Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Minggu, 06 Februari 2011

Book 2 - Bab 5

JEMBATAN KHAZAD-DUM

Para pengembara itu berdiri diam di samping kuburan Balin. Frodo memikirkan Bilbo dan persahabatannya yang panjang dengan orang kerdil itu, dan ia ingat kunjungan Balin ke Shire dulu. Di ruangan berdebu di dalam pegunungan, rasanya itu sudah seribu tahun yang lalu, dan terjadi di belahan dunia lain.
Akhirnya mereka bergerak dan menengadah, dan mulai mencari apa pun yang bisa memberitahu mereka tentang nasib Balin, atau menunjukkan apa yang terjadi dengan bangsanya. Ada sebuah pintu yang lebih kecil di sisi seberang ruangan itu, di bawah corong. Dekat kedua pintu, sekarang mereka bisa melihat tulang-belulang berserakan, di antaranya banyak pedang patah dan kepala kapak, perisai-perisai terbelah dan topi baja. Beberapa pedang itu bengkok: pedang Orc dengan mata pedang hitam.
Banyak relung dipahat di batu dinding, di dalamnya terdapat peti-peti kayu yang diikat besi. Semuanya sudah dipecahkan dan dijarah; tapi di samping salah satu tutup yang hancur tergeletak sisa sebuah buku. Buku itu sudah disayat dan bernoda, dan separuh terbakar, dan begitu banyak noda hitam dan noda-noda gelap lain, seperti darah lama, hingga hanya sedikit yang masih bisa terbaca. Gandalf mengangkatnya hati-hati, tapi halaman-halamannya berderak dan hancur ketika ia meletakkannya di atas keping batu. Ia membacanya beberapa saat, tanpa berbicara. Frodo dan Gimli yang berdiri di sampingnya bisa melihat, saat Gandalf dengan hati-hati membalik halaman-halamannya, bahwa buku itu ditulisi banyak tangan berbeda, dengan lambang-lambang dari Moria dan Lembah, dan di sana-sini dalam tulisan Peri.
Akhirnya Gandalf mengangkat wajah. "Tampaknya ini catatan tentang riwayat rakyat Balin," katanya. "Kurasa ini diawali dengan kedatangan mereka ke Lembah Dimrill hampir tiga puluh tahun yang lalu: kelihatannya lembaran-lembarannya mempunyai angka yang menandai tahun-tahun setelah kedatangan mereka. Halaman paling atas ditandai satu-tiga, jadi setidaknya dua sudah hilang dari awalnya. Dengarkan ini!
"Kami mengusir para Orc dari gerbang besar dan penjaga-kukira; kata selanjutnya agak kabur dan terbakar: mungkin ruangan-kami membunuh banyak di bawah cahaya matahari yang terang-kukira-di lembah. Floi terbunuh oleh panah. Dia membunuh yang besar. Lalu ada kekaburan, diikuti Floi di bawah rumput di Mirror mere. Satu-dua baris berikutnya tak bisa kubaca. Lalu ada kami sudah memakai aula kedua puluh satu di ujung Utara untuk tinggal. Ada-aku tak bisa baca. Sebuah corong disebut-sebut. Lalu Balin mengambil kedudukan di Ruang Mazarbul."
"Ruang Catatan," kata Gimli. "Kurasa itulah nama ruang tempat kita sekarang berdiri ini."
"Well, aku tak bisa membaca lagi untuk bagian yang panjang sekali," kata Gandalf, "kecuali kata emas, dan Kapak Durin, lalu sesuatu seperti topi baja. Lalu Balin sekarang penguasa Moria. Tampaknya itu mengakhiri sebuah bab. Setelah beberapa bintang, tangan lain mulai menulis, dan aku bisa melihat kami menemukan perak sejati, kemudian kata ditempa dengan bagus, lalu sesuatu, aku tahu! mithril; dan dua baris terakhir Oin mencari gudang senjata di Kedalaman Ketiga, sesuatu pergi ke barat, kabur, ke gerbang Hollin."
Gandalf berhenti dan menyisihkan beberapa lembar. "Ada beberapa halaman yang semacam, ditulis dengan terburu-buru dan banyak rusak," katanya, "tapi aku tak bisa membaca banyak dengan cahaya int. Pasti ada beberapa halaman hilang, karena yang ini diberi angka lima, tahun kelima mereka tinggal di sin), kukira. Coba lihat! Tidak, ternyata terlalu terpotong dan bernoda; aku tak bisa membacanya. Mungkin kita bisa membacanya lebih baik di bawah cahaya matahari. Tunggu! Di sini ada sesuatu: tulisan besar dan jelas dalam huruf Peri."
"Itu mungkin tulisan Ori," kata Gimli, sambil melongok dari atas lengan Gandalf. "Dia bisa menulis bagus dan cepat, dan sering menggunakan tulisan Peri."
"Aku khawatir yang disampaikannya dalam tulisan indah itu adalah berita buruk," kata Gandalf. "Kata pertama yang jelas adalah duka, tapi sisa kalimatnya hilang, kecuali diawali dengan kema. Ya, tampaknya memang kema, diikuti rin adalah hari kesepuluh november Balin penguasa Moria jatuh di Lembah Dimrill. Dia pergi sendirian untuk melihat ke dalam Mirror mere. Seorang Orc menembaknya dari balik sebuah batu. Kami membunuh Orc itu, tapi masih banyak lagi... datang dari timur Silverlode. Sisa lembaran ini begitu kabur, sampai aku hampir tak bisa membacanya, tapi rasanya aku bisa membaca kami memalang gerbang, lalu bisa menahannya lama kalau, lalu mungkin mengerikan dan tersiksa. Kasihan Balin! Kelihatannya gelar sebagai Penguasa Moria cuma bertahan kurang dari lima tahun dipegangnya. Aku bertanya-tanya, apa yang terjadi sesudahnya; tapi tak ada waktu untuk menebak halaman-halaman terakhir. Ini halaman terakhir." ia berhenti dan mengeluh.
"Bacaan yang muram," katanya. "Aku khawatir akhir mereka mengenaskan sekali. Dengar! Kami tak bisa keluar. Kami tak bisa keluar. Mereka sudah menduduki Jembatan dan aula kedua. Frar, Loni, dan Nali tewas di sana. Lalu ada empat baris yang kotor sekali, sampai aku hanya bisa membaca pergi lima hari yang lalu. Baris-baris terakhir terbaca kolam sudah mencapai dinding di Gerbang Batat. Penjaga di dalam Air mengambil Oin. Kami tak bisa keluar. Akhirnya sudah dekat, lalu genderang, genderang di kedalaman. Aku tak tahu apa artinya itu. Kalimat terakhir tertulis dalam goresan terseret-seret huruf Peri: mereka datang. Lalu tidak ada tulisan lagi." Gandalf berhenti dan berdiri diam sambil merenung.
Kengerian dan ketakutan mendadak terhadap ruangan itu meliputi mereka. "Kami tak bisa keluar," gerutu Gimli. "Untung bagi kita, danau agak surut, dan si Penjaga sedang tidur di ujung selatan."
Gandalf mendongakkan kepala dan melihat sekelilingnya. "Tampaknya mereka melakukan pertahanan terakhir di kedua pintu," katanya, "tapi sudah tidak banyak yang tersisa saat itu. Maka berakhirlah upaya untuk mengambil kembali Moria! Memang gagah berani, tapi bodoh. Saatnya belum tiba.. Sekarang kurasa kita hams pamit pada Balin putra Fundin. Di sini dia harus berbaring, di aula nenek moyangnya. Kita akan membawa buku ini, Buku Mazarbul, dan di kemudian hari memeriksanya lebih cermat. Sebaiknya kau menyimpannya, Gimli, dan membawanya kembali pada Dain, kalau ada kesempatan. Ayo, mari kita pergi! Sudah siang sekarang."
"Ke arah mana kita akan pergi?" tanya Boromir.
"Kembali ke aula," jawab Gandalf. "Tapi kunjungan kita ke ruangan ini tidak sia-sia. Sekarang aku tahu kita berada di mana. Ini, seperti kata Gimli, adalah Ruang Mazarbul; dan aula ini adalah yang kedua puluh satu di ujung Utara. Karena itu, kita harus pergi lewat gerbang timur aula, mengarah ke kanan dan selatan, lalu turun. Aula Kedua Puluh Satu seharusnya ada di Tingkat Ketujuh, berarti enam tingkat di atas Gerbang. Ayo! Kembali ke aula!"

Baru saja Gandalf mengucapkan kata-kata itu, terdengar suara heboh: bunyi Bum menderum yang seolah datang dari kedalaman jauh di bawah, dan bergetar di bebatuan di bawah kaki mereka. Mereka melompat ke pintu dengan cemas. Duum, duum, terdengar lagi, seolah ada tangan-tangan besar mengubah gua-gua luas di Moria menjadi genderang raksasa. Lalu terdengar ledakan bergema: sebuah terompet ditiup di aula, dan terompet-terompet serta teriakan-teriakan parau terdengar membalas di kejauhan. Bunyi langkah kaki tergesa-gesa terdengar.
"Mereka datang!" teriak Legolas.
"Kita tak bisa keluar," kata Gimli.
"Terjebak!" seru Gandalf. "Kenapa aku menunda-nunda? Kita terjebak di sini, persis seperti mereka dulu. Tapi dulu aku tidak di sini. Akan kita lihat, apa..."
Duum, duum bunyi pukulan genderang, dan dinding-dinding bergetar. "Tutup pintu dan sumbat!" teriak Aragorn. "Dan tetap pakai ransel kalian selama mungkin: mungkin kita mendapat kesempatan untuk lolos."
"Tidak!" kata Gandalf. "Jangan terperangkap di sini. Biarkan pintu timur tetap terbuka! Kita akan pergi lewat sana, kalau ada kesempatan."
Tiupan terompet keras dan teriakan nyaring berbunyi. Kaki-kaki berdatangan lewat selasar. Ada bunyi dering gemerincing ketika Rombongan itu menghunus pedang mereka. Glamdring bersinar dengan cahaya pucat, dan Sting berkilauan pada ujungnya. Boromir mendorong pintu barat dengan bahunya.
"Tunggu sebentar! Jangan tutup dulu!" kata Gandalf. Ia melompat maju ke samping Boromir dan berdiri tegak.
"Siapa yang datang mengganggu peristirahatan Balin Penguasa Moria?" teriaknya keras.
Bunyi tawa parau berderai, seperti jatuhnya batu-batu yang tergelincir masuk ke sumur; di tengah bunyi berisik, sebuah suara besar terdengar memberi perintah. Duum, buum, duum bunyi genderang di kedalaman.
Dengan gerakan cepat, Gandalf melangkah ke depan bukaan sempit pintu itu dan mendorong tongkatnya ke depan. Cahaya menyilaukan menerangi ruangan dan selasar di luar. Sekejap penyihir itu memandang ke luar. Panah-panah berdesing dan meraung sepanjang selasar ketika ia melompat mundur.
"Banyak sekali Orc," katanya. "Beberapa besar dan jahat: Uruk-Uruk hitam dari Mordor. Saat ini mereka masih menahan diri, tapi ada sesuatu yang lain di sana. Troll gua yang besar, kukira, atau lebih dari satu. Tak ada harapan untuk lolos ke arah itu."
"Dan tak ada harapan sama sekali, kalau mereka juga datang ke pintu lain," kata Boromir.
"Di luar sini belum ada suara," kata Aragorn, yang berdiri dekat pintu timur sambil mendengarkan. "Selasar di sisi ini langsung terjun ke bawah melalui tangga: jelas tidak menuju aula. Tapi tidak baik lari membabi buta ke arah ini dengan musuh mengejar persis di belakang. Kita tak bisa memalang pintu. Anak kuncinya hilang dan kuncinya rusak, dan arah bukanya ke dalam. Kita harus melakukan sesuatu untuk menunda musuh. Kita akan membuat mereka ngeri pada Ruang Mazarbul!" kata Aragorn geram, sambil meraba-raba ujung pedangnya, Anduril.

Langkah-langkah berat terdengar di selasar. Boromir melemparkan diri ke pintu dan menutupnya, lalu menjepitnya dengan mata pedang yang patah dan serpihan kayu. Rombongan itu mundur ke sisi seberang ruangan. Tapi mereka belum mendapat kesempatan melarikan diri. Pintu dihantam hingga bergetar; lalu pintu itu perlahan-lahan mulai terbuka, mendorong benda-benda penahannya. Sebuah tangan dan pundak besar, berkulit gelap bersisik kehijauan, terjulur melalui lubang yang semakin besar. Lalu sebuah kaki besar dan datar, tanpa jari, didorong masuk di bawah. Di luar hening sekali.
Boromir melompat maju dan menebas tangan itu sekuat tenaga; tapi pedangnya mendenging, -luput, dan jatuh dari tangannya yang gemetar. Mata pedangnya tertakik.
Mendadak, dan dengan kaget, Frodo merasakan kemarahan panas bergemuruh di dadanya: "Shire!" teriaknya, lalu melompat ke samping Boromir, ia membungkuk dan menghunjamkan Sting ke kaki yang menjijikkan itu. Terdengar teriakan, dan kaki itu ditarik mundur, hampir merenggutkan Sting dari tangan Frodo. Tetes-tetes hitam menetes dari mata pedangnya dan berasap di lantai. Boromir melemparkan diri ke pintu dan menutupnya lagi.
"Satu untuk Shire!" teriak Aragorn. "Gigitan hobbit dalam sekali! Pedangmu bagus, Frodo putra Drogo!"
Pintu dihantam dari luar, susul-menyusul. Pelantak dan palu memukul-mukulnya. Pintu itu berderak dan terdorong ke belakang, dan tiba-tiba lubang pintu membesar. Panah-panah masuk berdesing, tapi menabrak dinding utara, dan jatuh ke lantai tanpa merusak. Ada bunyi tiupan terompet dan langkah kaki bergegas, dan satu demi satu Orc masuk ke ruangan itu.
Entah berapa banyak Orc yang datang. Serangan mereka tajam, tapi para Orc kaget dengan perlawanan sengit yang garang. Legolas memanah dua Orc, menembus tenggorokan. Gimli menebas kaki Orc lain yang meloncat ke atas kuburan Balin. Boromir dan Aragorn membunuh banyak sekali. Ketika sudah tiga belas jatuh, sisanya lari sambil berteriak, meninggalkan para pengembara itu tanpa cedera, kecuali Sam yang terkena goresan di kulit kepalanya. Karena menunduk cepat, ia selamat, dan ia berhasil menumbangkan satu Orc dengan tusukan kuat pisau Barrow-nya. Api menyala-nyala di matanya yang cokelat, dan pasti bisa membuat Ted Sandyman mundur, seandainya ia melihatnya.
"Sekarang saatnya!" teriak Gandalf. "Ayo kita pergi, sebelum troll kembali!"
Tapi selagi mereka pergi, dan sebelum Merry dan Pippin mencapai tangga di luar, seorang pemimpin Orc yang besar, hampir setinggi manusia, berpakaian logam hitam dari kepala sampai ke kaki, melompat masuk ke ruangan itu; di belakangnya, para pengikutnya berkerumun di ambang pintu. Wajahnya yang lebar dan datar berwarna hitam, matanya bagai bara api, dan lidahnya merah; ia memegang tombak besar. Dengan dorongan perisai kulitnya yang besar, ia memelintir pedang Boromir dan mendorongnya mundur, sampai Boromir terjatuh. Ia membungkuk di bawah pukulan Aragorn, dan secepat ular mematuk ia menyerang Rombongan dan menusukkan tombaknya langsung ke Frodo. Tusukan itu mengenai sisi kanannya, Frodo terlempar ke dinding dan terjepit. Sam berteriak dan menebas pangkal tombak hingga patah. Saat Orc itu melemparkan tongkatnya dan menghunus pedang pendeknya, Anduril memukul topi bajanya. Ada kilatan seperti nyala api, dan topi baja itu hancur remuk. Orc itu jatuh dengan kepala terbelah. Pengikut-pengikutnya lari sambil melolong, ketika Boromir dan Aragorn menyerang mereka.
Duum, duum, bunyi genderang jauh di dalam. Suara besar itu terdengar lagi.
"Sekarang!" teriak Gandalf. "Sekarang kesempatan terakhir. Lari!"

Aragorn mengangkat Frodo dari tempat ia berbaring dekat dinding, dan berjalan ke tangga sambil mendorong Merry dan Pippin di depannya. Yang lain mengikutinya; tapi Gimli terpaksa diseret oleh Legolas: meski dikelilingi bahaya, Gimli berlama-lama dekat kuburan Balin dengan kepala tertunduk. Boromir menutup pintu timur, yang berderit pada engselnya. Pintu itu mempunyai cincin besi besar pada setiap sisi, tapi tak bisa dikunci.
"Aku baik-baik saja," Frodo terengah-engah. "Aku bisa jalan. Turunkan aku!"
Aragorn hampir menjatuhkannya karena kaget. "Kukira kau sudah mati," serunya.
"Belum!" kata Gandalf. "Tetapi tak ada waktu untuk terheran-heran. Pergi kalian semua, turun tangga! Tunggu aku beberapa menit di bawah, tapi kalau aku tidak datang, teruskan perjalanan! Pergilah cepat dan pilihlah jalan yang menuju ke kanan dan turun."
"Kami tak bisa meninggalkanmu untuk menahan pintu sendirian!" kata Aragorn.
"Lakukan apa yang kukatakan!" kata Gandalf garang. "Pedang tidak berguna lagi di sini. Pergi!"

Sekarang di selasar tak ada cahaya lagi, suasananya gelap gulita. Mereka meraba-raba jalan menuruni tangga yang sangat panjang, lalu menoleh ke belakang; tapi mereka tak bisa melihat apa pun, kecuali cahaya redup tongkat sang penyihir, tinggi di atas mereka. Tampaknya ia masih berdiri waspada di depan pintu yang tertutup. Frodo bernapas berat dan bersandar pada Sam, yang memeluknya. Mereka berdiri mengintai ke atas tangga, ke dalam kegelapan. Frodo merasa mendengar suara Gandalf di atas, menggumamkan kata-kata yang turun dari langit-langit miring dengan gema mengalun. Ia tak bisa menangkap apa yang dikatakan. Dinding-dinding seolah bergetar. Sekali-sekali bunyi genderang berdenyut dan mengalir: duum, duum.
Tiba-tiba di puncak tangga ada kilatan cahaya putih. Lalu terdengar deruman redup dan bunyi gedebuk berat. Pukulan genderang meledak liar; duum-buum, duum buum, lalu berhenti. Gandalf datang berlari menuruni tangga, dan jatuh ke lantai di tengah Rombongan.
"Well, well! Sudah selesai!" kata penyihir itu sambil bangkit berdiri dengan susah payah. "Aku sudah berusaha sebisanya. Tapi aku mendapat lawan yang setanding, dan hampir saja aku hancur. Jangan berdiri di sana! Jalan terus! Kalian terpaksa jalan tanpa cahaya untuk beberapa lama: aku agak terguncang. Jalan terus! Jalan terus! Di mana kau, Gimli? Ikut aku jalan di depan! Yang lainnya baris di belakang!"
Mereka berjalan terhuyung-huyung di belakang Gandalf, sambil bertanya dalam hati, apa yang sudah terjadi. Duum, duum, terdengar pukulan genderang lagi: sekarang kedengaran teredam dan jauh sekali, tapi tetap mengikuti. Tak ada bunyi pengejaran lain, baik langkah kaki maupun suara. Gandalf tidak membelok-belok, ke kanan maupun ke kiri, karena selasar itu tampaknya menuju arah yang diinginkannya. Sesekali selasar itu turun beberapa tangga, sekitar lima puluh atau lebih, ke tingkat yang lebih rendah. Untuk sementara, aku merupakan bahaya utama bagi mereka; karena dalam kegelapan mereka tak bisa melihat lantai yang menurun, sampai mereka menapakinya, dan menjulurkan kaki ke kekosongan. Gandalf meraba-raba tanah dengan tongkatnya, seperti orang buta.
Setelah satu jam, mereka sudah menempuh satu mil, atau mungkin lebih sedikit, dan sudah menuruni banyak tangga. Masih tidak terdengar bunyi pengejar. Mereka setengah berharap sudah berhasil lolos. Di dasar tingkat ketujuh, Gandalf berhenti.
"Semakin panas!" ia menarik napas terengah. "Seharusnya kita sudah mencapai tingkat Gerbang sekarang. Kurasa tak lama lagi kita harus mencari tikungan ke kiri, untuk membawa kita ke timur. Kuharap tidak jauh lagi. Aku letih sekali. Aku harus istirahat sejenak di sini, meski semua Orc yang pernah dilahirkan ada di belakang kita."
Gimli memegang tangannya dan membantunya duduk di tangga. "Apa yang terjadi tadi di atas di pintu?" tanyanya. "Apa kau bertemu dengan pemukul genderang itu?"
"Aku tidak tahu," jawab Gandalf. "Tapi tiba-tiba aku menyadari aku berhadapan dengan sesuatu yang belum pernah kujumpai. Aku tak bisa memikirkan hal lain, kecuali mencoba menyihir pintu. Aku tahu banyak mantra, tapi perlu waktu untuk melakukan hal seperti itu dengan benar, dan biarpun begitu, pintu masih bisa dihancurkan dengan kekuatan.
"Ketika aku berdiri di sana, bisa kudengar suara-suara Orc di balik pintu: setiap saat aku mengira pintu akan mereka buka. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan; tampaknya mereka berbicara dalam bahasa mereka sendiri yang menjijikkan. Aku hanya menangkap kata ghash, yang artinya 'api'. Lalu sesuatu masuk ke ruangan-aku bisa merasakannya melalui pintu, dan para Orc juga takut dan diam. Dia memegang cincin besi, lalu melihatku dan sihirku.
"Apakah sesuatu itu, aku tak bisa menduga, sebab belum pernah aku merasakan tantangan yang begitu besar. Sihir balasannya hebat sekali. Hampir menghancurkanku. Untuk beberapa saat, pintu lepas dari kendaliku dan mulai terbuka! Aku harus mengucapkan kata Perintah. Ternyata itu berat sekali. Pintu meledak, hancur berantakan. Sesuatu yang gelap seperti awan menutupi semua cahaya di dalam ruangan, dan aku terjungkal dari atas tangga. Seluruh dinding menyerah, juga langit-langit ruangan, kukira.
"Aku menduga Balin dikuburkan dalam sekali, dan mungkin ada sesuatu yang lain, yang juga dikuburkan di sini. Aku tidak tahu. Ah! Belum pernah aku merasa begitu terkuras, tapi sekarang aku sudah membaik. Bagaimana denganmu, Frodo? Aku belum sempat mengatakannya, tapi belum pernah aku merasa begitu gembira seperti ketika mendengar kau bicara. Aku tadi cemas Aragorn mengangkat hobbit yang berani, tapi sudah mati."
"Aku?" kata Frodo. "Aku hidup, dan utuh, kukira. Agak tergores dan kesakitan, tapi tidak terlalu parah."
"Well," kata Aragorn, "aku hanya bisa mengatakan bahwa para hobbit terbuat dari bahan yang sangat tangguh, yang belum pernah kutemui. Seandainya aku tahu, di Bree aku mungkin akan berbicara lebih lembut! Tusukan tombak itu bisa membantai babi hutan liar!"
"Well, tapi ternyata tidak menewaskanku," kata Frodo, "meski aku merasa seolah terperangkap di antara palu dan landasannya." ia tidak berkata apa-apa lagi. Ternyata bernapas pun terasa sakit.
"Kau seperti Bilbo," kata Gandalf. "Dalam dirimu terdapat sesuatu yang lebih hebat daripada yang terlihat, seperti kukatakan kepadanya dulu." Frodo bertanya dalam hati, apakah komentar itu menyimpan makna tersembunyi.

Mereka berjalan terus. Tak lama kemudian, Gimli berbicara. Ia mempunyai penglihatan tajam dalam gelap. "Kurasa ada cahaya di depan," katanya. "Tapi bukan cahaya pagi hari: Warnanya merah. Apa itu?"
"Ghash!" gerutu Gandalf. "Aku ingin tahu, apakah ini maksud mereka: bahwa tingkat-tingkat yang lebih rendah sedang terbakar? Bagaimanapun, kita hanya bisa berjalan terus."
Dengan segera cahaya itu menjadi jelas sekali, dan bisa dilihat se-mua. Ia berkelip dan bersinar pada dinding-dinding selasar di depan. Mereka sekarang bisa melihat jalan: di depan, jalan menurun cepat, dan tak berapa jauh dari sana berdiri sebuah lengkungan rendah; dari sanalah cahaya aku datang. Udara menjadi panas sekali.
Ketika mereka sampai di lengkungan, Gandalf melewatinya, memberi isyarat pada mereka untuk menunggu. Saat ia berdiri tepat di luar lubang, mereka melihat wajahnya kemilau kemerahan. Ia mundur dengan cepat.
"Ada sihir baru di sini," katanya, "pasti dirancang untuk menyambut kita. Tapi sekarang aku tahu kita ada di mana: kita sudah sampai Kedalaman Pertama, tingkatan persis di bawah Gerbang. Ini Aula Kedua Moria Kuno, dan Gerbang-nya tidak jauh dari sini: di ujung timur sebelah kiri, tak lebih dari seperempat mil. Menyeberangi Jembatan, menaiki tangga lebar, melalui jalan lebar lewat Aula Pertama, dan keluar! Coba kemari dan lihat!"
Mereka mengintai ke luar. Di depan mereka ada sebuah aula yang sangat besar. Lebih tinggi dan jauh lebih panjang daripada aula tempat mereka tidur. Mereka sudah dekat ke ujung sebelah timurnya; ke arah barat semakin gelap. Di tengah-tengah berdiri barisan ganda tiang menjulang. Tiang-tiang, itu berukiran, seperti batang pohon besar yang dahan-dahannya menopang atap, dengan garis batu yang bercabang. Batang mereka licin dan hitam, tapi seberkas cahaya merah tercermin di sisi-sisinya. Di lantai, dekat ke kaki dua tiang besar itu, sebuah retakan menganga lebar. Dari sana keluar cahaya merah ganas, sesekali kobaran api menjilat tepinya dan menggulung di sekitar kaki tiang-tiang itu. Untaian asap gelap menggantung di udara.
"Kalau kita melewati jalan utama dari aula-aula di atas, kita pasti terjebak di sini," kata Gandalf. "Mudah-mudahan sekarang ada api di ,antara kita dan pengejar kita. Ayo! Jangan buang-buang waktu."
Tepat saat ia berbicara, mereka mendengar lagi bunyi genderang yang mengejar: duum, duum, duum. Jauh di belakang kegelapan di ujung barat aula terdengar teriakan dan tiupan terompet. Duum, duum: tiang-tiang seolah bergetar dan nyala api gemetar.
"Sekarang pacuan terakhir!" kata Gandalf. "Kalau matahari di luar bersinar, kita masih bisa lolos. Ikuti aku!"
Ia membelok ke kiri dan berlari melintasi lantai aula yang mulus. Jaraknya lebih jauh daripada kelihatannya. Saat berlari, mereka mendengar pukulan dan gema banyak kaki di belakang mereka. Teriakan nyaring keluar: mereka sudah terlihat. ,Ada bunyi gemerincing dan pukulan baja. Panah berdesing melewati kepala Frodo.
Boromir tertawa. "Mereka tidak menduga akan seperti ini," katanya. Api menghalangi mereka. Kita berada di sisi yang salah!"
"Lihat ke depan!" teriak Gandalf. "Jembatan sudah dekat. Sempit dan berbahaya."
Mendadak Frodo melihat jurang hitam di depannya. Di ujung aula, lantai menghilang dan terjun ke kedalaman yang tak diketahui. Pintu luar hanya bisa dicapai melalui jembatan batu yang sempit, tanpa pinggiran atau pagar, yang membentang di atas jurang dengan satu lengkungan sepanjang lima puluh kaki. Sebuah pertahanan kuno para orang kerdil melawan musuh yang mungkin menduduki Aula Pertama dan selasar luar. Mereka hanya bisa melewatinya dalam barisan satu-satu. Di ujungnya Gandalf berhenti, dan yang lain berkerumun di belakang.
"Pimpin jalannya, Gimli!" katanya. "Pippin dan Merry berikutnya. Lurus ke depan, dan naik tangga di balik pintu!"
Panah-panah berjatuhan di antara mereka. Satu mengenai Frodo dan melenting kembali, yang lain menembus topi Gandalf dan tertancap di sana seperti bulu hitam. Frodo menoleh ke belakang. Di seberang api, ia melihat sosok-sosok hitam berkerumun: tampaknya ada ratusan Orc. Mereka mengacungkan tombak dan pedang yang bersinar merah seperti darah dalam cahaya api. Duum, duum, bunyi pukulan genderang, semakin keras dan semakin keras, duum, duum.
Legolas berbalik dan memasang panah pada busurnya, meski jarak tembaknya terlalu panjang untuk busurnya yang kecil ia menariknya, tapi tangannya terkulai dan panah itu meleset ke tanah. Ia berteriak cemas dah takut. Dua troll besar muncul; mereka membawa keping batu besar sekali, dan melemparkannya untuk dipakai sebagai jembatan melewati api. Tapi bukan troll-troll itu yang membuat Legolas ketakutan. Barisan-barisan Orc terbuka, dan mereka berkerumun menjauh, seolah mereka sendiri juga takut. Sesuatu datang dari belakang mereka. Entah apa, tak terlihat: seperti bayangan besar, di tengahnya ada bentuk gelap, mungkin seperti bentuk manusia, tapi lebih besar; kekuatan dan teror ada di dalamnya, memancar dari dirinya.
Ia datang ke pinggiran api, dan cahaya pun memudar, seolah tertutup awan. Lalu dengan cepat ia melompati retakan. Nyala api berkobar ke atas menyambutnya, dan melingkarinya; dan asap hitam mengepul di udara. Rambutnya yang panjang menyala dan berkobar di belakangnya. Di tangan kanannya ada pisau seperti lidah api yang menusuk; di tangan kirinya ia memegang pecut dengan banyak tali.
"Aduh! Aduh!" ratap Legolas. "Balrog! Balrog sudah datang!"
Gimli memandang dengan mata melotot. "Kutukan Durin!" teriaknya, lalu menjatuhkan kapaknya sambil menutupi wajah.
"Balrog," gerutu Gandalf. "Sekarang aku mengerti." ia terhuyung-huyung dan bersandar berat pada tongkatnya. "Sial sekali! Padahal aku sudah sangat lelah."

Sosok gelap menyala itu berlari cepat ke arah mereka. Orc-Orc menjerit dan berhamburan di lorong-lorong batu. Boromir mengangkat terompetnya dan meniupnya. Tantangannya berbunyi nyaring melenguh, seperti teriakan banyak tenggorokan di bawah atap berongga itu. Sejenak para Orc gemetar, dan sosok menyala itu berhenti. Lalu gema terompet itu lenyap mendadak, seperti nyala api ditiup angin gelap, dan musuh kembali menerjang maju.
"Naik jembatan!" seru Gandalf, mengumpulkan kembali tenaganya. "Lari! Ini musuh yang tak bisa kalian tandingi. Aku harus mempertahankan jalan sempit ini. Lari!" Aragorn dan Boromir tidak memedulikan perintahnya, tetap bertahan di tempat mereka, berdampingan, di belakang Gandalf di ujung jembatan. Yang lain berhenti tepat di ambang pintu di ujung aula, dan menoleh, tak sampai hati meninggalkan pemimpin mereka menghadapi musuh sendirian.
Balrog sudah sampai jembatan. Gandalf berdiri di tengah bentangan, bersandar pada tongkat di tangan kirinya, tapi di tangan kanannya Glamdring bersinar, dingin dan putih. Musuhnya berhenti lagi, menghadapi Gandalf, bayangannya menyebar seperti dua sayap besar. Ia mengangkat pecut, talinya meraung dan berderak. Api keluar dan lubang hidungnya. Tapi Gandalf berdiri kokoh.
"Kau tidak bisa lewat," katanya. Para Orc berdiri diam, hening semuanya. "Aku pelayan Api Rahasia, pemegang nyala api Anor. Kau tidak bisa lewat. Api gelap tidak akan membantumu, nyala api Udun. Kembalilah ke Kegelapan! Kau tidak bisa lewat."
Balrog itu tidak menjawab. Api di dalamnya seolah padam, tapi kegelapan semakin meluas. Ia melangkah maju perlahan-lahan ke atas jembatan, dan tiba-tiba ia berdiri tegak, tinggi sekali, sayapnya terbentang dari dinding ke dinding; tapi Gandalf masih terlihat, bersinar dalam kegelapan; ia tampak kecil, dan sangat sendirian: kelabu dan bungkuk, seperti pohon yang layu sebelum diterpa badai.
Dari kegelapan, sebuah pedang merah menyala menjulur.
Glamdring membalas dengan sinar putih.
Terdengar dering pedang beradu dan tusukan api putih. Balrog itu mundur, pedangnya terbang hancur berkeping-keping. Gandalf limbung di atas jembatan, mundur selangkah, lalu kembali berdiri diam.
"Kau tidak bisa lewat!" katanya.
Dengan satu loncatan, Balrog itu naik seluruhnya ke atas jembatan. Pecutnya berputar-putar dan mendesis.
"Dia tak bisa bertahan sendirian!" teriak Aragorn tiba-tiba, lalu berlari kembali sepanjang jembatan. "Elendil!" teriaknya. "Aku bersamamu, Gandalf!"
"Gondor!" teriak Boromir, dan melompat mengikutinya.
Saat itu Gandalf mengangkat tongkatnya, dan dengan berteriak keras ia memukul jembatan di depannya. Tongkatnya patah dan jatuh dan tangannya. Kobaran api putih menyilaukan muncul. Jembatan berderak. Tepat di kaki Balrog jembatan itu patah, dan batu tempat ia berdiri jatuh ke dalam jurang, sementara sisanya tetap di tempat, bergetar seperti lidah bebatuan yang menjorok ke ruang kosong.
Dengan teriakan seram Balrog itu jatuh ke depan, bayangannya terjun ke bawah dan lenyap. Tapi sambil jatuh ia mengayunkan pecutnya, talinya memukul dan menggulung lutut Gandalf, menyeretnya ke pinggir jurang. Penyihir itu terhuyung-huyung dan jatuh, sia-sia memegang bebatuan, akhirnya tergelincir ke dalam jurang. "Lari, kalian bodoh!" teriaknya, lalu ia hilang.

Nyala api padam, ruangan itu menjadi gelap pekat. Rombongan itu terpaku ngeri sambil memandang ke dalam jurang. Saat Aragorn dan Boromir datang berlarian kembali, sisa jembatan berderak dan jatuh. Dengan sebuah teriakan Aragorn membangunkan mereka.
"Ayo! Aku yang memimpin kalian sekarang!" teriaknya. "Kita harus menaati perintahnya yang terakhir. Ikuti aku!"
Mereka berjalan tersandung-sandung, menaiki tangga besar di balik pintu. Aragorn memimpin, Boromir di belakang. Di puncak tangga ada selasar lebar yang bergema. Mereka lari melewatinya. Frodo mendengar Sam di sisinya menangis, lalu ia menyadari ia sendiri menangis sambil berlari. Duum, duum, duum, genderang berbunyi di belakang mereka, sekarang terdengar sedih dan lambat.
Mereka terus berlari. Cahaya mulai makin terang di depan sana; corong-corong besar melubangi atap. Mereka berlari lebih cepat. Mereka masuk ke dalam sebuah aula, terang oleh cahaya pagi yang masuk dari jendela-jendela tinggi di sisi timur. Mereka lari melintasinya. Melalui pintu-pintunya yang besar dan sudah rusak mereka keluar, dan mendadak di depan mereka Gerbang Besar membuka, sebuah lengkungan penuh cahaya menyilaukan.
Beberapa Orc penjaga meringkuk dalam keremangan, di balik kusen-kusen pintu yang menjulang di kedua sisi, tapi gerbang-gerbangnya sendiri sudah hancur dan roboh. Aragorn menghantam pemimpin Orc yang menghalangi jalan, dan sisanya lari ketakutan melihat kemurkaan Aragorn. Rombongan itu berlari lewat, tidak memedulikan mereka. Di luar Gerbang, mereka lari dan melompati tangga-tangga besar yang sudah dimakan cuaca, ambang pintu Moria.
Akhirnya mereka keluar ke bawah bentangan langit terbuka, dan merasakan angin menerpa wajah.
Mereka tidak berhenti sampai sudah berada di luar jangkauan tembakan panah dan dinding. Lembah Dimrill mengelilingi mereka. Bayangan Pegunungan Berkabut menutupinya, tapi di sebelah timur ada cahaya emas di atas daratan. Baru jam satu siang. Matahari bersinar; awan-awan berarak putih dan tinggi.
Mereka menoleh ke belakang. Lengkungan Gerbang menganga gelap di bawah bayangan pegunungan. Redup dan jauh di bawah tanah terdengar deruman lambat pukulan genderang: Awl. Asap tipis hitam mengalir keluar. Tak ada yang lain yang kelihatan; lembah di sekeliling mereka kosong. Duum. Akhirnya kesedihan menguasai mereka, dan lama sekali mereka menangis: beberapa sambil berdiri diam, beberapa sambil terpuruk jatuh ke tanah. Duum, duum. Bunyi genderang meredup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar