Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Minggu, 06 Februari 2011

Book 2 - Bab 6

LOTHLORIEN

"Aduh! Aku khawatir kita tak bisa lebih lama di sini," kata Aragorn. Ia memandang ke arah pegunungan dan mengangkat pedangnya. "Selamat tinggal, Gandalf!" serunya. "Bukankah sudah kukatakan padamu: kalau masuk gerbang Moria, waspadalah? Sayang sekali, ternyata kata-kataku benar! Harapan apa yang kami miliki tanpa dirimu?"
Ia menoleh kepada yang lainnya. "Kita harus bisa melanjutkan tanpa harapan," katanya. "Mungkin kita bisa membalas suatu saat nanti. Bersiap-siaplah, dan jangan lagi menangis! Ayo! Perjalanan masih panjang, dan banyak yang masih harus dilakukan."
Mereka bangkit dan melihat sekeliling. Ke arah utara, lembah itu menanjak naik ke sebuah celah gelap di antara dua lengan gunung, yang di atasnya tiga puncak putih bersinar: Celebdil, Fanuidhol, Caradhras, Pegunungan Moria. Di puncak celah, aliran air deras mengalir seperti renda putih, melewati tangga tak berujung yang terdiri atas air terjun pendek-pendek; kabut busa menggantung di udara, di kaki pegunungan.
"Di sanalah Tangga Dimrill," kata Aragorn, menunjuk air terjun. "Kita seharusnya turun melalui jalan yang mendaki di samping air terjun, seandainya nasib lebih ramah pada kita."
"Atau Caradhras tidak begitu kejam," kata Gimli. "Di sana dia berdiri, tersenyum di bawah matahari!" ia mengepalkan tinjunya ke arah puncak gunung bersalju terjauh, lalu membalikkan badan.
Di timur, lengan pegunungan yang terjulur tiba-tiba berakhir, dan daratan-daratan jauh di luarnya bisa terlihat, luas dan samar-samar. Ke arah selatan, Pegunungan Berkabut berdiri tak terhingga, sejauh mata memandang. Kurang satu mil dari sana, dan sedikit di bawah mereka-karena mereka masih berdiri tinggi di bagian barat lembah-tampak sebuah danau. Bentuknya panjang lonjong, seperti kepala tombak yang menghunjam ke dalam lembah, tapi ujung selatannya ada di luar bayang-bayang, di bawah langit yang penuh sinar matahari. Namun airnya gelap: biru tua seperti langit senja yang jernih, dilihat dari ruangan yang diterangi lampu. Permukaannya tenang dan mulus. Di sekitarnya terdapat padang rumput, menurun di semua sisinya, ke batas airnya yang terbuka dan tak terputus-putus.
"Itulah Mirrormere, Kheled-zaram yang dalam!" kata Gimli sedih. "Aku ingat dia mengatakan, 'Semoga kau gembira melihatnya! Tapi kita tidak bisa berlama-lama di sana.' Sekarang perjalananku masih panjang sebelum aku bisa gembira lagi. Akulah yang harus pergi terburu-buru, dan dia yang tinggal di sini."

Sekarang mereka melewati jalan dari Gerbang. Jalannya kasar dan hancur, mengabur menjadi rute berkelok-kelok di antara semak heather dan whin yang tumbuh di tengah bebatuan yang pecah. Tapi masih terlihat bahwa dulu pernah ada jalan besar berubin, naik ke atas dari dataran rendah kerajaan Kurcaci. Di beberapa tempat ada bangunan-bangunan batu yang sudah menjadi puing di sisi jalan, dan gundukan hijau dengan pohon birch ramping tumbuh di atasnya, atau pohon cemara yang mengeluh ditiup angin. Tikungan ke timur membawa mereka langsung ke pinggir Mirrormere, dan di sana, tak jauh dari tepi jalan, berdiri sebuah tiang tunggal yang bagian atasnya retak.
"Itu Batu Durin!" seru Gimli. "Aku mesti keluar sebentar dari jalan, untuk mengamati keajaiban lembah ini!"
"Kalau begitu, cepatlah!" kata Aragorn, sambil menoleh ke Gerbang. "Matahari terbenam lebih cepat. Para Orc mungkin tidak akan keluar saat senja, tapi kita harus sudah jauh dari sini sebelum malam tiba. Bulan hampir habis, dan akan gelap sekali malam ini."
"Ikut aku, Frodo!" teriak Gimli, melompat keluar dari jalan. "Aku tak ingin kau pergi tanpa melihat Kheled-zaram." ia berlari menuruni lereng hijau yang panjang. Frodo menyusul perlahan, tertarik pada air biru tenang itu, meski ia merasa sakit dan letih; Sam berjalan di belakang.
Di samping batu berdiri itu Gimli berhenti, dan menengadah. Batu itu retak-retak dan lapuk karena cuaca, dan lambang-lambang kabur pada sisinya tak bisa terbaca. "Tiang ini menandai tempat Durin untuk pertama kalinya menatap ke dalam Mirrormere," kata orang kerdil itu. "Coba sekarang kita juga melihatnya satu kali, sebelum pergi!"
Mereka membungkuk di atas air gelap itu. Mula-mula mereka tak bisa melihat apa pun. Lalu perlahan mereka melihat bentuk-bentuk pegunungan yang mengurung mereka tercermin dalam kebiruan air yang sangat dalam, puncak-puncaknya bagai bulu api putih di atas mereka; di luarnya ada langit terbuka. Di sana bintang-bintang gemerlap bak permata yang terbenam di dalam air, meski matahari bertengger di langit di atas. Sosok mereka sendiri yang membungkuk tak terlihat di dalamnya.
"Oh, Kheled-zaram yang indah dan ajaib!" kata Gimli. "Di sanalah tergeletak Mahkota Durin, sampai dia bangun kembali. Selamat tinggal!" ia membungkuk, lalu pergi, dan bergegas melintasi padang rumput ke jalan lagi.
"Apa yang kaulihat?" tanya Pippin pada Sam, tapi Sam asyik merenung, sehingga tidak menjawab.

Jalanan itu kini membelok ke selatan, dan menurun dengan cepat, keluar dari antara lengan-lengan lembah. Sedikit di bawah danau, mereka sampai ke sebuah sumur air yang dalam, sebening kristal; airnya jatuh dari bibir batu, mengalir kemilau dan bergeluguk menuruni saluran batu yang curam.
"Ini mata air dari mana Silverlode berasal," kata Gimli. "Jangan diminum! Dinginnya seperti es."
"Tak lama lagi dia menjadi sungai deras, dan mengumpulkan air dari banyak sungai gunung yang lain," kata Aragorn. "Jalan kita membentang di sisinya sejauh beberapa mil. Aku akan menuntun kalian melalui jalan yang dipilih Gandalf, dan pertama-tama kuharap kita menemukan hutan tempat Silverlode bermuara ke dalam Sungai Besar di luar sana." Mereka melihat ke arah yang ditunjuknya, dan di depan sana tampak sungai itu mengalir turun ke palung lembah, mengalir terus dan menghilang di daratan-daratan yang lebih rendah, sampai lenyap dalam kabut keemasan.
"Di sana letaknya hutan Lothlorien!" kata Legolas. "Itu tempat tinggal bangsaku yang paling indah. Tak ada pohon seperti pohon-pohon di negeri itu. Karena di musim gugur daun-daunnya tidak jatuh, tapi berubah menjadi berwarna emas. Baru ketika musim semi datang dan tunas-tunas hijau mekar, mereka berguguran, lalu dahan-dahan penuh dengan bunga-bunga kuning; lantai hutan berwarna emas, atapnya pun emas, dan tiang-tiangnya dari perak, karena kulit batang pohon-pohon itu licin dan kelabu. Begitulah nyanyian kami tentang Mirkwood. Hatiku akan bahagia kalau berada di bawah atap hutan itu, dan musim semi sedang berlangsung!"
"Hatiku akan senang bahkan di musim dingin," kata Aragorn. Tapi jaraknya masih jauh. Mari kita bergegas ke sana!"

Untuk beberapa lama, Frodo dan Sam berhasil menyamakan langkah dengan yang lain; tapi Aragorn memimpin mereka dengan kecepatan tinggi, dan sesudah beberapa lama, mereka tertinggal di belakang. Mereka tidak makan apa pun sejak pagi. Luka Sam terbakar seperti api, dan kepalanya terasa ringan. Meski matahari bersinar, angin terasa dingin setelah kegelapan yang hangat di Moria. Frodo merasa setiap langkah semakin menyakitkan, dan ia terengah-engah.
Akhirnya Legolas menoleh, dan ketika melihat mereka sudah jauh tertinggal, ia memberitahu Aragorn. Yang lain berhenti, dan Aragorn berlari kembali, memanggil Boromir untuk ikut dengannya.
"Maaf, Frodo!" teriaknya dengan cemas. "Begitu banyak yang terjadi hari ini, dan kita sangat perlu bergegas-gegas, sampai aku lupa kau terluka; Sam juga. Seharusnya kau bilang. Kami seharusnya berusaha meringankan penderitaanmu, tapi kami tidak berbuat apa-apa, meski semua Orc dari Moria mengejar kita. Ayo! Sedikit lagi ada tempat untuk beristirahat sejenak. Di sana aku akan berusaha menolongmu sebisaku. Ayo, Boromir! Kita akan menggendong mereka."
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah sungai lain yang mengalir dari Barat, dan bergabung dengan airnya yang bergelembung ke Silverlode yang mengalir deras. Bersama-sama mereka terjun dari bebatuan berwarna kehijauan, dan terjun berbuih-buih ke dalam sebuah lembah. Di sekitarnya berdiri pohon-pohon cemara, pendek dan bungkuk, sisinya curam dan penuh dengan harts-tongue serta semak-semak whortle-berry. Di dasarnya ada tanah datar di mana sungai mengalir berisik melewati batu-batu mengilap. Di sini mereka beristirahat. Sekarang sudah hampir jam tiga, dan mereka baru beberapa mil berjalan dari Gerbang. Matahari sudah mulai menuju ke barat.
Sementara Gimli dan kedua- hobbit yang lebih muda menyalakan api dari kayu semak dan cemara, dan mengambil air. Aragorn merawat Sam dan Frodo. Luka Sam tidak dalam, tapi tampak buruk, dan wajah Aragorn kelihatan muram ketika memeriksanya. Setelah sesaat, ia menengadah dengan lega.
"Selamat, Sam!" katanya. "Banyak yang menderita lebih parah daripada ini, setelah membunuh Orc mereka yang pertama. Luka ini tidak beracun, seperti umumnya luka bekas pisau Orc. Akan sembuh dengan baik setelah aku merawatnya. Basuhlah kalau Gimli sudah mempunyai air panas."
Aragorn membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa daun layu. "Daun-daun ini kering, dan sebagian dayanya sudah hilang," katanya. "Tapi aku masih punya sedikit daun athelas yang kukumpulkan dekat Weathertop. Hancurkan satu dalam air, basuh lukamu sampai bersih, dan aku akan membalutnya. Sekarang giliranmu, Frodo!"
"Aku baik-baik saja," kata Frodo, enggan membiarkan pakaiannya disentuh. "Yang kubutuhkan hanyalah sedikit makanan dan istirahat."
"Tidak!" kata Aragorn. "Kita harus melihat akibat lukamu itu. Aku masih kagum bahwa kau bisa bertahan hidup." Dengan lembut ia melepaskan jaket lama Frodo dan kemejanya yang usang, dan terkesiap kaget. Lalu ia tertawa. Rompi perak itu berkilauan di depan matanya, seperti cahaya di atas laut yang berombak. Dengan hati-hati ia melepaskannya dan mengangkatnya, permatanya gemerlapan bagai bintang-bintang, dan bunyi cincin-cincin logamnya yang bergoyang terdengar seperti denting hujan di kolam.
"Lihat, kawan-kawanku!" serunya. "Ini kulit hobbit yang indah, pantas untuk membungkus pangeran Peri! Seandainya ada yang tahu bahwa hobbit-hobbit mempunyai kulit seperti ini, semua pemburu Dunia Tengah akan berdatangan ke Shire."
"Dan semua panah pemburu di seluruh dunia akan sia-sia," kata Gimli, menatap rompi logam itu dengan kagum. "Ini rompi mithril. Mithril! Aku belum pernah melihat atau mendengar tentang rompi sebagus ini. Inikah rompi yang diceritakan Gandalf? Kalau begitu, dia menilainya terlalu rendah. Tapi pemberian ini pantas sekali!"
"Aku sering bertanya-tanya, apa yang kaulakukan bersama Bilbo, berdua saja di kamarnya," kata Merry. "Semoga hobbit tua itu diberkahi! Aku semakin menyayanginya. Kuharap kita mendapat kesempatan untuk menceritakan ini padanya!"
Di sisi dan dada kanan Frodo ada memar gelap menghitam. Di bawah rompi logam itu ada kemeja kulit lembut, tapi pada satu titik cincin-cincin rompi itu terdorong masuk ke dalam daging. Sisi kiri Frodo juga memar di bagian ia terlempar ke dinding. Sementara yang lain menyiapkan makanan, Aragorn membasuh memar-memar itu dengan air rendaman athelas. Baunya yang tajam memenuhi lembah, dan semua yang membungkuk di atas air beruap itu merasa segar dan kuat kembali. Segera Frodo merasa sakitnya hilang, dan napasnya ringan, meski selama beberapa hari ia masih merasa kaku dan sakit bila disentuh. Aragorn mengikat beberapa bantalan kain lembut pada sisi tubuhnya.
"Rompi ini luar biasa ringan," katanya. "Pakailah lagi, kalau kau tahan. Hatiku gembira mengetahui kau mempunyai rompi itu. Jangan lepaskan, meski kau sedang tidur, kecuali nasib membawamu ke tempat aman untuk beberapa saat; dan hal itu akan jarang terjadi, sementara tugasmu belum selesai."

Sesudah makan, mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Mereka memadamkan api dan semua jejaknya. Lalu mereka mendaki keluar dari lembah, dan masuk ke jalan lagi. Mereka belum pergi jauh ketika matahari terbenam di balik pegunungan di barat, dan bayangan-bayangan gelap merangkak menutupi sisi-sisi gunung. Senja menyelubungi kaki mereka, dan kabut naik di lembah. Jauh di timur, cahaya senja menerangi dengan pucat bentangan ladang dan hutan yang samar-samar tampak di kejauhan. Sam dan Frodo, yang sekarang sudah merasa jauh lebih ringan dan segar, mampu berjalan dengan kecepatan cukup tinggi, dan hanya dengan satu perhentian singkat, Aragorn memimpin mereka berjalan lagi selama hampir tiga jam.
Sudah gelap. Malam sudah larut. Banyak bintang terang, tapi bulan yang membesar dengan cepat tidak akan terlihat sampai sesudah larut malam. Gimli dan Frodo berjalan di belakang, perlahan dan tanpa berbicara, mendengarkan bunyi di jalan di belakang. Akhirnya Gimli memecah kesunyian.
,"Tak ada bunyi kecuali angin," katanya. "Tak ada goblin di dekat kita; kalau aku salah, berarti telingaku terbuat dari kayu. Mudah-mudahan saja para Orc sudah puas dengan hanya mengusir kita dari Moria. Mungkin hanya itu tujuan mereka, dan mereka tidak ada urusan lain dengan kita-dengan Cincin. Meski Orc sering mengejar musuh sampai bermil-mil di padang, kalau ingin balas dendam atas tewasnya kapten mereka."
Frodo tidak menjawab. Ia memandang Sting, mata pedangnya tampak redup. Meski begitu, ia mendengar sesuatu, atau merasa mendengar sesuatu. Setelah kegelapan mengelilingi mereka, dan jalan di belakang menjadi remang-remang, ia mendengar lagi bunyi langkah kaki cepat. Bahkan sekarang pun ia mendengamya. Ia menoleh dengan cepat. Ada dua titik kecil cahaya di belakang, atau untuk sekilas ia merasa melihatnya, tapi kedua titik itu segera menepi dan lenyap.
"Ada apa?" tanya Gimli.
"Aku tidak tahu," jawab Frodo. "Rasanya aku mendengar langkah kaki, dan aku mengira melihat cahaya-seperti mata. Aku sering menyangka begitu, sejak pertama kali kita masuk ke Moria."
Gimli berhenti dan membungkuk ke tanah. "Aku tidak mendengar apa pun kecuali percakapan malam tumbuh-tumbuhan dan bebatuan," katanya. "Ayo! Cepatlah! Yang lain sudah tidak tampak lagi."

Angin malam bertiup dingin dari lembah, menyambut mereka. Di depan mereka, sebuah bayangan besar berdiri, dan mereka mendengar desiran dedaunan tak henti-henti, seperti pohon poplar tertiup angin.
"Lothlorien!" seru Legolas. "Lothlorien! Kita sudah sampai ke atap Hutan Emas. Sayang sekali sedang musim dingin!"
Di malam hari, pepohonan itu menjulang tinggi di depan mereka, melengkung di atas jalan dan sungai yang tiba-tiba mengalir di bawah dahan-dahan yang menyebar. Di bawah sinar bintang yang redup, batang-batangnya tampak kelabu, dan daun-daunnya yang bergetar bernada emas kosong.
"Lothlorien!" kata Aragorn. "Aku senang mendengar angin di pepohonan lagi! Kita baru sekitar lima mil lebih sedikit dari Gerbang, tapi kita tak bisa berjalan terus. Mudah-mudahan kebajikan para Peri akan membuat kita terhindar dari bahaya yang datang dari belakang malam ini."
"Kalau Peri masih tinggal di sini, di dunia yang semakin gelap," kata Gimli.
"Sudah lama sejak bangsaku sendiri melancong kembali ke negeri tempat kami mengembara berabad-abad yang lalu," kata Legolas, "tapi kami dengar Lothlorien tidak kosong, karena ada kekuatan rahasia di sini, yang menahan kejahatan memasuki negeri ini. Namun begitu, penduduknya jarang terlihat, dan mungkin sekarang mereka tinggal jauh di dalam hutan, dan jauh dari perbatasan utara."
"Memang mereka tinggal jauh di dalam hutan," kata Aragorn, dan ia menarik napas panjang, seolah hatinya tergetar oleh suatu kenangan. "Kita harus menjaga diri sendiri malam ini. Kita akan maju sedikit lagi, sampai pohon-pohon mengurung kita, lalu kita akan melangkah keluar dari jalan dan mencari tempat untuk beristirahat."
Ia melangkah maju; tapi Boromir berdiri ragu dan tidak mengikutinya. "Apakah tidak ada jalan lain?" katanya.
"Jalan lain mana yang lebih bagus yang kauinginkan?" tanya Aragorn.
"Jalan biasa, meski lewat di bawah pagar pedang," kata Boromir. "Rombongan ini sudah dituntun melewati jalan-jalan yang aneh, dan sejauh ini selalu bernasib buruk. Melawan kehendakku, kita melalui kegelapan Moria, yang terbukti membawa malapetaka. Dan sekarang kita harus masuk ke Hutan Emas, katamu. Tapi kami di Gondor sudah mendengar tentang negeri berbahaya ini, dan katanya hanya sedikit yang bisa keluar setelah masuk; dan dari yang sedikit itu, tidak ada yang lolos tanpa cedera."
"Jangan bilang tanpa cedera; kalau kau bilang tanpa berubah, mungkin ada benarnya," kata Aragorn. "Tapi pengetahuan di Gondor sudah memudar, Boromir, kalau sekarang di kota tempat para bijak pernah tinggal mereka bicara buruk tentang Lothlorien. Kau. boleh saja percaya itu, tapi tak ada jalan lain untuk kita-kecuali kau mau kembali ke gerbang Moria, atau menapaki pegunungan tanpa jalan, atau berenang menyeberangi Sungai Besar sendirian."
"Kalau begitu, jalanlah terus!" kata Boromir. "Tapi jalan ini penuh bahaya."
"Berbahaya memang," kata Aragorn, "indah dan berbahaya; tapi hanya kejahatan yang perlu takut kepadanya, atau mereka yang membawa kejahatan. Ikuti aku!"

Setelah berjalan satu mil lebih sedikit, masuk ke hutan, mereka sampai di sebuah sungai lain yang mengalir cepat dari lereng-lereng berpohon yang mendaki ke barat, ke arah pegunungan. Mereka mendengarnya bercipratan terjun dari bebatuan, di keremangan di sebelah kanan mereka. Airnya yang gelap mengalir deras melintasi jalan di depan, dan bergabung dengan Silverlode, dengan pusaran redup di antara akar-akar pepohonan.
"Ini Nimrodel!" kata Legolas. "Tentang sungai ini, kaum Peri Silvan dulu menciptakan banyak sekali lagu, dan kami di Utara masih menyanyikannya, mengingat pelangi di atas air terjunnya, dan bunga-bunga emas yang mengambang di atas buih airnya. Semuanya gelap sekarang, dan Jembatan Nimrodel sudah patah. Aku akan membasuh kakiku, karena katanya air ini menyembuhkan mereka yang letih." ia maju dan menuruni tebing yang dalam, masuk ke sungai.
"Ikuti aku!" teriaknya. "Airnya tidak dalam. Mari kita berjalan ke seberang! Di tebing sana kita bisa beristirahat, dan bunyi air terjun akan membawa tidur dan menjadi pelipur lara bagi kita."
Satu demi satu mereka turun mengikuti Legolas. Untuk sejenak Frodo berdiri dekat pinggir sungai, membiarkan airnya mengaliri kakinya yang letih. Airnya dingin, tapi bersih. Ketika ia berjalan terus dan airnya mencapai lutut, ia merasa noda-noda perjalanan dan keletihan terhapus dari tubuhnya.
Ketika seluruh Rombongan sudah menyeberang, mereka duduk beristirahat dan makan sedikit; Legolas menceritakan dongeng-dongeng tentang Lothlorien yang masih disimpan bangsa Peri Mirkwood dalam hati mereka, tentang cahaya matahari dan bintang di atas padang-padang dekat Sungai Besar, sebelum dunia menjadi kelabu.
Akhirnya sepi sekali, dan mereka mendengar musik air terjun jatuh dengan lembut di keremangan. Frodo merasa bisa mendengar suara bernyanyi, berbaur dengan bunyi air.
"Kaudengar suara Nimrodel?" tanya Legolas. "Aku akan menyanyikan lagu gadis Nimrodel; namanya sama dengan nama sungai tempat ia dulu tinggal di tepiannya. Dalam bahasa hutan kami, nyanyian ini indah sekali; tapi beginilah bunyinya dalam Bahasa Westron, seperti sekarang dinyanyikan di Rivendell." Dengan suara lembut yang hampir tak terdengar di antara desiran daun-daun, di atas mereka, ia memulai:

Dahulu kala ada gadis Peri,
Bintang terang di siang hari:
Jubahnya putih, tepiannya emas murni,
Sepatunya kelabu perak, indah sekali.

Di dahinya bersinar bintang,
Rambutnya berkilau bercahaya
Seperti matahari yang gemilang
Di Lorien yang damai sentausa.

Rambutnya panjang, sosoknya putih halus,
Cantik nian ia, dan bebas merdeka;
Gerakannya ringan, bak angin yang berembus
Di antara daun-daun pohon cemara.

Di samping Nimrodel, air terjun sejuk,
Suaranya jatuh di permukaan danau
Yang berair jernih dan lembut berdeguk,
Bak perak bercahaya kemilau.

Di mana ia kini tak ada yang tahu pasti,
Di bawah sinar mentari atau di keteduhan;
Sebab lama berselang Nimrodel pergi
Dan mengembara di pegunungan.

Di pelabuhan kelabu berlabuh kapal Peri
Di bawah lambung gunung
Menantinya lama sekali
Di samping samudra yang menggerung.

Angin malam di negeri-negeri Utara kini
Membubung naik dan berseru keras,
Mendorong kapal dari pantai Peri
Mengarungi pasang naik nan deras.

Fajar datang, negeri itu tak lagi tampak,
Pegunungannya terbenam tak kelihatan
Di seberang ombak dahsyat yang menggelegak
Melemparkan buih-buih semburan membutakan.

Amroth melihat pantai yang kian menjauh
Sekarang rendah di bawah gelombang,
Ia mengutuki kapal yang mengangkat sauh
Membawanya pergi dari Nim.rodel tersayang

Dahulu ia seorang Raja Peri,
Menguasai pepohonan dan lembah,
Ketika pepohonan berwarna emas di musim semi
Di Lothlorien nan indah.

Ke laut mereka melihatnya melompat,
Seperti panah lepas dari busurnya,
Menyelam jauh ke air gelap pekat,
Bagaikan burung laut menyambar mangsa.

Angin mengibarkan rambutnya,
Buih laut kemilau di sekitarnya;
Dari jauh mereka melihatnya
Kuat dan tampan, berenang bagai angsa.

Tapi dari Barat tak ada kabar,
Dan di Pantai Sana
Bangsa Peri tak pernah lagi mendengar
Berita tentang Amroth yang entah di mana.

Suara Legolas terputus-putus dan nyanyiannya berhenti. "Aku tak bisa menyanyi lagi," katanya. "Ini hanya sebagian, karena aku sudah lupa banyak. Lagunya panjang dan sedih, karena menceritakan bagaimana duka menyelimuti Lothlorien, Lorien yang mekar, ketika para Kurcaci membangunkan kejahatan di pegunungan."
"Tapi bukan Kurcaci yang menciptakan kejahatan itu," kata Gimli.
"Aku tidak mengatakan begitu; pokoknya kejahatan itu datang," jawab Legolas sedih. "Lalu banyak Peri dari keluarga Nimrodel meninggalkan tempat tinggal mereka dan pergi, dan dia hilang jauh di Selatan, di celah Pegunungan Putih; dia tidak datang ke kapal di mana Amroth, kekasihnya, menunggu. Tapi di musim semi, kala angin berembus di dedaunan, gema suaranya masih bisa terdengar dekat air terjun yang memakai namanya. Dan bila angin ada di Selatan, suara Amroth datang naik dari laut; karena Nimrodel bermuara ke dalam Silverlode, yang oleh bangsa Peri disebut Celebrant, dan Celebrant masuk ke Anduin, Sungai Besar, dan Anduin mengalir ke Teluk Belfalas, dari mana bangsa Peri berlayar. Tapi baik Nimrodel maupun Amroth tak pernah kembali.
"Konon Nimrodel membangun rumah di dahan pohon yang tumbuh dekat air terjun; karena sudah kebiasaan para Peri dari Lorien untuk tinggal di dalam pohon, dan mungkin sampai sekarang pun masih demikian. Maka itu mereka disebut kaum Galadhrim, penduduk pohon. Jauh di dalam hutan mereka, pohon-pohonnya besar sekali. Penduduk hutan tidak menggali tanah seperti orang kerdil, juga tidak membuat bangunan-bangunan kuat dari batu sebelum Bayangan itu datang."
"Dan bahkan di masa kini, tinggal di pepohonan mungkin dianggap lebih aman daripada duduk di tanah," kata Gimli. Ia memandang ke seberang sungai, ke jalan yang membentang kembali ke Lembah Dimrill, lalu ke dahan-dahan gelap di atas.
"Kata-katamu mengandung saran yang bagus, Gimli," kata Aragorn. "Kita tak bisa membangun rumah, tapi malam ini kita akan meniru cara bangsa Galadhrim, mencari keselamatan di puncak pohon, kalau bisa. Kita sudah duduk terlalu lama di tepi jalan."

Mereka kini keluar dari jalan, dan masuk ke kegelapan hutan yang lebih dalam, ke arah barat sepanjang sisi sungai pegunungan, menjauh dari Silverlode. Tidak jauh dari air terjun Nimrodel, mereka menemukan segerombolan pohon, beberapa di antaranya melengkung di atas sungai. Batang mereka yang kelabu besar sekali, tapi ketinggian mereka tak bisa diduga.
"Aku akan memanjat," kata Legolas. "Aku kenal betul pepohonan, baik akar-akarnya maupun dahannya, meski pohon-pohon ini agak asing bagiku, kecuali sebagai sebuah nama dalam lagu. Mellyrn namanya, dan mereka mempunyai bunga kuning, tapi aku belum pernah memanjat salah satunya. Aku sekarang akan memeriksa bentuk dan arah tumbuhnya."
"Pohon apa pun mereka," kata Pippin, "bagus sekali kalau bisa menawarkan istirahat di malam hari, kecuali untuk burung. Aku tak bisa tidur di atas dahan!"
"Kalau begitu, galilah lubang di tanah," kata Legolas, "kalau itu lebih cocok untukmu. Tapi kau harus menggali cepat dan dalam, kalau ingin bersembunyi dari para Orc." ia melompat ringan dari tanah dan menangkap sebuah dahan yang tumbuh dari batang jauh tinggi di atas kepalanya. Tapi ketika ia bergelantungan di sana sejenak, sebuah suara tiba-tiba berbicara dari bayangan pohon di atasnya.
"Daro!" katanya dengan suara memerintah, dan Legolas melompat turun kembali dengan kaget dan takut. Ia berdiri bersandar pada batang pohon.
"Berdiri diam!" ia berbisik pada yang lain. "Jangan bergerak atau berbicara!"
Ada bunyi tertawa lembut di atas kepala mereka, lalu suara lain berbicara dalam bahasa Peri yang jelas. Frodo hanya mengerti sedikit dari apa yang diucapkan, karena bahasa bangsa Silvan di sebelah timur pegunungan, yang mereka gunakan di antara mereka sendiri, tidak sama dengan bahasa Peri di Barat. Legolas menengadah dan menjawab dalam bahasa yang sama.
"Siapa mereka, dan apa yang mereka katakan?" tanya Merry. "Mereka Peri," kata Sam. "Tak bisakah kau mendengar suara mereka?"
"Ya, mereka Peri," kata Legolas, "dan mereka bilang kau bernapas begitu keras, sampai mereka bisa menembakmu dalam gelap." Cepat-cepat Sam menutupi mulutnya dengan tangan. "Tapi mereka bilang kau tak perlu, takut. Mereka sudah tahu kehadiran kita sejak tadi. Mereka mendengar suaraku di seberang Nimrodel, dan tahu aku salah satu keluarga mereka dari Utara, karena itulah mereka tidak merintangi penyeberangan kita; setelah itu mereka mendengar nyanyianku. Sekarang mereka minta aku naik bersama Frodo; karena rupanya mereka sudah mendapat kabar tentang dia dan perjalanan kita. Yang lain diminta menunggu sebentar dan berjaga-jaga di kaki pohon, sampai mereka memutuskan apa yang akan dilakukan."

Dari balik bayangan, sebuah tangga-diturunkan; terbuat dari tambang kelabu keperakan dan bersinar dalam gelap, dan meski kelihatan ramping, ternyata cukup kuat untuk menahan berat banyak orang. Legolas memanjat ringan ke atas, dan Frodo menyusul perlahan; di belakangnya Sam ikut sambil mencoba tidak bernapas terlalu keras. Dahan-dahan pohon mallorn itu tumbuh hampir lurus keluar dari batangnya, lalu melenting ke atas; tapi di dekat puncak, batang utama terbelah menjadi mahkota berdahan banyak, dan di antaranya mereka menemukan sebuah panggung kayu, atau flet seperti mereka menyebutnya di masa itu: bangsa Peri menyebutnya talan. Panggung itu bisa dicapai melalui lubang bundar tempat tangga diturunkan.
Ketika akhirnya Frodo naik ke flet, ia melihat Legolas duduk bersama tiga Peri lain. Mereka berpakaian kelabu gelap, dan tidak tampak di antara batang-batang pohon, kecuali bila mereka tiba-tiba bergerak. Mereka bangkit berdiri, salah satunya membuka selubung sebuah lampu kecil yang mengeluarkan sinar tipis keperakan. Ia mengangkatnya, menatap wajah Frodo, dan Sam. Lalu ia menutup lampunya lagi, dan mengucapkan kata-kata sambutan dalam bahasa Peri. Frodo membalasnya dengan terputus-putus.
"Selamat datang!" kata Peri itu lagi dalam Bahasa Umum, berbicara perlahan. "Kami jarang menggunakan bahasa lain selain bahasa kami sendiri; karena sekarang kami tinggal di jantung hutan, dan enggan melakukan hubungan dengan bangsa lain. Bahkan keluarga kami sendiri di Utara sudah terpisah dari kami. Tapi masih ada di antara kami yang pergi ke luar untuk mencari berita dan mengawasi musuh, dan mereka bisa berbicara bahasa negeri-negeri lain. Aku salah satunya. Namaku Haldir. Saudara-saudaraku, Rumil dan Orophin, hanya sedikit bicara bahasamu.
"Tapi kami sudah mendengar selentingan tentang kedatanganmu, karena utusan-utusan Elrond mampir ke Lorien dalam perjalanan pulang mereka naik Tangga Dimrill. Kami sudah lama tidak mendengar tentang... hobbit, atau halfling, sudah bertahun-tahun, dan tidak tahu bahwa masih ada dari mereka yang tinggal di Dunia Tengah. Kau tidak tampak jahat! Dan karena kau datang bersama seorang Peri dari keluarga kami, kami mau bersikap ramah kepadamu, sesuai permintaan Elrond; meski bukan kebiasaan kami untuk memasukkan orang asing ke negeri kami. Tapi kau hams tinggal di sini malam ini. Berapa orang jumlah rombonganmu?"
"Delapan," kata Legolas. "Aku sendiri, empat hobbit, dan dua manusia, salah satunya Aragorn, seorang sahabat Peri dari bangsa Westernesse."
"Nama Aragorn, putra Arathorn, sudah dikenal di Lorien," kata Haldir, "dan dia disukai Lady. Kalau begitu, semua beres. Tapi kau baru menyebutkan tujuh."
"Yang kedelapan seorang Kurcaci," kata Legolas.
"Kurcaci!" kata Haldir. "Itu tidak bagus. Kami tidak berurusan dengan Kurcaci sejak Hari-Hari Kegelapan. Mereka tidak diizinkan masuk ke negeri kami. Aku tak bisa membiarkannya masuk."
"Tapi dia dari Gunung Sunyi, salah satu anak buah Win yang tepercaya, dan bersahabat dengan Elrond," kata Frodo. "Elrond sendiri memilihnya untuk menjadi salah satu anggota rombongan, dan dia sudah bersikap berani dan setia."
Para Peri berembuk bersama dengan suara perlahan, dan menanyai Legolas dalam bahasa mereka sendiri. "Baiklah," kata Haldir akhirnya. "Begini saja... meski kami tak suka, kalau Aragorn dan Legolas mau menjaganya, dan bertanggung jawab untuknya, dia boleh masuk; tapi dia harus berjalan dengan mata ditutup melalui Lothlorien.
"Sekarang kita jangan berdebat lebih lama lagi. Orang-orangmu jangan tetap di tanah. Kami sudah mengawasi sungai-sungai, sejak kami melihat sepasukan besar Orc berjalan ke utara, menuju Moria, sepanjang sisi pegunungan, beberapa hari yang lalu. Serigala-serigala melolong di perbatasan hutan. Kalau kau memang datang dari Moria, bahaya pasti tidak jauh di belakang. Besok pagi-pagi kalian harus melanjutkan perjalanan.
"Keempat hobbit harus naik ke sini dan tinggal bersama kami-kami tidak takut pada mereka! Ada talan lain di pohon sebelah. Di sanalah yang lainnya harus bermalam. Kau, Legolas, harus bertanggung jawab atas mereka pada kami. Panggillah kami, kalau ada yang tidak beres! Dan awasi orang kerdil itu!"

Legolas segera turun dari tangga untuk membawa pesan Haldir; tak lama kemudian, Merry dan Pippin memanjat naik ke flet tinggi itu. Mereka kehabisan napas dan kelihatan agak takut.
"Nah!" kata Merry sambil terengah-engah. "Kami sudah membawa ke atas selimutmu, juga selimut kami sendiri. Strider sudah menyembunyikan sisa bawaan kami di dalam timbunan daun."
"Sebenarnya kalian tidak membutuhkan beban kalian," kata Haldir. "Memang dingin di puncak pohon, pada musim dingin, meski angin malam ini ada di Selatan; tapi kami punya makanan dan minuman untuk kalian, yang akan menghilangkan dinginnya malam, dan kami punya kulit dan jubah lebih."
Para hobbit menerima makan malam kedua (yang jauh lebih enak) dengan senang hati. Lalu mereka membungkus diri dengan hangat, bukan hanya dengan mantel bulu kaum Peri, tapi juga dengan selimut mereka sendiri, dan mencoba tidur. Tapi, meski mereka letih sekali, hanya Sam yang bisa tertidur dengan mudah. Hobbit tidak menyukai ketinggian, dan tak pernah tidur di atas, meski mereka punya rumah bertingkat. Flet itu sama sekali tidak memenuhi harapan mereka sebagai suatu kamar tidur. Flet itu tidak berdinding, bahkan berpagar pun tidak; hanya pada satu sisi ada tirai anyaman ringan, yang bisa digeser dan ditempatkan di posisi berbeda, sesuai arah angin.
Pippin berbicara terus untuk beberapa lama. "Mudah-mudahan aku tidak menggelinding ke bawah, kalau aku tertidur di atas sini," katanya.
"Sekali aku tertidur," kata Sam, "aku akan tetap tidur, meski aku terguling atau tidak. Dan semakin sedikit berbicara, semakin cepat aku akan tertidur, kalau kau mengerti maksudku."

Frodo berbaring terjaga untuk beberapa saat, memandang bintang-bintang yang bersinar melalui atap pucat dedaunan yang bergetar. Sam sudah mendengkur di sampingnya, jauh sebelum ia sendiri memejamkan mata. Ia bisa melihat samar-samar sosok kelabu dua Peri yang duduk tanpa bergerak, dengan lengan melingkari lutut, berbicara berbisik. Yang satu lagi sedang turun untuk giliran jaga di salah satu dahan yang lebih rendah. Akhirnya, terlena oleh angin di dahan-dahan atas, dan gumaman manis air terjun Nimrodel di bawah, Frodo tertidur dengan nyanyian Legolas masih mengiang dalam benaknya.
Larut malam ia terbangun. Hobbit-hobbit yang lain masih tidur. Para Peri sudah pergi. Bulan sabit bersinar redup di antara dedaunan. Angin tak berembus. Agak di kejauhan, Frodo mendengar bunyi tawa parau dan langkah banyak kaki di tanah. Ada deringan logam. Bunyi-bunyi itu lambat laun menghilang, dan tampaknya pergi ke arah selatan, atau ke dalam hutan.
Sebuah kepala mendadak muncul di lubang lantai flet. Frodo bangkit duduk dengan cemas, dan melihat ternyata itu salah seorang Peri yang berkerudung kelabu. Ia memandang ke arah hobbit-hobbit.
"Ada apa?" kata Frodo.
"Yrch!" kata Peri itu dengan bisikan mendesis, dan meletakkan tangga tambang yang sudah digulung ke atas flet.
"Orc!" kata Frodo. "Apa yang mereka lakukan?" Tapi Peri itu sudah pergi.
Tak ada bunyi lagi. dedaunan pun diam, air terjun juga seolah meredam suaranya. Frodo duduk menggigil dalam balutan selimutnya. Ia bersyukur mereka tidak tertangkap di tanah; tapi ia merasa pepohonan juga hanya memberikan sedikit perlindungan, kecuali persembunyian. Konon penciuman Orc sangat tajam, seperti anjing pemburu, dan mereka juga bisa memanjat. Frodo menghunus Sting: pedang itu menyala berkilau seperti api biru, lalu perlahan meredup lagi dan kelihatan pudar. Meski sinar pedangnya memudar, perasaan bahwa ada bahaya di dekatnya tidak meninggalkan Frodo, tapi justru semakin kuat. Ia bangkit berdiri dan merangkak ke lubang, lalu mengintip ke bawah. Ia hampir yakin bisa mendengar gerakan diam-diam di kaki pohon, jauh di bawah.
Bukan Peri, karena gerakan mereka sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Lalu ia mendengar bunyi lamat-lamat, seperti mendengus, dan sesuatu tampaknya sedang menggaruk-garuk kulit batang pohon. Frodo menatap ke bawah, ke dalam kegelapan, sambil menahan napas.
Sesuatu itu sekarang memanjat perlahan, dan napasnya keluar seperti desis pelan melalui gigi yang terkatup. Lalu sambil naik, dekat ke batang, Frodo melihat dua mata pucat. Mata itu berhenti dan menatap ke atas tanpa berkedip. Mendadak mereka membalik, dan sebuah sosok gelap menyelinap melewati batang pohon, lalu lenyap.
Tak lama kemudian, Haldir memanjat cepat menaiki dahan-dahan. "Ada sesuatu di pohon ini, yang belum pernah kulihat," katanya. "Bukan Orc. Dia lari begitu aku menyentuh batang pohon. Kelihatannya dia hati-hati, dan punya keahlian menyangkut pohon, kalau tidak mungkin aku mengira dia salah satu dari kalian hobbit.
"Aku tidak berteriak, karena tak berani membuat suara gaduh: kita tak bisa mengambil risiko pertempuran. Pasukan kuat Orc lewat sini tadi. Mereka menyeberangi Nimrodel-terkutuklah kaki mereka yang kotor di dalam airnya yang jernih!-dan terus pergi lewat jalan lama di samping sungai. Tampaknya mereka sedang mengikuti jejak, dan mereka memeriksa sebentar-tempat kalian tadi berhenti. Kami bertiga tak bisa melawan seratus, maka kami berjalan ke sana dan berbicara dengan suara dibuat-buat, untuk mengalihkan mereka ke dalam hutan.
"Orophin sekarang buru-buru kembali ke rumah kami untuk memperingatkan rakyat kami. Tidak ada Orc yang bakal pernah kembali dari Lorien. Dan akan banyak Peri bersembunyi di perbatasan utara, sebelum malam berikutnya. Tapi kalian harus mengambil jalan selatan begitu hari terang."

Sinar pagi merekah pucat dari Timur. Cahayanya yang semakin kuat tersaring melalui dedaunan kuning pohon mallorn. Bagi para hobbit, matahari itu seperti matahari pagi musim panas yang sejuk. Langit biru muda mengintip dari antara dahan-dahan yang bergerak. Memandang melalui bukaan di sisi selatan flet, Frodo melihat seluruh lembah Silverlode terhampar bagai lautan emas yang mengalun lembut oleh tiupan angin.
Masih pagi sekali, dan dingin, ketika Rombongan itu berangkat lagi, sekarang dipandu oleh Haldir dan saudaranya, Rumil. "Selamat tinggal, Nimrodel cantik!" seru Legolas. Frodo menoleh dan menangkap sekilas buih putih di antara batang-batang pohon kelabu. "Selamat tinggal," katanya. Tampaknya ia takkan pernah lagi mendengar air terjun yang begitu indah, senantiasa membaurkan nada-nadanya yang tak terhitung ke dalam musik yang selalu berubah-ubah tak terhingga.
Mereka kembali ke jalan yang masih menjulur sepanjang sisi barat Silverlode, dan hingga jarak tertentu, mereka menyusurinya ke selatan. Ada jejak kaki Orc di tanah. Tapi tak lama kemudian Haldir keluar dari jalan dan masuk ke pepohonan, berhenti di tebing sungai, di tempat teduh.
"Ada satu anak buahku di seberang sungai," katanya, "meski mungkin kalian tidak melihatnya." ia memanggil dengan siulan rendah seperti burung, dan dari gerombolan pohon muda keluarlah seorang Peri, berpakaian kelabu, tapi kerudungnya terbuka; rambutnya mengilap seperti emas di bawah sinar matahari pagi. Dengan terampil Haldir melemparkan segulungan tambang kelabu melintasi sungai, Peri itu menangkapnya dan mengikatnya ke sebatang pohon di tebing.
"Di sini Celebrant sudah menjadi sungai deras, seperti kalian lihat," kata Haldir, "dia mengalir deras dan dalam, dan sangat dingin. Kami tidak menginjaknya begitu jauh ke utara, kecuali terpaksa. Tapi di masa waspada ini kami tidak membuat jembatan. Begini cara kami menyeberang! Ikuti aku!" ia mengikat ujung tambangnya dengan erat pada sebatang pohon lain, lalu berlari ringan di atasnya, melintasi sungai dan kembali lagi, seolah menapaki jalan biasa.
"Aku bisa berjalan di atas tali itu," kata Legolas, "tapi yang lain tidak punya keterampilan ini. Apa mereka harus berenang?"
"Tidak!" kata Haldir. "Kami masih punya dua tambang lagi. Kami akan mengikatnya di atas yang satu, satu setinggi bahu, dan satu separuh tinggi bahu, dan dengan memegang itu, tamu-tamu asing ini bisa menyeberang dengan hati-hati."
Ketika jembatan ramping ini sudah dibuat, Rombongan itu menyeberanginya, beberapa dengan hati-hati dan lambat, yang lain lebih mudah. Dari antara para hobbit, ternyata Pippin yang paling bagus, karena langkahnya mantap, dan ia berjalan cepat, hanya berpegangan dengan satu tangan; tapi ia tetap memandang ke tebing di depan, dan tidak melihat ke bawah. Sam berjalan menyeret-nyeret kaki, sambil berpegangan erat, dan melihat ke dalam air yang berputar-putar di bawah, bak jurang di pegunungan.
Ia bernapas lega ketika sudah sampai dengan selamat di seberang. "Hidup dan belajar! seperti kata ayahku selalu. Meski yang dimaksudnya adalah berkebun, bukan bertengger seperti burung, juga bukan mencoba berjalan seperti labah-labah. Bahkan pamanku Andy tak pernah melakukan akrobat seperti ini!"
Ketika akhirnya seluruh Rombongan berkumpul di tebing timur Silverlode, para Peri membuka ikatan tambang mereka dan menggulung dua di antaranya. Rumil, yang tetap di tebing sana, menarik kembali tambang terakhir, menggantungkannya di bahunya, dan sambil melambaikan tangannya ia pergi, kembali ke Nimrodel untuk berjaga.
"Nah, teman-teman," kata Haldir, "kalian sudah masuk Naith di Lorien, atau Gore, menurut kalian, karena daratan ini seperti kepala tombak di antara lengan Silverlode dan Sungai Besar Anduin. Kami tidak mengizinkan orang-orang asing memata-matai rahasia Naith. Sedikit saja yang diperbolehkan menginjakkan kaki di sana.
"Seperti sudah disepakati, di sini aku akan menutup mata Gimli si Kurcaci. Yang lainnya boleh berjalan bebas untuk sementara, sampai kita tiba lebih dekat ke tempat tinggal kami, di Egladil, di Angle di antara air."
Ini sama sekali tidak disukai Gimli. "Kesepakatan itu dibuat tanpa persetujuanku," katanya. "Aku tidak mau berjalan dengan mata ditutup, seperti peminta-minta atau tahanan. Dan aku bukan mata-mata. Bangsaku belum pernah berurusan dengan anak buah Musuh. Kami juga tak pernah menyakiti bangsa Peri. Aku tidak lebih mungkin mengkhianati kalian daripada Legolas, atau siapa pun dari kawan-kawanku."
"Aku tidak meragukanmu," kata Haldir. "Tapi ini hukum kami. Aku bukan penguasa hukum, dan tak bisa mengesampingkannya. Aku sudah berbuat banyak dengan membiarkan kalian menyeberangi Celebrant."
Gimli keras kepala. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangannya memegang pangkal kapaknya. "Aku akan berjalan bebas," katanya, "atau aku akan kembali dan mencari negeriku sendiri, di mana aku dikenal jujur, meski aku tewas sendirian di belantara."

"Kau tidak bisa kembali," kata Haldir keras. "Kau sudah berjalan sejauh ini, dan kau harus dibawa ke hadapan Lord dan Lady. Mereka akan menilaimu, menahanmu, atau memberimu izin, terserah mereka. Kau tak bisa menyeberangi sungai lagi, dan di belakangmu sekarang ada penjaga-penjaga rahasia yang tak bisa kaulewati. Kau akan dibunuh sebelum sempat melihat mereka."
Gimli menarik kapak dari ikat pinggangnya. Haldir dan kawannya meregangkan busur mereka. "Terkutuklah Kurcaci dan sifat kepala batu mereka!" kata Legolas.
"Sudah!" kata Aragorn. "Kalau aku masih memimpin Rombongan ini, kau harus melakukan apa yang kuminta. Sulit bagi orang kerdil ini untuk ditutup matanya sendirian. Kami semua akan berjalan dengan mata ditutup, juga Legolas. Itu jalan terbaik, meski akan membuat perjalanan lambat dan menemukan."
Gimli mendadak tertawa. "Kita akan terlihat seperti rombongan orang tolol! Apakah Haldir akan menuntun kita dengan tali, seperti beberapa orang buta dengan hanya seekor anjing? Tapi aku akan puas kalau Legolas saja yang bersama-sama denganku ditutup matanya."
"Aku Peri dan saudara di sini," kata Legolas, yang sekarang jadi marah juga.
"Sekarang mari kita berseru, 'Terkutuklah sifat keras kepala kaum Peri!"' kata Aragorn. "Biarlah seluruh anggota Rombongan mendapat perlakuan sama rata. Ayo, tutup mata kami, Haldir!"
"Aku akan menuntut ganti rugi penuh kalau aku tersandung atau jari kakiku lecet, kalau kau tidak menuntun kami dengan baik," kata Gimli ketika mereka mengikat penutup matanya.
"Kau tidak perlu menuntut," kata Haldir. "Aku akan menuntunmu dengan baik, dan jalanan di sini mulus dan lurus."
"Konyol sekali semua ini!" kata Legolas. "Kita semua bersatu melawan Musuh yang sama, tapi aku dipaksa berjalan dengan mata ditutup, sementara matahari bersinar cerah di hutan, di bawah dedaunan emas! "
"Memang bodoh," kata Haldir. "Tapi justru di sinilah tampak jelas kekuatan sang Penguasa Kegelapan, yang mencerai-beraikan mereka-mereka yang masih menentangnya. Namun sekarang ini begitu sedikit kepercayaan dan keyakinan yang bisa kami temukan di dunia di luar Lothlorien, kecuali mungkin di Rivendell, itu sebabnya kami tak berani menaruh kepercayaan yang sekiranya bisa membahayakan negeri kami. Kami sekarang hidup di sebuah pulau, di tengah banyak bahaya, dan tangan kami lebih sering memegang busur daripada harpa.
"Sungai-sungai sudah lama membela kami, tapi sekarang mereka bukan penjaga yang aman lagi; karena Bayangan itu sudah merangkak ke utara, mengelilingi kami. Beberapa berniat untuk pergi, tapi itu pun tampaknya sudah terlambat. Pegunungan di sebelah barat sudah menjadi jahat; di sebelah timur, daratannya sudah rusak dan penuh makhluk-makhluk Sauron; dan kabarnya kami sekarang tak bisa lewat dengan aman di selatan, melalui Rohan, dan muara-muara Sungai Besar diawasi Musuh. Meski kami bisa sampai ke pantai Lautan, kami takkan bisa menemukan perlindungan lagi di sana. Katanya di sana masih ada pelabuhan-pelabuhan Peri Bangsawan, tapi letaknya jauh di utara dan barat, di luar negeri hobbit. Tapi di mana tempat itu berada, meski Lord dan Lady mungkin tahu, aku sendiri tidak tahu."
"Kau setidaknya harus mengira-ngira, sejak melihat kami," kata Merry. "Ada pelabuhan-pelabuhan Peri di sebelah barat negeriku, Shire, tempat para hobbit tinggal."
"Betapa bahagianya bangsa hobbit, bisa tinggal dekat pantai!" kata Haldir. "Sudah lama sekali sejak bangsaku melihatnya, meski begitu kami masih mengingatnya dalam lagu-lagu kami. Ceritakan tentang pelabuhan-pelabuhan ini sementara kita berjalan."
"Aku tak bisa. Aku belum pernah melihatnya. Aku belum pernah keluar dari negeriku. Dan seandainya aku tahu dunia luar seperti apa, kurasa aku tidak bakal mau meninggalkan Shire."
"Tidak juga untuk melihat Lothlorien yang indah?" kata Haldir. "Dunia memang penuh bahaya, dan di dalamnya banyak tempat gelap; tapi masih banyak hal indah, dan meski di semua negeri sekarang cinta tercampur dengan duka, mungkin dia justru tumbuh semakin hebat.
"Beberapa di antara kami bernyanyi bahwa Bayangan itu akan mundur, dan kedamaian akan datang lagi. Namun begitu, aku tak percaya bahwa dunia di sekitar kita akan kembali seperti semula, atau sinar matahari akan seperti dulu lagi. Untuk bangsa Peri, mungkin yang terbaik adalah mengadakan gencatan senjata, agar mereka bisa lewat tanpa rintangan ke Lautan, dan meninggalkan Dunia Tengah untuk selamanya. Sayang sekali Lothlorien yang kucintai! Sungguh menyedihkan, hidup di negeri yang tak ada pohon mallorn tumbuh. Tapi entah ada pohon mallorn atau tidak di seberang Lautan, belum ada yang melaporkannya."
Sambil berbicara, Rombongan itu berbaris perlahan menelusuri jalan di hutan, dipimpin Haldir, sementara Peri satunya berjalan di belakang. Mereka merasa tanah di bawah kaki mereka mulus dan lembut, dan setelah beberapa saat, mereka berjalan lebih bebas, tanpa takut sakit atau jatuh. Karena penglihatannya dihambat, Frodo merasa pendengaran dan indra-indranya yang lain jadi lebih tajam. Ia bisa mencium aroma pohon-pohon dan rumput yang diinjaknya. Ia bisa mendengar banyak nada berbeda dalam desiran daun di atas kepala, sungai yang bergumam di sebelah kanannya, dan suara-suara kecil jernih burung-burung di angkasa. Ia merasa matahari menyinari wajah dan tangannya ketika mereka melewati padang terbuka.
Begitu ia menginjakkan kaki di tebing Silverlode, sebuah perasaan aneh, timbul dalam dirinya, dan perasaan itu semakin kuat ketika ia berjalan masuk ke Naith: ia serasa melangkahi jembatan waktu, masuk ke suatu sudut Zaman Peri, dan kini memasuki dunia yang sudah tidak ada. Di Rivendell ada kenangan tentang' hal-hal kuno; di Lorien hal-hal kuno masih hidup di dunia yang sadar. Kejahatan sudah terlihat dan terdengar di Rivendell, dan duka sudah dikenal; bangsa Peri takut dan tidak mempercayai dunia luar: serigala melolong di perbatasan hutan: tapi di daratan Lorien tak ada bayangan.

Sepanjang hari itu mereka berjalan terus, sampai merasakan sore sejuk datang, dan mendengar angin malam berbisik di antara dedaunan. Lalu mereka beristirahat dan tidur tanpa rasa takut di tanah; karena sang pemandu tidak mengizinkan mereka membuka tutup mata, dan mereka tak bisa memanjat. Di pagi hari mereka berangkat lagi, berjalan tanpa terburu-buru. Tengah hari mereka berhenti, dan Frodo menyadari mereka sudah keluar dari bawah Matahari. Mendadak ia bisa mendengar banyak suara di sekitar mereka.
Sepasukan Peri sudah berjalan diam-diam, mendekati mereka: pasukan itu sedang bergegas ke perbatasan utara, untuk berjaga terhadap serangan dari Mona; dan mereka membawa berita, beberapa di antaranya dilaporkan Haldir. Rombongan Orc perampok sudah dihadang, dan hampir semuanya dihancurkan; sisanya lari ke barat, ke arah pegunungan, dan sedang dikejar. Suatu makhluk aneh juga terlihat, berlari dengan punggung bungkuk dan tangan dekat ke tanah, seperti hewan tapi tidak berbentuk hewan. Ia' lolos, dan mereka tidak menembaknya, karena tidak tahu ia baik atau jahat. Makhluk itu menghilang lewat Silverlode, ke arah selatan.
"Juga," kata Haldir, "mereka membawa pesan dari Lord dan Lady bangsa Galadhrim. Kalian semua boleh berjalan bebas, termasuk Gimli si Kurcaci. Kelihatannya Lady tahu siapa dan apa setiap anggota Rombongan-mu. Mungkin berita-berita baru sudah datang dari Rivendell."
Ia melepaskan tutup mata Gimli dulu. "Maafkan aku!" katanya sambil membungkuk rendah. "Lihatlah kami sekarang dengan mata yang ramah! Lihatlah dan berbahagialah, karena kau orang kerdil pertama yang menyaksikan pohon-pohon Naith di Lorien sejak masa Durin!"
Ketika tutup matanya dibuka, Frodo mengangkat wajah dan terperangah. Mereka berdiri di sebuah tempat terbuka. Di sebelah kiri berdiri gundukan besar, tertutup rumput sehijau Musim-Semi di Zaman Peri. Di atasnya tumbuh dua lingkaran pepohonan, seperti mahkota ganda: lingkaran luar mempunyai kulit batang seputih salju, tidak berdaun namun indah dalam ketelanjangan mereka; lingkaran dalam terdiri atas pohon-pohon mallorn yang sangat tinggi, masih dihiasi warna emas pucat. Tinggi di antara dahan-dahan sebatang pohon yang menjulang tinggi di tengah, sebuah flet putih berkilauan. Di kaki pohon, dan di sekitar seluruh sisi bukit hijau itu, rumput-rumputnya bertatahkan bunga-bunga kecil keemasan berbentuk bintang. Di antaranya, mengangguk-angguk pada batang-batang ramping, ada bunga-bunga lain, putih dan hijau muda: berkilauan seperti kabut, di tengah warna rumput yang hijau segar. Di atas semua itu membentang langit biru, matahari siang menyinari bukit dan menjatuhkan bayang-bayang hijau panjang di bawah pepohonan.
"Lihatlah! Kau sudah sampai di Cerin Amroth," kata Haldir. "Karena di sinilah terletak jantung wilayah kuno ini, seperti di zaman dahulu kala, dan di sinilah bukit Amroth, di mana pada masa yang lebih bahagia berdiri rumalrnya. Di sini selalu berkembang bunga-bunga musim dingin di antara rumput yang tak pernah pudar: elanor kuning dan niphredil pucat. Di sini kita akan tinggal sebentar, dan masuk ke kota Galadhrim sore nanti."

Yang lainnya merebahkan din ke atas rumput wangi, tapi Frodo masih berdiri keheranan. Ia serasa melangkah masuk melalui sebuah jendela tinggi yang membuka ke dunia yang sudah hilang. Seberkas cahaya menyinarinya, yang dalam bahasanya tak bisa diungkapkan. Ia melihat semuanya berwujud indah, dengan bentuk-bentuk yang begitu jelas, seolah pertama kali dirancang dan digambar saat matanya dibuka, namun juga sarat oleh usia, seakan sudah ada sejak dahulu kala. Ia tidak melihat warna, kecuali yang dikenalnya-emas, putih, biru, dan hijau-namun warna-warna itu segar dan tajam, seolah baru pertama kali itu ia melihatnya, dan memberi mereka nama-nama baru dan indah. Di musim dingin di sini, tak ada yang bisa berduka mendambakan musim semi atau musim panas. Tak ada penyakit, noda, atau cacat pada semua yang tumbuh di bumi. Negeri Lorien bersih tak bernoda.
Ia membalikkan badan dan melihat Sam sekarang berdiri di sampingnya, melihat sekeliling dengan ekspresi heran, dan menggosok-gosok mata seolah tak yakin ia sedang sadar. "Sekarang ini masih siang dan matahari terang benderang," katanya. "Kupikir Peri hanya ada saat bulan dan bintang bersinar: tapi yang kulihat ini lebih bersifat Peri daripada apa pun yang pernah kudengar. Aku merasa seolah berada di dalam nyanyian, kalau kau paham maksudku."
Haldir memandang mereka, dan kelihatannya ia benar-benar memahami pikiran maupun perkataan Sam. Ia tersenyum. "Kau merasakan kekuatan Lady Galadhrim," katanya. "Maukah kalian naik bersamaku ke Cerin Amroth?"
Mereka mengikutinya ketika ia melangkah ringan mendaki lereng berumput. Meski ia berjalan dan bernapas, dan di sekitarnya daun-daun dan bunga-bunga hidup digetarkan oleh angin sejuk yang juga mengipasi wajahnya, Frodo merasa berada di suatu negeri tanpa waktu, yang tidak memudar, berubah, atau terlupakan. Setelah meninggalkan negeri itu dan kembali ke dunia luar pun, Frodo si pengembara dari Shire masih tetap terkenang saat-saat ia berjalan di sana, di rumput di antara elanor dan niphredil, di Lothlorien yang indah.
Mereka masuk ke lingkaran pohon-pohon putih. Pada saat itu Angin Selatan berembus ke atas Cerin Amroth, dan mengeluh di antara dahan-dahannya. Frodo berdiri diam, dan mendengar samudra besar memukul-mukul pantai yang sudah lama hilang tersapu, serta burung-burung laut yang berteriak, yang rasnya sudah lama hilang dari muka bumi.
Haldir sudah maju dan sekarang memanjat ke flet yang tinggi. Saat bersiap-siap menyusulnya, Frodo menyentuhkan tangan ke pohon di samping tangga, dan ia tersentak. Belum pernah ia merasakan dengan begitu tajam, rasa dan permukaan kulit pohon serta kehidupan yang tersimpan di dalamnya. Ia merasa bahagia menyentuh kayu itu, bukan sebagai penjaga hutan maupun sebagai tukang kayu; melainkan kebahagiaan karena pohon hidup itu sendiri.
Ketika akhirnya ia naik ke panggung tinggi itu, Haldir memegang tangannya dan membalikkan badan Frodo ke arah Selatan. "Lihat ke sini dulu!" katanya.
Frodo memandang. Agak jauh di sana, ia melihat bukit yang entah penuh pepohonan tinggi besar, atau kota dengan menara-menara hijau. Dari sanalah rupanya asal kekuatan dan cahaya yang mengendalikan seluruh negeri itu. Frodo mendadak ingin sekali terbang seperti burung untuk beristirahat di kota itu. Lalu ia memandang ke arah timur, dan melihat seluruh negeri Lorien terhampar sampai ke Anduin,
Sungai Besar yang berkilau pucat. Ia mengangkat matanya ke seberang sungai, dan semua cahaya padam, dan ia kembali lagi ke dunia yang dikenalnya. Di luar sungai, daratan tampak datar dan kosong, tak berbentuk dan kabur, dan naik lagi di kejauhan, seperti dinding gelap dan seram. Matahari yang bersinar di atas Lothlorien tak berdaya untuk menyinari kegelapan di ketinggian yang jauh itu.
"Di sana terhampar luas Mirkwood Selatan," kata Haldir. "Tertutup hutan cemara gelap, di mana pohon-pohon saling bersaing dan dahan-dahan mereka membusuk dan layu. Di tengahnya, di atas dataran tinggi berbatu, berdiri Dol Guldur, di mana Musuh tersembunyi itu dulu tinggal. Kami khawatir sekarang dia sudah didiami lagi, dan dengan kekuatan berlipat ganda tujuh kali. Awan hitam sering menggantung di atasnya belakangan ini. Di tempat tinggi ini kau bisa melihat kedua kekuatan yang saling berlawanan; dan mereka tetap bersaing dalam pikiran, tapi meski cahaya ini melihat jantung kegelapan, rahasianya sendiri belum terungkap. Belum." Haldir membalikkan badannya dan cepat-cepat turun. Mereka mengikutinya.
Di kaki bukit, Frodo menemukan Aragorn berdiri diam dan tenang, seperti sebatang pohon; di tangannya ada bunga elanor kecil keemasan, dan matanya bersinar-sinar. Ia terbenam dalam ingatan indah: dan ketika Frodo memandangnya, ia tahu Aragorn tengah membayangkan keadaan di tempat ini, lama berselang. Sebab perjalanan tahun yang muram kini terhapus dari wajah Aragorn; dan ia seolah berpakaian putih, seorang pangeran muda yang jangkung dan tampan; dan ia berbicara dengan bahasa Peri pada seseorang yang tak bisa dilihat Frodo. Arwen vanimelda, namarie! katanya, lalu ia menghela napas. Setelah terjaga dari lamunannya, ia menatap Frodo dan tersenyum.
"Di sinilah jantung kerajaan Peri di bumi," katanya, "dan di sinilah hatiku berada; kecuali ada cahaya di luar jalan-jalan gelap yang masih harus kita tapaki, kau dan aku. Ikutlah aku!" Dan sambil memegang tangan Frodo, ia meninggalkan bukit Cerin Amroth. Ia tak pernah kembali ke sana dalam keadaan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar