Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Minggu, 06 Februari 2011

Book 2 - Bab 7

CERMIN GALADRIEL

Matahari terbenam di balik pegunungan, dan bayangan-bayangan di hutan semakin gelap, ketika mereka berjalan lagi. Sekarang mereka masuk ke gerombolan pohon, di mana senja sudah mulai terasa. Malam menghampiri di bawah pepohonan, sementara mereka berjalan, dan para Peri membuka selubung lampu mereka.
Tiba-tiba mereka sampai di sebuah tempat terbuka lagi, di bawah langit malam pucat bertaburkan beberapa bintang yang muncul awal. Di depan mereka ada tempat luas tanpa pohon, berbentuk lingkaran besar dan membelok ke luar di kedua sisinya. Di luarnya ada jurang dalam yang hilang dalam kegelapan, tapi rumput di tebingnya tampak hijau, seolah masih bersinar mengenang matahari yang sudah pergi. Di sisi seberang berdiri menjulang sebuah dinding hijau, mengurung bukit hijau yang dipenuhi pohon mallorn yang lebih tinggi daripada yang telah mereka lihat di negeri itu. Tingginya tak bisa ditebak, tapi dalam cahaya senja itu, mereka tampak seperti menara-menara yang hidup. Di dalam dahan-dahannya yang bercabang-cabang, dan di tengah dedaunannya yang selalu bergerak, menyala lampu-lampu yang tak terhitung jumlahnya-hijau, emas, dan perak. Haldir berbicara pada mereka.
"Selamat datang ke Caras Galadhon!" katanya. "Inilah kota tempat tinggal Lord Celeborn dan Lady Galadriel dari Lorien. Tapi kita tak bisa masuk dari sini, karena gerbang-gerbangnya tidak menghadap ke utara. Kita harus berjalan memutar ke selatan, dan jalan itu tidak pendek, karena kota ini besar."
Ada jalan berlapis bate putih terbentang di tebing luar jurang. Mereka menyusuri jalan ini, ke arah barat, sementara kota itu mendaki terus seperti awan hijau di sebelah kiri mereka; ketika malam semakin larut, lebih banyak cahaya muncul, hingga seluruh bukit seperti menyala penuh bintang-bintang. Akhirnya mereka sampai ke sebuah jembatan putih, dan setelah menyeberanginya, mereka tiba di gerbang-gerbang kota. Gerbang-gerbang itu menghadap ke barat daya, terletak di antara ujung-ujung dinding yang mengelilinginya, yang di sini saling menutupi. Pintu-pintunya tinggi dan kuat, diterangi banyak lampu gantung.
Haldir mengetuk dan berbicara, dan gerbang itu membuka tanpa suara; tapi Frodo tak bisa melihat penjaganya. Mereka masuk ke dalam, dan gerbang itu tertutup lagi di belakang mereka. Mereka berada di sebuah jalan di antara ujung-ujung dinding; dengan cepat mereka melewatinya, dan masuk ke Kota Pohon. Tak ada orang tampak, juga tidak terdengar bunyi langkah kaki di jalan; tapi ada banyak suara di sekitar mereka, dan di udara di atas. Jauh di atas bukit, mereka bisa mendengar nyanyian mengalun dari atas, seperti hujan lembut di atas dedaunan.
Mereka melewati banyak jalan dan mendaki banyak tangga, sampai akhirnya tiba di tempat tinggi. Di depan mereka, di tengah halaman luas, sebuah air mancur berkilauan. Air mancur itu diterangi lampu-lampu perak yang menggantung pada dahan-dahan pepohonan, airnya jatuh ke dalam mangkuk perak, dan dari situ mengalir menjadi aliran putih. Di sisi selatan halaman berdiri pohon paling besar; batangnya yang besar dan mulus bersinar seperti sutra kelabu, dan ia menjulang begitu tinggi, hingga dahan-dahannya yang pertama, jauh di atas, membuka tangan-tangan besar mereka di bawah awan daun yang gelap. Di sebelahnya berdiri sebuah tangga lebar putih, dan di kakinya duduk tiga Peri. Mereka melompat berdiri ketika para pengembara itu mendekat. Frodo melihat bahwa mereka tinggi sekali dan berpakaian logam kelabu, dari pundak mereka menggantung jubah putih panjang.
"Di sini tinggal Celeborn dan Galadriel," kata Haldir. "Mereka mengharapkan kalian naik dan berbicara dengan mereka."
Salah satu penjaga Peri meniupkan nada nyaring pada terompet kecilnya, dan dijawab tiga kali dari jauh di atas. "Aku akan menghadap lebih dulu," kata Haldir. "Biar Frodo berikutnya, dan Legolas bersamanya. Yang lain boleh menyusul sekehendak mereka. Panjatannya panjang sekali untuk mereka yang tidak terbiasa pada tangga semacam ini, tapi kalian boleh istirahat selama naik."

Ketika Frodo memanjat perlahan, banyak sekali flet yang dilewatinya: beberapa di satu sisi, beberapa di sisi lain, dan beberapa mengurung batang pohon, sehingga tangga itu melewati tengahnya. Di suatu ketinggian, jauh di atas tanah, ia sampai ke sebuah talan yang luas, seperti geladak kapal besar. Di atasnya berdiri sebuah rumah, begitu besar, sampai hampir bisa dipakai sebagai aula untuk Manusia di bumi. Ia masuk di belakang Haldir, dan menyadari ia berada di sebuah ruang berbentuk lonjong; di tengah ruangan tumbuh sebatang pohon mallorn besar, namun batangnya semakin ke atas semakin mengecil, sampai ke mahkotanya, tapi masih membentuk tiang dengan lingkaran sangat besar.
Ruangan itu berisi cahaya lembut; dinding-dindingnya hijau dan perak, dan atapnya dari emas. Banyak Peri duduk di sana. Di atas dua kursi, di bawah batang pohon dan beratap dahan hidup, duduk berdampingan Celeborn dan Galadriel. Mereka berdiri untuk menyambut tamu mereka, sesuai adat-istiadat kaum Peri, bahkan mereka yang termasuk raja-raja hebat. Mereka sangat jangkung, dan sang Lady juga tak kalah jangkung daripada sang Lord; mereka tampak khidmat dan indah. Pakaian mereka serbaputih; rambut Lady Galadriel berwarna emas pekat, dan rambut Lord Celeborn keperakan dan panjang, serta bersinar; tapi tak ada tanda-tanda ketuaan pada diri mereka, kecuali dalam mata mereka; karena mata mereka tajam bagai lembing di bawah sinar bintang, namun sangat dalam, seperti sumur ingatan yang dalam.
Haldir membimbing Frodo ke hadapan mereka, dan Lord Celeborn menyambutnya dengan bahasanya sendiri. Lady Galadriel tidak mengatakan apa-apa, tapi menatap wajahnya lama sekali.
"Duduklah di sampingku, Frodo dari Shire!" kata Celeborn. "Kalau semua sudah datang, kita akan bercakap-cakap."
Setiap anggota rombongan disambut dengan sopan, nama masing-masing disebutkan ketika mereka masuk. "Selamat datang, Aragorn putra Arathorn!" katanya. "Sudah delapan dan tiga puluh tahun sejak kau datang ke negeri ini; dan tahun-tahun itu membebanimu dengan berat. Tapi akhirnya sudah dekat, entah baik ataupun buruk. Simpanlah dulu bebanmu sejenak di sini!"
"Selamat datang, putra Thranduil! Terlalu jarang keluargaku dari Utara berkunjung kemari."
"Selamat datang, Gimli putra Gloin! Memang sudah lama kami tak melihat salah satu dari bangsa Durin di Caras Galadhon. Tapi hari ini kami membatalkan hukum kami yang sudah lama. Mudah-mudahan menjadi pertanda bahwa meski dunia sekarang lebih gelap; tapi masa yang lebih baik sudah mendekat, dan persahabatan di antara bangsa kita akan diperbaharui." Gimli membungkuk dalam sekali.
Ketika semua tamu sudah duduk di depan kursinya, Lord Celeborn menatap mereka lagi. "Di sini ada delapan," katanya. "Sembilan yang berangkat: begitulah menurut pesan yang disampaikan. Tapi mungkin ada perubahan saran yang belum kami dengar. Elrond jauh sekali, dan kegelapan membubung di antara kami, dan sepanjang tahun ini bayang-bayang yang muncul semakin panjang."
"Tidak, tidak ada perubahan rencana," kata Lady Galadriel, berbicara untuk pertama kali. Suaranya jernih dan berirama, tapi lebih dalam daripada biasanya suara wanita. "Gandalf si Kelabu berangkat bersama Rombongan, tapi dia tidak berhasil melewati perbatasan negeri ini. Sekarang ceritakan pada kami, di mana dia; karena aku sangat ingin berbicara lagi dengannya. Tapi aku tak bisa melihatnya dari jauh, kecuali dia masuk ke dalam lingkungan Lothlorien: kabut kelabu menyelimutinya, dan langkah kaki serta pikirannya tersembunyi bagiku."
"Sayang sekali!" kata Aragorn. "Gandalf si Kelabu jatuh ke dalam gelap. Dia tetap di Moria, dan tidak berhasil lolos."
Mendengar itu, semua Peri di aula berteriak keras, penuh kesedihan dan kekagetan. "Ini berita buruk," kata Celeborn, "berita paling buruk yang pernah dibicarakan di sini, selama tahun-tahun panjang yang penuh kesedihan." ia berbicara pada Haldir. "Mengapa tentang ini belum ada yang diceritakan padaku?" tanyanya dalam bahasa Peri.
"Kami belum berbicara dengan Haldir tentang perbuatan atau tujuan kami," kata Legolas. "Pada mulanya kami letih, dan bahaya terlalu dekat di belakang; setelah itu kami hampir melupakan kesedihan kami sebentar, saat kami berjalan dengan bahagia di jalan-jalan indah Lorien."
"Namun kesedihan kami besar sekali, dan kehilangan kami tak bisa dipulihkan," kata Frodo. "Gandalf adalah pemandu kami, dan dia menuntun kami melalui Moria; ketika pelarian kami tampak tak ada harapan lagi, dia menyelamatkan kami, dan jatuh."
"Ceritakan sekarang pada kami seluruh kisahnya!" kata Celeborn.
Maka Aragorn menceritakan semua yang terjadi di jalan di Caradhras, dan di hari-hari berikutnya; ia juga berbicara tentang Balm dan bukunya, pertempuran di Ruang Mazarbul, api, jembatan sempit, dan kedatangan makhluk pembawa Teror. "Tampaknya makhluk jahat dari Dunia Lama, yang belum pernah kulihat," kata Aragorn. "Bentuknya seperti bayangan, sekaligus nyala api, kuat dan mengerikan."
"Itu Balrog dari Morgoth," kata Legolas, "yang paling mematikan dari antara semua kutukan Peri, kecuali bagi yang Satu itu, yang berada di Menara Kegelapan."
"Memang di jembatan aku melihat sesuatu yang menghantui mimpi kita yang paling gelap. Aku melihat Kutukan Durin," kata Gimli dengan suara rendah, kengerian terpancar dari matanya.
"Aduh!" kata Celeborn. "Sudah lama kami khawatir ada kejahatan yang tertidur di bawah Caradhras. Tapi seandainya aku tahu bahwa kaum Kurcaci sudah membangunkan lagi kejahatan di Moria, aku akan melarang kalian melewati perbatasan utara, kau dan semua yang pergi bersamamu. Dan bila mungkin, akan ada yang bilang bahwa Gandalf akhirnya jatuh dari kebijakan ke kebodohan, pergi sia-sia masuk ke dalam jaring Moria."
"Gegabah sekali kalau ada yang berkata begitu," kata Galadriel muram. "Karena perbuatan Gandalf sepanjang hidupnya tak pernah sia-sia. Mereka yang mengikutinya tidak tahu pikirannya, dan tak bisa melaporkan keseluruhan rencananya. Tapi apa pun yang dilakukan sang pemandu, pengikut-pengikutnya tidak bersalah. Jangan menyesal telah menyambut Kurcaci ini. Seandainya bangsa kami dikucilkan jauh dan lama dari Lothlorien, siapa di antara bangsa Galadhrim-termasuk Celeborn yang Bijak sekalipun-yang bisa menahan diri untuk lewat di dekatnya tanpa keinginan melihat rumah mereka yang lama, meski rumah itu sudah menjadi tempat tinggal para naga?
"Gelap sekali air Kheled-zaram, sangat dingin mata air Kibil-nala, dan sangat indahlah aula-aula bertiang banyak di Khazad-dum pada Zaman Peri, sebelum kejatuhan raja-raja besar di bawah bebatuan." ia menatap Gimli yang duduk dengan cemberut dan sedih. Dan Galadriel tersenyum. Men-dengar nama-nama tersebut diucapkan dalam bahasanya sendiri yang kuno, Gimli menengadah dan bertemu pandang dengan Galadriel; ia serasa melihat ke dalam hati musuh, namun yang dijumpainya adalah kasih sayang dan pengertian. Wajah Gimli diliputi keheranan, lalu ia membalas senyuman itu.
Ia bangkit berdiri dengan canggung dan membungkuk secara adat Kurcaci, sambil berkata, "Tetapi negeri Lorien yang hidup jauh lebih indah, dan kecantikan Lady Galadriel melebihi kecantikan semua permata yang ada di bawah tanah!"

Hening sejenak. Akhirnya Celeborn berbicara lagi. "Aku tidak tahu bahwa keadaanmu begitu mengerikan," katanya. "Semoga Gimli melupakan kata-kataku yang keras: aku mengungkapkan kesusahan hatiku. Aku akan berusaha membantu kalian sebisaku, masing-masing sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, tapi terutama untuk si kecil yang membawa beban itu."
"Tugas kalian sudah kami ketahui," kata Galadriel, sambil menatap Frodo. "Tapi kita tak akan membicarakannya di sini dengan lebih terbuka. Mungkin kedatangan kalian ke negeri ini untuk mencari pertolongan tidaklah sia-sia. Tampaknya ini memang direncanakan oleh Gandalf. Karena Lord Galadhrim dianggap yang paling bijak di antara bangsa Peri di Dunia Tengah, dan pemberi hadiah di luar kemampuan raja-raja. Dia sudah tinggal di Barat sejak masa fajar, dan aku tinggal bersamanya sudah tak terhitung lamanya; karena sebelum kejatuhan Nargothrond atau Gondolin aku telah melewati pegunungan, dan selama berabad-abad kami bersama-sama melawan kekalahan yang panjang.
"Akulah yang pertama kali mengumpulkan Dewan Penasihat Putih. Kalau rencanaku tidak gagal, dewan itu akan dipimpin oleh Gandalf si Kelabu, dan mungkin situasinya akan berbeda. Tapi sekarang pun masih ada harapan. Aku tidak akan memberikan nasihat, menyuruh lakukan ini, lakukan itu. Karena dengan tidak berbuat atau merencanakan, juga dengan tidak memilih antara jalan ini atau itu, aku bisa berguna; cukuplah dengan tahu apa yang sudah terjadi dan sedang terjadi, dan sebagian tentang apa yang bakal terjadi. Tapi kukatakan ini pada kalian: Pencarian kalian ada di ujung pisau. Melenceng sedikit, kalian akan jatuh, dan menyebabkan kehancuran semuanya. Namun masih ada harapan bila seluruh Rombongan bersungguh-sungguh."
Dan dengan kata itu ia menahan mereka dengan matanya, dalam keheningan ia memandang mereka satu per satu. Hanya Legolas dan Aragorn yang bisa menahan tatapannya untuk waktu lama. Sam cepat memerah wajahnya dan menundukkan kepala.
Akhirnya Lady Galadriel melepaskan mereka dari pandangan matanya, dan ia tersenyum. "Janganlah kalian bersusah hati," katanya. "Malam ini kalian akan tidur dalam kedamaian." Lalu mereka mengeluh dan tiba-tiba merasa letih, seperti sudah ditanyai lama dan dalam, meski tak ada kata-kata yang diucapkan secara terbuka.
"Pergilah!" kata Celeborn. "Kalian letih karena sedih dan kerja keras. Meski Pencarian kalian tidak berhubungan erat dengan kami, kalian hams mendapat perlindungan di Kota ini, sampai kalian sembuh dan segar. Sekarang kalian akan beristirahat, dan kita tidak akan membicarakan perjalanan kalian selaniutnya, untuk sementara."

Malam itu Rombongan tidur di tanah, dan para hobbit sangat senang. Para Peri membentangkan sebuah paviliun untuk mereka di antara pepohonan dekat air mancur, dan di dalamnya diletakkan ranjang-ranjang empuk; setelah mengucapkan kata-kata damai dengan suara-suara Peri yang indah, mereka meninggalkan Rombongan. Untuk beberapa saat para pengembara itu membicarakan malam sebelumnya di puncak pohon, dan tentang perjalanan mereka hari itu, juga tentang Lord Celeborn dan Lady Galadriel; karena mereka tak sampai hati mengingat lebih jauh ke belakang.
"Kenapa wajahmu memerah, Sam?" kata Pippin. "Kau cepat sekali menunduk. Siapa pun akan mengira kau merasa bersalah. Kuharap kau tidak punya rencana jahat selain, barangkali, rencana untuk mencuri salah satu selimutku."
"Aku tidak pernah terpikir untuk mencuri selimutmu," jawab Sam, tidak bergairah untuk berkelakar. "Kalau kau mau tahu, aku merasa seperti tidak memakai busana, dan aku tak suka itu. Seolah-olah Lady itu memandang ke dalam diriku, dan bertanya apa yang akan kulakukan kalau dia memberiku kesempatan terbang pulang ke Shire, ke sebuah lubang nyaman dengan... kebunku sendiri."
"Aneh," kata Merry. "Hampir sama dengan apa yang kurasakan juga; hanya... hanya... yah, kurasa aku tidak mau bilang apa-apa lagi," ia mengakhiri kata-katanya dengan tertegun.
Semuanya, rupanya, mengalami hal yang sama: masing-masing merasa dihadapkan pada pilihan antara bayangan penuh ketakutan yang terbentang di depan, dan sesuatu yang sangat didambakan. Sesuatu itu terpeta jelas sekali dalam pikiran, dan untuk mendapatkannya mudah saja: mereka tinggal keluar dari jalan, dan membiarkan orang lain yang melakukan Pencarian serta perang melawan Sauron.
"Dan kelihatannya bagiku," kata Gimli, "pilihanku akan tetap rahasia, dan hanya aku sendiri yang tahu."
"Bagiku rasanya sangat aneh," kata Boromir. "Mungkin itu hanya ujian, dan dia membaca pikiran kita demi tujuannya sendiri yang baik; tapi aku hampir-hampir menganggap dia sedang menggoda kita, menawarkan sesuatu yang seolah-olah ada dalam kekuasaannya, untuk memberikannya pada kita. Tapi aku tak mau mendengarkannya. Manusia Minas Tirith selalu memegang teguh perkataan mereka." Namun Boromir tidak mengatakan, apa yang ia kira ditawarkan Galadriel kepadanya.
Frodo juga tak mau bicara, meski Boromir mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan. "Dia sangat lama memandangmu, Pembawa Cincin," katanya.
"Ya," kata Frodo, "tapi apa pun yang timbul dalam pikiranku akan kusimpan dalam hati."
"Terserah!" kata Boromir. "Aku tidak begitu yakin akan wanita Peri itu dan maksud-maksudnya."
"Jangan bicara buruk tentang Lady Galadriel!" kata Aragorn keras. "Kau tidak tahu apa yang kaukatakan. Di dalam dirinya dan di negeri ini tidak ada kejahatan, kecuali dibawa ke sini oleh manusia. Maka orang itu sendiri perlu waspada! Tapi malam ini, untuk pertama kali sejak meninggalkan Rivendell, aku akan tidur tanpa rasa takut. Semoga tidurku lelap, dan untuk sementara kesedihanku terlupakan! Aku merasa letih jiwa-raga." ia membaringkan diri di ranjang, dan segera tertidur lama sekali.
Yang lain melakukan hal yang sama, dan tak ada suara atau mimpi mengganggu tidur mereka. Ketika bangun, mereka menemukan cahaya pagi sudah menerangi halaman di depan paviliun, air mancur memancar dan memercik berkilauan disinari matahari.

Mereka tinggal beberapa hari di Lothlorien, sejauh mereka bisa memperhatikan atau ingat. Selama mereka tinggal di sana, matahari bersinar terang, hujan lembut kadang-kadang turun, dan berlalu dengan meninggalkan hawa bersih dan segar. Udara sejuk dan lembut, seolah sedang awal musim semi, walau mereka merasakan keheningan musim dingin yang dalam dan khusyuk di sekitar mereka. Tampaknya kegiatan mereka hanyalah makan, minum, istirahat, dan berjalan-jalan di antara pepohonan; namun rasanya itu sudah cukup.
Mereka belum bertemu Lord Celeborn dan Lady Galadriel lagi, dan mereka jarang berbicara dengan bangsa Peri, karena hanya sedikit dari mereka yang kenal atau mau menggunakan bahasa Westron. Haldir sudah pamit pada mereka dan kembali ke pagar-pagar Utara, di mana kini dilakukan penjagaan ketat, sejak berita tentang Moria yang dibawa Rombongan. Legolas sering berada di antara kaum Galadhrim, dan setelah malam pertama ia tidak tidur bersama anggota rombongan yang lain, meski ia kembali untuk makan dan minum bersama mereka. Sering kali ia membawa Gimli bersamanya ketika berkeliaran di negeri itu, dan yang lain heran dengan perubahan ini.
Sekarang, saat anggota-anggota rombongan duduk atau berjalan bersama, mereka suka membicarakan Gandalf. Segala sesuatu yang telah dikenal dan dilihat masing-masing orang tentang Gandalf kini teringat jelas. Saat mereka mulai sembuh dari kepenatan dan kesakitan fisik, kesedihan atas kehilangan mereka justru semakin tajam. Sering mereka mendengar suara-suara Peri bernyanyi di dekat mereka, dan mereka tahu para Peri itu membuat lagu-lagu yang menangisi kejatuhan Gandalf, karena mereka menangkap namanya di antara kata-kata manis yang mereka kenal.
Mithrandir, Mithrandir para Peri bernyanyi, Oh, Pengembara Kelabu! Sebab dengan nama itulah mereka suka memanggilnya. Namun bila Legolas sedang bersama Rombongan, ia tak mau menerjemahkan lagu-lagu itu untuk mereka, dengan alasan bahwa ia tidak ahli dalam hal itu, dan bahwa baginya duka itu masih terlalu tajam, masih menimbulkan tangisan, dan belum bisa diutarakan dalam nyanyian.
Frodo yang pertama kali menuangkan sedikit rasa dukanya ke dalam kata-kata terputus-putus. Ia jarang tergerak untuk membuat lagu atau sajak, bahkan di Rivendell ia hanya mendengarkan dan tidak bernyanyi sendiri, meski ingatannya penuh dengan karangan orang lain yang sudah dibuat sebelum itu. Tapi kini, ketika ia duduk di samping air mancur di Lorien dan mendengar suara-suara Peri di sekitarnya, pikirannya mewujudkan diri ke dalam lagu yang baginya terasa indah; namun ketika ia mencoba mengulangnya di depan Sam, hanya potongan-potongan lagu itu yang tersisa, pudar seperti segenggam daun-daun layu.

Di senja kelabu ia muncul mendatangi
langkah kakinya terdengar di Bukit sana;
sebelum fajar ia pergi lagi
dalam perjalanan panjang tanpa berita.

Dari Belantara hingga pantai Barat,
dari tanah kosong utara hingga ke bukit selatan,
lewat sarang naga dan pintu yang tersembunyi rapat
dan hutan-hutan gelap tempat ia berjalan.

Dengan Kurcaci dan Hobbit, Peri dan Manusia,
dengan makhluk fana dan makhluk abadi,
dengan burung di dahan dan hewan di sarangnya,
ia berbicara dalam bahasa rahasia mereka sendiri.

Pedangnya mematikan, tangannya menyembuhkan,
punggungnya bungkuk menanggung beban;
suara terompet, kayu yang berkeriapan,
pengembara letih yang lama berjalan.

Orang bijak di kursinya yang mulia,
cepat marah, cepat pula tertawa;
Orang tua dengan topi usang dan lama;
bersandar pada tongkat berduri miliknya.

Berdiri sendirian di atas jembatan
api dan Bayangan dua-duanya ditaklukkan;
tonngkatnya patah di atas bebatuan,
di Khazad-dum tewas, akhir kebijakan

"Wah, kau akan mengalahkan Mr. Bilbo nanti!" kata Sam.
"Tidak, kurasa tidak," kata Frodo. "Tapi ini yang terbaik yang bisa kukarang."
"Well, Mr. Frodo, kalau kau mencoba lagi, kuharap kau menyebutkan sedikit tentang kembang apinya," kata Sam. "Kira-kira seperti ini:

Roket paling indah yang pernah ada:
memancar bagai bintang biru dan merah muda,
atau hujan emas setelah petir membahana
berjatuhan deras bagai hujan bunga.

Meski masih jauh sekali dari kenyataan."
"Tidak, biar kau saja yang mengarangnya, Sam. Atau Bilbo. Tapi... well, aku tak bisa membicarakannya lagi. Aku tidak tega memikirkan harus menyampaikan berita itu kepadanya."

Suatu sore, Frodo dan Sam sedang berjalan-jalan bersama di udara sejuk. Keduanya gelisah lagi. Mendadak Frodo merasa bayang-bayang perpisahan membebaninya: entah bagaimana, ia tahu saatnya sudah dekat ia harus meninggalkan Lothlorien.
"Bagaimana pendapatmu sekarang tentang bangsa Peri, Sam?" tanyanya. "Aku pernah menanyakan hal yang sama-rasanya sudah lama sekali; tapi kau sudah lebih banyak bertemu mereka sejak itu."
"Memang!" kata Sam. "Dan kupikir ada Peri dan 'Peri'. Mereka semua cukup bersifat Peri, tapi mereka tidak sama. Bangsa ini bukan pengembara atau tidak berumah, dan lebih mirip dengan bangsa kita: mereka seolah menyatu dengan tempat ini, bahkan melebihi kaum hobbit di Shire. Apakah mereka yang membangun negeri ini, atau negeri ini yang membangun mereka, sulit dikatakan, kalau kau paham maksudku. Di sini luar biasa tenang. Tak ada sesuatu yang terjadi, dan tak ada yang menginginkan sesuatu terjadi. Kalau ada sihir di dalamnya, maka sihirnya dalam sekali, sampai aku tak bisa memegangnya, ibaratnya begitu."
"Kita bisa melihat dan merasakannya di mana-mana," kata Frodo.
"Well," kata Sam, "kita tak bisa melihat ada orang yang melakukan sihir di sini. Tidak berupa kembang api yang biasa dipertunjukkan Gandalf. Aku heran kita tidak melihat Lord dan Lady selama beberapa hari ini. Kubayangkan sang Lady bisa melakukan hal-hal hebat, kalau dia mau. Aku sangat ingin melihat sihir Peri, Mr. Frodo!"
"Aku tidak. Aku puas. Dan aku tidak kehilangan kembang api Gandalf, tapi aku kehilangan alisnya yang tebal, wataknya yang pemarah, dan suaranya."
"Kau benar," kata Sam. "Dan jangan kira aku sedang mencari-cari kesalahan. Aku sering ingin melihat sedikit sihir, seperti diceritakan dalam dongeng-dongeng kuno, tapi aku belum pernah mendengar tentang negeri yang lebih indah daripada ini. Seperti berada di rumah, sekaligus sedang berlibur, kalau kau paham maksudku. Aku tak ingin pergi. Sekaligus, aku mulai merasa bahwa kalau kita harus meneruskan perjalanan, maka sebaiknya segera kita lakukan.
"Pekerjaan yang belum dim-ulai adalah yang butuh waktu paling lama untuk diselesaikan, begitulah kata ayahku yang sudah tua. Dan kupikir bangsa ini tak bisa membantu kita lebih banyak, dengan atau tanpa sihir. Kalau kita sudah meninggalkan negeri ini, kita akan semakin merasa kehilangan Gandalf, kukira."
"Aku khawatir itu benar sekali, Sam," kata Frodo. "Namun aku sangat berharap sebelum pergi kita masih akan melihat Lady Peri itu."
Tepat saat ia berbicara, mereka melihat, Lady Galadriel berjalan mendekat, seolah sebagai jawaban atas ucapan mereka tadi. Jangkung dan putih, dan cantik jelita, ia berjalan di bawah pepohonan. Ia tidak berbicara, tapi memanggil mereka dengan isyarat tangan.
Sambil berjalan keluar, ia menuntun mereka ke lereng selatan bukit Caras Galadhon, dan setelah melewati pagar hijau yang tinggi, mereka masuk ke sebuah kebun tertutup. Tak ada pohon tumbuh di sana, dan kebun itu hanya beratapkan langit. Bintang malam sudah muncul dan bersinar putih di atas hutan sebelah barat. Menuruni tangga panjang, Lady Galadriel masuk ke sebuah lembah hijau yang dalam, di mana sebuah sungai perak mengalir menggeluguk, bersumber dari air mancur di atas bukit. Di dasamya, di atas sebuah alas rendah yang diukir seperti pohon bercabang, terletak sebuah mangkuk perak, lebar dan dangkal, dan di sampingnya terdapat botol air dari perak.
Dengan air dari sungai, Galadriel mengisi mangkuk sampai penuh, dan bernapas ke atasnya. Ketika airnya sudah tenang lagi, ia berbicara. "Inilah Cermin Galadriel," katanya "Aku membawa kalian kemari agar kalian bisa melihat ke dalamnya, kalau mau."
Udara hening sekali, dan lembah itu gelap. Wanita Peri ini begitu jangkung dan pucat. "Apa yang akan kita cari, dan apa yang akan kita lihat?" tanya Frodo, kagum sekali.
"Banyak hal yang bisa kuperintahkan pada Cermin untuk diungkapkan," jawab Galadriel, "dan pada beberapa orang aku bisa memperlihatkan apa yang ingin mereka lihat. Tapi Cermin ini juga akan menunjukkan hal-hal yang tidak diminta, dan itu biasanya lebih aneh dan lebih bermanfaat daripada hal-hal yang ingin kita lihat. Apa yang akan kalian lihat, kalau Cermin ini dibiarkan bekerja bebas, aku tidak tahu. Karena dia menunjukkan peristiwa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Tapi yang mana yang dilihatnya, bahkan kaum bijak tidak selalu tahu. Apakah kau ingin melihat?"
Frodo tidak menjawab.
"Dan kau?" kata Galadriel kepada Sam. "Karena inilah yang disebut sihir oleh bangsamu, kukira; meski aku tak mengerti maksud mereka; sebab mereka juga menggunakan kata yang sama untuk tipu muslihat Musuh. Tapi ini, kalau kau suka, adalah sihir Galadriel. Bukankah kau mengatakan ingin melihat sihir bangsa Peri?"
"Memang," kata Sam, gemetar sedikit, antara ketakutan dan ingin tahu. "Aku mau mengintip sedikit, Lady, kalau boleh."
"Dan aku juga ingin melihat sekilas keadaan di rumah," katanya pada Frodo sambil lalu. "Rasanya sudah lama sekali aku pergi. Tapi di sana mungkin aku hanya akan melihat bintang-bintang, atau sesuatu yang tidak kumengerti."
"Mungkin juga," kata Galadriel dengan tawa lembut. "Mari, kau akan memandang dan melihat apa yang boleh kaulihat. Jangan sentuh airnya!"
Sam naik ke atas kaki alas dan mencondongkan badannya ke mangkuk. Airnya tampak keras dan gelap. Bintang-bintang tercermin di dalamnya.
"Hanya ada bintang-bintang, seperti sudah kuduga," kata Sam. Lalu ia terkesiap, karena bintang-bintang itu padam. Seolah sehelai selubung gelap sudah disingkap, Cermin itu menjadi kelabu, kemudian jernih. Ada matahari bersinar, dahan-dahan pohon melambai dan bergerak-gerak ditiup angin. Tapi sebelum Sam bisa memikirkan apa yang dilihatnya, cahayanya meredup; sekarang ia menyangka melihat Frodo dengan wajah pucat tertidur lelap di bawah batu karang besar yang gelap. Lalu ia seolah melihat dirinya sendiri, berjalan melewati selasar panjang yang gelap, mendaki sebuah tangga yang berputar tak henti-henti. Mendadak ia tahu bahwa ia sedang mencari-cari sesuatu, tapi entah apa. Seperti mimpi, pemandangannya beralih dan kembali, dan ia melihat pepohonan lagi. Tapi kali ini mereka tidak begitu rapat, dan ia bisa melihat apa yang sedang terjadi: mereka tidak melambai-lambai kena tiupan angin, melainkan berjatuhan ke tanah.
"Hai!" teriak Sam dengan marah. "Itu Ted Sandyman, menebangi pohon, padahal tidak seharusnya dia lakukan itu. Pohon-pohon itu tak boleh ditebang: itu jalan di luar Mill yang memayungi jalan ke Bywater. Kalau saja aku bisa melabrak Ted, akan kutonjok dia!"
Tapi sekarang Sam melihat bahwa Old Mill sudah lenyap, dan sebuah bangunan bata merah besar sedang dibangun di sana. Ada cerobong asap merah tinggi di dekatnya. Asap hitam tampak menyelubungi permukaan Cermin.
"Ada sihir jahat sedang bekerja di Shire," kata Sam. "Elrond tahu apa yang perlu dilakukan, ketika dia ingin mengirim kembali Mr. Merry." Mendadak Sam menjerit dan melompat mundur. "Aku tak bisa tetap di sini," katanya ribut. "Aku harus pulang. Mereka menggali Bagshot Row, dan ayahku yang malang berjalan turun dari Bukit dengan barang-barangnya di dalam gerobak. Aku harus pulang!"
"Kau tidak bisa pulang sendirian," kata Galadriel. "Kau tidak mau pulang tanpa majikanmu, sebelum kau melihat ke dalam Cermin, padahal kau tahu banyak peristiwa jahat mungkin terjadi di Shire. Ingatlah bahwa Cermin ini menunjukkan banyak hal, tapi tidak semua akan terjadi. Beberapa tidak pernah terjadi, bila mereka yang melihatnya tidak keluar dari jalan mereka untuk mencegah terjadinya. Cermin ini berbahaya sebagai panduan mengambil tindakan."
Sam duduk di tanah dan memegangi kepalanya dengan dua tangan. "Kalau saja aku tidak pernah datang ke sini, dan aku tidak mau lagi melihat sihir," katanya, lalu ia terdiam. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan suara tercekat, seolah melawan air mata. "Tidak, aku akan pulang melalui jalan panjang bersama Mr. Frodo, atau tidak sama sekali," katanya. "Tapi aku berharap suatu hari nanti aku akan pulang. Kalau apa yang kulihat memang benar, seseorang akan menerima balasannya!"

"Apakah kau sekarang ingin melihat, Frodo?" kata Lady Galadriel. "Kau tidak ingin melihat sihir Peri, dan sudah merasa cukup puas."
"Apakah kau menyarankan aku untuk melihat?" tanya Frodo.
"Tidak," kata Galadriel. "Aku tidak memberi nasihat untuk melakukan atau tidak melakukan. Aku bukan penasihat. Kau mungkin bisa belajar sesuatu dari Cermin ini, dan entah yang kaulihat itu baik atau buruk, pengetahuan itu mungkin menguntungkan, mungkin juga tidak. Melihat bisa baik, bisa juga berbahaya. Tapi, Frodo, kurasa kau punya cukup keberanian dan kebijakan untuk mencobanya, kalau tidak aku tidak akan membawamu kemari. Lakukan apa yang kauinginkan!"
"Aku akan melihat," kata Frodo, lalu ia naik ke atas alas dan membungkuk di atas air yang gelap. Cermin itu langsung jernih, dan ia melihat daratan saat senja. Pegunungan menjulang gelap di kejauhan, berlatar belakang langit pucat. Sebuah jalan panjang kelabu menjulur ke belakang, sampai menghilang dari pandangan. Dari jauh sebuah sosok berjalan perlahan melewati jalan itu, kabur dan kecil mula-mula, tapi semakin membesar dan jelas saat mendekat. Tiba-tiba Frodo menyadari bahwa sosok itu mengingatkannya pada Gandalf. Ia hampir memanggil nama penyihir itu, tapi kemudian ia sadar bahwa sosok itu bukan berpakaian kelabu, melainkan putih-warna putih yang bersinar redup di senja hari; dan di tangannya ada tongkat putih. Kepalanya menunduk, sehingga Frodo tak bisa melihat wajahnya. Tak lama kemudian, sosok itu membelok di tikungan jalan dan keluar dari pandangan Cermin. Frodo mulai ragu: apakah yang dilihatnya itu Gandalf pada salah satu perjalanannya di masa lalu, ataukah itu Saruman?
Pemandangan sekarang berganti. Singkat dan kecil, tapi jelas sekali ia menangkap sekilas Bilbo berjalan gelisah di kamarnya. Mejanya penuh kertas berserakan; hujan menerpa jendela-jendela.
Lalu berhenti sebentar, dan setelah itu banyak adegan cepat yang diketahui Frodo sebagai bagian dari sejarah besar yang melibatkan dirinya. Kabut tersingkap, dan ia melihat pemandangan yang belum pernah dilihatnya, tapi ia langsung tahu: Lautan. Hari menjadi gelap. Lautan itu mengamuk dalam badai dahsyat. Lalu di depan Matahari yang terbenam merah-darah ke dalam reruntuhan awan, ia melihat siluet hitam sebuah kapal tinggi dengan layar robek, datang dari Barat. Lalu sebuah sungai lebar mengalir melalui kota yang berpenduduk banyak. Kemudian sebuah benteng putih dengan tujuh menara. Kemudian sebuah kapal lagi dengan layar hitam, tapi kini sudah pagi lagi, air berombak berkilauan kena cahaya, dan sebuah bendera berlambang pohon putih bersinar di bawah matahari. Muncul asap, Seperti dari api dan pertempuran, dan sekali lagi matahari terbenam dengan warna merah manyala yang mengabur ke dalam kabut kelabu; dan ke dalam kabut, sebuah kapal kecil berlayar, berkelip-kelip dengan cahaya. Lalu ia menghilang, dan Frodo mengeluh, bersiap-siap mundur.
Mendadak Cermin itu menjadi gelap seluruhnya, seakan sebuah lubang telah membuka di dalam dunia penglihatan, dan Frodo menatap ke dalam kekosongan. Di dalam jurang hitam itu muncul sebuah Mata yang membesar perlahan, memenuhi hampir seluruh Cermin. Begitu mengerikan, sampai-sampai Frodo berdiri terpaku, tak mampu berteriak atau mengalihkan tatapan. Mata itu berpinggiran nyala api, tapi bolanya sendiri berlapis kaca, kuning seperti mata kucing, waspada dan tajam, dan celah hitam pupilnya membuka ke sebuah sumur, jendela ke ketiadaan.
Lalu Mata itu mulai menjelajah, mencari-cari ke sana kemari; dan Frodo tahu pasti, dengan perasaan ngeri, bahwa di antara banyak hal yang dicari Mata itu, dirinya adalah salah satunya. Tapi ia juga tahu Mata itu tak bisa melihatnya belum, sampai ia memang menghendakinya. Cincin yang menggantung di rantainya, melingkari lehernya, menjadi berat, lebih berat daripada batu besar, dan kepala Frodo tertarik ke bawah. Cermin itu seolah menjadi panas, dan untaian nap panas naik dari air. Frodo tergelincir ke depan.
"Jangan sentuh airnya!" kata Lady Galadriel lembut. Pemandangan itu mengabur, dan Frodo mendapati dirinya sedang melihat bintang-bintang sejuk berkelip di dalam mangkuk perak. Ia mundur sambil gemetaran dan memandang Galadriel.
"Aku tahu apa yang terakhir kaulihat," kata Galadriel. "Sebab pemandangan itu juga ada dalam benakku. Jangan takut! Tapi jangan kira bahwa hanya dengan bernyanyi di tengah-tengah pepohonan, atau dengan panah-panah ramping kaum Peri, negeri Lothlorien dirawat dan dipertahankan terhadap Musuh. Kukatakan padamu Frodo, bahwa sementara aku berbicara padamu, aku melihat sang Penguasa Kegelapan dan aku tahu jalan pikirannya, atau seluruh pikirannya yang berhubungan dengan bangsa Peri. Dia selalu mencari-cari untuk melihatku dan pikiranku. Tapi pintu masih tetap tertutup!"
Lady Galadriel mengangkat tangannya yang putih, dan mengulurkannya ke arah Timur dengan gerakan menolak dan membantah.
Earendil, Bintang Malam yang paling dicintai bangsa Peri, bersinar terang di atas. Begitu terang, sampai sosok wanita Peri itu menimbulkan bayangan samar-samar di tanah. Cahaya bintang menyinari sebentuk cincin di jarinya; cincin itu gemerlap seperti emas yang dipoles berlapiskan cahaya perak, dan sebutir permata putih di dalamnya berkelip, seolah Bintang Malam sudah turun untuk beristirahat di tangan Galadriel Frodo memandang cincin itu dengan kagum, karena tiba-tiba ia merasa memahaminya.
"Ya," kata Galadriel, bisa menebak pikiran Frodo. "Ini tak boleh dibicarakan, dan Elrond tak bisa mengungkapkannya. Tapi hal ini tak bisa disembunyikan terhadap Pembawa Cincin, dan orang yang sudah melihat Mata itu. Memang di sinilah salah satu dari Tiga Cincin itu berada, di negeri Lorien, pada jari Galadriel. Ini Nenya, Cincin Keteguhan Hati, dan akulah penguasanya.
"Musuh curiga, tapi dia tidak tahu-belum. Tidakkah kau mengerti sekarang, bahwa kedatanganmu kemari seperti langkah Kiamat bagi kami? Karena kalau kau gagal, maka kita semua akan terungkap di depan Musuh. Tapi kalau kau berhasil, kekuatan kami akan berkurang, Lothlorien akan memudar, dan gelombang pasang Waktu akan menyapunya. Kami harus pergi ke Barat, atau menyusut menjadi bangsa dusun di lembah dan gua, lambat laun melupakan dan dilupakan."
Frodo menundukkan kepalanya. "Dan apa yang kauharapkan?" katanya akhirnya.
"Bahwa apa yang harus terjadi, terjadilah," kata Lady Galadriel. "Kecintaan bangsa Peri kepada negeri dan pekerjaan mereka lebih dalam daripada kedalaman Lautan, dan penyesalan mereka tidak akan berakhir dan tak bisa sepenuhnya diredakan. Namun mereka lebih rela membuang semuanya daripada menyerah kepada Sauron: karena mereka sudah tahu, seperti apa dia. Kau tidak bertanggung jawab terhadap nasib Lothlorien, hanya terhadap pelaksanaan tugasmu sendiri. Meski begitu, aku berharap, seandainya ada manfaatnya, bahwa Cincin Utama tak pernah dibuat, atau hilang selamanya."
"Kau bijak dan berani, Lady Galadriel," kata Frodo. "Aku akan memberikan Cincin Utama ini padamu, kalau kau memintanya. Tugas ini terlalu besar untukku."
Galadriel tiba-tiba tertawa nyaring. "Lady Galadriel boleh bijak," katanya, "namun kini dia bertemu tandingannya dalam hal basa-basi. Dengan lembut kau membalas dendam karena ujian yang kuberikan pada hatimu pada pertemuan kita yang pertama. Kau mulai memandang dengan mata tajam. Aku tidak mengingkari bahwa hatiku sangat mendambakan untuk meminta apa yang kautawarkan. Selama bertahun-tahun aku merenungi apa yang akan kulakukan, seandainya Cincin Utama jatuh ke tanganku, dan lihatlah! Dia dibawa ke dalam jangkauanku. Kejahatan yang diciptakan dahulu kala, bekerja dengan banyak cara, entah Sauron berjaya atau jatuh. Bukankah akan menjadi perbuatan mulia untuk menghargai Cincin itu, kalau aku mengambilnya dengan paksa atau dengan menakut-nakuti tamuku?
"Kini kesempatan itu datang juga. Kau mau memberikan Cincin itu dengan sukarela padaku! Di tempat sang Penguasa Kegelapan, kau akan mendudukkan seorang Ratu. Dan wujudku tidak akan gelap
tetapi cantik dan mengerikan, seperti Pagi dan Malam! Indah seperti Samudra dan Matahari dan Salju di atas Ginning! Mengerikan seperti Badai dan Petir! Lebih kuat daripada landasan-landasan bumi. Semua akan mencintaiku dan merasa putus asa!"
Lady Galadriel mengangkat tangannya, dan dari cincin yang dikenakannya keluar cahaya besar yang hanya menerangi dirinya, sementara semua yang lain menjadi gelap. Ia berdiri di depan Frodo, dan sekarang tampak tinggi tak terhingga, cantik tak tertahankan, mengerikan dan patut dipuja. Lain ia menurunkan tangannya, cahaya itu memudar, dan mendadak ia tertawa lag*, dan lihat! Ia sudah menyusut: kembali menjadi seorang wanita Peri, berpakaian putih sederhana, dengan suara lembut dan sedih.
"Aku lulus ujian," katanya. "Aku akan menyusut dan pergi ke Barat, tapi aku tetap Galadriel."

Lama sekali mereka berdiri diam. Akhirnya Galadriel berbicara lagi. "Mari kita kembali!" katanya. "Besok pagi kau barns berangkat, karena sekarang kita sudah memilih, dan gelombang nasib sudah mengalir."
"Aku ingin minta satu hal sebelum kami per-'," kata Frodo, "suatu hal yang sering ingin kutanyakan pada Gandalf di Rivendell. Aku diizinkan memakai Cincin Utama: kenapa 'aku tak bisa melihat semua yang lain dan tahu pikiran mereka yang mengenakannya?"
"Kau belum mencoba," kata Galadriel. "Baru tiga kali kau memakai Cincin pada jarimu, sejak kau tahu benda apa yang kauwarisi itu. Jangan coba! Itu akan menghancurkanmu. Tidakkah Gandalf menceritakan padamu bahwa cincin-cincin itu memberikan kekuatan sesuai ukuran setiap pemiliknya? Sebelum kau bisa menggunakan kekuatan itu, kau barns menjadi jauh lebih kuat, dan melatih hasratmu untuk menguasai orang lain. Meski begitu, sebagai Pembawa Cincin dan sebagai orang yang sudah memakainya di jarinya, dan melihat apa yang tersembunyi, penglihatanmu sudah semakin tajam. Kau sudah melihat pikiranku jauh lebih jelas daripada banyak orang bijak. Kau melihat Mata dia yang memegang Tujuh Cincin dan Sembilan Cincin. Dan bukankah kau melihat dan mengenali cincin di jariku? Apakah kau melihat cincinku?" ia bertanya pada Sam.
"Tidak, Lady," jawab Sam. "Sejujurnya, aku heran apa yang kalian bicarakan. Aku melihat bintang melalui jarimu. Tapi maafkan aku, kupikir majikanku benar. Kuharap kau mau mengambil Cincin ini. Kau akan membuat semuanya jadi benar. Kau akan menghentikan mereka menggali rumah ayahku dan membuat dia terkatung-katung. Kau akan membuat orang-orang tertentu membayar kejahatan mereka."
"Memang," kata Lady Galadriel. "Begitulah pada mulanya. Tapi tidak akan berhenti sampai di situ, sayang sekali! Kita tidak akan membicarakannya lagi. Ayo kita pergi!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar