PERPECAHAN
Aragorn menuntun mereka ke cabang kanan Sungai. Di sini, di sisi baratnya, di bawah bayangan Tol Brandir, padang rumput hijau menghampar sampai ke tepi sungai dari kaki Amon Hen. Di belakangnya muncul lereng-lereng pertama bukit yang mendaki lembut, ditumbuhi pepohonan, dan pepohonan berbaris terus ke arah barat, sepanjang pantai sungai yang melengkung. Mata air kecil mengucur ke bawah, membasahi rumput.
"Di sini kita akan istirahat malam ini," kata Aragorn. "Ini halaman Parth Galen: tempat indah di musim panas zaman dulu. Mudah-mudahan kejahatan belum sampai ke sini."
Mereka menaikkan perahu-perahu ke tebing hijau, dan di sampingnya mereka menyiapkan perkemahan. Mereka berjaga bergantian, tapi tidak melihat maupun mendengar tanda-tanda kehadiran musuh. Seandainya Gollum berhasil mengikuti mereka, ia tetap tidak tampak dan tidak terdengar. Meski begitu, ketika malam semakin larut, Aragorn menjadi resah, banyak bergerak dalam tidurnya, dan sering terbangun. Pagi-pagi buta ia bangun dan mendatangi Frodo yang sedang giliran berjaga.
"Kenapa kau bangun?" tanya Frodo. "Bukan giliranmu jaga."
"Aku tidak tahu," jawab Aragorn, "tapi sebuah bayangan dan ancaman berkembang dalam tidurku. Sebaiknya kau menghunus pedangmu."
"Mengapa?" tanya Frodo. "Apa ada musuh di dekat kita?"
"Coba kita lihat, apa yang ditunjukkan Sting," jawab Aragorn. Frodo menghunus pedang Peri-nya dari sarungnya. Dengan cemas ia melihat tepi-tepinya bersinar redup dalam gelap. "Orc!" katanya.
"Tidak begitu dekat, tapi cukup dekat, rupanya."
"Sudah kukhawatirkan," kata Aragorn. "Tapi mungkin mereka bukan di sisi Sungai sebelah sini. Cahaya Sting redup, dan mungkin juga hanya menunjukkan mata-mata Mordor yang berkeliaran di lereng Amon Lhaw. Aku belum pernah mendengar tentang Orc di atas Amon Hen. Tapi siapa tahu apa yang bisa terjadi di masa buruk seperti sekarang, setelah Minas Tirith tidak lagi mengamankan jalan melalui Anduin. Kita harus berjalan hati-hati sekarang."
Pagi hari datang seperti api dan asap. Di Timur, kerumunan hitam awan-awan rendah menggantung bagaikan asap kebakaran besar. Matahari yang terbit menerangi awan-awan dari bawah dengan lidah api merah suram; tapi tak lama kemudian matahari naik ke atas mereka, ke langit yang jernih. Puncak Tol Brandir berlapis emas. Frodo memandang ke timur dan menatap pulau tinggi itu. Sisi-sisinya muncul dengan curam dari dalam air yang mengalir. Jauh di atas batu karang tinggi terdapat lereng-lereng yang didaki pepohonan, kepala demi kepala tersusun ke atas; dan di atasnya lagi wajah-wajah bebatuan kelabu yang tak bisa ditundukkan, dimahkotai puncak menara dari batu. Banyak burung terbang berputar-putar di atasnya, tapi tak ada tanda-tanda makhluk hidup lain.
Ketika mereka sudah makan, Aragorn memanggil semuanya berkumpul. "Hari ini tiba juga akhirnya," katanya. "Hari untuk membuat pilihan yang sudah lama kita tunda. Apa yang akan terjadi dengan Rombongan kita yang sudah berjalan bersama sejauh ini? Apakah kita akan pergi ke barat bersama Boromir dan menyongsong perang di Gondor, atau pergi ke timur, menuju Ketakutan dan Bayangan; ataukah kita akan memutuskan persekutuan dan pergi sesuai pilihan masing-masing? Apa pun yang akan kita lakukan, harus secepatnya dilakukan. Kita tak bisa berhenti lama di sini. Musuh ada di pantai timur, kita tahu itu; tapi aku cemas bahwa Orc sudah berada di sisi sungai sebelah sini."
Keheningan lama berlangsung, tak ada yang berbicara atau bergerak.
"Well, Frodo," kata Aragorn akhirnya. "Kurasa beban berada di pundakmu. Kaulah Pembawa Cincin yang ditunjuk Dewan Penasihat. Hanya kau yang bisa memilih jalanmu sendiri. Dalam hal ini, aku tak bisa memberimu saran. Aku bukan Gandalf, dan meski aku mencoba memerankan bagiannya, aku tidak tahu rencana atau harapan apa yang dimilikinya saat ini, seandainya ada. Tampaknya kalaupun dia ada di sini, kemungkinan terbesar pilihan tetap tergantung padamu. Begitulah nasibmu."
Frodo tidak langsung menjawab. Kemudian ia berbicara dengan lambat, "Aku tahu sekarang dibutuhkan kecepatan, tapi aku masih belum bisa memilih. Beban ini berat sekali. Berilah aku satu jam lagi, dan aku akan berbicara. Biarkan aku sendirian!"
Aragorn memandangnya dengan perasaan iba. "Baiklah, Frodo putra Drogo," katanya. "Kau akan mendapat satu jam untuk sendirian. Kami akan tetap di sini untuk beberapa saat. Tapi jangan pergi jauh atau di luar jarak panggil."
Frodo duduk sebentar dengan kepala tertunduk. Sam yang memperhatikan majikannya dengan saksama, menggelengkan kepala dan menggerutu, "Sudah jelas seperti tongkat lembing, tapi tidak baik kalau Sam Gamgee angkat bicara sekarang ini."
Tak lama kemudian, Frodo bangkit berdiri dan berjalan menjauh; Sam melihat bahwa sementara yang lain menahan diri dan tidak memandangnya, mata Boromir mengikuti Frodo dengan tajam, sampai ia hilang dari pandangan, di pepohonan di kaki Amon Hen.
Frodo, yang mula-mula mengembara tanpa tujuan di hutan, menyadari kakinya mengantarnya menuju lereng bukit. Ia sampai ke sebuah jalan setapak, reruntuhan yang semakin menyusut dari sebuah jalan di zaman dulu. Di tempat-tempat terjal sudah dipahat tangga batu, tapi kini mereka sudah retak dan usang, dan terbelah oleh akar-akar pepohonan. Untuk beberapa saat Frodo mendaki, tak peduli ke arah mana ia berjalan, sampai ia tiba di sebuah tempat berumput. Pohon-pohon rowan tumbuh di sekitarnya, dan di tengahnya ada batu lebar dan datar. Halaman dataran tinggi kecil itu terbuka di sisi Timur, dan sekarang terisi matahari pagi. Frodo berhenti dan memandang ke atas Sungai, jauh di bawahnya, ke arah Tol Brandir dan burung-burung yang terbang berputar-putar di jurang udara besar, di antara dirinya dengan pulau yang tak pernah diinjak. Bunyi Rauros menderum hebat, berbaur dengan dentuman berdenyut keras.
Frodo duduk di atas batu itu, bertopang dagu dengan dua tangan, sambil menatap ke arah timur, tapi tatapannya nyaris kosong. Semua yang sudah terjadi sejak Bilbo meninggalkan Shire melintas dalam benaknya, dan ia mengingat kembali serta merenungi semua yang bisa diingatnya dari perkataan Gandalf. Waktu berlalu, dan ia masih belum bisa memilih.
Mendadak ia tersentak dari renungannya: ada perasaan aneh bahwa sesuatu tengah mengintai di belakangnya, bahwa ada mata yang tidak ramah menatapnya. Ia melompat berdiri dan membalikkan badan; tapi dengan heran ia melihat hanya ada Boromir yang tersenyum ramah.
"Aku mengkhawatirkan kau, Frodo," katanya, melangkah maju. "Kalau Aragorn benar dan Orc sudah dekat, maka tidak boleh ada di antara kita yang berjalan sendirian, terutama kau: banyak sekali yang tergantung padamu. Di mana banyak orang, pembicaraan menjadi debat tanpa akhir. Tapi dua bersama mungkin bisa menemukan kebijakan."
"Kau baik hati," jawab Frodo. "Tapi kurasa tidak ada pembicaraan yang bisa membantuku. Karena aku tahu apa yang harus kulakukan, tapi aku takut melakukannya, Boromir. Takut."
Boromir berdiri diam. Rauros menderum tak henti-henti. Angin berbisik di dahan-dahan pohon. Frodo menggigil.
Tiba-tiba Boromir mendekat dan duduk di sampingnya. "Apa kau yakin kau tidak menderita sia-sia?" katanya. "Aku ingin menolongmu. Kau butuh saran dalam pilihanmu yang sulit. Tidakkah kau mau menerima saranku?"
"Rasanya aku sudah tahu saran apa yang akan kauberikan padaku, Boromir," kata Frodo. "Dan saranmu akan kedengaran bijak, kalau saja hatiku tidak memperingatkan lain."
"Peringatan? Peringatan terhadap apa?" kata Boromir tajam.
"Terhadap penundaan. Terhadap jalan yang tampak lebih mudah. Terhadap penolakan beban yang diberikan padaku. Terhadap... well, kalau perlu diungkapkan, terhadap kepercayaan atas kekuatan dan kebenaran Manusia."
"Meski begitu, kekuatan itu sudah lama melindungimu jauh di sana, di negerimu yang kecil, meski kau tidak tahu."
"Aku tidak meragukan keberanian bangsamu. Tapi dunia sedang berubah. Tembok-tembok Minas Tirith mungkin kelihatan kokoh, tapi tidak cukup kokoh. Kalau mereka jatuh, lalu bagaimana?"
"Kita semua akan jatuh dalam pertempuran gagah berani. Tapi masih ada harapan bahwa mereka tidak akan gagal."
"Tidak ada harapan selama Cincin itu masih utuh," kata Frodo.
"Ah! Cincin!" kata Boromir, matanya berbinar. "Cincin! Bukankah suatu takdir aneh, bahwa kita harus menderita begitu banyak ketakutan dan keraguan, hanya demi benda kecil semacam itu? Benda sekecil itu! Dan aku hanya melihatnya sekilas di Rumah Elrond. Apakah aku bisa melihatnya lagi?"
Frodo menengadah. Hatinya tiba-tiba menjadi dingin. Ia menangkap sinar aneh dalam mata Boromir, meski wajahnya masih ramah dan bersahabat. "Sebaiknya dia tetap tersembunyi," jawab Frodo.
"Terserah. Aku tidak peduli," kata Boromir. "Tapi apakah aku tidak boleh hanya membicarakannya? Karena kau selalu hanya memikirkan kekuatannya di tangan Musuh: tentang kegunaannya yang jahat, bukan yang baik. Dunia sedang berubah, katamu. Minas Tirith akan jatuh, kalau Cincin itu tetap utuh. Tapi mengapa? Memang akan begitu kalau Cincin ada di tangan Musuh. Tapi bagaimana kalau Cincin itu ada di tangan kita?"
"Bukankah kau juga ikut Rapat Akbar?" jawab Frodo. "Kita tak bisa menggunakan Cincin itu, dan apa yang dilakukan dengannya berubah menjadi jahat."
Boromir bangkit berdiri dan mondar-mandir tak sabar. "Begitu terus kau bicara," serunya. "Gandalf, Elrond-semua orang ini sudah mengajarimu berkata begitu. Mungkin untuk diri mereka sendiri mereka benar. Peri-peri dan separuh Peri serta penyihir mungkin akan bernasib jelek. Tapi sering aku meragukan, apakah mereka memang bijak atau sebenarnya hanya tidak berani. Tapi biarlah masing-masing apa adanya. Manusia berhati sejati, mereka tidak akan curang. Kami dari Minas Tirith setia selama tahun-tahun panjang pencobaan. Kami tidak menginginkan kekuatan raja penyihir, kami hanya ingin kekuatan untuk membela diri sendiri, kekuatan untuk perkara yang adil. Dan lihatlah! Dalam keadaan membutuhkan, kesempatan memunculkan Cincin Kekuasaan. Itu suatu hadiah, kataku; hadiah kepada musuh-musuh Mordor. Gila kalau tidak memanfaatkannya, memanfaatkan kekuatan Musuh untuk melawannya. Yang berani, yang kejam, hanya mereka yang akan memperoleh kemenangan. Apa yang tidak bisa dilakukan pejuang di saat seperti ini, seorang pemimpin besar? Apa yang tidak bisa dilakukan Aragorn? Atau kalau dia menolak, mengapa bukan Boromir? Cincin itu akan memberiku kekuatan Perintah. Aku akan mengusir pasukan-pasukan Mordor, dan semua manusia akan datang berduyun-duyun ke panji-panjiku!"
Boromir melangkah mondar-mandir, berbicara semakin keras. Seolah ia hampir lupa pada Frodo, sementara pembicaraannya melantur tentang tembok dan senjata, dan pengerahan manusia; ia menjabarkan rencana-rencana untuk persekutuan besar serta kemenangan hebat yang akan terwujud; ia akan menjatuhkan Mordor, dan ia sendiri menjadi raja yang hebat, baik, dan bijak. Mendadak ia berhenti dan mengibaskan tangannya.
"Dan mereka menyuruh kita membuang Cincin itu!" serunya. "Aku tidak mengatakan menghancacrkannya. Itu mungkin baik, kalau akal sehat bisa menunjukkan manfaatnya melakukan hal itu. Tapi tidak. Rencana satu-satunya yang disarankan pada kita adalah membiarkanmu masuk membabi buta ke dalam Mordor, dan menawarkan Musuh semua kesempatan untuk mengambilnya kembali. Bodoh!"
"Pasti kau melihat itu, kawanku," kata Boromir, tiba-tiba berbicara pada Frodo lagi. "Katamu kau takut. Kalau memang begitu, orang yang paling berani perlu memaafkanmu. Tapi bukankah sebenarnya akal sehatmu yang melawan?" "Tidak, aku takut," kata Frodo. "Hanya takut. Tapi aku senang mendengarmu berbicara terus terang. Sekarang pikiranku sudah terang."
"Kalau begitu, kau akan datang ke Minas Tirith untuk beberapa waktu?" Boromir mendesak. "Kotaku sekarang tidak jauh lagi; dan dari sana jaraknya tinggal sedikit, daripada dari sini ke Mordor. Kita sudah lama berada di belantara, dan kau perlu berita tentang Musuh sebelum bergerak. Ikutlah bersamaku, Frodo," kata Boromir. "Kau perlu istirahat sebelum meneruskan perjalanan, kalau kau harus pergi." ia meletakkan tangannya ke atas pundak hobbit itu dengan sikap bersahabat; tapi Frodo merasa tangan itu gemetar dengan gairah yang ditahan. Ia mundur cepat, dan menatap dengan cemas Manusia tinggi itu, hampir dua kali tingginya dan berlipat ganda tandingannya dalam kekuatan.
"Mengapa kau begitu tidak ramah?" kata Boromir. "Aku manusia sejati, bukan maling atau pemburu. Aku membutuhkan Cincin-mu: kau tahu itu sekarang; tapi aku bersumpah aku tidak berhasrat menyimpannya. Setidaknya bisakah kau membiarkan aku mencoba rencanaku? Pinjamkan aku Cincin itu!"
"Tidak! Tidak!" teriak Frodo. "Dewan Penasihat menyuruhku menjadi pembawanya."
"Karena kebodohan kita sendiri Musuh akan mengalahkan kita," seru Boromir. "Itu membuatku marah! Bodoh! Bodoh dan keras kepala! Sengaja lari menyongsong kematian dan menghancurkan tujuan kita. Kalau ada makhluk hidup yang berhak atas Cincin itu, maka manusia Numenor-lah yang berhak, bukan hobbit. Cincin itu bukan milikmu, kecuali karena suatu kebetulan yang buruk. Mestinya bisa jadi milikku. Seharusnya jadi milikku. Berikan padaku!"
Frodo tidak menjawab, tapi bergerak menjauh sampai mereka dibatasi oleh sebuah batu datar besar. "Ayo, ayo, kawanku!" kata Boromir dengan suara lebih lembut. "Kenapa tidak kaulepaskan saja? Kenapa tidak kaubebaskan dirimu dari keraguan dan ketakutan? Kau bisa menyalahkan aku, kalau mau. Kau bisa bilang aku terlalu kuat, dan bahwa aku mengambil Cincin itu dengan paksa. Karena aku memang terlalu kuat untukmu, hobbit," teriak Boromir; mendadak ia meloncati batu itu dan melompat ke arah Frodo. Wajahnya yang elok dan menyenangkan berubah menyeramkan; api berkobar di matanya.
Frodo mengelak ke samping, sekali lagi membuat batu berada di antara mereka. Hanya satu hal yang bisa dilakukannya: dengan gemetar ia mengeluarkan Cincin pada rantainya, dan dengan cepat mengalungkannya ke jarinya, tepat ketika Boromir melompat lagi ke arahnya. Boromir menarik napas kaget, memandang heran beberapa saat lamanya, kemudian berlari ke sana kemari, mencari di mana-mana di antara bebatuan dan pepohonan.
"Penipu jelek!" teriaknya. "Aku akan menangkapmu! Sekarang aku tahu pikiranmu. Kau akan membawa Cincin itu ke Sauron dan menjual kita semua. Kau hanya menunggu kesempatan untuk meninggalkan kami dalam kesulitan. Terkutuklah kau dan semua hobbit. Biar kalian mati dalam kegelapan!" Lalu ia tersandung sebuah batu, dan jatuh tertelungkup. Sejenak ia diam, seolah dihantam oleh kutukannya sendiri; lalu tiba-tiba ia menangis.
Ia bangkit dan menyapukan tangan ke matanya, menyeka air mata. "Apa yang sudah kukatakan?" serunya. "Apa yang sudah kulakukan? Frodo, Frodo!" ia memanggil. "Kembalilah! Aku sempat lupa diri tadi, tapi itu sudah berlalu. Kembalilah!"
Tidak ada jawaban. Frodo bahkan tidak mendengar teriakan Boromir. Ia sudah jauh sekali, melompat membabi buta, mendaki jalan sampai ke puncak bukit. Teror dan kesedihan menggetarkan hatinya, dalam benaknya ia melihat wajah Boromir yang garang dan gila, dan matanya yang membara.
Tak lama kemudian, ia muncul sendirian di puncak Amon Hen, dan berhenti, terengah-engah. Seolah melalui kabut, ia melihat sebuah lingkaran datar yang luas, dilapisi ubin-ubin besar dan dikelilingi tembok rendah yang remuk; dan di tengah, dibangun di atas empat tiang berukir, ada takhta tinggi yang bisa dicapai melalui tangga. Ia naik dan duduk di kursi kuno itu, merasa seperti anak tersesat yang memanjat naik ke takhta raja pegunungan.
Mulanya ia hanya bisa melihat sedikit. Ia seolah berada di dunia kabut, di mana hanya ada bayang-bayang: Cincin itu masih dipakainya. Lalu di sana-sini kabut tersingkap, dan ia melihat banyak pemandangan: kecil dan jelas, seolah ada di bawah matanya, di atas sebuah meja, tap) sekaligus begitu jauh. Tak ada suara, hanya citra-citra hidup yang sangat terang. Dunia seolah menyusut dan terdiam. Ia duduk di Kursi Penglihatan, di Amon Hen, Bukit Mata Orang-Orang Numenor. Ke arah timur ia memandang, ke daratan luas yang belum dipetakan, padang-padang tak bernama, dan hutan-rimba yang belum dijelajahi. Ke Utara ia memandang, dan Sungai Besar menjulur seperti pita di bawahnya, Pegunungan Berkabut berdiri kecil dan keras, seperti gigi yang retak. Ke arah Barat ia menatap, dan melihat padang-padang rumput luas di Rohan; dan Orthanc, puncak menara Isengard, seperti paku hitam. Ke Selatan ia memandang, dan di bawah kakinya Sungai Besar melingkar seperti ombak tumbang dan meloncat ke atas air terjun Rauros, masuk ke dalam sumur berbuih; pelangi bercahaya bermain-main di atas uapnya. Dan ia melihat Ethir Anduin, delta besar Sungai, ribuan burung laut terbang berputar-putar seperti debu putih di bawah sinar matahari, dan di bawah mereka lautan hijau dan perak, beriak-riak tak putus-putus.
Tapi ke mana pun ia memandang, ia melihat tanda-tanda perang. Pegunungan Berkabut merangkak seperti gundukan semut: para Orc keluar dari ribuan lubang. Di bawah cabang-cabang pohon di Mirkwood ada perselisihan maut antara Peri dan Manusia dan hewan-hewan buruk. Negeri bangsa Beorning terbakar; awan menyelimuti Moria; asap naik di perbatasan Lorien.
Pasukan berkuda berderap di rumput Rohan; serigala-serigala keluar dari Isengard. Dari pelabuhan-pelabuhan Harad, kapal-kapal muncul di lautan; dan dari Timur, Manusia bergerak tak henti-hentinya: ahli pedang, ahli tombak, pemanah di atas kuda, kereta-kereta kepala suku, dan kereta penuh muatan. Seluruh kekuatan sang Penguasa Kegelapan sedang bergerak. Lalu memandang ke selatan lagi ia melihat Minas Tirith. Tampak sangat jauh dan indah: bertembok putih, banyak menaranya, gagah dan elok di atas kedudukannya di pegunungan; tembok-tembok bentengnya berkilauan dengan baja, dan menara-menara kecilnya tampak cerah dengan panji-panji. Sebersit harapan merekah di hatinya. Tapi berhadapan dengan Minas Tirith berdiri sebuah benteng lain, lebih besar dan lebih kuat. Tanpa ia sadari matanya tertarik ke arah timur. Melewati reruntuhan jembatan-jembatan Osgiliath, gerbang-gerbang Minas Morgul yang menyeringai, dan wilayah Pegunungan yang dihantui, matanya tertuju pada Gorgoroth, lembah teror di Negeri Mordor. Kegelapan menghampar di sana, di bawah Matahari. Gunung Maut terbakar, dan ban tajam naik. Akhirnya tatapannya terhenti: tembok demi tembok, atap-atap benteng hitam, kuat sekali, gunung besi, gerbang baja, menara kokoh, ia melihatnya: Barad-dur, Benteng Sauron. Semua harapannya sirna.
Tiba-tiba ia merasakan kehadiran sang Mata. Ada mata yang tidak tidur di Menara Kegelapan. Frodo tahu bahwa mata itu sudah menyadari tatapannya. Ada sorot garang dan bergairah di dalamnya. Mata itu melompat ke arahnya; hampir seperti jari, mencarinya. Segera mata itu akan menemukannya, tahu persis di mana dirinya. Mata itu menyentuh Amon Lhaw. Ia melirik Tol Brandir-Frodo melemparkan dirinya dari takhta itu, membungkuk, menutupi kepala dengan kerudungnya yang kelabu.
Ia mendengar suaranya sendiri berteriak, Takkan pernah! Takkan pernah! Atau sebenarnya, Aku 'kan datang, datang kepadamu? ia tidak tahu. Lalu seperti kilatan dari ujung lain kekuatan, timbul pikiran lain dalam benaknya: Lepaskan! Lepaskan! Bodoh, lepaskan! Lepaskan Cincin itu!
Kedua kekuatan itu bertempur dalam dirinya. Untuk sesaat, dalam keseimbangan sempurna antara kedua ujung yang tajam, Frodo menggeliat tersiksa. Mendadak ia menyadari dirinya sudah kembali sendirian. Frodo, tak ada Suara maupun Mata: ia bebas memilih, dan waktunya sangat singkat. Ia melepaskan Cincin dari jarinya. Ia berlutut di bawah sinar matahari terang di depan takhta tinggi. Sebuah bayangan gelap seolah lewat bagaikan lengan, di atasnya; gagal menyentuh Amon Hen dan menggapai ke barat, lalu menghilang. Lalu seluruh langit bersih dan biru, dan burung-burung bernyanyi di setiap pohon.
Frodo bangkit berdiri. Ia merasa sangat lelah, tapi kehendaknya kokoh dan hatinya lebih ringan. Ia berbicara keras-keras pada dirinya sendiri. "Sekarang aku akan melakukan apa yang harus kulakukan," katanya. "Setidaknya satu hal ini sudah jelas: kejahatan Cincin itu sudah bekerja, bahkan di dalam Rombongan kami sendiri, dan Cincin ini harus meninggalkan mereka sebelum menimbulkan kerusakan lebih banyak. Aku akan pergi sendirian. Beberapa orang tak bisa kupercayai, dan mereka yang bisa kupercayai terlalu kusayangi: Sam yang malang, Merry dan Pippin. Strider juga: hatinya merindukan Minas Tirith, dan dia akan dibutuhkan di sana, setelah Boromir jatuh ke dalam kejahatan. Aku akan pergi sendirian. Segera."
Ia melangkah cepat melewati jalan, dan kembali ke halaman tempat Boromir menemukannya. Lalu ia berhenti, mendengarkan. Ia merasa bisa mendengar teriakan dan panggilan dari hutan dekat pantai di bawah.
"Mereka sedang mencariku," katanya. "Aku ingin tahu, berapa lama aku sudah pergi? Berjam-jam, kukira." ia berdiri ragu. "Apa yang bisa kulakukan?" ia menggerutu. "Aku harus pergi sekarang, kalau tidak, aku takkan pernah pergi. Aku tidak akan mendapat kesempatan lagi. Aku tidak suka meninggalkan mereka, begitu saja, tanpa penjelasan. Tapi pasti mereka akan mengerti. Sam akan mengerti. Dan apa lagi yang bisa kulakukan?"
Perlahan-lahan ia mengeluarkan Cincin itu dan memakainya sekali lagi. Ia menghilang dan berjalan menuruni bukit, nyaris seperti desiran angin.
Yang lain tetap di tepi sungai untuk waktu sangat lama. Selama beberapa saat mereka tidak bersuara, sambil bergerak gelisah; tapi sekarang mereka duduk dalam lingkaran, dan berbicara. Sesekali mereka berusaha membicarakan hal lain, tentang perjalanan mereka yang lama dan sekian banyak petualangan; mereka bertanya pada Aragorn tentang wilayah Gondor dan sejarahnya yang kuno, serta sisa-sisa karya besarnya yang masih terlihat di negeri aneh di perbatasan Emyn Mull: raja-raja dari batu dan takhta Lhaw dan Hen, dan Tangga besar di samping air terjun Rauros. Tapi selalu saja pikiran dan percakapan mereka kembali ke Frodo dan Cincin itu. Apa yang akan dipilih Frodo? Mengapa ia ragu?
"Dia sedang mempertimbangkan jalan mana yang paling nekat, kukira," kata Aragorn. "Dan sebaiknya begitu. Sekarang makin mustahil bagi kita untuk pergi ke timur, karena jejak kita sudah tercium Gollum, dan kita perlu khawatir bahwa rahasia perjalanan kita sudah tersingkap. Tapi Minas Tirith masih jauh dari Api dan tugas menghancurkan Cincin itu.
"Kita bisa tinggal di sana untuk sementara, dan bertahan dengan berani; tapi Lord Denethor dan semua anak buahnya tak mungkin bisa melakukan apa yang menurut Elrond sekalipun berada di luar kekuasaannya: entah untuk merahasiakan Cincin itu, atau untuk menahan kekuatan lengkap Musuh saat dia datang untuk mengambilnya. Jalan mana yang akan dipilih salah satu di antara kita, kalau kita ada di tempat Frodo? Aku tidak tahu. Sekarang memang kita sangat kehilangan Gandalf."
"Kehilangan kita sangat menyedihkan," kata Legolas. "Namun begitu, kita harus mengambil keputusan tanpa pertolongannya. Mengapa kita tidak bisa mengambil keputusan, dan dengan demikian membantu Frodo? Kita panggil saja dia, lalu mengambil suara! Aku memilih Minas Tirith."
"Aku juga," kata Gimli. "Memang kita hanya diutus untuk membantu Pembawa Cincin di sepanjang perjalanan, tak perlu pergi lebih jauh daripada yang kita inginkan; dan tidak ada di antara kita yang berada di bawah sumpah atau perintah untuk mencari Gunung Maut. Dengan berat hati aku berpisah dari Lothlorien. Meski begitu, aku sudah berjalan sejauh ini, dan beginilah tekadku: sekarang, saat kita sampai pada pilihan terakhir, sudah jelas bagiku bahwa aku tak bisa meninggalkan Frodo. Aku ingin memilih Minas Tirith, tapi kalau dia tidak ke sana, maka aku akan mengikutinya."
"Aku juga akan mendampinginya," kata Legolas. "Kalau sekarang " berpisah, berarti tidak setia."
"Memang akan menjadi pengkhianatan, kalau kita semua meninggalkannya," kata Aragorn. "Tapi kalau dia pergi ke timur, tidak semua perlu pergi bersamanya. Menurutku itu tidak perlu. Sebab itu langkah nekat, entah yang berangkat delapan orang, tiga orang, dua orang, atau bahkan sendirian. Kalau kalian membolehkan aku memilih, maka aku akan menunjuk tiga pendamping: Sam, yang pasti tidak ta ;r han kalau tidak ikut; Gimli; dan aku sendiri. Boromir akan kembali ke kotanya sendiri, di mana ayahnya dan rakyatnya membutuhkannya, dan bersama dia yang lain harus pergi; atau setidaknya Meriadoc dan Peregrin, kalau Legolas tidak mau meninggalkan kami."
"Tidak bisa!" teriak Merry. "Kami tak bisa meninggalkan Frodo! Pippin dan aku berniat ikut dengannya, ke mana pun dia pergi, sampai sekarang. Tapi kami tidak menyadari apa artinya. Tampaknya be `" gitu berbeda ketika masih jauh di Shire atau di Rivendell. Gila dan kejam sekali kalau membiarkan Frodo pergi ke Mordor. Mengapa kita tak bisa menghentikannya?"
"Kita harus menghentikannya," kata Pippin. "Dan itu yang dia khawatirkan, aku yakin. Dia tahu kita tidak akan setuju dia pergi ke timur. Dan dia tidak mau meminta siapa pun untuk pergi dengannya. Kawanku yang malang. Bayangkan: pergi ke Mordor sendirian!" Pippin menggigil. "Tapi hobbit bodoh itu harus tahu bahwa dia tak perlu meminta. Dia harus tahu bahwa kalau kita tak bisa menghentikannya, kita tidak akan meninggalkannya."
"Maaf," kata Sam. "Kukira kalian tidak memahami majikanku sama sekali. Dia bukan ragu tentang jalan mana yang harus diambil. Tentu saja tidak! Apa manfaat ke Minas Tirith? Bagi dia, maksudku, maaf, Master Boromir," tambahnya, dan menoleh. Saat itulah mereka menyadari bahwa Boromir, yang pada mulanya duduk diam di luar lingkaran, sudah tidak di sana lagi.
"Nah, ke mana dia?" seru Sam, tampak cemas. "Dia agak aneh belakangan ini, menurutku. Tapi bagaimanapun dia tidak terlibat urusan ini. Dia mau pulang, seperti selalu dikatakannya; dan dia tak bisa disalahkan. Tapi Mr. Frodo tahu bahwa dia harus menemukan Celah Ajal, kalau -bisa. Tapi dia takut. Kini, setelah tiba saatnya, dia takut. Itu kesulitannya. Memang dia sudah belajar banyak, bisa dikatakan begitu kita semua juga-sejak kita meninggalkan rumah. Kalau tidak, dia pasti akan sangat takut, dan akan membuang begitu saja Cincin-nya ke dalam Sungai, lalu lari terbirit-birit. Tapi dia masih terlalu ketakutan untuk memulai. Dia juga tidak khawatir tentang kita, entah kita akan menemaninya atau tidak. Dia tahu kita berniat begitu. Itu hal lain yang menyusahkan hatinya. Kalau dia mengumpulkan keberanian untuk pergi, dia akan ingin pergi sendirian. Camkan kata-kataku! Kita akan mendapat masalah kalau dia kembali. Karena dia pasti akan mengumpulkan keberanian, sama pastinya dengan namanya, Baggins."
"Aku percaya kau berbicara lebih bijak daripada kami semua, Sam," kata Aragorn. "Dan apa yang harus kita lakukan, kalau kau terbukti benar?"
"Hentikan dia! Jangan biarkan dia pergi!" seru Pippin.
"Aku ragu," kata Aragorn. "Dia yang ditugaskan membawa Cincin itu, dan Beban untuk menyingkirkan benda itu ada di pundaknya. Kukira tidak sepantasnya kita mendorong dia ke arah mana pun. Kalaupun kita mencoba, belum tentu akan berhasil. Ada kekuatan-kekuatan lain yang sedang bekerja, dan jauh lebih kuat."
"Well, kuharap Frodo berhasil mengumpulkan keberanian, dan kembali kemari, biar semuanya beres," kata Pippin. "Menunggu begini sangat menyiksa! Pasti waktu satu jam itu sudah habis?"
"Ya," kata Aragorn. "Saw jam sudah lama lewat. Pagi sudah hampir berakhir. Kita harus memanggilnya."
Saat itu Boromir muncul. Ia keluar dari pepohonan dan melangkah ke arah mereka, tanpa berbicara. Wajahnya kelihatan muram dan sedih. Ia berhenti, seolah menghitung mereka yang hadir, lalu ia duduk menyendiri, matanya menatap ke bawah.
"Ke mana kau tadi, Boromir?" tanya Aragorn. "Apa kau melihat Frodo?"
Boromir ragu sejenak. "Ya dan tidak," ia menjawab lambat. "Ya, aku menemukannya di atas bukit, dan aku berbicara padanya. Aku mendesaknya agar pergi ke Minas Tirith dan jangan pergi ke timur. Aku marah-marah dan dia meninggalkan aku. Dia lenyap. Aku belum pernah melihat hat semacam itu, meski aku pernah mendengarnya dalam dongeng-dongeng. Pasti dia memakai Cincin-nya. Aku tak bisa menemukannya lagi. Kupikir dia kembali pada kalian."
"Hanya itu yang bisa kaukatakan?" kata Aragorn, menatap tajam dan tidak terlalu ramah kepada Boromir.
"Ya," jawab Boromir. "Untuk sementara, itu saja yang kukatakan."
"Ini gawat sekali!" seru Sam sambil melompat berdiri. "Aku tidak tahu apa yang sudah diperbuat Manusia ini. Mengapa Mr. Frodo memakai Cincin-nya? Sebenarnya dia tak perlu melakukan itu; dan kalau dia melakukannya, siapa tahu apa saja yang sudah terjadi!"
"Tapi dia tidak akan terus memakainya," kata Merry. "Tidak kalau dia sudah lolos dan tamu yang tak diundang, seperti Bilbo dulu." "Tapi ke mana dia pergi? Di mana dia?" seru Pippin. "Dia sudah lama sekali pergi."
"Berapa lama sejak terakhir kau melihat Frodo, Boromir?" tanya Aragorn.
"Setengah jam, mungkin," jawab Boromir. "Atau mungkin juga satu jam. Aku berkeliaran beberapa lama sesudahnya. Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!" Boromir memegangi kepalanya dengan dua tangan, dan duduk seolah membungkuk karena sedih.
"Satu jam sejak dia lenyap!" teriak Sam. "Kita harus berusaha mencarinya sekarang juga. Ayo!"
"Tunggu sebentar!" teriak Aragorn. "Kita harus berpasangan dan menyusun strategi sini, tahan dulu! Tunggu!"
Sia-sia saja. Mereka tidak memperhatikan Aragorn. Sam sudah lari lebih dulu. Merry dan Pippin mengikutinya, dan menghilang ke barat, ke dalam pepohonan dekat pantai, sambil berteriak: Frodo! Frodo! dengan suara hobbit mereka yang jernih dan tinggi. Legolas dan Gimli juga berlari. Kepanikan atau kegilaan mendadak seolah menimpa Rombongan itu.
"Kita semua akan tercerai-berai dan tersesat," erang Aragorn. "Boromir! Aku tidak tahu peran apa yang kaumainkan dalam kekacauan ini, tapi sekarang bantulah! Susullah kedua hobbit muda itu, dan setidaknya jaga mereka, meski kau tak bisa menemukan Frodo. Kembalilah ke tempat ini kalau kau menemukannya, atau jejaknya. Aku akan segera kembali."
Aragorn melompat lari dan mengejar Sam. Persis di halaman kecil di antara pohon rowan, ia berhasil menyusul Sam yang sedang bersusah payah mendaki, sambil terengah-engah dan memanggil, Frodo!
"Ikut aku, Sam!" kata Aragorn. "Jangan sampai satu di antara kita sendirian. Ada kejahatan berkeliaran. Aku bisa merasakannya. Aku akan pergi ke puncak, ke Takhta Amon Hen, untuk melihat apa yang bisa dilihat. Ikuti aku dan buka matamu lebar-lebar!" Aragorn memacu jalannya.
Sam berupaya keras, tapi tak bisa menyamai langkah Strider sang Penjaga Hutan, dan segera tertinggal di belakang. Ia belum melangkah jauh, tapi Aragorn sudah tak terlihat lagi di depan. Sam berhenti dan terengah-engah. Mendadak ia menepukkan tangan ke kepalanya.
"Hai, Sam Gamgee!" katanya keras-keras. "Kakimu terlalu pendek, jadi gunakanlah otakmu! Coba lihat dulu! Boromir tidak berbohong, itu bukan caranya; tapi dia tidak menceritakan seluruh ceritanya. Ada sesuatu yang membuat Mr. Frodo sangat ketakutan. Dia mengerahkan keberaniannya untuk bertindak, dengan tiba-tiba. Dia mengambil keputusan akhirnya-untuk pergi. Ke mana? Ke Timur. Tanpa Sam? Ya, bahkan tanpa Sam-nya. Itu kejam, sangat kejam."
Sam mengusapkan tangan ke matanya, menyeka air mata. "Tenang, Gamgee!" katanya. "Pikir, kalau bisa! Dia tak bisa terbang melintasi sungai, dan dia juga tak bisa melompati air terjun. Dia tak punya peralatan. Maka dia harus kembali ke perahu-perahu. Kembali ke perahu! Kembali ke perahu, Sam, secepat kilat!"
Sam membalikkan tubuh dan berlari kembali ke jalan setapak. Ia jatuh dan lututnya terluka. Ia bangkit dan terus berlari. Ia sampai ke pinggir halaman rumput Parth Galen di pantai, di mana perahu-perahu sudah dinaikkan keluar dari air. Tak ada siapa pun di sana. Terdengar teriakan-teriakan di hutan di belakang, tapi ia tidak memedulikannya. Ia berdiri menatap sejenak, diam melongo. Sebuah perahu sedang meluncur sendiri, turun dari tebing. Dengan berteriak Sam berlari melintasi rumput. Perahu itu masuk ke dalam air.
"Datang, Mr. Frodo! Datang!" teriak Sam, dan ia melemparkan dirinya dari tebing, menyambar perahu yang sedang berangkat itu. Tangkapannya meleset sekitar satu meter. Sambil berteriak, ia tercemplung jatuh ke sungai dalam yang deras. Ia tenggelam sambil kemasukan air, dan Sungai itu menutup di atas kepalanya yang berambut keriting.
Teriakan sedih keluar dan perahu kosong itu. Sebuah dayung berputar dan perahu itu membalik. Tepat pada waktunya, Frodo menjambak rambut Sam saat ia muncul ke atas, bergelembung-gelembung dan meronta-ronta. Ketakutan memancar dari matanya yang bulat cokelat.
"Naiklah, Sam, anakku!" kata Frodo. "Sekarang pegang tanganku!"
"Selamatkan aku, Mr. Frodo!" Sam terengah-engah. "Aku tenggelam. Aku tak bisa melihat tanganmu."
"Ini dia. Jangan mencubit-cubit, anakku! Aku tidak akan melepaskanmu. Tendang-tendanglah air, jangan menggelepar, nanti perahunya goyang. Nah, peganglah lambung perahu, dan biarkan aku memakal dayung."
Dengan beberapa kayuhan, Frodo membawa kembali perahunya ke tebing, dan Sam bisa memanjat keluar, basah seperti tikus air. Frodo melepaskan Cincin dan naik ke darat lagi.
"Dari semua gangguan menjengkelkan, kaulah yang terburuk, Sam!" kata Frodo.
"Oh, Mr. Frodo, itu kejam!" kata Sam sambil menggigil, "Kejam sekali, mencoba pergi tanpa aku. Kalau aku tidak menebak dengan benar, di mana kau sekarang?"
"Aman dalam perjalanan."
"Aman!" kata Sam. "Sendirian tanpa aku untuk menolongmu? Aku tidak akan tahan, aku bisa mati."
"Kau akan mati kalau kau pergi denganku, Sam," kata Frodo, "dan aku tidak tahan itu."
"Tidak sepasti kalau ditinggal," kata Sam.
"Tapi aku akan pergi ke Mordor."
"Aku sudah tahu itu, Mr. Frodo. Tentu saja kau akan ke sana. Dan aku akan pergi bersamamu."
"Nah, Sam," kata Frodo, "jangan ganggu aku! Yang lain setiap saat akan kembali. Kalau mereka mencegatku di sini, aku terpaksa berdebat dan menjelaskan, dan aku tidak akan pernah sampai hati atau mendapat kesempatan untuk berangkat. Tapi aku harus segera pergi. Ini jalan satu-satunya."
"Tentu saja," jawab Sam. "Tapi tidak sendirian. Aku juga ikut, atau tidak ada di antara kita yang pergi. Aku akan melubangi semua perahu dulu."
Frodo benar-benar tertawa. Perasaan hangat dan bahagia mendadak menyentuh hatinya. "Tinggalkan satu!" katanya. "Kita akan membutuhkannya. Tapi kau tak bisa ikut seperti ini, tanpa peralatan, makanan, atau apa pun."
"Tunggu sebentar, aku akan mengambil barang-barangku!" teriak Sam bersemangat. "Sudah siap semua. Aku sudah berpikir kita harus berangkat hari ini." ia berlari ke tempat perkemahan, mengambil ranselnya dari tumpukan yang disusun Frodo ketika ia mengosongkan perahu dari bawaan teman-temannya, meraih selembar selimut tambahan dan beberapa bungkusan makanan, lalu berlari kembali.
"Rusaklah seluruh rencanaku!" kata Frodo. "Sia-sia mencoba melarikan diri darimu. Tapi aku gembira, Sam. Aku tak bisa mengungkapkan betapa gembiranya aku. Ayo! Sudah jelas kita ditakdirkan harus pergi bersama. Kita akan pergi, dan mudah-mudahan yang lain menemukan Plan yang aman! Strider akan mengurus mereka. Kurasa kita tidak akan melihat mereka lagi."
"Mungkin kita masih akan bertemu mereka, Mr. Frodo. Mungkin masih." kata Sam.
Maka Frodo dan Sam mengawali tahap terakhir Pencarian bersama-sama. sama. Frodo mendayung menjauhi pantai, dan Sungai itu membawa mereka dengan cepat, melalui cabang barat melewati batu-batu karang Tol Brandir yang cemberut. Raungan air terjun besar semakin mendekat. Bahkan meski dibantu Sam, perlu kerja keras untuk menyeberangi arus di ujung selatan pulau, dan mengemudikan perahu ke timur, menuju pantai seberang.
Akhirnya mereka mendarat lagi di lereng selatan Amon Lhaw. Di sana mereka menemukan pantai sempit, dan mereka pun menarik perahu keluar, tinggi di atas air, dan menyembunyikannya sebaik mungkin di balik sebuah batu besar. Lain dengan membawa barang-barang mereka, keduanya berangkat, mencari jalan yang akan membawa mereka melintasi bukit-bukit kelabu Emyn Mull, dan turun ke Negeri Bayang-Bayang.
Tiga Cincin untuk raja-raja Peri di bawah langit,
Tujuh untuk raja-raja Kurcaci di balairung batu mereka, Sembilan untuk Insan Manusia yang ditakdirkan mati,
Satu untuk Penguasa Kegelapan di takhtanya yang kelam
Di Negeri Mordor di mana Bayang-Bayang merajalela.
Satu Cincin 'tuk menguasai mereka semua, Satu Cincin 'tuk menemukan mereka,
Satu Cincin 'tuk membawa mereka semua dan dalam kegelapan mengikat mereka
Di Negeri Mordor di mana Bayang-Bayang merajalela.
Daftar Isi
Sinopsis
BUKU TIGA
1. Kematian Boromir
2. Para Penunggang Kuda Rohan
3. Pasukan Uruk-Hai
4. Treebeard
5. Penunggang Putih
6. Raja Balairung Emas
7. Helm's Deep
8. Jalan ke Isengard
9. Banjir Besar
10. Suara Saruman
11. Palantir
BUKU EMPAT
1. Smeagol dijinakkan
2. Melintasi Rawa-Rawa
3. Gerbang Hitam Tertutup
4. Bumbu Masak dan Kelinci Rebus
5. Jendela yang Menghadap ke Barat
6. Kolam Terlarang
7. Perjalanan ke Persimpangan
8. Tangga Cirith Ungol
9. Sarang Shelob
10. Pilihan Master Samwise
SINOPSIS
Buku ini adalah buku kedua THE LORD OF THE RINGS.
Dalam buku pertama, The Fellowship of the Ring _ Sembilan Pembawa Cincin, diceritakan bahwa Cincin yang diwarisi Frodo dari Bilbo ternyata adalah Cincin Utama, yang paling penting dari rangkaian Cincin Kekuasaan. Karena itulah Frodo dan kawan-kawannya terpaksa pergi meninggalkan rumah mereka yang tenang di Shire. Sepanjang perjalanan, mereka terus dibayang-bayangi oleh Para Penunggang Hitam dari Mordor. Akhirnya, dengan bantuan Aragorn, Penjaga Hutan dari Eriador, mereka berhasil melewati berbagai bahaya mengerikan, dan tiba di Rumah Elrond di Rivendell.
Di sana diadakan Rapat Besar, dan diputuskan bahwa Cincin itu mesti dihancurkan. Frodo-lah yang ditunjuk sebagai Pembawa Cincin. Selain dirinya, akan ikut beberapa orang lain untuk membantunya dalam perjalanan menuju Gunung Api di Mordor, wilayah sang Musuh sendiri, untuk menghancurkan Cincin itu. Rombongan mereka terdiri atas: Aragorn dan Boromir putra Penguasa Gondor, mewakili Manusia; Legolas, putra Raja Peri di Mirkwood, mewakili kaum Peri; Gimli putra Gloin dari Pegunungan Sunyi, mewakili kaum Kurcaci; Frodo bersama pelayannya Samwise, dan dua kerabatnya, Meriadoc dan Peregrin, mewakili kaum hobbit; dan Gandalf si penyihir.
Rombongan itu mengadakan perjalanan panjang yang rahasia, jauh dari Rivendell di Utara. Ketika mendapat kesulitan menyeberangi Pegunungan Caradhras di musim dingin, Gandalf memimpin mereka melewati gerbang rahasia yang membawa mereka ke TambangTambang Moria, mencari jalan di bawah pegunungan. Di sana Gandalf bertarung dengan Balrog, makhluk dahsyat dari dunia bawah, dan ia jatuh ke jurang tak berdasar. Maka Aragorn putra Arathorn mengambil alih pimpinan. Ia membawa mereka melewati Gerbang Timur Moria, melintasi Lorien, negeri kaum Peri, dan menyusuri Sungai Besar Anduin, hingga tiba di Air Terjun Rauros. Mereka menyadari bahwa ada mata-mata yang mengawasi, di antaranya Gollum, makhluk yang pernah memiliki Cincin itu di masa silam.
Kini mereka harus memutuskan, apakah akan berbelok ke timur, menuju Mordor, atau ikut dengan Boromir ke Minas Tirith, kota utama Gondor, untuk membantu dalam peperangan yang akan berlangsung. Atau haruskah mereka memisahkan diri? Ketika Frodo menegaskan bahwa ia hendak terus berjalan menuju Mordor, Boromir berusaha merampas Cincin itu. Buku pertama diakhiri dengan peristiwa jatuhnya Boromir pada nafsu untuk memiliki Cincin itu, yang berakibat pada menghilangnya Frodo serta Samwise; sementara itu, para anggota rombongan yang lain tercerai-berai karena serangan mendadak kaum Orc, yang sebagian melayani sang Penguasa Kegelapan dari Mordor, dan sebagian lagi pelayan Saruman dari Isengard.
Dalam buku kedua ini, The Two Towers Dua Menara, diceritakan nasib masing-masing anggota Rombongan setelah mereka tercerai-berai, sampai kedatangan Kegelapan besar, dan pecahnya Perang Cincin, yang akan diceritakan dalam buku ketiga dan terakhir.
DUA MENARA
BAGIAN KEDUA
The Lord of the Rings
Tidak ada komentar:
Posting Komentar