Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Kamis, 14 Oktober 2010

Bab 8

KABUT Di ATAS BARROW-DOWNS

Malam itu mereka tidak mendengar suara apa pun. Tapi entah di dalam mimpinya, atau di luarnya, Frodo mendengar nyanyian indah mengalir dalam pikirannya: lagu yang seolah datang bagai cahaya remang-remang di balik tirai hujan kelabu, dan semakin kuat, hingga mengubah tirai itu menjadi kaca dan perak, yang lalu tersingkap, menampakkan negeri hijau yang terhampar di bawah matahari yang terbit dengan cepat.
Pemandangan itu melebur menjadi keterjagaan; dan ternyata Tom sedang bersiul seperti sepohon penuh burung; sinar matahari sudah jatuh miring di atas bukit, dan melalui jendela yang terbuka. Di luar semuanya hijau dan pucat keemasan.
Setelah sarapan, yang kembali mereka makan sendirian, mereka bersiap-siap untuk pamit, dengan berat hati, meski pagi itu indah: sejuk, cerah, dan bersih di bawah langit musim gugur yang biru tipis tersapu air. Udara segar datang dari Barat-laut. Kuda-kuda mereka yang tenang hampir-hampir tampak lincah, mendengus-dengus, dan bergerak-gerak gelisah. Tom keluar dari rumah, melambaikan topinya dan menari-nari di ambang pintu, menyuruh para hobbit untuk naik dan berangkat pergi dengan lancar.
Mereka melaju melewati jalan yang membentang dari belakang rumah, dan mendaki ke arah ujung utara pundak bukit tempat rumah itu berlindung. Mereka baru saja turun untuk menuntun kuda-kuda mendaki lereng terakhir yang terjal, ketika tiba-tiba Frodo berhenti.
"Goldberry!" serunya. "Nona cantik dalam gaunnya yang hijau keperakan! Kita belum pamit padanya, dan belum melihatnya sejak kemarin sore!" ia begitu sedih, sampai membalikkan badan untuk turun; tap, tepat pada saat itu terdengar suatu seruan jernih mengalun. Di sana, di atas pundak bukit, Goldberry berdiri memanggil mereka: rambutnya berkibar bebas, tampak menyala berkilauan kena sinar matahari. Cahaya seperti kilatan air pada rumput berembun menyala dari bawah kakinya, sementara ia menari-nari.
Mereka bergegas mendaki lereng terakhir, dan berdiri dengan na- pas terengah-engah di samping Goldberry. Mereka membungkuk, tapi dengan lambaian tangannya ia menyuruh mereka memandang sekeliling; mereka memandang dari atas puncak bukit ke daratan di pagi hari. Sekarang pemandangannya jernih dan jauh, tidak lagi berkabut dan terselubung, seperti ketika mereka berdiri di atas bukit kecil di Forest, yang sekarang terlihat berdiri pucat dan hijau di antara pepohonan gelap di Barat. Di sebelah sana, tanah naik membentuk punggung bukit berhutan, hijau, kuning, cokelat muda di bawah sinar matahari, di luarnya tersembunyi lembah Brandywine. Ke Selatan, menyeberangi garis Withywindle, ada kilatan jauh seperti kaca pucat, di mana Sungai Brandywine membentuk lingkaran besar di dataran rendah dan mengalir menghilang dari pengetahuan para hobbit. Di Utara, di luar bukit-bukit rendah yang semakin mengecil, tanah membentuk dataran dan tonjolan berwarna kelabu, hijau, dan warna tanah pucat, sampai menghilang dalam kejauhan tak berbentuk dan remang-remang. Di sebelah Timur berdiri Barrow-downs, punggung demi punggung bukit di pagi hari, lenyap dari pemandangan, menjadi terkaan: tak lebih dari perkiraan biru dan kilatan putih yang berbaur dengan pinggiran langit, tapi bagi mereka itu menyiratkan pegunungan tinggi dan jauh, seperti yang ada dalam ingatan dan dongeng-dongeng lama.
Mereka menghirup udara segar dalam-dalam, dan merasa bahwa satu loncatan dan beberapa langkah tegap akan membawa mereka ke mana pun mereka mau. Rasanya agak seperti pengecut kalau naik kuda melewati bukit-bukit kusut menuju Jalan Timur, sementara seharusnya mereka melompat-lompat penuh semangat seperti Tom, melewati tangga bukit, langsung ke Pegunungan.
Goldberry berbicara pada mereka, menyadarkan mata dan pikiran mereka. "Bergegaslah, tamu-tamu yang baik!" katanya. "Dan tetaplah pada tujuan semula! Ke Utara, dengan angin di mata kiri dan berkah pada setiap langkah! Cepatlah, selama matahari masih bersinar!" Dan kepada Frodo ia berkata, "Selamat jalan, sahabat kaum Peri, in, pertemuan yang menyenangkan!"
Tetapi Frodo tak bisa menemukan kata-kata untuk menjawab. Ia membungkuk rendah, dan menaiki kudanya, dan diikuti teman-temannya, pelan-pelan ia menuruni lereng yang tidak begitu terjal di balik bukit. Rumah Tom Bombadil dan lembah, dan Forest hilang dari pandangan. Udara semakin hangat di antara kedua dinding lereng bukit, bau tanah kering naik dengan keras dan harum ke dalam napas mereka. Tiba di dasar cekungan hijau, mereka menoleh dan melihat Goldberry yang sekarang tampak kecil dan ramping, seperti bunga disinari cahaya matahari, berlatar belakang langit: ia berdiri diam, masih memperhatikan mereka, tangannya terulur ke arah mereka. Ketika mereka menoleh, ia memanggil dengan suara jernih, dan sambil mengangkat tangannya, ia membalikkan badan dan menghilang di balik bukit.

Jalan mereka melewati sepanjang dasar lembah, mengitari kaki hijau bukit curam, memasuki lembah lain yang lebih dalam dan luas, lalu mendaki punggung bukit-bukit lain, menuruni lereng-lerengnya, lalu mendaki sisi-sisinya yang mulus lagi, naik ke puncak-puncak bukit baru dan turun ke lembah-lembah baru. Tidak ada pohon atau air: hanya ada tanah berumput dan tanah kering lentur, suasana sepi, yang terdengar hanya bisikan udara di atas batas tanah, dan lengkingan kesepian burung-burung aneh tinggi di atas. Semakin jauh perjalanan mereka, matahari semakin naik dan semakin panas. Setiap mereka mendaki suatu punggung bukit, angin seolah semakin melemah. Ketika mereka melihat sekilas tanah di sebelah barat, Forest di kejauhan tampak berasap, seolah hujan yang sudah turun menguap lagi dari daun, akar, dan gundukan tanah. Selapis tipis bayangan menyelimuti batas pandangan, kabut gelap yang di atasnya langit tampak seperti topi biru panas dan berat.
Sekitar tengah hari, mereka tiba di sebuah bukit yang puncaknya lebar dan datar, seperti piring ceper dengan pinggiran hijau yang meninggi. Di dalamnya tidak ada aliran udara, dan langit seolah dekat sekali ke kepala. Mereka menyeberangi bukit itu dan memandang ke arah utara. Semangat mereka meningkat, sebab jelas mereka sudah berjalan lebih jauh daripada yang diharapkan. Memang sekarang jarak-jarak menjadi kabur dan menipu, tapi tak diragukan lagi Downs akan segera berakhir. Sebuah lembah panjang terhampar di bawah mereka, dan berliku ke arah utara, mencapai suatu bukaan di antara dua punggung bukit curam. Di luarnya, kelihatannya tidak ada bukit-bukit lagi. Pada arah utara mereka melihat sekilas sebuah garis panjang gelap. "Itu garis pepohonan," kata Merry, "pasti menandai Jalan Timur. Sepanjang jalan, sejauh beberapa mil sebelah timur Jembatan, ada deretan pohon. Katanya mereka ditanam lama berselang."
"Bagus!" kata Frodo. "Kalau siang nanti kita bisa berjalan sejauh Pagi ini, kita sudah meninggalkan Downs jauh sebelum matahari terbenam dan bisa terus mencari tempat berkemah." Tapi sementara berbicara ia melihat ke arah timur, di sana tampak bahwa pada sisi itu bukit-bukit lebih tinggi dan menatap mereka dari ketinggian; semuanya tertutup gundukan hijau, dan pada beberapa tempat terdapat bebatuan menjulang, menunjuk ke atas seperti gigi tajam-tajam muncul dari rahang hijau.
Pemandangan itu agak meresahkan; maka mereka membuang muka darinya dan turun ke dalam lingkaran lembah. Di tengahnya berdiri sebuah baru sendirian, menjulang di bawah sinar matahari, dan pada saat itu tidak membuat bayangan. Batu itu tak berbentuk, namun penuh makna: seperti tanda lingkungan, atau jari yang melindungi, atau lebih seperti peringatan. Tapi sekarang mereka lapar, dan matahari masih pada posisi tengah hari; maka mereka bersandar pada sisi timur batu itu. Rasanya dingin, seolah matahari tak punya kekuatan untuk memanasinya; tapi pada saat itu hat itu terasa menyenangkan. Di sana mereka makan dan minum, melahap makan siang sebaik yang bisa diharapkan di bawah langit terbuka; karena makanan itu datang dari "bawah Bukit". Tom sudah membekali mereka dengan makanan berlimpah, demi kenyamanan mereka. Kuda-kuda mereka berkeliaran tanpa beban di rumput.

Menunggang kuda melewati perbukitan dan makan kenyang, sinar matahari hangat dan wangi tanah kering, berbaring agak terlalu lama, melunjurkan kaki dan memandang langit di atas: hal-hal ini barangkali cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi. Bagaimanapun, tahu-tahu mereka terbangun tiba-tiba, dalam keadaan sangat tidak nyaman, dari tidur yang sebenarnya tidak terencana. Batu berdiri itu sudah dingin, dan menjatuhkan bayangan panjang pucat yang merentang jauh ke arah timur di' atas mereka. Matahari sudah berwarna kuning pucat cair, bersinar melalui kabut, persis di atas dinding barat lembah tempat mereka berbaring; utara, selatan, dan timur, di luar dinding kabut sudah tebal, dingin, dan putih. Udara hening, berat, dan dingin. Kuda-kuda mereka berdiri bergerombol dengan kepala tertunduk.
Para hobbit melompat bangun dengan kaget, dan berlari ke pinggir
barat. Ternyata mereka berada di suatu pulau di tengah kabut. Tepat saat mereka dengan cemas memandang ke arah matahari yang sedang terbenam, ia tenggelam di depan mata mereka, masuk ke dalam lautan putih, dan sebuah bayangan kelabu dingin muncul di timur di belakang. Kabut mengalir naik ke dinding-dinding dan melayang ke atas mereka, dan sambil melambung, kabut itu menutupi kepala-kepala mereka hingga membentuk atap: mereka terkurung dalam ruangan kabut, dan tiang pusatnya adalah batu berdiri itu.
Mereka merasa terkurung oleh suatu perangkap, tapi mereka tidak kehilangan semangat. Mereka masih ingat pemandangan penuh harapan akan garis Jalan Timur di depan sana, dan mereka masih tahu arah letaknya. Bagaimanapun, sekarang mereka sudah sangat tidak suka pada tempat cekung di sekitar batu itu, sehingga sama sekali tidak berniat tetap tinggal di sana. Mereka mengepak barang secepat yang dimungkinkan oleh jari-jari mereka yang beku.
Segera mereka menuntun kuda-kuda dalam satu barisan, melewati pinggiran, dan menuruni lereng panjang bukit itu ke arah utara, masuk ke lautan kabut. Ketika mereka turun, kabut semakin dingin dan lembap, rambut mereka tergantung lemas dan terkulai di atas dahi. Saat mereka tiba di dasar lereng, hawa sudah sangat dingin, hingga mereka harus berhenti dulu dan mengeluarkan mantel dan kerudung, yang segera dipenuhi tetes-tetes embun kelabu. Lalu mereka kembali naik kuda, maju lagi perlahan-lahan, sambil meraba-raba jalan melalui naik dan turunnya tanah. Sedapat mungkin mereka mengarah ke bukaan seperti gerbang di ujung utara lembah panjang yang mereka lihat tadi pagi. Setelah melewati celah itu, mereka cukup melanjutkan perjalanan dalam garis lurus, dan pasti akan bertemu dengan Jalan Timur. Hanya itu yang ada dalam pikiran mereka, selain harapan samar-samar bahwa mungkin di luar Downs tak ada kabut.

Perjalanan mereka lamban sekali. Untuk menghindari terpisah dan berjalan ke arah berbeda, mereka berjalan dalam satu barisan, dipimpin oleh Frodo. Sam di belakangnya, setelahnya Pippin, lalu Merry. Lembah itu seakan tak berujung. Mendadak Frodo melihat tanda yang memberi harapan. Di kedua sisi, kegelapan mulai menyongsong melalui kabut; ia menduga mereka akhirnya mendekati celah di perbukitan, gerbang utara Barrow-downs. Kalau bisa melewati itu, mereka akan bebas.
"Ayo! Ikuti aku!" ia berteriak sambil menoleh ke belakang, dan ia bergegas maju. Tapi harapannya segera berubah menjadi kebingungan dan kekhawatiran. Bercak-bercak gelap semakin gelap, tapi mereka mengerut; dan tiba-tiba ia melihat dua batu berdiri, menjulang mengancam di depannya, agak condong dan saling bersandar seperti tiang pintu yang tidak berkepala. Rasanya ia tidak melihat hat semacam itu d' lembah, ketika memandang dari atas bukit pagi tadi. Ia melewati kedua batu itu hampir tanpa sadar, dan saat ia melakukannya, kegelapan seolah mengurungnya. Kudanya mengangkat kaki depan dan mendengus, dan Frodo terjatuh. Ketika menoleh, ia menyadari bahwa ia sendirian: yang lain tidak mengikutinya.
"Sam!" teriaknya. "Pippin! Merry! Ke sinilah! Kenapa kalian tidak ikut?"
Tak ada jawaban. Rasa takut menyergapnya, dan ia berlari kembali melewati kedua batu itu sambil berteriak liar, "Sam! Sam! Merry! Pippin!" Kudanya berlari ke dalam kabut dan lenyap. Dari kejauhan, atau begitulah kedengarannya, Frodo merasa mendengar teriakan, "Hei! Frodo! Hei!" Bunyinya dari arah timur, di sebelah kirinya saat ia berdiri di bawah batu besar itu, memandang dan menjulurkan kepala ke dalam kegelapan. Ia mulai melangkah menuju arah teriakan, dan menyadari bahwa ia berjalan mendaki dengan terjal.
Saat berjuang mendaki, ia berteriak lagi, dan terus memanggil dengan semakin kalut; tapi ia tidak mendengar jawaban untuk beberapa saat, kemudian samar-samar, jauh di atasnya, terdengar panggilan. "Frodo! Hei!" Terdengar suara-suara tipis dari dalam kabut: lalu teriakan yang terdengar seperti tolong, tolong! diulang berkali-kali, berakhir dengan tolong terakhir yang menjadi sebuah raungan panjang yang tiba-tiba terpotong. Frodo berjalan maju terhuyung-huyung secepat mungkin; tapi cahaya sekarang sudah sirna, dan malam pekat mengurungnya, hingga ia tak mungkin bisa tahu arah. Selama itu rupanya ia mendaki terus.
Akhirnya perubahan permukaan tanah di bawah kakinya memberitahukan bahwa ia sudah sampai ke puncak bukit atau punggung bukit. Ia lelah, berkeringat namun kedinginan. Kegelapan sudah sangat pekat.
"Di mana kalian?" teriaknya sedih.

Tak ada jawaban. Ia berdiri mendengarkan. Mendadak ia sadar bahwa udara sudah dingin sekali, dan di atas sini angin mulai bertiup, angin sedingin es. Cuaca mulai berubah. Kabut mengalir di sekitarnya dalam serpihan dan cabikan. Napasnya beruap, tapi kegelapan tidak begitu pekat dan tebal. Ia menengadah dan melihat dengan tercengang bahwa bintang-bintang -terang muncul di atas, di antara serpihan awan dan kabut yang berlarian. Angin mulai mendesis di atas rumput.
Mendadak Frodo merasa mendengar sebuah teriakan teredam, dan Ia berjalan ke arah itu; ketika ia maju ke depan, kabut tersingkap dan langit berbintang terbuka selubungnya. Sekilas pandang ia tahu bahwa ia sekarang menghadap ke selatan, dan berada di sebuah puncak bukit bundar, yang pasti didakinya dari sebelah utara. Dari timur berembus angin dingin menusuk. Di sebelah kanannya berdiri sebuah sosok hitam gelap, berlatar belakang bintang-bintang di sebelah barat. Ada sebuah gundukan tanah di situ.
"Di mana kalian?" teriak Frodo lagi, marah dan ketakutan.
"Di sini!" kata sebuah suara, berat dan dingin, seolah datang dari dalam tanah. "Aku menunggumu!"
"Tidak!" kata Frodo; tapi ia tidak lari. Lututnya lemas, dan ia jatuh ke tanah. Tidak terjadi apa-apa, dan tidak ada suara. Dengan gemetar ia menengadah, tepat pada waktunya untuk melihat sebuah sosok tinggi gelap seperti bayangan di depan bintang-bintang. Sosok itu mencondongkan tubuh di atasnya. Frodo merasa ada sepasang mata yang sangat dingin, meski bersinar dengan cahaya pucat yang seolah datang dari jarak sangat jauh. Lalu cengkeraman yang lebih kuat dan dingin daripada besi memegangnya. Sentuhan sedingin es itu membekukan tulang-tulangnya, dan ia tak sadarkan diri.

Ketika siuman lagi, sejenak ia tak ingat apa pun kecuali perasaan takut. Tiba-tiba ia tahu bahwa ia terperangkap, tertangkap tak berdaya; ia ada di dalam gundukan tanah kuburan. Seorang Barrow-wight telah menangkapnya, dan mungkin ia sudah kena sihir mengerikan dari Barrow-wight, yang banyak diceritakan dengan berbisik-bisik. Ia tidak berani bergerak, hanya berbaring seperti sewaktu siuman: telentang di atas bebatuan dingin dengan kedua tangannya di atas dada.
Tapi, meski ketakutannya begitu besar, hingga seolah menjadi bagian dari kegelapan di sekitarnya, ia sadar bahwa sementara berbaring ia teringat Bilbo Baggins dan kisah-kisahnya, tentang pengalaman mereka berlari bersama di jalan-jalan di Shire, membicarakan berbagai jalan dan petualangan. Ada benih keberanian tersembunyi (sering kali sangat dalam bahkan) dalam hati hobbit yang paling gemuk dan paling pemalu sekalipun, menunggu suatu bahaya akhir untuk membuatnya tumbuh. Frodo tidak terlalu gemuk maupun pemalu; ia mungkin tidak tahu itu, bahwa Bilbo (dan Gandalf) menganggapnya hobbit terbaik di Shire. Ia mengira sudah sampai ke akhir petualangannya, dan akhir yang mengerikan, tapi pikiran itu justru mengeraskan hatinya. Ia merasa dirinya jadi kaku, seperti hendak membuat suatu loncatan akhir; ia tidak lagi merasa lemas seperti mangsa yang tak berdaya.
Saat berbaring di sana, berpikir dan mengendalikan dirinya sendiri, ia melihat bahwa ternyata kegelapan itu perlahan-lahan menghilang: seberkas cahaya pucat kehijauan berkembang di sekitarnya. Pada mulanya cahaya itu tidak menunjukkan ia berada dalam ruangan macam apa, karena cahaya itu seolah datang dari dirinya sendiri, dan dari lantai di sampingnya, belum sampai ke atap atau dinding. Ia menoleh, dan di sana... dalam cahaya dingin, ia melihat Sam, Pippin, dan Merry berbaring di sampingnya. Mereka berbaring telentang, wajah mereka pucat pasi, dan mereka berpakaian putih. Di sekitar mereka berserakan banyak harta, mungkin dari emas, meski dalam cahaya tersebut harta itu kelihatan dingin dan tidak indah. Pada kepala mereka ada lingkaran bundar, rantai emas pada pergelangan tangan, dan banyak cincin terpasang pada jari mereka. Di samping mereka ada pedang-pedang, dan tameng di dekat kaki. Tapi di leher mereka melintang sebilah pedang panjang.

Tiba-tiba sebuah nyanyian mulai terdengar: gumaman dingin, naik dan turun. Suara itu kedengaran jauh sekali dan tak terhingga suramnya, kadang tinggi dan tipis di udara, kadang seperti erangan rendah dari tanah. Dari aliran bunyi sedih dan mengerikan yang tidak jelas itu, sesekali terwujud rangkaian kata-kata: kata-kata muram, keras, dingin, tak berperasaan, dan sedih. Malam mencerca pagi yang sudah hilang dari sisinya, dan hawa dingin mengutuk kehangatan yang didambakannya. Frodo merasa kedinginan sampai ke sumsumnya. Setelah beberapa saat, lagu itu semakin jelas, dan dengan ketakutan Frodo menyadari lagu itu sudah berubah menjadi semacam jampi-jampi:
Dinginlah tangan, hati dan tulang,
dan dinginlah tidur di bawah batu dan ilalang:
tak pernah lagi ban gun di ranjang batu,
sampai Matahari lenyap dan Bulan mati membisu.
Di dalam angin hitam, bintang-bintang 'kan mati,
biarkan mereka berbaring di sini, di atas emas murni,
sampai penguasa kegelapan mengayunkan tangan
di atas lautan mati dan tanah layu tak bertuan.

Di belakang kepalanya, Frodo mendengar bunyi keriut dan menggores. Ia menoleh sambil mengangkat tubuhnya pada satu lengan, dan dalam cahaya pucat ia melihat mereka berada dalam semacam selasar yang membelok di belakang. Dari balik tikungan, sebuah lengan panjang meraba-raba, berjalan di atas jemarinya mendekati Sam yang berbaring paling dekat, dan menuju ujung pedang yang tergeletak di atas tubuhnya.
Mula-mula Frodo merasa benar-benar telah menjadi batu karena pengaruh jampi-jampi itu. Lalu suatu pikiran liar untuk kabur muncul dalam benaknya. Ia bertanya-tanya, apakah kalau ia memakai Cincin, Barrow-wight itu takkan bisa melihatnya, dan mungkin ia bisa mencari jalan keluar. Ia membayangkan dirinya berlari bebas di rerumputan, sambil berduka tentang Merry, Sam, dan Pippin, tapi ia sendiri bebas dan hidup. Gandalf pasti mengerti bahwa tak ada yang bisa ia perbuat untuk menyelamatkan mereka.
Tapi keberanian yang sudah bangkit dalam dirinya kini terlalu kuat: ia tak bisa begitu saja meninggalkan teman-temannya. Ia bimbang, meraba-raba dalam sakunya, lalu bertempur melawan dirinya lagi; sementara itu, lengan tadi semakin dekat. Tiba-tiba Frodo berhasil mengambil keputusan tegas. Diambilnya pedang pendek di dekatnya, dan ia membungkuk rendah di atas tubuh teman-temannya. Dengan sekuat tenaga ia menebas lengan yang merangkak itu pada pergelangannya, dan tangan di lengan itu putus; tapi pada saat bersamaan pedang itu retak sampai ke pangkalnya. Terdengar teriakan, dan cahaya menghilang. Dalam kegelapan terdengar bunyi menggeram.
Frodo jatuh ke atas tubuh Merry, dan wajah Merry terasa dingin. Bersamaan dengan itu muncul kembali ingatan yang tadi hilang tersapu kabut pertama-ingatan akan rumah di kaki bukit itu, dan Tom yang bernyanyi. Ia ingat sajak yang diajarkan Tom pada mereka. Dengan suara kecil dan putus asa ia memulai: Ho! Tom Bombadil! Begitu ia menyebutkan nama itu, suaranya semakin kuat: bunyinya penuh dan bersemangat, dan ruangan gelap itu bergema, seolah mengikuti bunyi drum dan terompet.
Ho! Tom Bombadil, Tom Bombadillo!
Dekat air, hutan, dan bukit, di alang-alang dan willow,
Dekat api, matahari, dan bulan, dengar sekarang, dengarkanlah!
Kami membutuhkanmu, Torn Bombadil, datanglah!

Mendadak hening sekali, dan Frodo bisa mendengar jantungnya berdetak. Setelah beberapa saat yang lama dan lamban, ia mendengar dengan jelas, meski jauh sekali, seolah datang dari bawah, melalui tanah atau tembok tebal, sebuah suara menyanyikan jawabannya:
Tom Bombadil tua orang yang periang,
Jaketnya biru cerah, sepatu botnya kuning terang.
Tom-lah sang penguasa, takkan bisa dijerat:
Lagu-lagunya dahsyat, dan kakinya lebih cepat.

Ada bunyi gemuruh sangat keras, seolah bebatuan bergulir dan berjatuhan, dan tiba-tiba cahaya mengalir masuk, cahaya asli, cahaya biasa pagi hari. Suatu bukaan seperti pintu rendah muncul di ujung ruangan, di dekat kaki Frodo; dan muncullah kepala Tom Bombadil (topi, bulu, dan semuanya), terbingkai di depan cahaya matahari yang terbit kemerahan di belakangnya. Cahaya itu jatuh ke lantai, dan ke atas wajah ketiga hobbit yang berbaring di samping Frodo. Mereka tak bergerak, tapi warna pucat di wajah mereka sudah lenyap. Mereka sekarang hanya kelihatan sedang tidur lelap.
Tom membungkuk, melepaskan topinya, dan masuk ke dalam ruangan gelap itu sambil bernyanyi:
Keluar kau, Wight tua! Enyahlah dalam cahaya mentari!
Ciutlah seperti kabut dingin, seperti angin pergi' meraung,
Keluar ke negeri tandus, jauh di luar pegunungan!
Jangan datang ke sini lagi! Biarkan kuburanmu kosong!
Hilang dan terlupakanlah, lebih gelap daripada kegelapan,
Di mana gerbang-gerbangnya selalu tertutup, sampai dunia tersembuhkan.

Saat kata-kata itu diucapkan, terdengar teriakan keras dan sebagian ujung dalam ruangan itu runtuh dengan bunyi dahsyat. Lalu ada jeritan memanjang yang makin melemah ke dalam jarak tak terduga; dan setelah itu sepi.
"Ayo, Kawan Frodo!" kata Tom. "Mari kita keluar ke rumput bersih! Kau harus menolongku mengangkat mereka."
Berdua mereka mengangkat keluar Merry, Pippin, dan Sam. Ketika Frodo meninggalkan "kuburan" itu untuk terakhir kalinya, ia merasa melihat tangan, putus yang masih menggeliat seperti labah-labah kesakitan di gundukan tanah runtuh. Tom masuk kembali, terdengar bunyi pukulan dan injakan. Ketika keluar, ia membawa harta banyak sekali: benda-benda dari emas, perak, perunggu; banyak manik-manik rantai, dan hiasan berlian. Ia memanjat gundukan tanah hijau itu dan meletakkan semuanya di bawah sinar matahari.
Ia berdiri di sana, dengan topi di tangannya dan angin meniup rambutnya, memandang para hobbit yang sudah dibaringkan di rumput sebelah barat bukit. Sambil mengangkat tangan kanannya, Tom berkata dengan suara jernih berwibawa,
Bangunlah sekarang, kawan-kawanku yang riang!
Bangun dan dengarlah aku memanggil!
Hangatlah hati dan anggota tubuh! Batu yang dingin sudah runtuh;
Pintu gelap sudah terbuka; tangan mati sudah tiada.
Malam di bawah Malam sudah terbang, Gerbang sudah terpentang!

Den-an sangat gembira Frodo melihat para hobbit bergerak, meregangkan tangan dan menyeka mata, lalu tiba-tiba bangkit berdiri. Mereka melihat sekeliling dengan keheranan, mula-mula memandang Frodo, kemudian Tom yang berdiri menjulang di gundukan tanah di atas mereka; lalu diri mereka sendiri dalam kain putih compang-camping yang tipis, bermahkota dan berikat pinggang emas pucat, bergemerincing perhiasan.
"Apa-apaan ini?" kata Merry sambil meraba lingkaran bulat yang sudah merosot di atas salah satu matanya. Lalu ia berhenti, wajahnya menjadi muram, dan ia memejamkan mata. "Tentu saja, aku ingat!" katanya. "Orang-orang Carn Dum menyerang kami malam-malam, dan kami kalah. Aduh! Pedang dalam jantungku!" ia mencengkeram dadanya. "Tidak! Tidak!" katanya, sambil membuka mata. "Apa yang kukatakan? Aku bermimpi rupanya. Ke mana kau pergi, Frodo?"
"Kurasa aku tersesat," kata Frodo, "tapi aku tak mau membahasnya. Sebaiknya kita pikirkan apa yang harus dilakukan sekarang! Mari kita melanjutkan perjalanan!"
"Berpakaian seperti ini, Sir?" kata Sam. "Di mana pakaianku?" ia melemparkan lingkaran bulat, ikat pinggang, dan cincin-cincin ke atas rumput, lalu melihat sekeliling dengan tak berdaya, seolah berharap akan menemukan jubah, jaket, tali celana, dan pakaian hobbit lainnya bertebaran di dekat mereka.
"Kalian tidak akan menemukan lagi pakaian kalian," kata Tom, melompat dari atas gundukan tanah, dan tertawa sambil menari-nari mengelilingi mereka dalam cahaya matahari. Seolah-olah peristiwa berbahaya atau mengerikan tadi tak pernah terjadi; dan memang... kengerian lenyap dari hati mereka ketika memandang Tom, dan melihat sinar ceria di matanya.
"Apa maksudmu?" tanya Pippin, menatapnya, setengah heran dan setengah geli. "Kenapa tidak?"
Tapi Tom menggelengkan kepala, sambil berkata, "Kalian sudah menemukan din kalian sendiri, kalian sudah keluar dari dalam kesulitan besar. Pakaian hanya kehilangan kecil, kalau kalian sudah terelak dari tenggelam. Berbahagialah, kawan-kawanku yang ceria, dan biarkan sinar matahari yang panas menghangatkan hati dan anggota tubuh! Lepaskan pakaian compang-camping itu! Berlarilah telanjang di rumput, sementara Tom pergi berburu!"
Ia melompat menuruni bukit, sambil bersiul dan memanggil Frodo melihatnya berlari ke arah selatan, sepanjang cekungan hijau di antara bukit mereka dan yang berikutnya, sambil tetap bersiul dan memanggil,
Hei! Ayo! Datanglah hei sekarang! Ke mana kau mengembara ?
Naik, turun, dekat, atau jauh, di sini, di sana, atau jauh di sana ?
Telinga-tajam, Hidung-bijak, Ekor-kibas, dan Bumpkin, Kaus kaki-putih, dan Fatty Lumpkin?

Ia bernyanyi sambil berlari cepat, melemparkan topinya ke atas dan menangkapnya, hingga sosoknya tersembunyi dalam lipatan tanah; tapi untuk beberapa saat suaranya hei sekarang! hoi sekarang! mengalir terus terbawa angin, yang sudah berubah arah ke selatan.

Udara sudah mulai panas lagi. Para hobbit berlarian sebentar di rumput, seperti disuruh oleh Tom. Lalu mereka berbaring di bawah sinar matahari, dengan kegembiraan makhluk yang berpindah tiba-tiba dari musim dingin yang hebat ke cuaca ramah, atau seperti orang yang setelah lama menderita sakit, suatu hari bangun dalam keadaan sehat, dan hari terasa indah kembali.
Saat Tom kembali, mereka sudah merasa kuat (dan lapar). Torn muncul dari atas punggung bukit, topi lebih dulu, dan di belakangnya berbaris dengan patuh enam ekor kuda: kelima kuda mereka sendiri, dan satu kuda lain. Yang terakhir itu Paso Fatty Lumpkin: ia lebih besar, kuat, dan gemuk (dan lebih tua) daripada kuda-kuda mereka. Merry, pemilik kelima kuda itu, sebenarnya belum pernah menamai kuda-kudanya demikian, tapi selama sisa hidup mereka, kelima kuda itu mau dipanggil dengan nama baru yang diberikan Tom. Tom memanggil mereka satu demi satu, dan keenam kuda itu mendaki punggung bukit, lalu berdiri berbaris. Tom membungkuk kepada para hobbit.
"Ini kuda kalian!" katanya. "Mereka lebih berakal sehat (dalam segi tertentu) daripada kalian, hobbit pengembara-lebih banyak punya akal sehat dalam hidung mereka. Karena mereka mencium bahaya di depan, sementara kalian malah langsung terjun ke dalamnya; dan kalaupun mereka lari untuk menyelamatkan diri, mereka lari ke arah yang benar. Kalian harus memaafkan mereka, karena meski hati mereka setia, mereka tidak diciptakan untuk menghadapi kengerian para Barrow-wight. Lihat, mereka datang lagi, membawa semua muatan mereka!"
Merry, Sam, dan Pippin sekarang mengenakan pakaian cadangan yang mereka bawa dalam ransel; dengan segera mereka kepanasan, karena terpaksa memakai pakaian yang lebih tebal dan hangat, yang mereka bawa untuk musim dingin yang sudah dekat.
"Dari mana hewan tua yang satu itu datang? Si Fatty Lumpkin itu?" tanya Frodo.
"Dia milikku," kata Tom. "Kawanku yang berkaki empat; tapi aku jarang menunggangnya dan dia sering mengembara jauh, bebas di atas lereng bukit. Ketika kuda-kuda kalian tinggal di tempatku, mereka berkenalan dengan Lumpkin; mereka mengendusnya di malam hari, dan cepat berlari menemuinya. Kupikir dia akan mencari mereka, dan dengan kata-kata bijaknya akan membuang semua ketakutan mereka. Tapi sekarang, Lumpkin-ku yang riang, Tom akan menunggangimu. Hell Tom akan ikut dengan kalian, untuk mengantar ke jalan; jadi dia butuh kuda. Sebab tidak mudah berbicara dengan hobbit-hobbit yang menunggang kuda, kalau kau sendiri mencoba berlari dengan kaki di samping mereka."
Para hobbit senang sekali mendengar itu, dan berterima kasih berkali-kali pada Tom; tapi ia tertawa dan mengatakan mereka begitu pintar menyesatkan diri sendiri, hingga ia takkan puas sebelum mengantar mereka dengan selamat melintasi perbatasan negerinya. "Banyak sekali pekerjaanku," kata Tom, "berkarya dan bernyanyi, berbicara dan berjalan, dan mengawasi negeri. Tom tidak selalu bisa berada di dekat pintu-pintu terbuka dan celah pohon willow. Tom punya rumah yang mesti diurus, dan Goldberry menunggu."

Masih cukup pagi kalau melihat matahari, sekitar jam sembilan dan sepuluh, dan para hobbit mulai memikirkan makanan. Mereka terakhir makan pada siang hari sebelumnya, di dekat batu berdiri itu. Sekarang mereka sarapan dengan sisa perbekalan dan Tom, yang sebenarnya Untuk makan malam, berikut tambahan yang dibawakan Tom untuk mereka. Bukan hidangan besar (mengingat nafsu makan hobbit dan keadaan saat itu), tapi mereka merasa jauh lebih segar setelahnya. Sementara mereka makan, Tom naik ke atas gundukan itu, mengamati harta di atasnya. Kebanyakan ia buat menjadi tumpukan yang berkilauan dan bersinar di atas rumput. Ia menyuruh mereka tetap di sana, "bebas bagi semua penemu, burung, hewan, Peri maupun Manusia, dan semua makhluk ramah"; dengan demikian, sihir gundukan itu akan patah dan tercerai-berai, dan tidak akan ada lagi Wight yang kembali ke situ. Untuk dirinya sendiri ia memilih sebuah bros bertatahkan permata biru, bernuansa banyak seperti bunga flax atau sayap kupu-kupu biru. Ia memandangnya lama sekali, seolah tergetar oleh ingatan lama, menggelengkan kepala, dan akhirnya berkata,
"Ini mainan bagus untuk Tom dan istrinya! Cantik sekali dia yang dulu memakai ini di pundaknya. Sekarang Goldberry akan memakainya, dan kami tidak akan melupakannya!"
Untuk masing-masing hobbit, ia memilih sebilah belati panjang, berbentuk daun dan tajam, buatannya halus, berhiaskan pola-pola ular berwarna merah dan emas. Pisau-pisau itu berkilauan saat Tom mengeluarkannya dari sarung hitam mereka, yang ditempa dari semacam logam asing ringan dan kuat, bertatahkan banyak batu permata yang menyala bagai api. Entah karena pengaruh baik dari sarung-sarung itu, atau karena sihir yang mempengaruhi gundukan tanah itu, mata pisau-pisau tersebut seolah tak tersentuh waktu, tidak karatan, tajam, dan berkilauan dalam sinar matahari.
"Pisau-pisau tua cukup panjang sebagai pedang untuk makhluk hobbit," kata Tom. "Pisau tajam baik dipunyai kalau makhluk-makhluk Shire berjalan ke timur, selatan, atau jauh ke tempat gelap dan berbahaya." Lalu ia bercerita pada mereka bahwa pisau-pisau itu ditempa bertahun-tahun yang lalu oleh Orang-Orang Westernesse: mereka musuh Penguasa Kegelapan, tapi mereka dikalahkan oleh Raja Carn Dum yang jahat di Negeri Angmar.
"Hanya sedikit yang ingat pada mereka sekarang," gumam Tom, "tapi masih ada yang pergi mengembara, putra-putra raja yang terlupakan, berjalan kesepian, menjaga orang-orang yang tak acuh dan hal-hal yang jahat."
Para hobbit tidak, mengerti kata-kata Tom, tapi ketika ia berbicara, mereka mendapat penglihatan tentang tahun-tahun lama berselang, seperti sebuah dataran luas remang-remang, di mana berjalan segala macam bentuk Manusia, tinggi dan muram, dengan pedang mengilat, dan yang terakhir datang memiliki satu bintang di dahinya. Lalu penglihatan itu memudar, dan mereka kembali berada di dunia cerah bermandikan cahaya matahari. Sudah waktunya berangkat lagi. Mereka bersiap-siap, mengepak ransel, dan menaikkan muatan ke atas kuda-kuda. Dengan perasaan canggung, mereka menggantungkan senjata mereka yang baru pada ikat pinggang kulit di bawah jaket, sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah senjata itu akan pernah dimanfaatkan. Sebelum itu, tak pernah terbayang oleh mereka bahwa bertempur akan menjadi salah satu petualangan yang bakal menghadang mereka dalam pelarian.

Akhirnya mereka berangkat. Mereka menuntun kuda-kuda menuruni bukit; lalu, sambil menunggang kuda, mereka menderap cepat sepanjang lembah. Mereka menoleh dan melihat puncak gundukan lama di atas bukit, dari sana cahaya matahari yang menyinari emas naik seperti nyala api kuning. Lalu mereka membelakangi Downs, dan daerah itu tersembunyi dari pandangan.
Meski Frodo melihat sekeliling ke semua sisi, tidak kelihatan batu-batu besar berdiri seperti gerbang. Tak lama kemudian, mereka sampai di celah utara dan dengan cepat melaju melewatinya, tanah terhampar luas di depan. Perjalanan itu riang sekali, dengan Tom Bombadil berlari gembira di samping atau di depan mereka, menunggangi Fatty Lumpkin yang bisa bergerak jauh lebih cepat daripada yang tampak dari ukuran badannya. Tom lebih banyak bernyanyi, kebanyakan tanpa makna, atau mungkin bahasanya bahasa asing yang tidak dikenal para hobbit, bahasa kuno yang kata-katanya terutama tentang keajaiban dan kegembiraan.
Mereka melaju dengan teratur, tapi segera menyadari bahwa Jalan Timur yang mereka cari ternyata lebih jauh daripada yang mereka bayangkan. Bahkan tanpa kabut pun, acara tidur siang pasti menghalangi mereka untuk mencapainya sebelum malam pada hari sebelum- nya. Garis gelap yang mereka lihat bukan barisan pohon, tapi barisan semak belukar yang tumbuh di tepi tanggul dalam, dengan tembok curam di sisi sebelah sana. Kata Tom, dulu tanggul itu pernah menjadi perbatasan sebuah kerajaan, tapi itu sudah sangat lama berselang. Ia rupanya ingat sesuatu yang sedih tentang tanggul itu, dan tidak mau bicara banyak.
Mereka mendaki turun dan keluar dari tanggul, melewati celah di tembok, lalu Tom belok ke utara, karena selama itu mereka berjalan agak ke barat. Sekarang tanah terbuka dan cukup datar. Mereka mempercepat langkah, tapi matahari sudah terbenam rendah ketika akhirnya mereka melihat barisan pohon tinggi di depan. Tahulah mereka bahwa mereka sudah sampai kembali ke Jalan Timur, setelah beberapa petualangan tak terduga. Mereka memacu kuda melewati sekitar dua ratus meter terakhir, lalu berhenti di bawah bayangan panjang pepohonan. Mereka berada di atas puncak tebing menurun, dan
Jalan Timur yang sekarang kelihatan samar-samar saat senja, berkelok-kelok di bawah mereka. Pada titik itu ia menjulur hampir dari Barat-daya sampai ke Timur-laut, dan di sebelah kanan ia segera jatuh ke dalam cekungan lebar. Ada jejak roda dan banyak tanda bekas hujan deras yang baru saja berlalu; ada genangan-genangan dan lubang-lubang penuh air.
Mereka melaju menuruni tebing, melihat ke atas dan ke bawah. Tak kelihatan apa pun. "Nah, akhirnya kita kembali ke jalan ini!" kata Frodo. "Kurasa kita hanya kehilangan dua hari dengan memotong jalan lewat Forest! Mungkin saja keterlambatan itu terbukti berguna kelak-mungkin itu membuat mereka kehilangan jejak kita."
Yang lainnya memandang Frodo. Bayangan ketakutan terhadap Penunggang Hitam mendadak menyerbu kembali. Sejak memasuki Forest, mereka hanya memikirkan bagaimana kembali ke Jalan Timur; baru sekarang, ketika jalan itu sudah mereka tapaki, mereka ingat bahaya yang mengejar, dan sangat mungkin menunggu mereka di Jalan itu sendiri. Dengan cemas mereka menoleh ke arah matahari terbenam, tetapi Jalan itu cokelat dan kosong.
"Apakah menurutmu kita akan dikejar malam ini?" tanya Pippin ragu-ragu.
"Tidak, kuharap tidak," jawab Tom Bombadil, "besok pun mungkin tidak Tapi jangan percaya pada dugaanku, karena aku tidak yakin. Di sebelah timur, pengetahuanku tidak cukup. Tom bukan penguasa para Penunggang dari Negeri Hitam yang jauh di luar negerinya."
Bagaimanapun, para hobbit sangat berharap Tom ikut bersama mereka. Mereka merasa bila ada yang bisa menghadapi Penunggang Hitam, maka Tom-lah orangnya. Tak lama lagi mereka akan masuk ke negeri-negeri yang sama sekali asing bagi mereka, yang hanya mereka ketahui dari legenda-legenda paling samar dan jauh yang mereka dengar di Shire. Dalam senja yang mulai turun, mereka merasa rindu kepada rumah. .Perasaan kesepian dan kehilangan yang mendalam menyelimuti mereka. Mereka berdiri diam, enggan berpamitan untuk terakhir kali. Setelah lama, baru mereka menyadari bahwa Tom sedang mengucapkan selamat jalan, dan meminta agar mereka bersemangat dan terus melaju sampai gelap, tanpa berhenti.
"Tom akan memberi kalian nasihat bijak, sampai hari ini berakhiri (setelah itu, kalian mesti mengandalkan keberuntungan kalian sendiri) empat mil melewati Jalan Timur ini, kalian akan sampai ke desa Bree di bawah Bree-hill, dengan pintu-pintu menghadap ke barat. Di sana kalian akan menemukan penginapan tua bernama Kuda Menari. Pemiliknva adalah Barliman Butterbur yang terhormat. Di sana kalian bisa menginap, dan pagi harinya kalian bisa bergegas. Beranilah, tapi hati-hati! Pertahankan kegembiraan, dan melajulah menyambut keberuntungan kalian!"
Mereka memohon agar Tom mau ikut, setidaknya sejauh penginapan itu dan minum sekali lagi dengan mereka; tapi ia tertawa dan menolak, sambil berkata,
Negeri Tom berakhir di sini: ia takkan melewati perbatasan.
Tom punya rumah untuk diurus, don Goldberry menunggu!

Lalu ia berbalik, melemparkan topinya ke atas, melompat ke atas punggung Lumpkin, dan melaju menaiki tebing, menghilang dalam keremangan senja sambil bernyanyi.
Para hobbit naik ke atas puncak tebing, memperhatikan Tom sampai ia hilang dari pandangan.
"Aku menyesal harus berpisah dengan Mr. Bombadil," kata Sam. "Dia sangat bisa diandalkan. Kalaupun kita pergi lebih jauh, kurasa kita tidak bakal menjumpai sesuatu yang lebih baik atau lebih aneh. Tapi kuakui, aku akan senang menemukan penginapan Kuda Menari yang dibicarakannya itu. Kuharap mirip Naga Hijau di rumah! Seperti apa orang-orang di Bree?"
"Ada juga hobbit di Bree," kata Merry, "dan juga Makhluk-Makhluk Besar. Kupikir akan seperti di rumah juga. Bagaimanapun, penginapan itu bagus dalam segala hal. Orang-orangku sesekali pergi ke sana."
"Mungkin penginapan itu sesuai dengan harapan kita," kata Frodo, "tapi bagaimanapun dia ada di luar Shire. Jangan terlalu merasa kerasan di sana! Ingatlah-kalian semua-bahwa nama Baggins TIDAK boleh disebut. Aku adalah Mr. Underhill, kalau ada nama yang harus disebut."
Mereka menaiki kuda dan melaju diam-diam ke dalam senja. Kegelapan segera turun, saat mereka berjalan perlahan menuruni bukit dan naik lagi, sampai akhirnya mereka melihat lampu-lampu berkelip tak seberapa jauh di depan.
Di depan mereka berdiri Bree-hill menghalangi jalan, suatu bongkahan gelap di depan bintang-bintang samar-samar; dan di bawah sisi sebelah barat bersandar sebuah desa besar. Mereka berjalan bergegas menuju desa itu, dengan harapan akan menemukan api, dan pintu untuk membatasi mereka dengan malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar