Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Minggu, 06 Februari 2011

Book 2 - Bab 9

SUNGAI BESAR

Frodo dibangunkan Sam. Ia menemukan dirinya terbaring, diselimuti dengan baik, di bawah pohon-pohon tinggi berkulit kelabu di sebuah pojok tenang, di hutan tebing barat Sungai Besar Anduin. Ia sudah tidur sepanjang malam, dan cahaya kelabu pagi tampak redup di antara dahan-dahan gundul. Gimli sedang sibuk dengan api kecil di dekatnya.
Mereka berangkat lagi sebelum pagi merebak. Bukan karena kebanyakan anggota Rombongan ingin terburu-buru pergi ke selatan: mereka puas bahwa keputusan yang harus mereka ambit, paling lambat saat mereka sampai ke Rauros dan Pulau Tindrock, masih beberapa hari di depan; dan mereka membiarkan Sungai itu membawa mereka dengan kecepatannya sendiri, tanpa ingin mempercepat perjalanan menuju bahaya yang ada di depan, arah mana pun yang mereka pilih pada akhirnya. Aragorn membiarkan mereka mengapung mengikuti aliran sungai sekehendak mereka, menghemat tenaga menghadapi keletihan yang akan datang. Tapi ia menuntut setidaknya mereka berangkat awal setup pagi, dan berjalan sampai larut sore; karena dalam hati ia merasa waktu sudah mendesak, dan ia khawatir sang Penguasa Kegelapan tidak berdiam diri ketika mereka berlama-lama di Lorien.
Meski demikian, mereka tidak melihat tanda-tanda ada musuh pada hari itu, atau keesokannya. Jam-jam menjemukan yang kelabu berlalu tanpa kejadian apa-apa. Ketika hari ketiga perjalanan mereka berlanjut, daratan lambat laun berubah: pohon-pohon semakin jarang, kemudian sama sekali hilang. Di tebing timur sebelah kiri, mereka melihat lereng-lereng panjang tak berbentuk, mendaki ke atas, menuju langit; cokelat dan layu tampaknya, seolah bekas diterjang api, tidak menyisakan sehelai pun kehijauan: suatu tanah kosong yang tidak ramah, tanpa satu pun pohon patah atau bebatuan kokoh untuk mengisi kekosongannya. Mereka telah tiba di Negeri-Negeri Cokelat yang terbentang luas dan kosong, antara Mirkwood Selatan dari bukit-bukit Emyn Mull. Entah wabah atau perang atau kejahatan apa dari Musuh yang telah menghancurkan wilayah itu, bahkan Aragorn pun tidak tahu.
Di sisi barat sebelah kiri, tanahnya juga tak berpohon, namun datar. Di banyak tempat, ada kehijauan dengan padang-padang rumput luas. Di sisi Sungai ini mereka melewati hutan-hutan alang-alang tinggi, begitu tinggi hingga menutupi seluruh pemandangan ke barat, ketika perahu-perahu kecil itu berdesir melewati tepi sungai yang bergetar. Bulu-bulu alang-alang yang layu membengkok dan bergoyang dalam udara dingin, mendesis perlahan dan sedih. Di sana-sini, melalui bukaan, Frodo bisa melihat sekilas padang-padang terhampar, jauh di belakangnya berdiri bukit-bukit di bawah matahari terbenam, dan jauh di batas penglihatan ada sebuah garis gelap, di mana berdiri berbaris punggung-punggung selatan Pegunungan Berkabut.
Tak ada tanda-tanda makhluk hidup yang bergerak, kecuali burung. Banyak sekali burung: unggas-unggas kecil bersiul dan berbunyi nyaring di tengah alang-alang, tapi jarang tampak. Sekali-dua kali para pengembara itu mendengar kepakan dan desiran sayap angsa. Ketika menengadah, mereka melihat sekawanan besar angsa terbang di angkasa.
"Angsa!" kata Sam. "Dan sangat besar pula!"
"Ya," kata Aragorn, "dan mereka angsa hitam."
"Betapa luas dan kosong, dan menyedihkan negeri ini!" kata Frodo. "Aku selalu membayangkan bahwa kalau kita berjalan ke selatan, suasana akan semakin hangat dan gembira, sampai musim dingin tertinggal di belakang untuk selamanya."
"Tapi kita belum berjalan jauh ke selatan," jawab Aragorn. "Sekarang masih musim dingin, dan kita jauh dari laut. Di sini dunia akan dingin, sampai musim semi merekah tiba-tiba, dan mungkin masih akan turun salju lagi. Jauh di Teluk Belfalas, ke mana Anduin mengalir, cuacanya hangat dan gembira-mungkin-atau bisa begitu kalau tidak ada Musuh. Tapi sekarang ini kita berada lebih dari enam puluh league, kukira, di sebelah selatan Wilayah Selatan Shire-mu, ratusan mil yang panjang di sana. Sekarang kau memandang ke arah barat-daya, melintasi padang utara Riddermark, Rohan, negeri para Penguasa Kuda. Tak lama lagi kita sampai ke muara Limlight yang mengalir dari Fangorn untuk bergabung dengan Sungai Besar. Itu batas utara Rohan; dan sejak dulu semua yang terletak antara Limlight
dan Pegunungan Putih menjadi milik bangsa Rohirrim. Negeri yang kaya dan nyaman, dan rumputnya tak tertandingi; tapi di masa kelam ini tak ada orang yang tinggal dekat Sungai atau sering naik kuda sampai ke pantainya. Anduin lebar sekali, tapi para Orc bisa menembakkan panah mereka jauh menyeberangi sungai; dan belakangan ini, katanya, mereka sudah berani menyeberangi` sungai, merampok ternak dan kuda Rohan."
Sam memandang dari tebing ke tebing dengan perasaan tidak enak. Sebelumnya, pepohonan kelihatan bermusuhan, seolah mereka mempunyai mata rahasia dan menyimpan bahaya tersembunyi; sekarang ia berharap pohon-pohon itu masih di sana. Ia merasa Rombongan mereka terlalu telanjang, mengapung dalam perahu-perahu terbuka di tengah negeri tanpa perlindungan, di sungai yang merupakan garis depan perang.
Pada satu-dua hari berikutnya, ketika mereka meneruskan perjalanan, terus mengarah ke selatan, perasaan tidak aman menghinggapi seluruh Rombongan. Sehari penuh mereka berdayung memacu perahu. Tebing-tebing lewat dengan cepat. Segera Sungai itu melebar dan jadi semakin dangkal; pantai-pantai panjang berbatu ada di sisi timur, dan ada beting-beting batu di dalam air, sehingga mereka harus mengemudi dengan hati-hati. Negeri-Negeri Cokelat menjelma menjadi perbukitan terbuka yang gersang, dari atasnya angin dingin dari Timur berembus. Di sisi lain, padang-padang menjelma menjadi bukit-bukit rendah, dengan rumput layu di tengah daratan yang penuh genangan air dan gerombolan rumput tebal. Frodo menggigil memikirkan halaman dan air mancur, hujan lembut dan jernih di Lothlorien. Hanya sedikit pembicaraan, dan tidak ada tawa di dalam perahu-perahu mereka. Setiap anggota Rombongan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Hati Legolas sedang berlari di bawah sinar bintang di malam musim panas, di suatu lembah utara di antara pepohonan beech; Gimli sedang memegang emas dalam pikirannya, mempertimbangkan pantaskah emas itu ditempa ke dalam wadah yang akan dipergunakan untuk menyimpan pemberian Lady Galadriel. Merry dan Pippin di perahu tengah merasa tidak nyaman, karena Boromir menggerutu sendirian, kadang-kadang menggigit kuku, seolah tengah diliputi keresahan atau keraguan, kadang-kadang mengangkat dayung dan memacu perahu sampai dekat ke perahu Aragorn. Pippin, yang duduk di haluan menghadap ke belakang, menangkap sinar aneh dalam mata Boromir, ketika ia menatap tajam ke Frodo. Sam sudah lama memutuskan bahwa, meski perahu mungkin tidak berbahaya seperti yang diyakininya selama ini, toh perahu itu jauh lebih tidak nyaman daripada yang dibayangkannya. Ia terkekang dan sengsara, tanpa kegiatan lain selain menatap dataran musim dingin merangkak lewat dan air kelabu di kedua sisinya. Bahkan ketika dayung harus digunakan, mereka tidak mempercayai Sam untuk mengayuh.
Ketika senja turun di hari keempat, Sam memandang ke belakang dari atas, kepala Frodo dan Aragorn dan perahu-perahu yang mengikuti; ia mengantuk dan sangat mendambakan tidur serta merasakan tanah di bawah jari kakinya. Mendadak sesuatu menarik perhatiannya: mula-mula ia memandangnya tanpa gairah, lain ia duduk tegak dan menyeka matanya; tapi ketika ia memandang lagi, "sesuatu" aku sudah tak terlihat.

Malam itu mereka bermalam di sebuah pulau kecil, dekat ke tebing barat. Sam berbaring diselubungi selimut di samping Frodo. "Aku mimpi aneh satu-dua jam sebelum kita berhenti, Mr. Frodo," katanya. "Atau mungkin itu bukan mimpi. Tapi pokoknya lucu."
"Well, apa itu?" kata Frodo, tahu bahwa Sam tidak akan diam sebelum menceritakannya, apa pun itu. "Aku tidak melihat atau memikirkan apa pun yang bisa membuatku tersenyum sejak kita meninggalkan Lothlorien."
"Bukan lucu semacam itu, Mr. Frodo. Ganjil. Aneh sekali, kalau aku bukan mimpi. Dan sebaiknya kau mendengarnya. Seperti ini: aku melihat batang kayu bermata!"
"Batang kayu memang benar," kata Frodo. "Banyak batang kayu di Sungai. Tapi tanpa mata!"
"Tidak bisa," kata Sam. "Justru mata aku yang membuat aku duduk tegak, bisa dikatakan begitu. Aku melihat sesuatu yang kukira batang kayu mengambang dalam cahaya remang-remang di belakang perahu Gimli; tapi aku tidak begitu memperhatikan. Kemudian tampaknya batang kayu itu menyusul kita perlahan-lahan. Dan itu aneh, karena kita semua mengambang bersama di atas aliran air. Persis saat itu aku melihat matanya: dua titik pucat, agak bersinar, pada benjolan di ujung terdekat batang itu. Lagi pula, ternyata itu bukan batang kayu, karena dia mempunyai kaki pengayuh, hampir seperti angsa, hanya kelihatan lebih besar, dan keluar-masuk ke dalam air.
"Saat itulah aku duduk tegak dan menyeka mataku, dengan maksud akan berteriak, kalau dia masih ada di sana setelah aku menghapus kantuk dari mataku. Sebab, benda apa pun itu, sekarang dia mulai mendekat dengan cepat dan sudah dekat sekali di belakang Gimli. Tapi apakah dua lampu itu melihat aku bergerak dan memandang, ataukah aku yang sadar kembali, aku tidak tahu. Ketika aku menengok lagi, dia sudah tidak di sana. Meski begitu, aku merasa melihat sekilas, dengan ekor mataku, begitu istilahnya, sesuatu yang gelap meluncur cepat ke bawah bayangan tebing. Tapi aku tak bisa melihat mata itu lagi.
"Aku berkata pada diriku sendiri, 'Mimpi lagi, Sam Gamgee.' Dan aku tidak berbicara lagi saat itu. Tapi sejak itu aku berpikir terus, dan sekarang aku tidak begitu yakin. Bagaimana menurutmu, Mr. Frodo?"
"Menurutku yang kaulihat itu tidak lebih dari sebatang kayu, juga senja dan kantuk dalam matamu, Sam," kata Frodo, "kalau Hit pertama kalinya mata aku terlihat. Tapi ini bukan pertama kalinya. Aku melihatnya di utara, sebelum kita sampai di Lorien. Dan aku melihat makhluk aneh yang mempunyai mata memanjat pohon malam itu. Haldir juga melihatnya. Dan ingatkah kau laporan para Peri yang mengejar gerombolan Orc?"
"Ah," kata Sam, "aku ingat; dan aku ingat lebih banyak lagi. Aku tidak suka pikiranku; tapi setelah memikirkan satu dan lain hal, termasuk cerita-cerita Mr. Bilbo dan lain-lain, rasanya aku bisa memberi nama pada makhluk itu, menebak-nebaknya. Sebuah nama yang jahat. Gollum, mungkin?"
"Ya, aku yang kukhawatirkan selama beberapa waktu belakangan ini," kata Frodo. "Sejak malam di atas flet. Kuduga dia bersembunyi di Moria, dan menangkap jejak kita di sana; tapi kuharap masa-masa kita di Lorien akan membuat dia kehilangan jejak lagi. Makhluk malang aku pasti bersembunyi di hutan dekat Silverlode, memperhatikan kita berangkat!"
"Kira-kira begitu," kata Sam. "Dan sebaiknya kita sedikit lebih waspada, atau kita akan merasakan jari-jari menjijikkan aku di leher kita suatu hari nanti, kalau kita bisa bangun untuk merasakan sesuatu. Dan itulah tujuan pembicaraanku. Tak perlu mengganggu Strider atau yang lain malam ini. Aku akan berjaga. Aku bisa tidur besok, karena aku cuma menjadi muatan di perahu ini, bisa dibilang begitu."
"Aku bisa bilang begitu," kata Frodo, "kau adalah 'muatan bermata'. Kau boleh berjaga, kalau kau berjanji akan membangunkan aku menjelang pagi, kalau tidak ada yang terjadi sebelumnya."

Di pagi buta Frodo terjaga dari tidur yang dalam dan gelap, dan menyadari bahwa Sam membangunkannya. "Sayang sekali harus membangunkanmu," bisik Sam, "tapi kau sudah berpesan begitu. Tidak ada yang bisa diceritakan, atau tidak banyak. Rasanya aku mendengar suara cemplungan dan mendengus-dengus, beberapa waktu lain; tapi banyak bunyi aneh seperti itu terdengar di dekat sungai pada malam hari."
Sam berbaring, dan Frodo bangkit duduk, meringkuk dalam selimutnya, melawan rasa kantuknya. Bermenit-menit atau berjam-jam lewat dengan lamban, dan tidak ada yang terjadi. Frodo baru saja menyerah pada godaan untuk berbaring lagi ketika suatu sosok gelap, hampir tidak kelihatan, mengambang dekat ke salah satu perahu yang berlabuh. Tangan panjang keputih-putihan terlihat samar-samar ketika sosok itu keluar dari air dan memegang bibir perahu; dua mata seperti lampu yang bersinar dingin memandang ke dalam perahu, kemudian mata itu naik dan memandang Frodo di atas pulau. Jaraknya tidak lebih dari dua meter atau lebih, dan Frodo mendengar bunyi desis perlahan napas yang ditarik. Frodo berdiri, menghunus Sting dari sarungnya, dan menghadap ke kedua mata itu. Langsung sinar mata itu padam. Terdengar bunyi desis lagi dan cemplungan, dan sosok kayu gelap itu meluncur cepat dalam air, menghilang di malam gelap. Aragorn bergerak dalam tidurnya, membalikkan tubuh, dan bangkit duduk.
"Ada apa?" bisiknya, melompat berdiri dan mendekati Frodo. "Aku merasakan sesuatu dalam tidurku. Kenapa kau menghunus pedangmu?"
"Gollum," jawab Frodo. "Atau setidaknya dia, kuduga."
"Ah!" kata Aragorn. "Kalau begitu, kau juga tahu tentang perampok kecil kita, bukan? Dia terus berjalan di belakang kita di Moria, sampai ke Nimrodel. Sejak kita naik perahu, dia berbaring di atas batang kayu dan mengayuh dengan tangan dan kakinya. Aku mencoba menangkapnya sekali-dua kali di malam hari, tapi dia lebih lihai daripada rubah, dan sama licinnya seperti ikan. Aku berharap perjalanan lewat sungai akan mengalahkannya, tapi dia makhluk air yang terlalu cerdik.
"Besok kita terpaksa mencoba meluncur lebih cepat. Sekarang kau berbaring saja, dan aku akan berjaga sepanjang sisa malam ini. Aku berharap bisa menangkap makhluk malang itu. Kita bisa memanfaatkan dia. Tapi kalau tidak bisa, kita harus mencoba melepaskan diri darinya. Dia berbahaya sekali. Selain dia sendiri bisa membunuh di malam hari, dia bisa membuat musuh yang sedang berkeliaran jadi tahu jejak kita."

Malam itu berlalu tanpa Gollum menunjukkan bayangannya lagi. Setelah itu Rombongan tersebut terus waspada, tapi mereka tidak melihat Gollum lagi sepanjang perjalanan itu. Kalau ia masih mengikuti mereka, maka ia sangat hati-hati dan cerdik. Atas permintaan Aragorn, sekarang mereka mendayung cukup lama, dan tebing-tebing lewat dengan cepat. Tapi mereka hanya sedikit melihat daratan, karena kebanyakan mereka berjalan di malam dan senja hari, beristirahat di pa-1 hari, dan bersembunyi sebisa mungkin, sesuai keadaan daratan. Dengan cara ini, waktu berlalu tanpa kejadian apa pun sampai hari ketujuh.
Cuaca masih mendung dan kelabu, an-in bertiup dari Timur, tapi ketika senja menjelma menjadi malam, langit di barat mulai jernih, dan kolam-kolam cahaya redup, berwarna kuning dan hijau pucat, tersingkap di bawah kerumunan awan kelabu. Di sana kulit putih Bulan baru terlihat bersinar di danau-danau nun jauh. Sam memandangnya dan mengerutkan ails.
Keesokan harinya, daratan di kedua sisi sungai mulai berubah cepat. Tebing-tebing mulai mendaki dan jadi berbatu-batu. Tak lama kemudian, mereka melewati daratan berbukit batu karang, di kedua pantai ada lereng-lereng curam yang terkubur di bawah semak-semak berduri dan semak buah sloe, kusut dengan bramble dan tanaman merambat. Di belakangnya berdiri batu-batu karang rendah yang hancur, dan cerobong-cerobong batu kelabu yang termakan cuaca dan gelap karena dipenuhi tanaman ivy; di belakangnya lagi menjulang punggung-punggung bukit bermahkotakan cemara yang menggeliat-geliat tertiup angin. Mereka sudah mendekati daratan berbukit kelabu. Emyn Muil, perluasan Belantara sebelah selatan.
Banyak burung di sekitar batu karang dan cerobong batu, dan sepanjang hari kawanan burung berputar-putar jauh tinggi di angkasa, hitam berlatar belakang langit pucat. Ketika mereka berbaring di perkemahan hari itu, Aragorn memperhatikan burung-burung itu dengan ragu, bertanya dalam hati, apakah Gollum sudah berbuat kenakalan, dan kabar tentang perjalanan mereka sekarang sedang bergerak di belantara. Ketika matahari sedang terbenam, dan Rombongan mereka bersiap-siap berangkat lagi, ia melihat sebuah bercak, gelap di depan cahaya yang memudar: seekor burung besar tinggi dan jauh sekali, kadang berputar-putar, kadang terbang terus perlahan ke selatan.
"Apa itu, Legolas?" tanya Aragorn, menunjuk ke langit utara. "Apakah itu seekor dang, seperti yang kuduga?"
"Ya," kata Legolas. "Itu elang, elang pemburu. Pertanda apa itu kira-kira? Dia jauh dari pegunungan."
"Kita tidak akan berangkat sampai gelap sama sekali," kata Aragorn.

Malam kedelapan perjalanan mereka. Sunyi dan tidak berangin; angin timur yang kelabu sudah berlalu. Bulan sabit tipis sudah muncul lebih awal saat matahari terbenam, tapi langit di atas jernih, dan meski jauh di selatan ada kerumunan awan yang masih bersinar redup, di Barat bintang-bintang bercahaya terang.
"Ayo!" kata Aragorn. "Kita akan memberanikan diri lagi melakukan perjalanan malam hari. Kita sampai ke wilayah Sungai yang tidak begitu kukenal, sebab aku belum pernah melakukan perjalanan melalui air di wilayah ini, antara sini dengan air terjun Sarn Gebir. Tapi bila perkiraanku benar, air terjun itu masih bermil-mil jaraknya dari sini. Tapi masih ada berbagai tempat berbahaya sebelum kita tiba di sana: batu-batu dan pulau berbatu di sungai. Kita harus waspada dan mencoba mendayung tidak terlalu cepat."
Sam di perahu pelopor ditugasi sebagai pengawas. Ia berbaring sambil mengintai ke dalam kegelapan. Malam kelam, tapi bintang-bintang di atas sangat terang, cahayanya tercermin di permukaan Sungai. Sudah dekat tengah malam, dan mereka sudah mengambang untuk beberapa saat, hampir tidak menggunakan dayung, ketika mendadak Sam berteriak. Hanya beberapa meter di depan, sosok-sosok gelap muncul di sungai, dan ia mendengar putaran air berpacu. Ada aliran deras yang membelok ke kiri, ke pantai timur yang salurannya mulus. Ketika mereka tersapu ke samping, para pengembara itu bisa melihat, dekat sekali sekarang, buih-buih pucat Sungai memukul batu-batu tajam yang menjorok jauh ke tengah, seperti pinggiran bergerigi. Perahu-perahu semuanya berkerumun.
"Hai, Aragorn!" teriak Boromir, ketika perahunya menabrak perahu pelopor. "Ini gila! Kita tak bisa menentang Air Terjun di malam hari! Tapi tidak ada perahu yang bisa bertahan di Sarn Gebir, baik siang maupun malam."
"Kembali, kembali!" teriak Aragorn. "Putar! Putar, kalau bisa!" ia mendorong dayungnya ke dalam air, berusaha menahan perahu dan memutarnya.
"Aku salah hitung," katanya pada Frodo. "Aku tidak tahu kita sudah berjalan sejauh ini: Anduin mengalir lebih kencang daripada perkiraanku. Sarn Gebir pasti sudah dekat sekali."

Dengan upaya keras, mereka mengendalikan perahu dan memutarnya perlahan; pada mulanya mereka hanya bisa melaju lambat sekali melawan arus, dan selama itu mereka terbawa semakin dekat ke tebing timur. Kini tebing itu menjulang gelap dan mengancam dalam kegelapan malam.
"Dayung bersama-sama, dayung!" teriak Boromir. "Dayung! Kalau tidak, kita akan terempas ke tebing." Bahkan saat Boromir masih bicara, Frodo sudah merasa lunas perahu menggesek bebatuan di bawah.
Tepat pada saat itu ada bunyi dentingan busur: beberapa panah berdesing lewat di atas mereka, dan beberapa jatuh di antara mereka. Satu menghantam Frodo di antara bahunya, dan ia bergerak maju sambil berteriak, melepaskan dayungnya, tapi panah itu jatuh terpental, ditahan oleh rompi logamnya yang tersembunyi. Satu yang lain menembus kerudung Aragorn: dan yang ketiga menancap pada pinggiran lambung perahu, dekat tangan Merry. Sam merasa bisa melihat sekilas sosok-sosok hitam berlarian ke sana kemari di atas tumpukan papan panjang yang terletak di bawah pantai timur. Tampaknya mereka dekat sekali.
"Yrch!" kata Legolas, memakai bahasanya sendiri.
"Orc!" teriak Gimli.
"Gara-gara Gollum, aku yakin," kata Sam pada Frodo. "Dan tempat yang manis pula untuk dipilih. Sungai ini seolah bertekad mengantar kita langsung ke tangan mereka!"
Mereka semua bersandar ke depan sambil mendayung dengan giat: bahkan Sam ikut mengayuh. Setiap saat mereka menunggu gigitan panah berbulu hitam. Banyak panah mendesing di atas kepala, atau menghunjam masuk ke air di dekat mereka; tapi tidak ada lagi yang kena sasaran. Malam gelap, tapi tidak terlalu gelap untuk mata-malam para Orc, dan di bawah cahaya bintang, mereka pasti menjadi sasaran empuk bagi musuh yang cerdik, kecuali kalau jubah-jubah kelabu dari Lorien dan kayu kelabu dari perahu-perahu buatan Peri bisa mengalahkan kejahatan para pemanah dari Mordor.
Kayuhan demi kayuhan mereka terus mendayung. Dalam kegelapan, sulit untuk yakin apakah mereka memang bergerak; tapi lambat laun putaran air semakin berkurang, dan bayangan tebing timur memudar kembali ke dalam kegelapan malam. Akhirnya, sejauh mereka bisa menduga, mereka sudah sampai ke tengah aliran sungai lagi dan perahu mereka sudah diputar balik cukup jauh di atas bebatuan yang menonjol. Lalu, sambil setengah berputar, mereka mendorong perahu-perahu mereka sekuat tenaga menuju pantai barat. Di bawah bayangan semak-semak yang condong di atas permukaan air, mereka berhenti dan menarik napas.
Legolas meletakkan dayungnya dan mengambil busur yang dibawanya dari Lorien. Lalu ia melompat ke darat dan mendaki beberapa langkah ke atas tebing. Sambil menarik busur dan memasang panah, ia membalikkan badan, mengintai kembali ke arah Sungai, ke dalam kegelapan. Di seberang sungai terdengar teriakan-teriakan nyaring, tapi tidak terlihat apa-apa.
Frodo memandang Legolas yang berdiri tinggi di atasnya, menatap ke dalam malam kelam, mencari sasaran untuk dipanah. Kepalanya gelap, bermahkotakan bintang-bintang putih tajam yang bersinar di kolam-kolam hitam langit di belakangnya. Tapi kini awan-awan besar naik dan meluncur dari Selatan, mengirimkan pengawal-pengawal gelap ke padang-padang berbintang. Rasa cemas mendadak menyerang Rombongan.
"Elbereth Gilthoniel!" keluh Legolas sambil menengadah. Ketika ia mengangkat kepala ke langit, sebuah bentuk gelap seperti awan tapi bukan awan, karena ia bergerak jauh lebih cepat-muncul dari kehitaman di Selatan, dan melaju cepat mendekati Rombongan, menutupi semua cahaya ketika semakin mendekat. Tak lama kemudian, ia tampak sebagai makhluk besar bersayap, lebih hitam daripada sumur di malam hari. Suara-suara garang naik menyambutnya dari seberang sungai. Rasa dingin tiba-tiba mengaliri Frodo dan mencengkeram jantungnya; rasa dingin mematikan, seperti ingatan pada luka lama di pundaknya. Ia berjongkok, seolah hendak bersembunyi.
Mendadak busur besar dari Lorien berdesing. Dengan nyaring sebatang anak panah lepas dari busur Legolas. Frodo mendongakkan kepala. Hampir tepat di atasnya, bentuk bersayap itu melayang. Ada bunyi teriakan parau ketika ia jatuh dari udara, menghilang ke dalam kegelapan pantai timur. Langit kembali bersih. Ada keributan banyak suara jauh sekali, menyumpah dan meraung dalam kegelapan, kemudian sepi. Baik panah maupun teriakan tak muncul lagi dari timur malam itu.

Sesudah beberapa saat, Aragorn memimpin perahu-perahu kembali ke arah hulu. Mereka mereka-reka jalan sepanjang pinggir sungai, sampai jarak tertentu, hingga mereka menemukan sebuah teluk kecil yang dangkal. Beberapa pohon rendah tumbuh dekat ke pinggir air, dan di belakangnya mendaki sebuah tebing berbatu yang curam. Di sini Rombongan memutuskan tinggal dan menunggu fajar: tak ada gunanya mencoba maju lebih jauh malam itu. Mereka tidak menyiapkan tempat berkemah dan tidak menyalakan api, tapi berbaring meringkuk di dalam perahu-perahu yang ditambatkan saling berdekatan.
"Terpujilah busur Galadriel, serta tangan dan mata Legolas!" kata Gimli sambil mengunyah kue lembas. "Itu tembakan hebat dalam gelap, kawanku!"
"Tapi siapa yang tahu apa yang dikenainya?"
"Aku tidak tahu," kata Gimli. "Tapi aku gembira bahwa bayangan itu tidak semakin dekat. Aku sama sekali tidak menyukainya. Terlalu mengingatkanku pada bayangan di Moria-bayangan Balrog," ia mengakhiri perkataannya sambil berbisik.
"Itu bukan Balrog," kata Frodo, masih menggigil karena kedinginan yang menimpanya. "Makhluk ini lebih dingin. Kukira dia adalah..." Lalu ia berhenti dan diam.
"Kaupikir dia apa?" tanya Boromir bergairah, mencondongkan tubuhnya keluar dari perahu, seolah mencoba menangkap sekilas wajah Frodo.
"Kukira... tidak, aku tidak akan mengatakannya," jawab Frodo. "Apa pun itu, kejatuhannya sudah membuat cemas musuh kita."
"Kelihatannya begitu," kata Aragorn. "Tapi di mana mereka, dan berapa banyak, dan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, kita tidak tahu. Malam ini kita semua pasti tak bisa tidur! Kegelapan menyembunyikan kita saat ini. Tapi apa yang akan ditunjukkan pagi hari, siapa yang tahu? Senjata-senjata harus dalam jangkauan!"

Sam duduk mengetuk-ngetuk pangkal pedangnya, seolah ia sedang menghitung dengan jarinya, dan melihat ke langit. "Ini aneh sekali," ia bergumam. "Bulan itu sama, entah dilihat di Shire maupun di Belantara, atau seharusnya begitu. Tapi mungkin dia sudah keluar dari jadwalnya, atau aku sama sekali salah hitung. Kau ingat, Mr. Frodo, Bulan sedan memudar ketika kita berbaring di atas flet di pohon: itu seminggu sebelum bulan purnama, kupikir. Dan kita sudah seminggu dalam perjalanan tadi malam, lalu muncul Bulan Baru setipis rautan kuku, seolah kita sama sekali tidak pernah tin-gal di negeri Peri.
"Well, aku bisa ingat tiga malam di sana dengan pasti, dan aku rasanya ingat beberapa hal lagi, tapi aku berani bersumpah itu tidak sampai satu bulan penuh. Seolah-olah waktu di dalam negeri itu tak bisa dihitung!"
"Dan mungkin memang begitulah keadaannya," kata Frodo. "Di negeri itu, kita berada di suatu masa yang di tempat lain sudah lama berlalu. Menurutku, baru sejak Silverlode membawa kita kembali ke Anduin kita kembali ke waktu yang mengalir melalui negeri makhluk hidup, sampai ke Laut Besar. Dan aku tidak ingat ada bulan di Caras Galadhon, baik bulan baru maupun lama. Hanya ada bintang-bintang di malam hari, dan matahari di siang hari."
Legolas bergerak di dalam perahunya. "Tidak, waktu tak pernah berlambat-lambat," katanya, "tapi perubahan dan pertumbuhan tidak selalu sama pada semua benda dan tempat. Untuk para Peri, dunia bergerak, dan dia bergerak sangat cepat sekaligus sangat lambat. Cepat, karena mereka sendiri hanya sedikit berubah, sementara semua yang lain berpacu lewat: sangat menyedihkan bagi mereka. Lambat, karena mereka tidak menghitung tahun-tahun yang berlalu, tidak untuk diri mereka sendiri. Musim-musim yang berlalu hanya sekadar riak-riak yang selalu diulang dalam aliran yang amat sangat panjang. Meski begitu, di bawah Matahari semua hal harus menemui akhirnya suatu saat nanti."
"Tapi 'akhir' itu berjalan lamban sekali di Lorien," kata Frodo. "Kekuasaan Lady Galadriel menahannya. Jam-jam bermuatan penuh, meski kelihatan pendek, di Caras Galadhon, di mana Galadriel memakai Cincin Peri."
"Seharusnya hal itu tidak diungkapkan di luar Lorien, juga tidak kepadaku," kata Aragorn. "Jangan bicarakan lagi! Tapi 'begitulah, Sam: di negeri itu kau kehilangan hitungan. Di sana waktu berlalu sangat cepat untuk kita, seperti untuk bangsa Peri. Bulan tua berlalu, bulan baru membesar dan memudar di dunia luar, sementara kita berlama-lama di sana. Dan tadi malam sebuah bulan baru datang lagi. Muslin dingin sudah hampir sirna. Waktu mengalir ke musim semi dengan hanya sedikit harapan."

Malam itu berlalu sepi sekali. Tidak ada lagi suara atau teriakan yang terdengar di seberang sungai. Para pengembara itu meringkuk dalam perahu masing-masing, merasakan perubahan cuaca. Udara menjadi panas dan hening sekali di bawah awan-awan besar yang lembap, yang datang mengalir-dari Selatan dan lautan yang jauh. Bunyi desiran Sungai di atas bebatuan air terjun tampaknya semakin keras dan dekat. Ranting-ranting pohon di atas mereka mulai menetes.
Ketika pagi merekah, dunia sekitar mereka menjadi lembut dan sedih. Perlahan-lahan fajar tumbuh menjadi cahaya pucat, membaur dan tidak berbayang-bayang. Kabut menggantung di alas Sungai, dan kabut putih menyapu pantai; tebing di seberang tidak tampak.
"Aku benci kabut," kata Sam, "tapi yang ini kelihatannya menguntungkan. Mungkin sekarang kita bisa lolos tanpa goblin-goblin terkutuk itu melihat kita."
"Mungkin begitu," kata Aragorn. "Tapi akan sulit menemukan jalan, kecuali kabut tersingkap nanti. Dan kita harus menemukan jalan, kalau mau melewati Sarn Gebir dan mencapai Emyn Mull."
"Aku tidak mengerti, kenapa kita harus melewati Air Terjun atau mengikuti Sungai lebih jauh lagi," kata Boromir. "Kalau Emyn Mull ada di depan kita, kita bisa meninggalkan perahu-perahu tiram ini, dan berjalan ke arah barat dan selatan, sampai tiba di Entwash dan masuk ke negeriku sendiri."
"Itu bisa, kalau kita menuju Minas Tirith," kata Aragorn, "tapi itu belum disepakati. Dan perjalanan ke arah sana bisa lebih berbahaya daripada kedengarannya. Lembah Entwash datar dan penuh tanah basah, dan kabut di sana merupakan bahaya mematikan bagi yang berjalan kaki dan membawa muatan. Aku tidak akan meninggalkan perahu kita sampai benar-benar perlu. Sungai Jill setidaknya suatu jalan yang jelas."
"Tapi Musuh menguasai tebing timur," protes Boromir. "Kalaupun kau bisa melewati Gerbang-Gerbang Argonath dan datang tanpa cedera ke Tindrock, apa yang akan kaulakukan kemudian? Melompat dari air terjun dan mendarat di rawa-rawa?"
"Tidak!" jawab Aragorn. "Lebih baik kita mengangkat perahu kita melalui jalan kuno ke kaki Rauros, dan di sana masuk ke air lagi. Tidakkah kau tahu, Boromir, atau kau memilih untuk melupakan Tan--a Utara, dan takhta tinggi di atas Amon Hen, yang dibangun di masa raja-raja agung? Setidaknya aku ingin berdiri di tempat tinggi itu lagi, sebelum menentukan arahku selanjutnya. Di sana, mungkin, kita akan melihat suatu pertanda yang bisa membimbing kita."
Boromir bertahan lama melawan pilihan itu; tapi ketika sudah jelas bahwa Frodo akan mengikuti Aragorn ke mana pun ia pergi, Borornir menyerah. "Bukan watak Orang Minas Tirith untuk meninggalkan kawan-kawannya ketika mereka membutuhkan dia," katanya, "dan kalian akan membutuhkan kekuatanku, agar bisa mencapai Tindrock. Ke pulau tinggi itu aku akan pergi, tapi tidak lebih jauh lagi. Di sana aku akan pulang ke rumahku, sendirian kalau pertolonganku tidak membuahkan imbalan didampingi kawan."

Hari semakin siang, dan kabut sudah agak tersingkap. Diputuskan bahwa Aragorn dan Legolas segera maju menelusuri pantai, sementara yang lain tetap tingQal di dekat perahu. Aragorn berharap akan menemukan jalan yang bisa dilalui sambil menggotong perahu dan muatan ke bagian sungai yang lebih tenang di luar Jeram.
"Perahu-perahu Peri mungkin tidak akan tenggelam," kata Aragorn, "tapi itu bukan berarti kita bisa melewati Sam Gebir hidup-hidup. Belum ada yang pernah melakukan itu. Tidak ada jalan yang dibangun Orang-Orang Gondor di wilayah ini, karena bahkan di masa kejayaan mereka, wilayah mereka tidak sampai mencapai Anduin di luar Emyn Mull; tapi ada jalan angkutan di suatu tempat di pantai barat, kalau aku bisa menemukannya. Mestinya belum hancur, karena perahu-perahu ringan dulu biasa pergi dari Belantara ke Osgiliath, dan masih begitu sampai beberapa tahun yang lalu, ketika Orc dari Mordor mulai berkembang biak."
"Jarang sekali dalam hidupku ada perahu yang keluar dari Utara, dan para Orc berkeliaran di pantai timur," kata Boromir. "Kalau kau maju terus, bahaya akan tumbuh bersama setiap mil, meski kau menemukan jalan."
"Bahaya ada di depan, di setiap jalan ke selatan," kata Aragorn. "Tunggulah kami satu hari. Kalau kami tidak kembali dalam waktu itu, kau akan tahu bahwa kami ditimpa malapetaka. Maka kau harus menunjuk pemimpin baru dan mengikutinya sebaik mungkin."
Dengan hati berat Frodo melihat Aragorn dan Legolas mendaki tebing terjal dan hilang dalam kabut; tapi ketakutannya terbukti tidak berdasar. Hanya dua atau tiga jam berlalu, dan baru tengah hari, ketika sosok-sosok kabur kedua penjelajah itu muncul kembali.
"Semua beres," kata Aragorn ketika menuruni tebing. "Ada jalan setapak, yang menuju sebuah dermaga yang masih bisa digunakan. Jaraknya tidak jauh: puncak Jeram hanya setengah mil di bawah kita, dan hanya satu mil lebih sedikit panjangnya. Tidak jauh dari sana, sungai menjadi mulus dan jernih lagi, meski deras alirannya. Pekerjaan terberat adalah membawa perahu-perahu dan barang bawaan kita ke jalan angkutan yang lama. Kami sudah menemukannya, tapi cukup jauh dari tepi sungai sini, dan membentang di bawah lambung dinding batu karang, sekitar dua ratus meter atau lebih dari pantai. Kami tidak menemukan"letak dermaga utara. Kalau masih ada, mungkin sudah kita lewati tadi malam. Kita bisa bersusah payah melawan arus, dan mungkin tidak melihatnya karena kabut. Aku khawatir kita harus meninggalkan Sungai sekarang, dan menuju jalan angkutan sedapat mungkin dari sini."
"Itu tidak akan mudah, meski seandainya kita semua Manusia," kata Boromir.
"Tapi kita akan mencoba apa adanya," kata Aragorn.
"Ya, kita akan mencobanya," kata Gimli. "Langkah kaki Manusia akan ketinggalan di jalan yang kasar, sementara Kurcaci bisa terus berjalan, meski bebannya dua kali berat badannya sendiri, Master Boromir!"
Memang pekerjaan itu ternyata sangat berat, tapi akhirnya selesai juga. Muatan dikeluarkan dari dalam perahu dan dibawa ke puncak tebing, di mana ada tempat datar. Lalu perahu-perahu ditarik keluar dari air dan diangkat ke atas. Perahu-perahu itu tidak seberat yang mereka sangka. Dari pohon apa yang tumbuh di negeri Peri mereka dibuat, bahkan Legolas pun tidak tahu; kayunya alot, tapi ringan sekali. Merry dan Pippin bisa menggotong perahu mereka dengan mudah berdua saja, sepanjang tanah datar. Meski begitu, butuh kekuatan dua Manusia untuk mengangkat dan menyeretnya melewati daratan yang sekarang dilewati Rombongan. Tanah itu menanjak menjauh dari Sungai, tanah kosong penuh bergelimpangan batu-batu kapur kelabu, dengan lubang-lubang tersembunyi yang diselubungi rumput-rumput tinggi dan semak; ada semak bramble dan lembah-lembah kecil terjal; di sana-sini ada kolam-kolam berlumpur yang menampung air dari teras-teras yang lebih jauh di pedalaman.
Satu demi satu Boromir dan Aragorn menggotong perahu-perahu, sementara yang lain bekerja keras dan melangkah susah payah di belakang mereka, dengan barang-barang bawaan masing-masing. Akhirnya semuanya selesai dipindahkan dan diletakkan di jalan. Tanpa banyak rintangan, kecuali dari ranting-ranting yang menggeletak dan bebatuan yang terjatuh, mereka bergerak maju bersama-sama. Kabut masih menggantung tebal di atas dinding batu karang yang remuk. Dan di sebelah kiri mereka kabut menyelimuti Sungai: mereka bisa mendengarnya mendesir dan berbuih melewati ujung-ujung dan geligi tajam Sam Gebir, tapi mereka tak bisa melihatnya. Dua kali mereka melakukan perjalanan itu, sebelum semua terbawa dengan aman ke dermaga selatan.
Di sana jalan membelok kembali ke tepi sungai, menjulur turun dengan lembut ke pinggir kolam kecil yang dangkal. Tampaknya seolah digali di tebing sungai, bukan dengan tangan, melainkan oleh air yang berputar-putar turun dari Sam Gebir, menghantam batu karang rendah yang menjorok sedikit ke tengah. Di luarnya pantai mendaki menjadi baru karang kelabu, dan tak ada jalan lagi untuk pejalan kaki.
Siang yang pendek sudah lewat, dan senja remang-remang berawan mulai mengepung. Mereka duduk di tepi air, mendengarkan desiran dan deruman kacau Jeram yang tersembunyi di dalam kabut; mereka letih dan mengantuk, hati mereka sama muramnya seperti hari yang sedang berlalu.
"Nah, di sinilah kita, dan di sini kita harus bermalam sekali lagi," kata Boromir. "Kita perlu tidur. Walau seandainya Aragorn berniat melewati Gerbang-Gerbang Argonath di malam hari, kita semua sudah terlalu lelah kecuali, pasti, Kurcaci kita yang kokoh."
Gimli tidak menjawab: ia sudah mengangguk-angguk mengantuk sambil duduk.
"Mari kita istirahat sebanyak mungkin sekarang," kata Aragorn. "Besok kita harus berjalan lagi saat hari terang. Kecuali cuaca berubah kembali lagi dan mengkhianati kita, kita punya kesempatan bagus untuk menyelinap pergi, tanpa terlihat oleh mata mana pun di pantai timur. Tapi malam ini dua orang sekaligus harus berjaga, setiap kali giliran bergantian: tiga jam istirahat dan satu jam jaga."

Tidak ada yang terjadi malam itu, selain gerimis singkat saw jam sebelum fajar. Kabut sudah mulai menipis. Mereka berjalan sedekat mungkin ke tepi barat, dan mereka bisa melihat bentuk-bentuk kabur batu-batu karang rendah yang menjulang semakin tinggi dinding-dinding gelap dengan kaki di dalam sungai yang mengalir kencang. Tengah hari awan-awan semakin rendah, dan hujan mulai turun deras.. Mereka menebarkan penutup kulit ke atas perahu-perahu, agar tidak kebanjiran dan bisa terus mengambang; hanya sedikit yang bisa terlihat di depan atau di sekitar mereka melalui tirai kelabu yang berjatuhan.
Ternyata hujan tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan langit di atas semakin terang, kemudian tiba-tiba awan-awan pecah, pinggirannya yang basah mengalir ke arah utara Sungai. Kabut sudah hilang. Di depan mereka terhampar sebuah jurang lebar, dengan tebing berbatu besar yang ditumbuhi beberapa pohon pada beting dan retakannya. Bentangan sungai semakin sempit-dan Sungai mengalir semakin kencang. Sekarang mereka meluncur cepat, tanpa harapan bisa berhenti atau memutar, apa pun yang akan mereka temui di depan. Di atas mereka, ada jalur langit biru pucat, di sekeliling mereka Sungai yang gelap penuh bayangan, dan di depan mereka berdiri bukit-bukit Emyn Muil yang hitam, menutupi matahari, dan tak terlihat satu pun bukaan.
Frodo, yang mengintai ke depan, melihat di kejauhan dua batu karang besar mendekat: seperti puncak besar atau tiang batu tampaknya. Tinggi dan curam, serta mengancam, berdiri di kedua sisi sungai.
Ada celah sempit di antaranya, dan Sungai menyapu perahu-perahu ke arah celah tersebut.
"Lihatlah Argonath, Pilar-Pilar Raja-Raja!" teriak Aragorn. "Kita akan segera melewatinya. Atur perahu-perahu berbaris, jaga jarak masing-masing sejauh mungkin! Tetap di tengah sungai!"
Ketika Frodo terbawa mendekati mereka, kedua pilar besar itu menjulang menyambutnya, seperti menara. Di matanya, mereka tampak seperti raksasa. Sosok-sosok besar kelabu yang diam, namun mengancam. Lalu ia melihat bahwa mereka memang dibentuk dan dihias: keterampilan dan kekuatan masa lain telah mengukir mereka, dan bentuk mereka masih seperti pada saat mereka dipahat, bertahan terhadap sinar matahari dan hujan selama perjalanan tahun-tahun yang terlupakan. Di atas landasan besar yang dibangun dalam air, berdiri dua raja dari batu: masih dengan mata kabur dan alis bercelah mereka mengerutkan kening ke arah Utara. Tangan kiri masing-masing terangkat, dengan telapak tangan menghadap keluar, dalam isyarat memperingatkan; di masing-masing tangan kanan ada kapak; di atas masing-masing kepala ada topi baja dan mahkota yang runtuh. Kekuatan hebat dan keagungan masih tercermin dalam sosok mereka, pengawas-pengawas bisu dari kerajaan yang sudah lama hilang. Rasa kagum bercampur takut meliputi Frodo, dan ia gemetar, memejamkan mata dan tidak berani menengadah ketika perahu semakin dekat. Bahkan Boromir pun menundukkan kepala ketika perahu-perahu melewati patung-patung itu, tampak lemah dan tak berarti, seperti dedaunan kecil di bawah bayangan pengawas-pengawas Numenor. Begitulah, mereka masuk ke dalam jurang gelap Gerbang.
Batu-batu karang yang mengerikan mendaki terjal sampai ketinggian yang tak bisa diduga di kedua sisi. Jauh di sana tampak langit redup. Air sungai hitam menderum dan bergema, dan angin berteriak berembus di atas mereka. Frodo yang berlutut mendengar Sam bergumam dan mengerang di depan, "Tempat macam apa ini! Tempat mengerikan! Biarkan aku keluar dari perahu ini, dan aku tidak akan pernah membasahi kakiku dalam genangan air lagi, apalagi sungai!"
"Jangan cemas!" kata sebuah suara asing di belakangnya. Frodo menoleh dan melihat Strider, tapi bukan Strider; karena si Penjaga Hutan yang tangguh dimakan cuaca sudah tak ada lagi. Sebagai gantinya, di buritan duduk Aragorn putra Arathorn, gagah dan tegak, mengemudikan perahu dengan kayuhan andal; kerudungnya tersingkap ke belakang, rambutnya yang gelap berkibar ditiup angin, dan matanya bersinar-sinar: sosok seorang raja yang kembali dari pengasingan kenegerinya sendiri.
"Jangan takut!" katanya. "Sudah lama aku berhasrat ingin melihat patung-patung Isildur dan Anarion, raja-rajaku dulu. Di bawah bayangan mereka, Elessar, putra batu-Peri dari Arathorn, dari Rumah Valandil putra Isildur, pewaris Elendil, tidak takut pada apa pun!"
Lalu sinar matanya meredup, dan ia berbicara pada dirinya sendiri, "Seandainya Gandalf ada di sini! Hatiku rindu pada Minas Anor dan tembok-tembok kotaku sendiri! Tapi ke mana sekarang aku akan pergi?"
Jurang itu panjang dan gelap, penuh dengan bunyi angin dan air yang mengalir deras serta batuan yang bergema. Jurang itu agak melengkung ke barat, sehingga pada mulanya semuanya gelap di depan; tapi, tak lama kemudian, Frodo melihat celah tinggi bercahaya di depannya, yang semakin besar. Dengan cepat ia mendekat, dan mendadak perahu-perahu meluncur melewatinya, keluar ke dalam cahaya lebar jernih.

Matahari, yang sudah jauh dari tengah hari, bersinar di langit yang berangin. Air yang tertahan menyebar ke dalam telaga panjang lonjong, Nen Hithoel yang pucat, dipagari bukit-bukit curam yang sisi-sisinya dipenuhi pepohonan, tapi kepala mereka gundul, bersinar dingin dalam cahaya matahari. Di ujung jauh sebelah selatan menjulang tiga puncak. Yang tengah berdiri lebih maju daripada yang lain, memisahkan dari mereka sebuah pulau di tengahnya, dan di sekelilingnya Sungai melontarkan lengan-lengannya yang pucat berkilauan. Jauh tapi keras, dibawa angin, terdengar bunyi menderum seperti bunyi guruh yang terdengar dari jauh.
"Lihatlah Tol Brandir!" kata Aragorn sambil menunjuk ke selatan, ke puncak yang tinggi. "Di sebelah kiri berdiri Amon Lhaw, dan di sebelah kanan adalah Amon Hen, Bukit-Bukit Pendengaran dan Penglihatan. Di masa raja-raja agung, di sana ada tempat-tempat duduk tinggi, dan di sana pengawas berjaga. Tapi konon" tak pernah ada kaki manusia yang menginjak Tol Brandir. Sebelum kegelapan malam tiba, kita akan sampai ke sana. Aku mendengar bunyi abadi Rauros memanggil."
Rombongan itu sekarang beristirahat sejenak, meluncur ke selatan, mengikuti arus yang mengalir di tengah telaga. Mereka makan sedikit, lalu mengambil dayung dan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan. Sisi-sisi bukit di barat masuk ke dalam bayangan, Matahari menjadi bundar dan merah. Di sana-sini bintang redup mengintip. Ketiga puncak itu menjulang tinggi di depan mereka, gelap di senja hari. Rauros menderum keras. Malam sudah menyelubungi air yang mengalir ketika para pengembara itu akhirnya sampai ke bawah bayangan bukit-bukit.
Hari kesepuluh perjalanan mereka berakhir sudah. Belantara ada di belakang. Mereka tak bisa pergi lebih jauh tanpa memilih antara jalan timur dan jalan barat. Tahap terakhir Pencarian ada di depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar