SELAMAT TINGGAL LORIEN
Malam itu Rombongan dipanggil lagi ke istana Celeborn. Di sana Lord Celeborn dan Lady Galadriel menyambut mereka dengan kata-kata indah. Akhirnya Celeborn membicarakan keberangkatan mereka.
Katanya, "Sekaranglah saatnya mereka yang mau melanjutkan Pencarian harus menguatkan hati untuk meninggalkan negeri ini. Mereka yang tak ingin melanjutkan, boleh tetap tinggal di sini, untuk sementara. Tapi entah mereka pergi atau tinggal, tak ada kepastian akan kedamaian. Karena sekarang kita sudah mendekati kiamat. Mereka yang mau, boleh menunggu di sini, hingga jalan dunia terbuka lagi, atau sampai kami mengumpulkan mereka untuk kebutuhan terakhir Lorien. Setelah itu mereka boleh kembali ke negeri mereka sendiri, atau pergi ke rumah peristirahatan lama untuk mereka yang jatuh dalam pertempuran."
Hening sekali. "Mereka semua bertekad terus maju," kata Galadriel yang menatap ke dalam mata mereka.
"Bagiku," kata Boromir, "jalan pulang ke rumahku ada di depan, dan bukan kembali."
"Itu benar," kata Celeborn, "tapi apakah seluruh Rombongan ini akan pergi bersamamu ke Minas Tirith?"
"Kami belum menentukan arah jalan kami, kata Aragorn. "Di luar Lothlorien, aku tidak tahu rencana Gandal£ Bahkan menurutku dia belum punya tujuan jelas."
"Mungkin tidak," kata Celeborn, "tapi kalau kau meninggalkan negeri ini, kau tidak bisa lagi melupakan Sungai Besar. Seperti beberapa di antara kalian sudah tahu, sungai itu tak bisa diseberangi pelancong yang membawa muatan di antara Lorien dan Gondor, kecuali dengan perahu. Dan bukankah jembatan-jembatan Osgiliath sudah putus dan semua pelabuhan sekarang dikuasai Musuh?
"Di sisi mana kalian akan berjalan? Jalan ke Minas Tirith terletak di sisi ini, di barat; tapi jalan lurus Pencarian terletak di sebelah timur Sungai, di pantai yang lebih gelap. Pantai mana yang akan kalian ambil?"
"Kalau saranku diperhatikan, maka kami akan mengambil pantai barat, dan jalan ke Minas Tirith," jawab Boromir. "Tapi aku bukan pemimpin Rombongan." Yang lain tidak berbicara, Aragorn kelihatan ragu dan resah.
"Kulihat kau belum tahu harus melakukan apa," kata Celeborn. "Bukan bagianku untuk memilihkan bagimu; tapi aku akan mencoba membantumu sebisaku. Ada beberapa di antara kalian yang bisa menangani perahu: Legolas, yang bangsanya mengenal Sungai Forest yang deras; Boromir dari Gondor; dan Aragorn si pengembara."
"Dan satu hobbit!" teriak Merry. "Tidak semua dari kami memandang perahu seperti kuda liar. Keluargaku tinggal di tepi Brandywine."
"Bagus sekali," kata Celeborn. "Kalau begitu, aku akan melengkapi Rombongan-mu dengan perahu-perahu. Perahunya harus kecil dan ringan, sebab kalau kau pergi jauh melewati air, akan ada tempat-tempat di mana kau terpaksa menggotongnya. Kau akan sampai ke Air Terjun Sarn Gebir, dan mungkin akhirnya sampai ke air terjun besar Rauros, di mana Sungai mengguruh terjun dari Nen Hithoel; dan ada bahaya-bahaya lain. Perahu akan membuat perjalanan kalian tidak terlalu melelahkan, untuk sementara waktu. Tapi perahu itu tidak akan memberi kalian pertolongan: pada akhirnya kalian harus meninggalkannya dan keluar dari Sungai, membelok ke barat-atau timur."
Aragorn mengucapkan terima kasih banyak pada Celeborn. Pemberian perahu sangat menghibur hatinya, karena mereka jadi tak perlu menentukan arah untuk beberapa hari mendatang. Yang lain juga tampak lebih berpengharapan. Apa pun bahaya yang ada di depan, rasanya lebih baik mengambang melalui sungai lebar Anduin untuk menghadapinya, daripada berjalan susah payah dengan punggung, membungkuk. Hanya Sam yang agak ragu: setidaknya ia masih beranggapan perahu sama buruknya dengan kuda liar, atau lebih buruk lagi, dan tidak semua bahaya yang sudah dilaluinya membuatnya berpandangan lebih baik tentang perahu.
"Semuanya akan disiapkan untukmu, dan menunggu kalian di pelabuhan sebelum tengah hari besok," kata Celeborn. "Aku akan mengirim anak buahku pada kalian untuk membantu mempersiapkan perjalanan. Sekarang kami doakan kalian semua malam yang indah dan tidur nyenyak."
"Selamat tidur kawan-kawanku!" kata Galadriel. "Tidurlah dengan damai! Jangan risaukan perjalanan kalian. Mungkin jalan yang masing-masing akan kalian lewati sudah terhampar di depan kalian, meski kalian tidak melihatnya. Selamat malam!"
Rombongan itu berpamitan dan kembali ke paviliun mereka. Legolas pergi bersama mereka, karena inilah malam terakhir mereka di Lothlorien, dan meski sudah mendengar kata-kata Galadriel tadi, mereka tetap ingin membicarakan perjalanan mereka bersama-sama.
Untuk waktu lama mereka berdebat tentang apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara terbaik mencoba memenuhi tujuan mereka dengan Cincin: tapi mereka tidak berhasil mencapai keputusan. Jelas sekali beberapa di antara mereka ingin pergi ke Minas Tirith dulu, untuk mengelak dari teror Musuh untuk sementara waktu. Mereka sebenarnya bersedia mengikuti seorang pemimpin menyeberangi Sungai dan masuk ke kegelapan Mordor; tapi Frodo tidak berbicara, dan Aragorn masih bercabang pikirannya.
Rencana Aragorn, ketika Gandalf masih bersama mereka, adalah pergi dengan Boromir, dan dengan pedangnya membantu menyelamatkan Gondor. Karena ia percaya pesan-pesan dalam mimpinya memang suatu panggilan, dan bahwa saatnya sudah tiba bag' pewaris Elendil untuk maju bertanding dengan Sauron, merebut kekuasaan. Tapi di Moria beban Gandalf beralih ke pundaknya; dan ia tahu ia tak bisa meninggalkan Cincin sekarang, kalau Frodo akhirnya menolak pergi dengan Boromir. Meski begitu, pertolongan apa yang bisa ia berikan pada Frodo, kecuali berjalan dengan membabi buta mendampinginya masuk ke kegelapan?
"Aku akan pergi ke Minas Tirith, sendirian kalau terpaksa, karena itu tugasku," kata Boromir. Setelah itu ia diam sejenak, duduk menatap Frodo, seolah mencoba membaca pikiran hobbit itu. Akhirnya ia berbicara lagi perlahan, seolah berdebat dengan dirinya sendiri. "Kalau kau hanya ingin menghancurkan Cincin," katanya, "maka perang dan senjata tidak banyak gunanya; dan Orang-Orang Minas Tirith tak bisa membantu. Tapi kalau kau ingin menghancurkan kekuatan bersenjata Penguasa Kegelapan, maka bodoh sekali kalau kau masuk ke wilayahnya tanpa kekerasan; dan bodoh sekali untuk membuangnya." ia berhenti mendadak, seolah menyadari ia tengah mengucapkan pikirannya keras-keras. "Maksudku, bodoh sekali untuk membuang kehidupan dengan sia-sia," katanya. "Ini adalah pilihan antara mempertahankan tempat yang kuat dan berjalan terang-terangan masuk ke tangan kematian. Setidaknya, begitulah pendapatku."
Frodo menangkap sesuatu yang baru dan aneh dalam tatapan Boromir, dan ia memandang pria itu dengan tajam. Jelas pikiran Boromir berbeda dengan kata-katanya yang terakhir. Bodoh sekali untuk membuangnya? Membuang apa? Cincin Kekuasaan? ia pernah mengatakan hal semacam ini di Dewan, tapi kemudian ucapannya dikoreksi oleh Elrond. Frodo memandang Aragorn, tapi tampaknya Aragorn sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan tidak menunjukkan tanda bahwa ia mendengar kata-kata Boromir. Dengan demikian, debat mereka berakhir. Merry dan Pippin sudah tertidur, dan Sam mengangguk-angguk. Malam semakin larut.
Di pagi hari, saat mereka mulai mengemasi barang-barang mereka yang sedikit, beberapa Peri yang bisa berbicara bahasa mereka datang membawakan banyak hadiah, berupa makanan dan pakaian untuk perjalanan. Makanannya kebanyakan berupa kue yang sangat tipis, bagian dalamnya berwarna krem. Gimli mengambil salah satu kue dan memandangnya dengan ragu.
"Cram," katanya berbisik, lain ia mematahkan ujung yang garing dan mengunyahnya. Ekspresi wajahnya cepat berubah, dan ia memakan seluruh sisa kue itu dengan senang.
"Cukup, cukup!" seru para Peri sambil tertawa. "Kau sudah makan cukup untuk sehari perjalanan panjang."
"Kukira ini hanya semacam cram, seperti yang dibuat orang-orang Dale untuk perjalanan di belantara," kata Gimli.
"Memang begitu," jawab mereka. "Tapi kami menyebutnya lembas atau waybread, roil perjalanan, dan ini lebih menguatkan daripada makanan mana pun yang dibuat Manusia, dan lebih lezat daripada cram."
"Memang begitu," kata Gimli. "Wah, bahkan lebih enak daripada kue madu kaum Beorning, dan itu merupakan pujian besar, karena kaum Beorning adalah tukang roti terbaik yang kukenal; tapi di masa kini mereka tidak bersedia membagi-bagikan kue mereka kepada pelancong. Kalian tuan rumah yang sangat baik hati!"
"Tapi kami sarankan kalian menghemat makanan itu," kata mereka. Makanlah sedikit saja setiap kali, dan hanya kalau dibutuhkan. Karena kue-kue ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan kalian bila makanan lain tidak ada. Kue-kue ini akan tetap manis selama beberapa hari, kalau dibiarkan utuh dan tetap dalam bungkusan mereka, seperti sekarang ini. Satu kue cukup untuk membuat seorang pelancong bertahan selama satu hari kerja keras, meski dia salah satu Manusia jangkung dari Minas Tirith."
Kemudian para Peri membuka dan memberikan pada setiap anggota Rombongan pakaian yang mereka bawa. Untuk setiap orang sudah disediakan kerudung dan jubah, sesuai ukuran masing-masing, dari bahan semacam sutra yang ringan tapi hangat, hasil tenunan kaum Galadhrim. Sulit disebut warnanya: kelabu bernada senja di bawah pepohonan, dan kalau digerakkan, atau diletakkan di bawah cahaya lain, tampak hijau seperti daun yang remang-remang, atau cokelat seperti padang kosong di malam hari, perak-senja seperti air di bawah sinar bintang. Setiap jubah diikat di leher, den-an bros seperti daun hijau berurat perak.
"Apakah ini jubah sihir?" tanya Pippin, memandangnya dengan kagum.
"Aku tidak tahu maksudmu," jawab pemimpin kelompok Peri. "Ini pakaian indah, dan tenunannya bagus, karena dibuat di negeri ini. Memang ini jubah kaum Peri, kalau itu maksudmu. Daun dan dahan, air dan batu: mereka memiliki warna dan keindahan semua itu, di bawah senja Lorien yang kami cintai; karena kami memasukkan pikiran tentang semua yang kami cintai ke dalam segala sesuatu yang kami buat. Tapi ini pakaian, bukan senjata, dan tidak bisa menangkis batang tombak atau mata pisau. Tapi mereka akan sangat berguna: ringan dipakai, dan cukup hangat atau sejuk, sesuai kebutuhan. Dan kau akan menyadari bahwa pakaian ini akan sangat membantumu menyembunyikan diri dari pandangan mata yang tidak ramah, baik kau berjalan di antara bebatuan atau pepohonan. Kalian benar-benar sangat disayangi Lady! Karena dia sendiri dan gadis-gadis pelayannya yang menenun bahan ini; dan belum pernah kami memakaikan pakaian bangsa kami sendiri pada orang asing."
Setelah makan pagi, Rombongan itu pamit kepada halaman dekat air mancur. Hati mereka terasa berat; karena tempat itu indah sekali, dan sudah terasa seperti rumah sendiri, meski mereka tak bisa menghitung siang dan malam yang sudah mereka lewatkan di sana. Saat mereka berdiri sejenak memandang air putih di bawah sinar matahari, Haldir datang mendekati, melintasi rumput hijau lapangan itu. Frodo menyambutnya dengan gembira.
"Aku sudah kembali dari Pagar-Pagar Utara," kata Peri itu, "dan aku sekarang dikirim untuk menjadi pemandu kalian lagi. Lembah Dimrill penuh nap dan awan asap, dan pegunungannya resah. Ada bunyi berisik dari dalam bumi. Seandainya ada di antara kalian yang berniat pulang ke utara, ke rumah kalian, kalian takkan mungkin melewati jalan itu. Tapi marilah! Jalan kalian sekarang ke selatan."
Ketika mereka melewati Caras Galadhon, jalan-jalan yang hijau tampak kosong; tapi di pepohonan di atas banyak suara bergumam dan bernyanyi. Mereka sendiri berjalan diam. Akhirnya Haldir menuntun mereka menuruni lereng-lereng selatan bukit, dan mereka kembali mendekati gerbang besar yang digantungi lampu-lampu, dan ke jembatan putih; dan begitulah, mereka keluar dan pergi dari kota bangsa Peri. Lalu mereka keluar dari jalan berubin dan men-ambil rute yang masuk ke gerombolan pohon mallorn yang rapat, dan berjalan terus, melewati wilayah hutan berbayang-bayang keperakan, terus-menerus turun, ke selatan dan ke timur, menuju tebing Sungai.
Mereka sudah berjalan sekitar sepuluh mil, dan tengah hari telah menjelang ketika mereka tiba di sebuah tembok hijau yang tinggi. Melalui sebuah bukaan, tiba-tiba mereka sudah keluar dari antara pepohonan. Di depan mereka terhampar halaman panjang rumput yang bersinar-sinar, bertatahkan elanor emas yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Halaman itu menjulur sampai ke suatu lidah sempit di antara pinggiran yang cerah: di sebelah kanan dan barat, Silverlode mengalir kemilau; di sebelah kiri dan timur, Sungai Besar mengalunkan airnya yang luas, dalam, dan gelap. Di pantai seberang, hutan masih membentang ke selatan, sejauh mata memandang, tapi semua tebing kosong dan gersang. Tak ada mallorn yang merentangkan dahan-dahan bermuatan emas di luar Negeri Lorien.
Di tebing Silverlode, agak jauh dari tempat pertemuan sungai, ada dermaga dari batu dan kayu putih. Banyak perahu dan tongkang berlabuh di sana. Beberapa dicat dengan warna cerah, dan gemerlap dengan perak, emas, dan hijau, tapi kebanyakan hanya kelabu atau putih. Tiga perahu kelabu kecil sudah disiapkan bagi para pelancong, dan ke dalamnya para Peri menaikkan bawaan mereka. Mereka juga menambahkan gulungan tambang, tiga gulling untuk setiap perahu. Tampak ramping, tapi kuat, terasa seperti sutra, berwarna kelabu seperti jubah-jubah Peri.
"Apa ini?" tanya Sam, memegang satu yang tergeletak di rumput.
"Itu tambang!" jawab para Peri dari atas perahu. "Jangan pernah berjalan jauh tanpa membawa tambang! Dan harus yang kuat dan ringan. Tambang ini kuat dan ringan. Akan membantu dalam banyak kebutuhan."
"Kau tak perlu mengatakan itu padaku!" kata Sam. "Aku datang tanpa membawa tambang satu pun, dan aku cemas selama iii. Tapi aku bertanya-tanya, tambang ini dibuat dari bahan apa, karena aku tahu sedikit tentang pembuatan tambang; sudah kebiasaan dalam keluargaku, bisa dikatakan begitu."
"Tambang ini terbuat dari hithlain," kata Peri itu, "tapi sekarang tak ada waktu untuk mengajarimu seni pembuatannya. Seandainya kami tahu keterampilan ini kausukai, kami bisa banyak mengajarimu. Sayang sekali! Kecuali suatu saat kau kembali ke sini, kau harus puas dengan pemberian kami ini. Mudah-mudahan berguna bagimu!"
"Ayo!" kata Haldir. "Semua sudah siap. Masuklah ke perahu! Tapi hati-hatilah pada mulanya!"
"Perhatikan kata-katanya!" kata Peri-Peri yang lain. "Perahu-perahu ini ringan dan andal, tidak seperti perahu bangsa lain. Tidak akan karam, meski bermuatan penuh; tapi mereka akan melawan bila diperlakukan kasar. Sebaiknya kalian membiasakan diri naik-turun dari perahu, selagi ada tempat berlabuh di sini, sebelum kalian berangkat mengikuti aliran sungai."
Rombongan diatur sebagai berikut: Aragorn, Frodo; dan Sam dalam satu perahu; Boromir, Merry, dan Pippin di perahu lain; perahu ketiga diisi Legolas dan Gimli, yang sudah menjadi sahabat kental sekarang. Di perahu terakhir inilah sebagian besar barang dan bungkusan dimasukkan. Perahu-perahu digerakkan dan dikemudikan dengan dayung pendek berbilah lebar berbentuk daun. Ketika semua sudah siap, Aragorn memimpin mereka sebagai percobaan melalui Silverlode. Alirannya deras, dan mereka maju perlahan. Sam duduk di haluan, memegang pinggiran perahu, dan memandang sedih ke arah pantai. Matahari yang berkilauan di permukaan air menyilaukan matanya. Saat mereka melewati padang hijau Tongue, pepohonan melengkung ke bawah, sampai menyentuh tepian sungai. Di sana-sini daun-daun keemasan berputar mengambang di atas aliran sungai yang beriak. Udara sangat cerah dan tenang, dan hening sekali, kecuali nyanyian bernada tinggi dari burung-burung lark di kejauhan.
Mereka mengikuti tikungan tajam di sungai, dan di sana, berlayar gagah di depan, menuju ke arah mereka, tampak seekor angsa besar. Air beriak-riak di kedua sisi dadanya yang putih, di bawah lehernya yang melengkung. Paruhnya mengilat seperti emas yang dipoles, dan matanya bersinar bagai permata hitam yang dipasang di tengah permata kuning; sayapnya yang besar dan putih setengah terangkat. Musik mengalun melintasi sungai ketika ia mendekat, dan mendadak mereka menyadari bahwa itu sebuah kapal, dibangun dan diukir dengan keterampilan Peri hingga menyerupai seekor angsa. Dua Peri berpakaian putih mengemudikannya dengan kayuh hitam. Di tengah kapal duduk Celeborn, dan di belakangnya berdiri Galadriel, jangkung dan putih; di rambutnya ada rangkaian bunga emas, di tangannya ia memegang harpa, dan ia bernyanyi. Sedih dan manis bunyi suaranya, di udara yang jernih dan sejuk:
Tentang dedaunan aku bernyanyi, daun-daun emas, daun-daun emas yang tumbuh di sana
Tentang angin aku bernyanyi, angin yang datang dan membuat terlena.
Di bawah Matahari, di bawah rembulan, berbuih-buih Lautan luas,
Dan di pantai Ilmarin tumbuh sebatang Pohon emas.
Di bawah bintang-bintang Ever-eve ia bersinar,
Di samping tembok Elven Tirion, di Eldamar
Daun-daun emasnva lama tumbuh di sana,
Namun di seberang Samudra, Peri-Peri menitikkan air mata.
Oh Lorien! Musim dingin t'lah tiba, Hari yang gersang dan tak berdaun;
Daun-daun berguguran ke dalam air, namun Sungai terus bergerak mengalun.
Oh Lorien! Terlalu lama pantaimu kutinggalkan,
Dan bunga elanor emas, mahkotanya mulai memudar perlahan,
Ingin kubernyanyi tentang kapal, tapi kapal apa 'kan datang padaku,
Kapal apa mau membawaku, menyeberangi Samudra seluas itu?
Aragorn menghentikan perahunya ketika Kapal Angsa itu sampai di sampingnya. Lady Galadriel mengakhiri nyanyiannya dan menyalami mereka. "Kami datang untuk mengucapkan selamat jalan," katanya, . "dan mengantar kalian dengan berkat dari negeri ini."
"Meski kalian sudah menjadi tamu kami," kata Celeborn, "kalian belum makan bersama kami, maka 'dari itu kami mengundang kalian ke pesta perpisahan, di sini... di antara air mengalir yang akan membawa kalian jauh dari Lorien."
Angsa itu bergerak perlahan menuju dermaga. Mereka memutar perahu dan mengikutinya. Di sana, di ujung Egladil, di hamparan rumput hijau, pesta perpisahan berlangsung; tapi Frodo hanya sedikit makan dan minum; ia lebih banyak memperhatikan kecantikan Lady Galadriel dan suaranya. Galadriel tidak lagi tampak berbahaya atau mengerikan, sosoknya pun tidak tampak menyimpan kekuatan tersembunyi. Di mata Frodo, ia kelihatan nyata sekaligus tidak nyata, bagaikan pemandangan yang hidup dari sesuatu yang telah ditinggalkan jauh di belakang, oleh aliran sungai Waktu; sosok Peri yang seperti itulah yang sesekali masih terlihat oleh manusia di belakang hari.
Setelah mereka makan dan minum, sambil duduk di rumput, Celeborn berbicara lagi tentang perjalanan mereka, dan sambil mengangkat tangannya ia menunjuk ke selatan, ke hutan-hutan di luar Tongue.
"Kalau kalian melalui air," katanya, "kalian tidak akan menemukan pepohonan lagi. Kalian akan sampai ke sebuah negeri gersang. Di sana Sungai mengalir di lembah berbatu di tengah dataran tinggi gersang, dan setelah bermil-mil dia sampai ke pulau tinggi Tindrock, yang kami sebut Tol Brandir. Di sana dia menjulurkan lengannya ke tebing curam pulau itu, lalu jatuh dengan berisik dan penuh asap melewati air terjun Rauros, turun ke Nindalf, yang dalam bahasa kalian disebut Wetwang. Itu adalah wilayah luas tanah berair, di mana aliran sungai jadi berbelit-belit dan banyak terbagi. Di sana Entwash mengalir masuk dari banyak muara di Hutan Fangorn di barat. Sekitar sungai itu, di sisi sebelah sini Sungai, terletak Rohan. Di sisi yang lebih jauh terdapat bukit-bukit gersang Emyn Muil. Angin bertiup dari Timur di sana, karena bukit-bukit itu memandang ke luar, melewati Rawa-Rawa Mati dan negeri-negeri Noman, sampai Cirith Gorgor dan gerbang-gerbang hitam Mordor.
"Boromir, dan siapa pun yang akan pergi bersamanya mencari Minas Tirith, sebaiknya meninggalkan Sungai Besar di atas Rauros dan menyeberangi Entwash sebelum sampai ke rawa-rawa. Tapi jangan terlalu jauh mengarungi sungai itu, juga jangan mengambil risiko tersesat di Hutan Fangorn. Itu negeri aneh, dan sekarang hanya sedikit dikenal. Tapi Boromir dan Aragorn pasti tidak membutuhkan peringatan ini."
"Memang kami sudah mendengar tentang Fangorn di Minas Tirith," kata Boromir. "Tapi dari apa yang pernah kudengar, tampaknya kebanyakan berupa dongeng nenek-nenek, seperti yang kita ceritakan pada anak-anak kita. Semua yang letaknya di sebelah Utara Rohan sekarang begitu jauh dari kami, sehingga khayalan bisa bergerak bebas. Sejak dulu Fangorn berada di perbatasan dunia kita; tapi sudah lama sekali berlalu, sejak ada di antara kami yang mengunjunginya, untuk membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran legenda-legenda yang sudah turun-temurun dari zaman dulu.
"Aku sendiri sesekali ke Rohan, tapi aku belum pernah melewatinya ke arah utara. Ketika aku dikirim sebagai utusan, aku melewati Celah di kaki Pegunungan Putih, melintasi Isen dan Greyflood, masuk ke Northerland. Perjalanan panjang dan melelahkan. Empat ratus league jaraknya, dan makan waktu berbulan-bulan; karena aku kehilangan kudaku di Tharbad, di tempat dangkal Greyflood. Setelah perjalanan itu, dan jalan yang kulalui bersama Rombongan ini, aku tidak ragu bahwa aku bisa menemukan jalan melalui Rohan, dan Fangorn juga, kalau terpaksa."
"Kalau begitu, aku tak perlu mengatakan apa-apa lagi." kata Celeborn. "Tapi jangan meremehkan pengetahuan yang sudah turun-temurun; karena sering kali nenek-nenek tua mengingat hal-hal yang dulu memang perlu diketahui orang-orang bijak."
Kini Galadriel bangkit dari rumput. Sambil mengambil cangkir dari salah seorang dayang-dayangnya, ia mengisinya dengan anggur madu putih dan memberikannya pada Celeborn.
"Kini saatnya minum anggur perpisahan," kata Galadriel. "Minumlah, Lord Galadhrim! Dan janganlah hatimu sedih, meski malam harus mengikuti siang, dan senja sudah menjelang."
Lalu ia membawa cangkir itu kepada masing-masing anggota Rombongan, dan memohon mereka meminumnya, serta mengucapkan selamat jalan pada mereka. Tapi, setelah mereka minum, ia menyuruh mereka duduk lagi di rumput. Kursi-kursi dibawa untuk Galadriel dan Celeborn. Dayang-dayangnya berdiri diam di sekitarnya, dan sejenak ia menatap tamu-tamunya. Akhirnya ia berbicara lagi.
"Kita sudah minum dari cangkir perpisahan," katanya, "dan kegelapan jatuh di antara kita. Tapi, sebelum kalian pergi, aku membawa banyak hadiah di kapalku, untuk diberikan pada kalian oleh Lord dan Lady Galadhrim, sebagai kenang-kenangan kepada Lorien." Lalu ia memanggil mereka bergantian.
"Ini hadiah dari Celeborn dan Galadriel kepada pemimpin Rombongan," katanya kepada Aragorn; lalu ia memberikan sebuah sarung pedang yang dibuat sesuai ukuran pedangnya. Sarung itu berhiaskan gambar bunga-bunga dan daun-daun terbuat dari perak dan emas, di atasnya, dalam lambang Peri yang dibentuk oleh batu-batu permata, tertulis nama Anduril dan garis keturunan pedang itu.
"Pedanyang dihunus dari sarung ini tidak akan ternoda atau patah, bahkan bila kalah," katanya. "Tapi adakah hal lain yang kauinginkan dariku pada perpisahan ini? Karena kegelapan akan mengalir di antara kita, dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi, kecuali jauh di sana, di suatu jalan yang tak ada jalur kembali."
Aragorn menjawab, "Lady, kau tahu semua hasratku, dan sudah lama kau menyimpan harta satu-satunya yang kucari. Namun bukan hakmu untuk memberikannya padaku, meski kau mau; hanya melalui kegelapan aku bisa mencapainya."
"Namun mungkin ini akan meringankan hatimu," kata Galadriel, "karena benda ini diberikan padaku untuk dirawat dan disimpan untuk diberikan kepadamu, seandainya kau melalui negeri ini." Lalu dari pangkuannya ia mengambil sebuah batu besar berwarna hijau bening, dipasang pada sebuah bros perak yang ditempa dalam bentuk elang dengan sayap terkembang; ketika ia mengangkatnya, perhiasan itu bersinar seperti cahaya matahari melalui dedaunan musim semi. "Batu ini dulu kuberikan kepada Celebrian, putriku, dan dia memberikannya kepada putrinya; sekarang dia datang kepadamu sebagai tanda harapan. Saat ini terimalah nama yang sudah diramalkan bagimu, Elessar, batu Peri dari rumah Elendil!"
Aragorn mengambil batu itu dan memasang bros di dadanya, dan mereka yang melihatnya terkagum-kagum: karena sebelumnya mereka tidak memperhatikan betapa jangkung dan gagah sosok Aragorn, seperti seorang raja. Mereka juga melihat seolah-olah perjalanan tahun yang keras lepas dari pundaknya. "Untuk hadiah-hadiah yang kauberikan padaku, aku mengucapkan terima kasih," kata Aragorn. "Oh, Lady Lorien, dari siapa turun Celebrian dan Arwen Evenstar. Bagaimana lagi bisa kunaikkan puji-pujian?"
Galadriel menundukkan kepalanya, kemudian beralih kepada Boromir, dan kepadanya ia memberikan ikat pinggang emas; kepada Merry dan Pippin ia memberikan ikat pinggang kecil dari perak, masing-masing dengan gesper yang ditempa menyerupai bunga emas. Kepada Legolas ia memberikan busur sama den-an yang digunakan bangsa Galadhrim, lebih panjang dan kokoh daripada panah Mirkwood, dan diikat dengan seutas rambut Peri. Bersama itu diberikannya juga setabung anak panah.
"Untukmu, tukang kebun kecil dan pecinta pohon," kata Galadriel pada Sam, "aku hanya punya hadiah kecil." ia meletakkan ke tangan Sam sebuah kotak kecil dari kayu kelabu polos, tidak berhias, kecuali satu lambang perak di tutupnya. "Ini huruf G untuk Galadriel," katanya, "tapi juga bisa berarti 'kebun' dalam bahasamu. Di dalam kotak ini ada tanah dari kebun buah-buahanku, dan berkat yang masih bisa dilimpahkan Galadriel ada di dalamnya. Tanah ini tidak akan membuatmu bertahan di jalan, atau membelamu terhadap bahaya; tapi kalau kau menyimpannya dan kelak kau kembali pulang, mungkin dia baru menunjukkan manfaatnya. Meski lingkungan sekitarmu gersang dan kosong, kebunmu akan menjadi satu dari sedikit kebun paling indah di Dunia Tengah, kalau kau menaburkan tanah itu di sana. Lalu kau akan ingat pada Galadriel, dan kau akan melihat sekilas pemandangan di Lorien dari jauh, yang hanya kausaksikan di saat musim din,-In. Sebab musim semi dan musim panas kami sudah lewat, dan takkan terlihat lagi di dunia, kecuali dalam ingatan."
Wajah Sam memerah sampai ke telinganya, dan ia menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar, ketika ia memegang erat kotak itu dan membungkuk sebagus mungkin.
"Dan hadiah apa yang akan diminta seorang Kurcaci dari ban-sa Peri?" tanya Galadriel kepada Gimli.
"Tidak ada, Lady," jawab Gimli. "Sudah cukup bagiku telah melihat Lady bangsa Galadhrim, dan mendengarkan kata-katanya yang lembut."
"Dengar itu, hat para Peri!" seru Galadriel kepada semua di sekitarnya. "Jangan ada lagi yang mengatakan bahwa Kurcaci adalah bangsa yang rakus dan tidak tahu berterima kasih! Tapi Gimli, putra Min, pasti ada sesuatu yang kauinginkan, yang bisa kuberikan. Sebutkan, kumohon! Kau tidak boleh menjadi satu-satunya tamu tanpa hadiah."
"Tidak ada, Lady Galadriel," kata Gimli, membungkuk rendah dan berbicara terbata-bata. "Tidak ada, kecuali kalau boleh kecuali diizinkan untuk meminta... maksudku untuk menyebut... satu helai rambutmu yang keindahannya melebihi emas di bumi, seperti bintang melebihi permata-permata dari tambang. Aku tidak layak meminta hadiah seperti itu. Tapi kau memerintahkan aku untuk menyebutkan hasratku."
Para Peri tersentak dan bergumam kaget, dan Celeborn menatap Kurcaci itu dengan heran, tapi Galadriel tersenyum. "Konon keterampilan bangsa Kurcaci ada pada tangan mereka, bukan pada lidah," katanya, "tapi itu tidak berlaku bagi Gimli. Karena belum pernah ada yang mengajukan permintaan yang begitu berani, namun begitu sopan. Dan bagaimana aku bisa menolak, karena aku yang memerintahkannya berbicara? Tapi katakan padaku, apa yang akan kaulakukan dengan hadiah seperti itu?"
"Menyimpannya dengan hati-hati, Lady," jawab Gimli, "sebagai kenangan terhadap kata-katamu pada pertemuan kita yang pertama. Dan kalau aku suatu saat nanti kembali ke tukang pandai besi di rumah, maka rambut itu akan diawetkan dalam kristal yang tak bisa hancur, untuk menjadi pusaka rumahku, dan sebagai ikrar iktikad baik antara wilayah Gunung dan Hutan, sampai akhir zaman." Lalu Galadriel membuka salah satu jalinan rambutnya yang panjang, memotong tiga helai rambut emas, dan meletakkannya di tangan Gimli. "Kukatakan padamu, bersama dengan pemberian ini," katanya. "Aku tidak meramal, karena semua ramalan sekarang sia-sia: di satu pihak ada kegelapan, dan di pihak lain hanya harapan. Tapi kalau harapan akhirnya menang, maka kukatakan padamu, Gimli putra Gloin, bahwa tanganmu akan dialiri emas, namun emas itu tidak akan menguasai hatimu.
"Dan kau, Pembawa Cincin," kata Galadriel, berbicara pada Frodo. "Aku mendatangimu terakhir, meski tempatmu bukan yang terakhir dalam pikiranku. Untukmu aku sudah menyiapkan ini." ia mengangkat sebuah tabung kecil dari kristal: berkilauan ketika ia menggerakkannya, dan sinar-sinar putih keluar dari tangannya. "Dalam tabung ini," katanya, "ada cahaya bintang Earendil, dimasukkan ke dalam air dari air mancurku. Dia akan bersinar lebih terang pada malam hari. Semoga ini menjadi cahaya bagimu di tempat-tempat gelap, ketika semua cahaya lain padam. Ingatlah Galadriel dan Cermin-nya!"
Frodo menerima tabung itu, dan untuk beberapa saat, ketika tabung itu bersinar di antara mereka, ia sekali lagi melihat Galadriel berdiri seperti ratu, agung dan cantik, namun tak lagi mengerikan. Ia membungkuk, dan tak bisa menemukan kata-kata untuk diucapkan.
Setelah itu Galadriel bangkit berdiri, dan Celeborn menuntunnya kembali ke dermaga. Tengah hari yang kuning menggantung di atas daratan hijau Tongue, dan air berkilau keperakan. Semuanya akhirnya siap. Rombongan itu menempati tempat masing-masing, seperti tadi. Sambil meneriakkan salam perpisahan, para Peri dari Lorien mendorong mereka keluar ke air yang mengalir, dengan tongkat panjang kelabu, dan air yang beriak perlahan-lahan membawa mereka pergi. Para pengembara itu duduk diam, tak bergerak ataupun berbicara. Di tebing hijau dekat ujung Tongue, Lady Galadriel berdiri sendirian dan diam. Saat melewatinya mereka menoleh, dan mata mereka memperhatikannya perlahan mengambang menjauh dari mereka. Sebab seperti itulah tampaknya bagi mereka: Lorien menyelinap mundur, seperti kapal cemerlang dengan pohon-pohon sihir sebagai tiang, berlayar ke pantai-pantai terlupakan, sementara mereka duduk tak berdaya di perbatasan dunia yang kelabu tanpa dedaunan.
Sementara mereka memandang, Silverlode mengalir keluar ke aliran Sungai Besar, perahu-perahu mereka membelok dan mulai melaju ke selatan. Tak lama kemudian, sosok putih Lady Galadriel menjadi kecil dan jauh. Ia bercahaya seperti jendela kaca di atas bukit, jauh di bawah matahari yang sedang terbenam, atau seperti danau di kejauhan,
yang terlihat dari gunung: sebuah kristal yang jatuh ke pangkuan bumi. Frodo merasa melihat Galadriel mengangkat tangannya sebagai perpisahan terakhir, dan jauh tapi tajam, suaranya yang jernih terdengar, bernyanyi menunggang angin. Tapi kini ia bernyanyi dalam bahasa Peri kuno dari seberang Laut, dan Frodo tak mengerti kata-katanya: musiknya indah, namun tidak menghiburnya.
Tapi kata-kata Peri itu akan selalu terpatri dalam ingatan Frodo, dan jauh setelahnya ia menerjemahkannya, sebisa mungkin: bahasanya seperti bahasa Peri dalam lagu, dan menceritakan hal-hal yang hanya sedikit diketahui di Dunia Tengah.
Ai! laurie lantar lassi surinen,
yeni unotime ve ramar aldaron!
Yeni ve linte yuldar avanier
mi oromardi lisse-miruvoreva
Andune pella, Vardo tellumar
nu luini yassen tintilar I eleni
omaryo airetari-lirinen.
Si man I yulma enquantuva?
An si Tintalle Varda Oisolosseo
ve fanyar maryat Elentari ortane
ar ilye tier undulave lumbule;
ar sindanoriello caita mornie
I falmalinnar imbe met, ar hisie
untupa Calaciryo miri oiale.
Si vanwa na, Romello vanwa, Valimar!
Namarie! Nai hiruvalye Valimar.
Nai elye hiruva. Namarie!
"Ah! Bagaikan emas, daun-daun berjatuhan dalam tiupan angin, tahun-tahun panjang seperti sayap pepohonan! Tahun-tahun panjang sudah berlalu, seperti tegukan cepat anggur manis di aula-aula megah di luar Barat, di bawah kubah-kubah Varda di mana bintang-bintang bergetar dalam nyanyiannya, suci dan agung. Siapa sekarang akan mengisi kembali cangkir untukku? Karena kini si Pembuat Api, Varda, Ratu Bintang, dari Gunung Everwhite, mengangkat tangannya seperti awan, dan semua jalan terbenam dalam kegelapan; dan di luar negeri kelabu itu kegelapan menutupi ombak berbuih di antara kita, dan kabut menyelubungi permata Calacirya untuk selamanya. Kini Valimar hilang, hilang dari Timur! Selamat tinggal! Mungkin kau akan menemukan Valimar. Mungkin kau akan menemukannya. Selamat tinggal!" Varda adalah nama Lady yang oleh bangsa Peri di negeri terasing ini disebut Elbereth.
Mendadak aliran Sungai membelok, tebingnya naik di kedua sisi, dan cahaya Lorien pun tersembunyi. Ke negeri elok itu Frodo tak pernah lagi kembali.
Para pengembara itu sekarang menghadapi perjalanan mereka; matahari ada di depan, dan mata mereka silau, karena semuanya tergenang air mata. Gimli menangis terang-terangan.
"Aku telah melihat pemandangan terindah, untuk terakhir kali," katanya kepada Legolas, sahabatnya. "Mulai sekarang takkan ada yang indah bagiku, kecuali hadiahnya." ia meletakkan tangannya di dada.
"Katakan padaku, Legolas, kenapa aku ikut dalam Pencarian ini? Aku sama sekali tidak tahu, di mana bahayanya yang utama! Elrond berkata benar, bahwa kita takkan bisa meramalkan apa yang bakal kita temui di jalan. Siksaan dalam gelap adalah bahaya yang kutakuti, namun itu tidak menahanku untuk ikut. Tapi aku tidak akan ikut seandainya aku tahu bahaya kebahagiaan dan cahaya. Sekarang aku menderita luka paling parah dalam perpisahan ini, kalaupun malam ini juga aku langsung dihadapkan pada sang Penguasa Kegelapan. Aduh, malangnya Gimli putra Gloin!"
"Tidak!" kata Legolas. "Malang kita semua! Dan semua yang mengembara di dunia, di hari-hari masa sisa ini. Karena begitulah keadaannya: menemukan dan kehilangan, seperti yang dialami mereka yang perahunya melaju di air. Tapi menurutku kau termasuk diberkati, Gimli putra Gloin: sebab kehilanganmu kauderita atas kemauan sendiri, padahal kau bisa saja memilih yang lain. Tapi kau tidak meninggalkan kawan-kawanmu, dan setidaknya imbalan yang akan kauterima adalah bahwa ingatan kepada Lothlorien akan selalu jelas tak bernoda di dalam hatimu, tak akan mengabur atau membusuk."
"Mungkin," kata Gimli, "dan terima kasih atas kata-katamu. Kata-kata yang tulus, tapi semua penghiburan seperti itu dingin rasanya. Kenangan bukanlah apa yang kuinginkan. Kenangan hanya seperti cermin, meski sejernih Kheled-zaram. Begitulah menurut kata hati Gimli si Kurcaci. Bangsa Peri mungkin punya pandangan lain. Memang kudengar bahwa bagi mereka, ingatan lebih seperti dunia alam sadar daripada seperti mimpi. Namun tidak demikian halnya bagi Kurcaci.
"Tapi sudahlah, jangan kita bicarakan lagi hal itu. Perhatikan perahu! Dia terlalu rendah masuk ke air, dengan semua muatan ini, dan Sungai Besar deras alirannya. Aku tak ingin membenamkan kesedihanku di dalam air dingin." ia mengangkat sebuah dayung, dan mengemudi ke arah tebing barat, mengikuti perahu Aragorn di depan, yang sudah bergerak keluar dari aliran tengah.
Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan panjang mengarungi sungai deras, terus menuju selatan. Pohon-pohon gundul menjulang di sepanjang tebing di kedua sisi, dan mereka tak bisa melihat sama sekali daratan di belakangnya. Angin berhenti dan Sungai terus mengalir tanpa suara. Tak ada cericip burung memecah kesunyian. Matahari jadi berkabut ketika hari semakin sore, sampai ia bersinar di langit pucat seperti mutiara putih tinggi. Lalu ia memudar ke Barat, dan senja datang dengan cepat, disusul malam kelabu tak berbintang. Sampai larut malam mereka mengapung jauh, mengemudikan perahu di bawah bayangan hutan yang menggantung di atas. Pohon-pohon besar lewat bagai hantu-hantu, menjorokkan akar-akar mereka yang terpelintir dan haus ke dalam air dari balik kabut. Dingin dan suram. Frodo duduk mendengarkan pukulan dan geluguk lemah Sungai yang resah di antara akar-akar pepohonan dan kayu apung dekat pantai, sampai kepalanya mengangguk-angguk dan ia tertidur gelisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar