang Ford.
Tetapi para pengejar sudah dekat sekali. Di atas tebing, kuda Frodo berhenti dan membalikkan badan sambil meringkik galak. Ada Sembilan Penunggang di tepi air di bawah, dan semangat Frodo merosot di depan wajah-wajah mereka yang menengadah mengancam• Rasanya tak ada yang bisa mencegah mereka menyeberangi sungai semudah yang telah ia lakukan; dan ia merasa sia-sia mencoba melarikan diri melintasi jalan panjang dan tidak pasti dari Ford ke pinggir Rivendell, kalau para Penunggang itu sudah menyeberang. Bagaimanapun, ia merasa diperintah dengan mendesak untuk berhenti. Kebencian kembali bergejolak dalam dirinya, tapi ia sudah tak punya kekuatan untuk menolaknya.
Tiba-tiba Penunggang terdepan memacu kudanya maju. Kuda itu berhenti di batas air dan berdiri pada kaki belakangnya. Dengan upaya keras Frodo duduk tegak dan mengacungkan pedangnya.
"Kembali!" teriaknya. "Kembalilah ke Negeri Mordor, dan jangan kejar aku lagi!" Suaranya kedengaran tipis dan melengking di telinganya sendiri. Para Penunggang itu berhenti, tapi Frodo tidak mempunyai kekuatan seperti Bombadil. Musuh-musuhnya menertawakannya dengan bunyi tawa kasar dan mengerikan. "Ke sini! Ke sini!" teriak mereka. "Kami akan membawamu ke Mordor!"
"Pergilah!" bisik Frodo.
"Cincin! Cincin!" teriak mereka dengan suara menyeramkan, dan serentak pemimpin mereka menyuruh kudanya maju ke dalam air, diikuti dari dekat oleh dua pengikutnya.
"Demi Elbereth dan Luthien sang Putri Cantik," kata Frodo dengan upaya terakhir, sambil mengangkat pedangnya, "kau tidak akan mendapatkan Cincin ataupun diriku!"
Lalu pemimpin mereka, yang sudah separuh menyeberangi Ford, berdiri mengancam di sanggurdinya, dan mengangkat tangannya. Frodo merasa kelu. Lidahnya terpaku di mulutnya, dan jantungnya berdebar kencang. Pedangnya patah dan jatuh dari tangannya yang gemetar. Kuda Peri berdiri di kedua kaki belakangnya dan mendengus. Kuda hitam terdepan sudah hampir menginjak tepi sungai.
Pada saat itu terdengar geraman dan desiran: bunyi air deras menggulingkan banyak batu. Samar-samar Frodo melihat sungai di bawahnya naik, dan dari alirannya muncul barisan gelombang berbusa. Nyala putih tampak berkelip di puncak-puncaknya, dan ia serasa melihat penunggang-penunggang putih -di atas kuda-kuda putih dengan Surai berbuih di tengah air. Tiga Penunggang yang masih berada di tengah Ford tenggelam: mereka lenyap, terkubur tiba-tiba di bawah buih yang menggelegak. Mereka yang masih di belakang mundur dengan ngeri.
Dengan kesadarannya yang mulai hilang, Frodo mendengar teriakan-teriakan, dan rasanya di belakang Penunggang yang ragu-ragu di tepi sungai, ia melihat sebuah sosok bercahaya putih yang menyala-nyala, dan di belakangnya berlarian sosok-sosok kabur kecil melambaikan api, yang menyala merah di dalam kabut kelabu yang mulai menutupi dunia.
Kuda-kuda hitam menggila, dan sambil melompat maju dengan ketakutan mereka membawa penunggang mereka ke dalam air bah yang mengganas. Teriakan tajam mereka tenggelam dalam raungan sungai ketika mereka tersapu air. Lalu Frodo merasa dirinya jatuh, dan raungan serta kebingungan itu seolah naik dan membenamkannya bersama musuh-musuhnya. Setelah itu ia tak melihat dan mendengar apa-apa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar