Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Minggu, 06 Februari 2011

Book 2 - Bab 4

PERJALANAN DALAM GELAP

Sudah sore, dan cahaya kelabu sekali lagi memudar dengan cepat, ketika mereka berhenti untuk bermalam. Mereka letih sekali. Pegunungan terselubung senja yang semakin pekat, dan angin sangat dingin. Gandalf menyisihkan lagi untuk mereka masing-masing satu teguk miruvor dari Rivendell. Selesai makan, ia mengadakan rapat.
"Kita tentu saja tak bisa melanjutkan perjalanan lagi malam ini," katanya. "Serangan di Gerbang Tanduk Merah sudah menguras habis tenaga kita, dan kita harus beristirahat di sini untuk beberapa lama."
"Lalu ke mana kita harus pergi?" tanya Frodo.
"Masih ada perjalanan dan tugas kita," jawab Gandalf. "Tak ada pilihan kecuali berjalan terus, atau kembali ke Rivendell."
Wajah Pippin jelas berbinar mendengar perkataan kembali ke Rivendell; Merry dan Sam menengadah penuh harap. Tapi Aragorn dan Boromir tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Frodo tampak resah.
"Aku berharap kembali berada di sana," katanya. "Tapi bagaimana aku bisa kembali tanpa rasa malu, kecuali memang tak ada jalan lain, dan kita sudah dikalahkan?"
"Kau benar, Frodo," kata Gandalf, "pulang berarti mengakui kekalahan, dan menghadapi kekalahan lebih hebat lagi. Kalau kita kembali sekarang, Cincin harus tetap berada di sana: kita takkan mungkin pergi lagi. Lalu, cepat atau lambat Rivendell akan diserang, dan setelah suatu saat yang singkat dan pahit, dia akan ditaklukkan. Hantu-Hantu Cincin merupakan musuh mematikan, tapi itu belum seberapa dibandingkan kekuatan dan teror yang bisa mereka miliki kalau Cincin Utama sudah di tangan majikan mereka lagi."
"Kalau begitu; kita harus berjalan terus, kalau ada jalan," kata Frodo sambil mengeluh. Sam surut lagi dalam kemuraman.
"Ada jalan yang mungkin bisa kita coba," kata Gandalf. "Sejak awal, ketika pertama mempertimbangkan perjalanan ini, aku merasa kita harus mencobanya. Tapi jalan ini bukan jalan yang nyaman, dan aku belum membahasnya dengan Rombongan. Aragorn menolaknya, sampai setidaknya perjalanan melewati celah gunung dicoba dulu."
"Kalau jalan ini lebih buruk daripada Gerbang Tanduk Merah, berarti dia pasti sangat jelek," kata Merry. "Tapi sebaiknya kau menceritakannya pada kami, dan biarkan kami langsung tahu yang terburuk."
"Jalan yang kubicarakan ini melewati Tambang Moria," kata Gandalf. Hanya Gimli yang mengangkat kepala; api menyala bersinar-sinar di matanya. Yang lain merasa ketakutan mendengar nama itu. Bahkan bagi para hobbit nama itu merupakan dongeng yang samar-samar mengerikan.
"Jalan itu mungkin menuju Moria, tapi bagaimana kita bisa tahu dia keluar melalui Moria?" kata Aragorn muram.
"Nama itu penuh pertanda buruk," kata Boromir. "Dan aku tidak melihat perlunya pergi ke sana. Kalau tak bisa melintasi pegunungan, sebaiknya kita berjalan ke selatan, sampai tiba di Celah Rohan, yang penduduknya ramah terhadap bangsaku, mengambil jalan yang kuambil ketika aku kemari. Atau kita bisa lewat dan menyeberangi Isen, masuk ke Langstrand dan Lebennin, dan dengan begitu sampai di Gondor dari wilayah yang dekat ke laut."
"Keadaan sudah banyak berubah sejak kau datang ke utara, Boromir," jawab Gandalf. "Tidakkah kaudengar apa yang kuceritakan tentang Saruman? Dengan dia, aku ada urusan sendiri kalau semua ini sudah selesai. Tapi Cincin tak boleh mendekati Isengard, kalau itu bisa dihindari dengan cara apa pun. Celah Rohan tertutup bagi kita selama kita berjalan bersama Pembawa Cincin.
"Tentang jalan yang panjang: kita tak ada waktu. Kita mungkin akan menghabiskan satu tahun untuk perjalanan semacam itu, dan kita akan melewati banyak negeri kosong yang tidak berpenduduk. Tap, di situ tidak akan aman. Mata waspada Saruman dan Musuh memperhatikan daerah itu. Ketika kau datang ke utara, Boromir, di mata Musuh kau hanya seorang pelancong yang berkeliaran sendiri dari Selatan, dan tidak penting baginya: benaknya sibuk dengan pengejaran Cincin. Tapi sekarang kau kembali sebagai anggota Rombongan Cincin, dan kau berada dalam bahaya selama kau bersama kami. Bahaya semakin besar dengan setiap, mil yang kita jejaki ke Utara, di bawah langit terbuka.
"Sejak percobaan terbuka kita di lintasan gunung, keadaan kita semakin buruk, kukira. Sekarang aku tidak melihat banyak harapan, kalau kita tidak segera menghilang dari pandangan, untuk sementara, dan menutupi jejak kita. Karena itu aku menyarankan kita tidak melewati pegunungan atau mengelilinginya, tapi lewat di bawahnya. Jalan itu setidaknya paling tak terduga oleh Musuh."
"Kita tidak tahu apa yang diduganya," kata Boromir. "Mungkin dia memperhatikan semua jalan, yang mungkin maupun yang mustahil. Dalam hal itu, masuk ke Moria berarti masuk perangkap, sama saja dengan mengetuk pintu Menara Kegelapan sendiri. Nama Moria hitam sekali."
"Kau berbicara tentang sesuatu yang tidak kaukenal, kalau kau menyamakan Moria dengan benteng Sauron," jawab Gandalf. "Hanya aku yang pernah masuk ke ruang bawah tanah Penguasa Kegelapan itu, dan hanya di tempat tinggalnya yang lama dan lebih kecil di Dol Guldur. Mereka yang melewati gerbang Barad-dur tidak pernah kembali. Tapi aku tidak akan menuntun kalian ke Moria kalau tidak ada harapan untuk keluar lagi. Memang benar, kalau ada Orc di sana, mungkin akan buruk bagi kita. Tapi kebanyakan Orc dari Pegunungan Berkabut sudah tercerai-berai atau hancur dalam Pertempuran Lima Pasukan. Elang-elang melaporkan bahwa Orc sudah mulai berkumpul lagi dari jauh; tapi ada harapan bahwa Moria masih bebas.
"Bahkan kemungkinan ada kaum Kurcaci di sana, dan barangkali di salah satu lorong istana ayahnya, Balin putra Fundin bisa ditemukan. Bagaimanapun nanti jalan itu, kita harus menapaki jalan yang sesuai kebutuhan!"
"Aku akan menapaki jalan yang kaupilih, Gandalf!" kata Gimli. "Aku akan pergi dan memandang aula-aula Durin, apa pun yang menunggu di sana-kalau kau bisa menemukan pintu-pintu yang tertutup itu."
"Baik, Gimli!" kata Gandalf. "Kau memberiku semangat. Akan kita cari pintu-pintu tersembunyi itu, dan kita pasti berhasil melewatinya. Di reruntuhan Kurcaci, seorang Kurcaci tidak akan sebingung Peri, Manusia, atau hobbit. Meski begitu, ini bukan pertama kali aku ke Moria. Aku pernah lama mencari Thrain, putra Thror, di sana, setelah dia hilang. Aku berhasil melewatinya, dan keluar hidup-hidup!"
"Aku juga pernah melalui Gerbang Dimrill," kata Aragorn tenang, "tapi, meski aku juga keluar hidup-hidup, ingatan tentang tempat itu sangat jelek. Aku tak ingin masuk Moria untuk kedua kalinya."
"Aku bahkan tak ingin masuk biar sekali pun," kata Pippin.
"Aku juga tidak," gerutu Sam.
"Tentu saja tidak!" kata Gandalf. "Siapa yang mau? Tapi pertanyaannya adalah: siapa yang mau ikut aku, kalau aku menuntun kalian ke sana?"
"Aku," kata Gimli penuh gairah.
"Aku," kata Aragorn dengan berat. "Kau mengikuti tuntunanku sebelumnya, di salju itu, yang ternyata hampir menjadi bencana, dan kau tidak sedikit pun menyalahkanku. Aku akan mengikuti panduanmu sekarang-kalau peringatan terakhir ini tidak menggoyahkanmu. Bukan masalah Cincin, atau kami yang lain yang kupikirkan sekarang, tapi kau, Gandalf. Dan aku katakan padamu: kalau kau melewati gerbang Moria, waspadalah!"
"Aku tidak akan pergi," kata Boromir, "kecuali suara seluruh Rombongan melawanku. Bagaimana dengan Legolas dan si kecil? Suara Pembawa Cincin tentu harus didengarkan."
"Aku tidak ingin pergi ke Moria," kata Legolas.
Para hobbit tidak mengatakan apa pun. Sam memandang Frodo. Akhirnya Frodo berbicara. "Aku tak ingin pergi," katanya, "tapi aku juga tak ingin menolak nasihat Gandalf. Kuminta agar jangan ada pemungutan suara, sampai setelah kita tidur. Gandalf akan lebih mudah mendapat suara di cahaya pagi daripada dalam kemuraman yang dingin ini. Keras sekali raungan angin!"
Mendengar kata-kata itu, semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka mendengar angin mendesis di antara bebatuan dan pepohonan, raungan dan lolongannya mengelilingi mereka di ruang-ruang kosong malam hari.

Mendadak Aragorn melompat berdiri. "Raungan angin itu!" teriaknya. "Itu suara raungan serigala. Warg sudah datang ke sebelah barat Pegunungan!"
"Apa kita perlu menunggu sampai pagi, kalau begitu?" kata Gandalf. "Seperti telah kukatakan. Perburuan sudah dimulai! Meski kita hidup untuk menyaksikan fajar, siapa sekarang mau berjalan ke selatan dengan serigala mengejar?"
"Berapa jauhkah Moria?" tanya Boromir.
"Ada pintu di sebelah barat daya Caradhras, sekitar lima belas mil ukuran terbang gagak, dan mungkin dua puluh mil untuk lad serigala," Jawab Gandalf muram.
"Kalau begitu, mari kita berangkat begitu hari terang besok, kalau bisa," kata Boromir. "Suara serigala lebih mengerikan daripada Orc yang ditakuti."
"Benar!" kata Aragorn, mengendurkan pedangnya di dalam sarungnya. "Tapi di mana warg melolong, di sana pula Orc berkeliaran."
"Aku menyesal tidak mengikuti saran Elrond," gerutu Pippin pada Sam. "Bagaimanapun, aku tidak bermanfaat sama sekali. Tidak cukup banyak darah Bandobras the Bullroarer di dalam diriku: lolongan ini membekukan darahku. Belum pernah aku merasa sesial ini."

"Hatiku juga sudah turun ke jari kaki, Mr. Pippin," kata Sam, "Tapi kita belum dimakan, dan ada orang-orang gagah berani bersama kita. Apa pun nasib Gandalf, aku bertaruh pasti bukan di dalam perut serigala."

Untuk pertahanan mereka di malam hari, Rombongan itu mendaki puncak bukit kecil tempat tadi mereka berlindung. Puncak bukit itu bermahkotakan jalinan pohon-pohon tua yang saling melilit, dan di sekitarnya terdapat sebuah lingkaran yang tidak utuh, dari batu-batu besar. Di tengahnya mereka menyalakan api, karena tak ada harapan bahwa kegelapan dan kesunyian akan menyembunyikan jejak mereka dari kawanan pemburu.
Di sekeliling api mereka duduk, dan mereka yang tidak berjaga, tertidur dengan gelisah. Bill si kuda malang gemetaran dan berkeringat di tempatnya berdiri. Lolongan serigala sekarang ada di sekeliling mereka, kadang-kadang dekat dan kadang-kadang agak jauh. Di malam pekat, banyak mata bersinar mengintai dari atas pundak bukit. Beberapa malah mendekat hampir sampai lingkaran batu. Di celah lingkaran, sesosok besar serigala terlihat berhenti, menatap mereka. Lolongan menggetarkan keluar dari mulutnya, seolah ia kapten yang memanggil kelompoknya untuk menyerang.
Gandalf berdiri dan melangkah ke depan, memegang tinggi tongkatnya. "Dengar, Anjing Sauron!" teriaknya. "Gandalf ada di sini. Pergi cepat, kalau kau menghargai kulitmu yang busuk! Akan kukerutkan kau dari ekor sampai moncong, kalau kau masuk ke lingkaran ini."
Serigala itu menggeram dan melompat ke arah Gandalf dengan satu lompatan besar. Saat itu terdengar bunyi desing tajam. Legolas melontarkan anak panahnya. Ada teriakan menyeramkan, dan sosok yang melompat jatuh ke tanah; anak panah Peri sudah menghunjam lehernya. Mata-mata yang mengawasi mendadak padam: Gandalf dan Aragorn melangkah maju, tapi bukit itu sudah kosong; kawanan serigala pemburu sudah lari. Di sekitar mereka kegelapan semakin sunyi, dan tak ada teriakan yang diterbangkan angin.

Malam sudah larut; di sebelah barat, bulan yang memudar sudah mulai tenggelam, bersinar gelisah dari antara awan-awan yang memecah.
Tiba-tiba Frodo terbangun kaget. Tanpa peringatan, badai raungan ganas dan liar berkecamuk di sekitar seluruh perkemahan. Sepasukan besar warg sudah berkumpul diam-diam, dan sekarang menyerang mereka dari semua sisi sekaligus.
"Tambahkan kayu ke api!" teriak Gandalf kepada para hobbit. °'Hunus pisau kalian, dan berdiri saling memunggungi!"
Dalam cahaya yang membesar, ketika kayu segar berkobar, Frodo melihat banyak sekali sosok kelabu melompati lingkaran batu. Lebih banyak dan lebih banyak lagi menyusul. Aragorn menusukkan pedangnya ke leher salah satu pemimpin yang besar; dengan ayunan lebar, Boromir menebas tenggorokan yang lainnya. Di sampingnya Gimli berdiri dengan kakinya yang kekar terbuka lebar, mengayunkan kapaknya. Busur Legolas sibuk bernyanyi.
Dalam cahaya api yang bergetar, Gandalf seolah tumbuh membesar: ia bangkit berdiri, sosoknya besar mengancam, seperti monumen seorang raja kuno dari batu yang ditempatkan,di atas bukit. Membungkuk seperti awan, ia memungut sebatang ranting menyala dan maju mendekati serigala-serigala. Mereka mundur di depannya. Tinggi di udara Gandalf melambungkan ranting yang menyala itu. Ranting itu berkobar dengan cahaya putih mendadak, seperti petir; suaranya menggeram seperti guruh.
"Naur an edraith ammen! Naur dan i ngaurhoth!" teriaknya.
Ada deruman dan keriutan, dan pohon di atas Gandalf mencetuskan nyala api membutakan. Api itu melompat dari puncak pohon ke puncak pohon. Seluruh bukit dimahkotai cahaya menyilaukan. Pedang-pedang dan pisau-pisau para pengembara itu berkilauan dan berkelip. Anak panah Legolas yang terakhir terbang bercahaya di udara, dan menghunjam menyala ke dalam jantung seekor pemimpin serigala besar. Serigala-serigala yang lain lari.
Perlahan-lahan api padam, sampai tak ada yang tertinggal kecuali abu dan percikan yang jatuh; asap pahit berputar-putar di atas batang-batang pohon yang terbakar, dan terbang muram dari bukit, ketika cahaya pertama fajar datang samar-samar di langit. Musuh mereka sudah ditaklukkan dan tidak kembali.
"Apa kataku, Mr. Pippin," kata Sam, menyarungkan kembali pedangnya. "Serigala tidak berani menangkapnya. Itu benar-benar kejutan, dan tidak salah lagi! Hampir saja rambutku gosong!"

Ketika cahaya pagi sudah merebak penuh, tidak ada tanda-tanda bekas-bekas serigala, dan mereka sia-sia mencari bangkai-bangkainya. Tak ada bekas-bekas pertempuran, kecuali pohon-pohon yang gosong dan panah-panah Legolas yang bertebaran di puncak bukit. Semua tidak rusak, kecuali satu yang hanya tersisa ujungnya.
"Seperti sudah kukhawatirkan," kata Gandalf. "Mereka bukan serigala biasa yang memburu makanan di belantara. Mari kita makan cepat, lalu berangkat!"
Hari itu cuaca berubah lagi, seolah berada di bawah perintah suatu kekuatan yang tidak lagi memanfaatkan salju, karena mereka sudah pergi dari celah pegunungan; sekarang kekuatan itu menghendaki cahaya terang, hingga semua yang bergerak di belantara bisa terlihat dari jauh. Angin beralih dari utara ke barat taut sewaktu masih malam, dan kini sudah reda. Awan-awan menghilang ke arah selatan dan langit terbuka, tinggi dan biru. Ketika mereka berdiri di lereng bukit, siap berangkat, cahaya matahari pucat bersinar di atas puncak pegunungan.
"Kita harus mencapai gerbang sebelum matahari terbenam," kata Gandalf, "kalau tidak, aku khawatir kita tidak akan mencapainya sama sekali. Jaraknya tidak jauh, tapi jalan kita mungkin berkelok-kelok, karena di sini Aragorn tak bisa menuntun kita; dia jarang berjalan di negeri ini, dan aku baru satu kali pergi ke bawah tembok barat Moria, itu pun sudah lama sekali.
"Di sana letaknya," kata Gandalf, sambil menunjuk ke arah tenggara, di mana lereng pegunungan jatuh curam ke dalam bayangan di kakinya. Di kejauhan samar-samar terlihat sebaris batu karang, gundul, dan di tengahnya, lebih tinggi dari yang lain, satu tembok kelabu besar. "Ketika kita meninggalkan celah, aku membimbing kalian ke arah selatan, dan tidak kembali ke tempat awal kita berangkat; mungkin beberapa di antara kalian memperhatikan hat itu. Untunglah aku melakukan itu, karena jarak yang harus kita tempuh jadi lebih pendek, dan kita memang perlu cepat. Ayo berangkat!"
"Aku tidak tahu harus mengharap apa," kata Boromir muram, "bahwa Gandalf menemukan apa yang dicarinya, atau bahwa sesampainya di batu- karang kita menemukan gerbang itu sudah hilang selamanya. Semua pilihan tampak buruk, dan mungkin sekali kita terjebak di antara serigala dan tembok. Jalanlah terus!"

Gimli sekarang berjalan di depan, di samping sang penyihir, karena ia begitu bergairah ingin melihat Moria. Bersama-sama mereka menuntun Rombongan kembali ke arah pegunungan. Satu-satunya jalan Moria lama dari barat terletak sepanjang aliran sungai, Sungai Sirannon yang keluar dari kaki bukit karang dekat tempat pintu gerbang. Tapi mungkin Gandalf tersesat, atau mungkin daerah itu sudah berubah sejak beberapa tahun belakangan; karena ia tidak menemukan sungai di tempat yang dicarinya, hanya beberapa mil ke selatan dari tempat mereka berangkat.
Pagi sudah menjelang tengah hari, dan Rombongan itu masih mengembara dan merangkak di daratan gersang penuh batu merah. Di mana pun mereka tidak melihat kilauan air atau mendengar suaranya. Semuanya gersang dan kering. Semangat mereka merosot. Mereka tidak melihat satu pun makhluk hidup, dan tidak satu pun burung di langit; apa yang akan terjadi di malam hari, kalau mereka terjebak di daratan kosong itu, tak ada yang berani memikirkannya.
Mendadak Gimli, yang berjalan cepat di depan, memanggil mereka. Ia berdiri di atas sebuah bukit kecil, dan menunjuk ke kanan. Mereka bergegas ke sana, dan melihat di bawah mereka sebuah saluran dalam dan sempit. Saluran itu kosong dan sunyi, hampir tak ada kucuran air yang mengalir di antara batu-batu bernoda cokelat dan merah di dasarnya; tapi di sisi terdekat ada sebuah jalan, sudah terputus-putus dan rusak, menjulur di antara puing-puing tembok dan batu ubin suatu jalan raya kuno.
"Ah! Itu dia akhirnya!" kata Gandalf. "Di sinilah sungai mengalir: Sirannon, Sungai Gerbang, dulu mereka menyebutnya begitu. Tapi apa yang terjadi dengan airnya, aku tidak tahu; dulu dia mengalir deras dan berisik. Ayo! Kita harus buru-buru. Kita sudah kesiangan."

Kaki mereka sudah sakit dan letih, tapi mereka masih juga berjalan susah payah sepanjang jalan yang kasar dan berkelok-kelok, hingga beberapa mil. Matahari beralih dari tengah hari dan mulai pergi ke barat. Setelah istirahat singkat dan makan tergesa-gesa, mereka berjalan lagi. Di depan mereka tampak pegunungan yang cemberut, tapi berhubung jalan yang mereka telusuri ada di sebuah palung dalam, mereka hanya bisa melihat pundak-pundak yang lebih tinggi dan puncak-puncak di timur yang jauh.
Akhirnya mereka tiba di sebuah tikungan tajam. Di sana, jalan yang selama ini mengarah ke selatan, di antara tepi saluran dan lereng curam di sebelah kiri, membalik dan menuju ke arah timur lagi. Ketika melewati tikungan, mereka melihat di depan sana ada sebuah batu karang rendah, setinggi kira-kira lima fathom, dengan puncak patah dan bergerigi. Dari atasnya air menetes, melalui lipatan lebar yang tampaknya dipahat oleh air terjun yang dulu besar dan penuh.
"Memang banyak perubahan di sini!" kata Gandalf. "Tapi tempat ini tak mungkin salah. Itu sisa-sisa Tangga Air Terjun. Kalau ingatanku betul, ada tangga yang dipahat dalam batu di sisinya, tapi jalan utama membelok ke kin', dan menanjak dengan beberapa putaran naik ke dataran di puncak. Dulu ada lembah dangkal di luar air terjun, sampai ke tembok Moria, dan Sungai Sirannon mengalir melintasinya, dengan jalan di sampingnya. Mari kita pergi dan melihat bagaimana keadaannya sekarang!"
Mereka menemukan tangga batu itu tanpa kesulitan, dan Gimli melompat gesit menaikinya, diikuti Gandalf dan Frodo. Ketika sampai ke puncak, ternyata mereka tak bisa berjalan lebih jauh ke arah itu, dan penyebab keringnya Sungai Gerbang terungkap. Di belakang mereka, Matahari yang sedang terbenam mengisi langit barat yang sejuk dengan cahaya kemilau keemasan. Di depan mereka terbentang sebuah telaga. Baik langit maupun matahari terbenam tercermin di permukaannya yang cemberut. Sirannon sudah dibendung dan mengisi seluruh lembah. Di seberang telaga luas itu, menjulang batu-batu karang besar, wajah mereka yang keras tampak pucat dalam cahaya yang memudar: tak bisa ditawar dan tak bisa dilewati. Tak ada tanda-tanda gerbang atau pintu masuk, tak sebuah retakan atau celah terlihat oleh Frodo di bebatuan yang cemberut itu.
"Di sanalah Tembok-Tembok Moria berada," kata Gandalf, menunjuk ke seberang air. "Dan di sana dulu berdiri Gerbang-nya, Pintu Peri di ujung jalan dari Hollin, dan mana kita datang. Tapi arah ini tertutup. Kurasa tak ada di antara kita yang mau berenang dalam air muram ini di penghujung hari. Tampaknya tidak sehat."
"Kita harus menemukan jalan memutari ujung utara," kata Gimli. "Pertama-tama, kita mesti mendaki jalan utama, dan melihat ke mana dia menuntun kita. Meski tak ada danau, kita tak mungkin membawa kuda muatan kita menaiki tangga ini."
"Bagaimanapun, kita tak bisa membawa kuda malang itu masuk ke Tambang," kata Gandalf. "Jalan di bawah gunung gelap sekali, dan ada tempat-tempat sempit dan terjal yang tak bisa dijejakinya, meski kita bisa."
"Bill tua malang!" kata Frodo. "Aku tidak memikirkan itu. Kasihan Sam! Apa yang akan dikatakannya?"
"Aku menyesal," kata Gandalf. "Bill yang malang sudah menjadi pendamping yang sangat berguna, dan aku sangat sedih hams melepaskannya sekarang. Kalau tergantung aku, aku akan bepergian dengan bawaan lebih ringan dan tidak membawa hewan, apalagi hewan yang disayangi Sam ini. Aku sudah khawatir selama ini, bahwa kita akan

Hari itu hampir berakhir, bintang-bintang dingin berkelip di langit tinggi di atas matahari terbenam, ketika Rombongan itu, dent,-an kecepatan maksimum, mendaki lereng-lereng dan mencapai pinggir telaga. Lebar telaga itu tampaknya tidak lebih dari dua atau tiga kali dua ratusan meter di bagian paling lebar. Berapa jauh ia menghampar ke selatan, mereka tak bisa melihatnya dalam cahaya yang sudah mulai lenyap; tapi ujungnya di sebelah utara tidak lebih dari setengah mil dari tempat mereka berdiri, dan di antara pundak-pundak berbatu yang mengurung lembah dan pinggir danau ada sepetak tanah terbuka. Mereka bergegas maju, karena masih ada satu-dua mil yang harus dilewati, sebelum bisa sampai ke titik di pantai seberang yang dituju Gandalf; lalu ia masih harus menemukan pintunya.
Sampai di ujung utara telaga, mereka menemukan sungai sempit yang merintangi jalan mereka. Airnya hijau dan tidak mengalir, menjulur keluar seperti lengan berlumpur ke arah bukit-bukit yang mengepung. Gimli melangkah ke depan, dan menemukan airnya dangkal, tidak lebih tinggi daripada pergelangan kaki. Mereka berjalan berbaris di belakangnya, melangkah hati-hati, karena di bawah permukaan air yang penuh rerumputan itu ada batu-batu licin yang bergerak, dan sulit sekali untuk menginjakkan kaki. Frodo menggigil jijik ketika kakinya tersentuh air gelap yang kotor.
Ketika Sam, yang berjalan paling belakang, menuntun Bill naik ke daratan kering di seberang, terdengar suara lembut: bunyi desiran, diikuti cemplungan, seolah ada ikan mengganggu permukaan air yang tenang. Mereka menoleh cepat dan melihat riak-riak, berpiriggiran hitam gelap dalam cahaya yang sudah memudar: lingkaran-lingkaran besar mengembang keluar dari suatu titik jauh di tengah danau. Ada bunyi menggelembung, kemudian sepi. Senja semakin pekat, dan cahaya terakhir matahari terbenam terselubung awan.
Gandalf kini melangkah cepat sekali, yang lain mengikutinya secepat mungkin. Mereka sampai di hamparan tanah kering antara telaga dan batu karang: sempit, sering hanya beberapa meter lebarnya, dan dipenuhi batu-batu jatuh; tapi mereka menemukan jalan, sambil memegang batu karang dan melangkah sejauh mungkin dan air. Satu mil ke selatan di pantai, mereka menemukan pohon-pohon holly. Tunggul-tunggul pohon dan dahan-dahan mati membusuk di cekungan, tampaknya sisa-sisa semak lama atau pagar yang pernah membatasi Jalan sepanjang lembah yang sudah terendam. Tapi dekat di bawah batu karang berdiri dua pohon tinggi, masih kuat dan hidup, lebih besar daripada pohon holly mana pun yang pernah dilihat atau dibayangkan Frodo. Akar-akar mereka yang besar menjulur dari dinding sampai ke tepi air. Di bawah batu karang yang menjulang, mereka tampak seperti semak saja, bila dilihat dari jauh, dari puncak Tangga; tapi sekarang mereka menjulang ke atas, kaku, gelap dan diam, melemparkan bayangan malam pekat di sekitar kaki mereka, berdiri seperti tiang penjaga di ujung jalan.
"Nah, sampai juga kita akhirnya!" kata Gandalf. "Di sini jalan bangsa Peri dari Hollin berakhir. Holly adalah kenang-kenangan dari penduduk negeri itu, dan mereka menanamnya di sana untuk memberi tanda batas wilayah mereka; karena Pintu Barat dibuat terutama untuk lalu lintas mereka dengan pap Penguasa Moria. Masa-masa itu adalah masa-masa bahagia, ketika kadang masih ada persahabatan erat antara bermacam-macam bangsa dari ras berbeda, bahkan di antara Kurcaci dan Peri."
"Bukan salah bangsa Kurcaci bahwa persahabatan itu memudar," kata Gimli.
"Aku tidak mendengar bahwa itu salah bangsa Peri," kata Legolas.
"Aku mendengar keduanya," kata Gandalf, "dan aku tidak akan memberikan penilaian sekarang. Tapi kumohon kalian berdua, Legolas dan Gimli, setidaknya bertemanlah, dan bantulah aku. Aku membutuhkan kalian berdua. Pintu-pintu itu tertutup dan tersembunyi, dan semakin cepat kita menemukannya, semakin baik. Malam sudah dekat!"
Menoleh kepada yang lain, ia berkata, "Sementara aku mencari, masing-masing dari kalian bersiap-siaplah masuk ke Tambang. Karena di sini aku khawatir kita harus berpisah dengan hewan muatan kita. Kalian harus meninggalkan banyak barang yang kita bawa untuk menghadapi cuaca dingin: kalian tidak akan membutuhkannya di dalam, juga tidak, kuharap, kalau kita berhasil keluar dan meneruskan perjalanan ke Selatan. Kalian masing-masing harus mengambil bagian dari muatan kuda, terutama makanan dan botol-botol air dari kulit.''
"Tapi kau tak bisa meninggalkan Bill tua yang malang di tempat sunyi ini, Mr. Gandalf!" seru Sam, marah dan sedih. "Aku tidak mau, dan itu tak bisa ditawar. Apalagi dia sudah ikut kita sejauh ini!"
"Aku menyesal, Sam," kata penyihir itu. "Tapi bila Pintu terbuka, aku khawatir kau tidak akan bisa menyeret Bill-mu masuk ke dalam," kegelapan panjang Moria. Kau terpaksa memilih antara Bill dan majikanmu."
"Dia akan mengikuti Mr. Frodo masuk ke sarang naga, kalau aku menuntunnya," protes Sam. "Ini sama saja dengan membunuhnya, kalau dia kita lepaskan di tempat banyak serigala berkeliaran."
"Mudah-mudahan tidak sama dengan membunuh, kuharap," kata Gandalf. Ia meletakkan tangannya ke atas 'kepala kuda itu, dan berbicara dengan suara rendah. "Pergilah dengan doa dan bimbinganku," katanya. "Kau hewan bijak, dan sudah belajar banyak di Rivendell. Pergilah ke tempat-tempat kau bisa menemukan rumput, lalu kembalilah ke rumah Elrond, atau ke mana pun kau mau pergi.
"Nah, Sam! Kesempatan Bill untuk menghindari serigala dan pulang, sama besarnya dengan kesempatan kita."
Sam berdiri cemberut dekat kuda dan tidak menjawab. Bill, yang tampaknya mengerti betul apa yang sedang terjadi, menyondolnya, mendekatkan hidungnya ke telinga Sam. Sam menangis, dan meraba-raba membuka ikatan, membongkar seluruh muatan kuda dan melemparkan barang-barang ke tanah. Yang lain memilah-milah barangbarang itu, menumpuk semua yang bisa ditinggal, dan membagi sisanya.
Setelah selesai, mereka menoleh untuk memperhatikan Gandalf. Kelihatannya ia tidak berbuat apa pun. Ia berdiri di antara kedua pohon, menatap dinding batu karang yang polos, seolah akan membuat lubang di dalamnya dengan matanya. Gimli berjalan ke sana kemari, mengetuk-ngetuk bebatuan di sana-sini dengan kapaknya. Legolas bersandar pada batu karang, seolah sedang mendengarkan.
"Kami semua sudah siap," kata Merry, "tapi di mana Gerbang itu? Aku tidak melihatnya sama sekali."
"Pintu Kurcaci tidak dibuat untuk bisa dilihat kalau tertutup," kata Gimli. "Mereka tak bisa dilihat, dan majikan mereka sendiri tak bisa menemukan atau membukanya kalau rahasianya terlupa."
"Tapi Pintu ini tidak dibuat sebagai rahasia yang hanya diketahui para Kurcaci," kata Gandalf, yang tiba-tiba bergerak dan menoleh. "Kecuali keadaan sama sekali berubah, mata yang tahu apa yang harus dicari mungkin akan menemukan tanda-tandanya."
Ia berjalan maju mendekati dinding. Tepat di antara bayangan pohon ada bidang mulus, dan di atasnya ia menggerakkan tangannya ke sana kemari, sambil menggumamkan kata-kata berbisik. Lalu ia mundur.
"Lihat!" katanya. "Kalian bisa melihat sesuatu sekarang?"
Bulan sekarang menyinari permukaan kelabu batu karang, tapi mereka tak bisa melihat apa pun untuk beberapa saat, Lalu perlahan-lahan, di Permukaan yang tadi tersapu tangan penyihir itu, muncul garis-garis samar seperti urat-urat tipis dari perak, tergores batu. Mulanya tidak lebih dari siratan benang pucat, begitu halus, hingga hanya berkelip tertegun-tegun di mana Bulan menyinarinya, tapi garis-garis itu tumbuh semakin jelas dan lebar, sampai polanya bisa ditebak.
Di puncaknya, setinggi Gandalf bisa meraih, ada lengkungan jalinan huruf-huruf dalam tulisan Peri. Di bawahnya, meski benang-benangnya kabur atau terputus di beberapa tempat, bisa terlihat garis bentuk sebuah landasan dan palu dengan mahkota serta tujuh bintang di atasnya. Di bawahnya ada gambar dua pohon, masing-masing dengan bulan sabit di atasnya. Lebih jelas dari yang lain, di tengah pintu, menyala terang sebuah bintang dengan banyak sinar.
"Itu lambang Durin!" seru Gimli.
"Dan itu Pohon Peri-Peri Tinggi!" kata Legolas.
"Dan Bintang Rumah Feanor," kata Gandalf. "Mereka ditempa dari bahan ithildin yang hanya memantulkan sinar bintang dan bulan, dan tidur sampai disentuh orang yang mengucapkan kata-kata yang sudah lama dilupakan di Dunia Tengah. Sudah lama aku tidak mendengarnya, dan aku berpikir dalam sekali sebelum bisa mengingatnya lagi."
"Apa artinya tulisan itu?" tanya Frodo, yang mencoba membaca dan menguraikan tulisan pada lengkungan. "Kukira aku kenal huruf-huruf Peri, tapi aku tidak bisa membaca yang ini."
"Kata-katanya dalam bahasa Peri dari Dunia Tengah sebelah Barat, dari Zaman Peri," jawab Gandalf. "Tapi tidak menguraikan sesuatu yang penting kepada kita. Artinya hanya: Pintu-pintu Durin, Penguasa Moria. Bicaralah, kawan, dan masuklah. Dan di bawahnya tertulis kecil dan kabur: Aku, Narvi, membuatnya. Celebrimbor dari Hollin yang menggambar lambang-lambang ini."
"Apa maksudnya, bicaralah, kawan, dan masuklah?" tanya Merry.
"Maksudnya cukup jelas," kata Gimli. "Kalau kau seorang kawan, ucapkan kata sandinya, pintu akan terbuka, dan kau bisa masuk."
"Ya," kata Gandalf, "pintu-pintu ini mungkin diperintah oleh kata-kata. Beberapa gerbang Kurcaci hanya terbuka pada saat-saat khusus, atau untuk orang-orang tertentu; beberapa mempunyai kunci dan anak kunci yang masih dibutuhkan bila semua waktu dan kata sudah diketahui. Pintu-pintu ini tidak punya kunci. Di masa Durin, ini bukan rahasia. Biasanya mereka terbuka, dan penjaga pintu duduk di sini. Tapi kalau mereka tertutup, siapa pun yang tahu kata sandinya bisa mengucapkannya dan bisa masuk. Setidaknya begitu yang tercatat, bukan begitu, Gimli?"
"Memang," kata orang kerdil itu. "Tapi apa kata itu, sudah tidak diingat. Narvi dan keterampilannya, dan semua dari jenisnya sudah hilang dari muka bumi."
"Tapi tidakkah kau tahu kata itu, Gandalf?" tanya Boromir kaget. "Tidak!" sahut penyihir itu.
Yang lain tampak cemas; hanya Aragorn, yang kenal betul Gandalf, tetap diam dan tidak kaget.
"Kalau begitu, apa gunanya membawa kita ke tempat terkutuk ini?" teriak Boromir, sambil menoleh ke danau yang gelap di belakang. "Katamu kau sudah pernah masuk ke Tambang. Bagaimana itu mungkin, kalau kau tidak tahu caranya masuk?"
"Jawaban atas pertanyaanmu yang pertama, Boromir," kata penyihir itu, "adalah bahwa aku tidak tahu kata itu-belum. Tapi kita akan segera mengetahuinya. Dan," tambahnya, dengan mata bersinar-sinar di bawah alisnya yang tebal, "kau boleh mempertanyakan manfaat perbuatanku kalau sudah terbukti tidak berguna. Kalau tentang pertanyaanmu yang lain: kau meragukan ceritaku? Atau kau tidak punya otak? Aku tidak masuk dari sini. Aku dulu datang dari Timur.
"Kalau kau ingin tahu, akan kukatakan padamu bahwa pintu-pintu ini membuka ke luar. Kita bisa membukanya dari dalam, dengan mendorongnya. Dari luar tidak akan ada yang bergerak, kecuali melalui perintah sihir. Mereka tidak bisa dipaksa membuka ke dalam."

"Apa yang akan kaulakukan, kalau begitu?" tanya Pippin, tidak gentar melihat alis Gandalf yang berdiri.
"Mengetuk pintu dengan kepalamu, Peregrin Took," kata Gandalf. "Tapi kalau itu tidak berhasil, dan aku tidak diganggu pertanyaan-pertanyaan bodoh, aku akan mencari kata sandi pembuka pintu ini.
"Dulu aku tahu semua mantra dalam bahasa Peri, Manusia, dan Orc, yang digunakan untuk maksud seperti ini. Aku masih ingat sepuluh di antaranya, tanpa harus mencari-cari dalam ingatanku. Tapi hanya beberapa percobaan yang dibutuhkan, kukira; dan aku tidak perlu meminta bantuan Gimli untuk kata-kata bahasa rahasia orang kerdil yang tidak mereka ajarkan pada siapa pun. Kata-kata pembukanya dalam bahasa Peri, seperti tulisan di lengkungannya: itu tampaknya pasti."
Gandalf naik ke batu karang lagi, dan dengan ringan menyentuh bintang di tengah dengan tongkatnya, di bawah lambang landasan.
Annon edhellen, edro hi ammen!
Fennas nogothrim, lasto beth lammien!
katanya dengan suara berwibawa. Garis-garis perak memudar, tapi batu polos kelabu itu tidak bergerak.
Berkali-kali ia mengulang kata-kata itu dalam urutan berbeda, atau mengubah-ubahnya. Lalu ia mencoba mantra lain, satu demi satu, kadang-kadang berbicara lebih cepat dan keras, kadang-kadang pelan dan lambat. Lalu ia mengucapkan banyak kata-kata tunggal bahasa Peri. Tidak ada yang terjadi. Batu karang itu menjulang di malam pekat, beratus bintang menyala, angin berembus dingin, dan pintu-pintu itu tetap tertutup rapat.
Sekali lagi Gandalf mendekati dinding, dan sambil mengangkat tangannya, ia berbicara dengan nada perintah dan semakin marah. Edro, edro! serunya, lalu memukul karang itu dengan tongkatnya. Buka, buka! teriaknya, lalu mengikutinya dengan perintah yang sama dalam setiap bahasa yang pernah digunakan di bagian Barat Dunia Tengah. Kemudian ia melempar tongkatnya ke tanah, dan duduk diam.

Saat itu, dari jauh angin membawa bunyi lolongan serigala ke telinga mereka. Bill si kuda bergerak kaget ketakutan, dan Sam melompat ke sisinya, berbisik perlahan kepadanya.
"Jangan biarkan dia lari!" kata Boromir. "Kelihatannya kita masih memerlukannya, kalau serigala-serigala tidak menemukan kita. Aku benci sekali danau jelek ini!" ia membungkuk dan memungut batu besar, lalu melemparkannya jauh ke dalam air gelap.
Batu itu lenyap dengan bunyi kecipak pelan, tapi dalam sekejap terdengar bunyi desir dan gelembung. Muncul riak-riak besar di permukaan air, melebar dari tempat jatuhnya batu, dan riak-riak itu bergerak perlahan menuju kaki batu karang.
"Kenapa kaulakukan itu, Boromir?" kata Frodo. "Aku juga benci tempat ini, dan aku takut. Aku tidak tahu apa yang kutakuti: bukan serigala, atau kegelapan di balik pintu itu, tapi sesuatu yang lain. Aku takut pada danau ini. Jangan ganggu dia!"
"Aku berharap kita bisa pergi dari sini!" kata Merry.
"Mengapa Gandalf tidak segera melakukan sesuatu?" tanya Pippin.
Gandalf tidak memperhatikan mereka. Ia duduk dengan kepala tertunduk, mungkin putus asa atau sedang berpikir cemas. Lolongan menyeramkan para serigala terdengar lagi. Riak air semakin besar dan mendekat; beberapa bahkan sudah memukul-mukul pantai.
Dengan mendadak Gandalf melompat berdiri, hingga mengagetkan semua orang. Ia tertawa! "Aku sudah tahu!" teriaknya. "Tentu saja, tentu saja! Sederhana sekali, seperti kebanyakan teka-teki kalau kita melihat jawabannya."
Sambil mengangkat tongkatnya, ia berdiri di depan batu karang itu dan berkata dengan suara jelas: Mellon!
Bintang- di pintu bersinar sekilas, dan memudar lagi. Lalu, tanpa suara, tampak sebuah ambang pintu besar, meski sebelumnya tidak ada celah atau sambungan yang terlihat. Perlahan-lahan ambang itu terbagi di tengah dan membuka keluar inci demi inci, sampai kedua daun pintunya bersandar ke dinding. Melalui bukaannya bisa terlihat sebuah tangga gelap mendaki ke atas dengan terjal; tapi di seberang tangga, kegelapan lebih pekat daripada malam kelam. Rombongan itu memandang dengan kagum.
"Ternyata aku salah," kata Gandalf. "Gimli juga. Justru Merry yang berada pada jejak yang benar. Kata pembuka pintu itu terukir di lengkungannya sendiri! Terjemahannya seharusnya: Katakan 'Kawan' dan masuklah. Aku hanya perlu mengucapkan kata kawan dalam bahasa Peri, dan pintu itu akan terbuka. Sederhana sekali. Terlalu sederhana untuk seorang ahli pengetahuan di masa-masa penuh kecurigaan sekarang. Zaman dulu lebih membahagiakan. Mari kita masuk!"

Gandalf maju ke depan dan menginjakkan kakinya pada tangga paling bawah. Tapi tepat pada saat itu beberapa hal terjadi. Frodo merasa sesuatu menangkap pergelangan kakinya, dan ia terjatuh sambil berteriak. Bill si kuda meringkik liar ketakutan, lalu membalikkan badan dan lari menyusuri pinggir danau, masuk ke dalam kegelapan. Sam melompat mengejarnya, tapi berlari kembali ketika mendengar teriakan Frodo, sambil menangis dan memaki-maki. Yang lainnya menoleh dan melihat air danau menggelegak, seolah sepasukan ular sedang berenang ke atas, dari ujung selatan.
Dari air merangkak keluar sebuah sulur panjang berotot; warnanya hijau pucat, basah bersinar-sinar. Ujungnya yang berjari memegang kaki Frodo dan menyeretnya ke dalam air. Sam sedang berlutut sambil menebasnya dengan pisau.
Lengan itu melepaskan Frodo, dan Sam menarik Frodo sambil berteriak minta tolong, Dua puluh lengan lain keluar bergelombang. Air yang gelap mendidih, dan tercium bau busuk sekali.
"Masuk gerbang! Naik tangga! Cepat!" teriak Gandalf sambil melompat kembali. Ia mendorong mereka ke depan, menyadarkan mereka semua dari kengerian yang membuat mereka terpaku di tanah, kecuali Sam.
Mereka tepat waktu. Sam dan Frodo baru beberapa langkah naik, dan Gandalf baru saja mulai naik, ketika sulur-sulur yang mengapai itu menggeliat melintasi pantai sempit, meraba-raba dinding batu karang. berkilauan di bawah sinar bintang. Gandalf menoleh dan berhenti. Ia tak perlu bersusah payah memikirkan kata apa yang bisa menutup lagi pintu itu dari dalam. Lengan-lengan yang saling berbelit memegang pintu-pintu itu di kedua sisinya, dan memutarnya dengan kekuatan mengerikan. Pintu itu terbanting menutup dengan gema sangat keras, dan semua cahaya hilang. Bunyi berisik mengoyak-ngoyak dan menabrak terdengar samar-samar melalui bebatuan.
Sam, yang memegangi lengan Frodo, lunglai di atas tangga dalam kegelapan. "Kasihan Bill!" katanya dengan suara tercekik. "Kasihan Bill! Serigala dan ular! Tapi ular terlalu menyeramkan baginya. Aku terpaksa memilih, Mr. Frodo. Aku harus ikut denganmu."
Mereka mendengar Gandalf kembali menuruni tangga dan mendorong tongkatnya ke pintu. Bebatuan itu bergetar, dan tangganya gemetar, tapi pintu-pintu tidak terbuka.

"Wah, wah!" kata penyihir itu. "Jalan sudah tertutup di belakang kita sekarang, dan hanya ada satu jalan keluar-di sisi pegunungan sebelah sana. Aku menduga dari bunyinya bahwa batu-batu besar sudah ditumpuk, dan pohon-pohon ditumbangkan, dilemparkan melintang di depan gerbang. Sayang sekali, karena pohon-pohon itu indah, dan sudah lama berdiri."
"Aku merasa ada sesuatu yang mengerikan di dekat kita, sejak saat kakiku pertama menyentuh air," kata Frodo. "Makhluk apa itu, atau banyakkah jumlah mereka?"
"Aku tidak tahu," jawab Gandalf, "tapi semua lengan itu dipimpin oleh satu tujuan. Sesuatu sudah merangkak keluar. Atau didorong keluar dari air gelap di bawah pegunungan. Ada makhluk-makhluk yang lebih tua dan jahat daripada Orc, di tempat-tempat dalam di dunia." ia tidak mengatakan pikirannya, bahwa makhluk apa pun yang ada di dalam danau itu, ia pertama-tama menangkap Frodo di antara semua anggota Rombongan.
Boromir menggerutu perlahan, tapi bebatuan yang menggemakan suara memperkeras suaranya menjadi bisikan parau yang terdengar oleh semuanya, "Di tempat-tempat dalam di dunia! Dan ke sanalah kita pergi, meski aku tak ingin. Siapa sekarang yang akan memimpin kita dalam kegelapan pekat ini?"
"Aku akan memimpin," kata Gandalf, "dan Gimli akan berjalan di sampingku. Ikuti tongkatku!"

Gandalf berjalan terus menaiki tangga besar, memegang tongkatnya tinggi-tinggi, dan dari ujungnya menyebar cahaya samar-samar. Tangga lebar itu kondisinya bagus dan tidak rusak. Dua rates anak tangga jumlahnya, lebar dan dangkal; di puncaknya mereka menemukan' selasar dengan langit-langit melengkung dan berlantai datar yang menjulur dalam kegelapan.
"Kita duduk dulu di sini, beristirahat dap makan sedikit, berhubung kita tak bisa menemukan ruang makan!" kata Frodo. Ia sudah mulai bisa melupakan ketakutannya dipegang lengan tadi, dap tiba-tiba ia merasa sangat lapar.
Usul itu disambut baik oleh semua; mereka pun duduk di tangga paling atas, sosok-sosok kabur dalam kegelapan. Setelah mereka makan, untuk ketiga kalinya Gandalf memberikan masing-masing orang minuman miruvor dari Rivendell.
"Tak lama lagi akan habis," katanya, "tapi kurasa kita memerlukannya setelah kengerian di gerbang tadi. Dan kecuali kita sangat beruntung, kita akan membutuhkan seluruh sisanya sebelum melihat sisi seberang! Air juga mesh dihemat! Banyak sekali sungai dan sumur di Tambang, tapi tidak boleh disentuh. Mungkin tidak bakal ada kesempatan untuk mengisi botol-botol sampai kita masuk ke Lembah Dimrill."
"Berapa lama lagi?" tanya Frodo.
"Aku tidak tahu persis," kata Gandalf. "Itu tergantung banyak hal. Tapi kalau kita berjalan lures, tanpa kecelakaan atau tersesat, kita akan melewati tiga atau empat perbatasan, kukira. Tak mungkin kurang dari empat puluh mil, dari pintu Barat ke gerbang Timur dalam garis lures, dap jalanannya mungkin akan banyak berbelok-belok."

Setelah istirahat singkat, mereka mulai berjalan lagi. Semua bergairah untuk secepat mungkin menyelesaikan perjalanan,, dap bersedia berjalan terus selama- beberapa jam lagi, meski mereka sudah sangat letih. Gandalf berjalan di depan, seperti sebelumnya. Di tangan kirinya ia memegang tinggi tongkatnya yang menyala, yang cahayanya hanya memperlihatkan sedikit tanah di depan kakinya; di tangan kanannya ia memegang pedang Glamdring. Di belakangnya berjalan Gimli, matanya bersinar dalam cahaya suram ketika ia menolehkan kepala dari kiri ke kanan. Di belakang Gimli berjalan Frodo, menghunus Sting, pedant pendeknya. Tak ada kilauan pada Sting maupun Glamdring; dap itu cukup menghibur, karena pedang-pedang itu hash karya kaum pandai besi bangsa Peri di Zaman Peri, yang akan bersinar dengan cahaya dingin kalau ada Orc di dekatnya. Di belakang Frodo berjalan Sam, dan setelahnya Legolas, lalu para hobbit muda, lalu Boromir. Dalam kegelapan, paling belakang, berjalan Aragorn, muram dan diam.
Selasar itu berbelok beberapa kali, lalu mulai turun. Ia tetap menurun selama beberapa saat, sebelum akhirnya datar lagi. Udara menjadi papas mencekik, tapi tidak berbau busuk, dap sesekali mereka merasakan aliran udara yang lebih dingin menyapu wajah, keluar dari bukaan yang mereka duga ada pada dinding-dinding. Banyak sekali bukaan. Di bawah sinar pucat tongkat Gandalf, Frodo menangkap sekilas tangga-tangga dap lengkungan, dap selasar-selasar serta terowongan lain, naik curam atau menurun terjal, atau membuka hitam pekat di kedua sisi. Sangat membingungkan, dap rasanya tak mungkin bisa diingat-ingat.
Gimli sangat sedikit membantu Gandalf, kecuali dengan keberaniannya yang gigih. Setidaknya ia tidak seperti kebanyakan yang lain, terganggu oleh kegelapan itu sendiri. Sering Gandalf meminta nasihatnya kalau menghadapi pilihan jalan yang meragukan; tapi selalu Gandalf yang memutuskan kata akhir. Tambang Moria leas sekali dap sangat remit, melebihi bayangan Gimli, putra Gloin, meski ia orang kerdil dari bangsa pegunungan. Bagi Gandalf, ingatan tentang perjalanan yang sudah lama berlalu itu tidak banyak membantu, tapi bahkan dalam keremangan, dan meski jalannya berbelok-belok, ia tahu ke mana ia ingin pergi, dap ia tidak rage, selama ada jalan yang mengarah ke tujuannya.

"Jangan takut!" kata Aragorn. Ada kesunyian yang lebih lama daripada biasanya, dap Gandalf dengan Gimli berbisik-bisik; yang lain bergerombol di belakang, sambil menunggu dengan cemas. "Jangan takut! Aku sudah wring mendampinginya dalam banyak perjalanan, meski belum pernah segelap ini; dap ada kisah-kisah dari Rivendell tentang perbuatan-perbuatannya yang lebih hebat daripada yang pernah kulihat. Dia tidak akan tersesat-kalau ada jalan yang harus ditemukan. Dia Sudah membawa kita masuk ke sini, melawan ketakutan kita, tapi dia akan memimpin kita keluar lagi, apa pun pengorbanannya. Dia lebih mahir menemukan jalan pulang di malam beta daripada kucing-kucing Ratu Beruthiel."
Syukurlah mereka mempunyai pemandu seperti itu. Mereka tak punya bahan bakar atau alat untuk membuat obor; dalam pertarungan di dekat pintu, banyak barang tertinggal. Tapi tanpa cahaya mereka pasti segera menemui malapetaka. Tidak banyak jalan untuk dipilih, lubang dan perangkap tersebar di banyak tempat, juga sumur-sumur gelap, di samping jalan di mana langkah kaki mereka bergema. Ada retakan dan jurang-jurang di dinding dan lantai, dan sering kali sebuah retakan membuka tepat di depan kaki mereka. Lubang terbesar lebih dari tujuh kaki lebarnya, dan lama sekali baru Pippin bisa mengumpulkan keberanian untuk melompati celah mengerikan itu. Bunyi air menggeluguk naik dari bawah, seolah sebuah roda penggilingan sedang berputar di kedalaman.
"Tambang!" gerutu Sam. "Aku pasti membutuhkannya, kalau aku tidak membawanya!"

Ketika bahaya-bahaya ini semakin sering muncul, langkah mereka semakin melambat. Mereka rasanya sudah berjalan terus, terus, tanpa henti ke akar pegunungan. Mereka sudah lebih dari letih, namun toh tak ada rasa nyaman kalau memikirkan berhenti di suatu tempat. Semangat Frodo sempat naik setelah ia lolos tadi, dan setelah makan dan minum seteguk anggur manis; tapi sekarang perasaan sangat tidak nyaman, yang berkembang menjadi kengerian, kembali menyergapnya. Meski luka sabetan pisau yang dideritanya sudah disembuhkan di Rivendell, bekas luka yang suram itu bukan tanpa akibat. Indra-indranya sekarang lebih tajam dan lebih menyadari hal-hal yang tidak terlihat. Salah satu perubahan yang segera disadarinya adalah bahwa ia bisa melihat lebih jelas dalam gelap daripada semua temannya, kecuali mungkin Gandalf. Dan bagaimanapun ia adalah pembawa Cincin: cincin itu tergantung pada rantainya, menempel di dadanya, dan terkadang terasa sangat berat. Ia bisa merasakan kejahatan yang mengejarnya di depan dan di belakang; tapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia memegang hulu pedangnya lebih erat, dan berjalan terus dengan mantap.
Rombongan di belakangnya jarang berbicara; kalaupun bersuara, hanya berupa bisikan terburu-buru. Tak ada bunyi lain selain bunyi langkah mereka sendiri; ketukan teredam dari sepatu bot orang kerdil yang dipakai Gimli; langkah berat Boromir; langkah ringan Legolas; langkah lembut hampir tak terdengar dari kaki para hobbit; dan paling belakang adalah langkah kaki tegas dan lambat dari Aragorn, dengan langkahnya yang panjang-panjang. Ketika mereka berhenti sejenak, tidak terdengar apa pun, kecuali sesekali bunyi aliran dan tetesan samar-samar dari air yang tidak tampak. Meski begitu, Frodo mulai mendengar, atau merasa mendengar, sesuatu yang lain: seperti bunyi langkah redup kaki telanjang yang lembut. Tak pernah cukup keras, atau cukup dekat, bagi Frodo untuk merasa pasti bahwa ia mendengarnya; tapi sekali bunyi itu dimulai, ia tak pernah berhenti sementara Rombongan bergerak. Tapi bunyi itu bukan gema, karena ketika mereka berhenti, bunyi langkah itu berderai-derai sendiri sejenak, lalu berhenti.

Malam sudah turun ketika mereka masuk ke Tambang. Mereka sudah beberapa jam berjalan, dengan hanya beberapa perhentian singkat, ketika Gandalf dihadapkan pada pilihan besar yang pertama. Di depannya berdiri sebuah lubang lebar bercabang ke dalam tiga selasar: semua menuju arah umum yang sama, ke timur; tapi selasar kiri turun ke bawah, sementara yang kanan mendaki, dan yang tengah tampaknya menjulur terus, mulus dan datar, namun sangat sempit.
"Aku sama sekali tidak ingat tempat seperti ini!" kata Gandalf, berdiri ragu-ragu di bawah lengkungan. Ia mengangkat tongkatnya, dengan harapan menemukan tulisan atau tanda yang mungkin bisa membantu pilihannya; tapi tidak ada tanda-tanda apa pun. "Aku terlalu letih untuk memutuskan," katanya sambil menggelengkan kepala. "Dan kurasa kalian semua sama lelahnya seperti aku, atau bahkan lebih. Sebaiknya kita berhenti di sini, sepanjang sisa malam ini. Kau tahu maksudku! Di dalam sini selalu gelap, tapi di luar Bulan sedang bergerak ke barat, dan tengah malam sudah lewat."
"Kasihan Bill!" kata Sam. "Aku bertanya-tanya, di mana dia berada. Kuharap serigala-serigala itu belum menangkapnya."
Di sebelah kiri lengkungan besar, mereka menemukan sebuah pintu batu: setengah tertutup, tapi membuka dengan mudah ketika didorong perlahan. Di dalamnya ada ruangan besar yang dipahat dari dalam bebatuan.
"Tenang! Tenang!" seru Gandalf ketika Merry dan Pippin berlari ke depan, senang bisa menemukan tempat beristirahat yang setidaknya lebih terlindung daripada di selasar terbuka. "Tenang! Kau belum tahu apa yang ada di dalamnya. Aku akan masuk dulu."
Gandalf masuk dengan hati-hati, yang lain berbaris di belakang. "Itu!" katanya, sambil mengarahkan tongkatnya ke tengah lantai. Di depan kakinya, mereka melihat sebuah lubang bundar besar seperti lubang sumur. Rantai-rantai patah dan karatan tergeletak di pinggirnya, dan menjulur ke dalam sumur hitam itu. Pecahan-pecahan batu bertebaran di dekatnya.
"Salah satu dari kalian mungkin saja jatuh ke dalamnya, dan entah kapan menyentuh dasarnya," kata Aragorn pada Merry. "Biarkan pemandu masuk lebih dulu, selama dia masih ada."
"Rupanya dulu ini ruang penjaga, dibuat untuk mengawasi ketiga selasar itu," kata Gimli. "Lubang itu jelas merupakan sumur untuk para penjaga, ditutup dengan batu. Tapi tutup batunya pecah, dan kita semua harus berhati-hati dalam gelap."
Pippin merasa tertarik sekali pada sumur itu. Sementara yang lain sedang membuka selimut dan menyiapkan tempat tidur di dekat dinding, sejauh mungkin dari lubang, ia merangkak ke pinggirnya dan mengintip ke dalam. Udara dingin seperti memukul wajahnya, naik dari kedalaman yang tak terlihat. Tergerak suatu dorongan, mendadak ia meraih sebuah batu lepas, dan membiarkannya jatuh. Jauh di bawah, batu itu seolah jatuh ke air dalam, di sebuah tempat berongga. Lalu terdengar bunyi cemplungan, sangat jauh, tapi diperkeras dan diulang-ulang dalam lubang kosong itu.
"Apa itu?" seru Gandalf. Ia lega ketika Pippin menceritakan apa yang dilakukannya; tapi ia marah, dan Pippin bisa melihat matanya berkilat-kilat. "Took tolol!" geramnya. "Ini perjalanan serius, bukan pesta jalan-jalan hobbit! Lain kali lemparkan dirimu ke dalam, biar kau tidak menjadi gangguan lagi. Sekarang diamlah!"
Tidak terdengar apa pun selama beberapa menit, tapi kemudian muncul ketukan redup dari dalam lubang: tom-tap, tap-tom. Lalu berhenti, dan ketika gemanya sudah hilang, bunyinya berulang lagi: tap-tom, tom-tap, tap-tap, tom. Kedengarannya meresahkan, seperti semacam tanda; tapi setelah beberapa saat ketukan itu hilang dan tidak terdengar lagi.
"Itu bunyi palu, kalau tidak salah," kata Gimli.
"Ya," kata Gandalf, "dan aku tidak suka bunyinya. Mungkin tak ada hubungannya dengan batu tolol si Peregrin; tapi mungkin ada sesuatu yang merasa terganggu. Kumohon jangan lakukan hal semacam itu lagi! Mudah-mudahan kita bisa beristirahat sedikit, tanpa kesulitan lain. Kau, Pippin, bisa giliran jaga pertama, sebagai ganjaran," geram Gandalf sambil menutupi dirinya dengan selimut.
Pippin duduk sedih dekat pintu, dalam kegelapan pekat; tapi ia terus menoleh, takut ada makhluk tak dikenal merangkak keluar dari sumur. Ia ingin sekali menutup lubang itu, meski hanya dengan selimut, tapi ia tak berani bergerak atau mendekatinya, meski Gandalf tampaknya tidur.
Sebenarnya Gandalf bangun, meski ia berbaring diam dan tenang. Ia sedang berpikir keras, mencoba mengingat-ingat segala sesuatu tentang perjalanannya dulu ke Tambang, dan mempertimbangkan dengan cemas jalan berikut yang harus diambilnya; arah yang salah akan berakibat malapetaka. Setelah satu jam, ia bangkit dan mendekati Pippin.
"Pergi ke pojok dan tidurlah, anakku," katanya dengan suara ramah. "Kau pasti ingin tidur, kukira. Aku tidak bisa tidur, jadi sebaiknya aku berjaga saja.
"Aku tahu apa yang salah denganku," gerutu Gandalf ketika ia duduk dekat pintu. "Aku butuh merokok! Aku tidak mengisap pipa sejak pagi sebelum badai salju."
Pemandangan terakhir yang dilihat Pippin ketika ia tertidur adalah sosok sekilas penyihir tua itu meringkuk di lantai, melindungi kepingan menyala dalam tangannya yang keriput, di antara lututnya. Kerlipan itu sejenak memperlihatkan hidungnya yang tajam, dan kepulan asap.

Gandalf yang membangunkan mereka semua dan tidur. Ia sudah duduk dan berjaga sendirian selama enam jam, membiarkan yang lain tidur. "Dan sambil berjaga aku sudah membuat keputusan," katanya. "Aku tidak menyukai rasa jalan tengah; dan aku tidak suka ban jalan di sebelah kiri: udaranya busuk di dalam sana, sebagai pemandu aku bisa menciumnya. Aku akan mengambil jalan di sebelah kanan. Sudah waktunya kita mulai mendaki lagi."
Selama delapan jam gelap, tidak termasuk dua perhentian singkat, mereka berjalan terus; mereka tidak bertemu bahaya, tidak mendengar apa pun, dan tidak melihat apa pun kecuali sinar redup cahaya penyihir itu, bergoyang-goyang seperti cetusan api di depan mereka. Jalan yang mereka pilih berliku-liku dan terus mendaki dengan teratur. Sejauh mereka bisa menilai, jalan itu berbelok-belok mendaki dalam lingkaran besar, dan sementara mendaki ia bertambah tinggi dan le- . bar. Sekarang tak ada bukaan ke selasar atau terowongan lain di kedua sisinya, lantainya datar dan padat, tanpa sumur atau retakan. Tampaknya mereka sudah menemukan jalan yang dulu sangat penting; dan mereka berjalan maju lebih cepat daripada sebelumnya.
Dengan cara ini, mereka maju sekitar lima belas mil, bila diukur dalam garis lurus ke timur, meski sebenarnya mereka sudah berjalan sekitar dua puluh mil atau lebih. Ketika jalan mendaki ke atas, semangat Frodo naik sedikit; tapi ia masih merasa tertekan, dan sesekali masih mendengar, atau merasa mendengar, jauh di belakang mereka dan di luar bunyi langkah mereka, suatu langkah kaki yang mengikuti, yang bukan bunyi gema.

Mereka sudah berjalan sejauh bisa dilakukan para hobbit tanpa istirahat, dan semua memikirkan tempat untuk tidur, ketika mendadak tembok di sebelah kiri dan kanan hilang. Tampaknya mereka sudah melewati sebuah ambang pintu melengkung ke dalam ruang hitam dan kosong. Di belakang mereka ada aliran besar udara yang lebih hangat, dan di depan mereka kegelapan yang dingin menerpa wajah Mereka berhenti dan berkerumun dengan cemas.
Gandalf kelihatan puas. "Aku sudah memilih jalan yang benar,', katanya. "Akhirnya kita sampai ke bagian yang bisa dihuni, dan kuduga kita tidak jauh dari sisi timur. Tapi kita sudah tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada Gerbang Dimrill, kecuali kalau aku salah. Menilik udaranya, rasanya kita sekarang berada di dalam sebuah aula luas. Sekarang aku akan mengambil risiko menyalakan cahaya terang."
Ia mengangkat tongkatnya, dan sekilas ada nyala seperti kilatan petir. Bayangan besar muncul dan hilang, dan sejenak mereka melihat langit-langit luas, jauh di atas kepala, ditopang oleh banyak tiang besar dari batu. Di depan mereka dan di kedua sisi membentang sebuah aula besar kosong; dinding-dindingnya yang hitam, digosok dan licin seperti kaca, menyala berkilauan. Mereka melihat tiga pintu masuk lain, lengkungan hitam gelap: satu tepat di depan mereka, ke arah timur, dan satu di setiap sisi. Lalu cahaya padam.
"Untuk sementara, itu saja risiko yang akan kuambil," kata Gandalf. "Dulu ada banyak jendela besar di sisi pegunungan, dan terowongan-terowongan menuju ke cahaya di bagian atas Tambang. Kukira kita sudah sampai sekarang, tapi di luar sudah malam lagi, dan kita tak bisa tahu sampai pagi. Kalau aku benar, maka besok kita bisa melihat matahari mengintip masuk. Sementara itu, sebaiknya kita tidak berjalan lebih jauh. Biarlah kita istirahat, kalau bisa. Sejauh ini keadaan cukup bagus, dan bagian terbesar jalanan gelap sudah dilewati. Tapi kita belum sepenuhnya keluar, dan masih panjang jalan ke Gerbang yang membuka ke dunia luar."

Mereka melewatkan malam itu di dalam aula besar, meringkuk berdekatan di sebuah pojok, untuk menghindari angin: tampaknya ada aliran udara dingin yang masuk terus-menerus melalui ambang pintu timur. Sementara mereka berbaring, kegelapan pekat menggantung di sekitar mereka, kosong dan luas tak terhingga. Mereka tertekan oleh kesepian dan kebesaran aula serta tangga-tangga dan jalan-jalan yang bercabang-cabang tak terhingga. Khayalan-khayalan paling liar yang pernah dirasakan kaum hobbit akibat selentingan gelap yang mereka dengar sama sekali tak bisa menandingi kengerian dan keajaiban sesungguhnya dari Moria.
"Dulu pasti banyak sekali Kurcaci di sini," kata Sam. "Dan mereka lebih sibuk daripada luak selama lima ratus tahun untuk membangun ini semua, dan kebanyakan dalam batu keras pula! Untuk apa mereka melakukan ini semua? Mereka kan tidak tinggal di dalam lubang-lubang gelap ini?"
"Ini bukan lubang-lubang," kata Gimli. "Ini wilayah besar dan kota Dwarrowdelf. Dan dulu tidak gelap, tapi penuh cahaya dan kecemerlangan, seperti masih diingat dalam lagu-lagu kami."
Ia bangkit berdiri dalam gelap, dan mulai bernyanyi dengan suara berat, sementara gemanya berlarian jauh ke langit-langit.
Saat dunia masih muda, dan pegunungan pun hijau,
Dan bulan tak bernoda bersinar kemilau,
Tak ada kata pada sungai atau batu
Ketika Durin terjaga dan berjalan merintang waktu.
Ia memberi nama bukit-bukit dan lembah;
Ia minum dari sumur-sumur yang banyak berlimpah;
Ia menatap ke dalam Mirrormere yang tenang,
Dan tampak olehnya sebentuk mahkota bintang,
Seperti permata pada benang perak,
Di atas bayangannya yang bergerak-gerak.

Dunia masih indah, pegunungan pun tinggi,
Begitulah keadaan di Zaman Peri
Sebelum kejatuhan raja-raja hebat
Di Nargothrond dan Gondolin yang s'karang tak terlihat
Kar'na sudah lenyap ditelan Samudra Barat:
Namun dunia di Masa Durin sungguh indah memikat.

Ia raja di singgasana. mulia
Dengan tiang-tiang di aula-aula batu istananya
Lantainya dari perak, langit-langitnya emas,
Lambang-lambang kekuatan di pintu jadi penghias.
Lampu-lampu kristal menyala gemilang
Memancarkan cahaya mentari, bulan dan bintang
Tak redup oleh awan atau kegelapan kelam
Menyala indah tak tersentuh malam.

Di sana palu menghantam landasan,
Pahat membelah, dan pengukir menorehkan;
Di sana pedang ditempa, disambungkan pada gagang;
Rumah dibangun, dan penggali menambang.
Di sana beryl, mutiara, dan opal pucat berkilauan,
Dan logam ditempa seperti sisik ikan,
Gesper dan rompi, pedang dan kapak,
Dan susunan mengilat tumpukan tombak.

Tak kenal jemu bangsa Durin saat itu;
Di bawah pegunungan musik berlagu:
Para pemusik memetik harpa, para penyanyi berdendang,
Dan di gerbang-gerbang terompet berkumandang.

Lalu dunia menjadi kelabu, pegunungan pun berubah beku,
Api pandai besi sudah dingin mengabu;
Tak ada harpa dipetik, tak ada palu berbunyi:
Kegelapan menggantung di aula-aula Durin nan sepi;
Kuburannya bersapu bayangan
Di Moria, di Khazad-dum, yang tinggal kenangan.
Namun bintang-bintang masih gemerlap
Di dalam Mirrormere yang tenang dan gelap;
Di air pekat mahkotanya tergeletak,
Sampai Durin bangkit kembali dari tidur nyenyak.

"Aku suka itu!" kata Sam. "Aku ingin belajar lagu itu. Di Moria, di Khazad-dum! Tapi ini membuat kegelapan makin pekat, kalau memikirkan semua lampu itu. Apa masih ada tumpukan permata dan emas di sini?"
Gimli diam. Setelah melantunkan lagunya, ia tak ingin berbicara lebih banyak lagi.
"Tumpukan permata?" kata Gandalf. "Tidak. Bangsa Orc sudah merampok Moria; tak ada yang tersisa di aula-aula atas. Dan sejak bangsa Kurcaci, tidak ada yang berani mencari terowongan dan harta-harta yang dipendam di tempat-tempat dalam: sudah tergenang oleh air-atau oleh bayangan ketakutan."
"Kalau begitu, untuk apa orang kerdil ingin kembali ke sini?" tanya Sam.
"Untuk mithril," jawab Gandalf. "Kekayaan Moria bukan dalam emas atau permata-semua itu cuma mainan kaum Kurcaci; bukan juga besi, pelayan mereka. Bahan-bahan itu mereka temukan di sin", memang, terutama besi; tapi mereka tak perlu menggalinya; semua yang mereka inginkan bisa mereka peroleh melalui perdagangan. Hanya di sini di dunia bisa ditemukan perak-Moria, atau perak sejati seperti dinamakan beberapa orang: mithril namanya dalam bahasa Peri. Orang-orang kerdil mempunyai nama untuk itu, yang tidak mau mereka ungkapkan. Nilainya sepuluh kali lipat nilai emas, dan sekarang bahkan lebih dari itu; karena hanya sedikit yang tersisa di atas tanah, dan bahkan bangsa Orc tidak berani menggalinya di sini. Lapisan-lapisan itu terbentang sampai ke utara, mendekati Caradhras, dan ke bawah ke dalam kegelapan. Orang-orang kerdil tidak bercerita; tapi, selain menjadi landasan kemakmuran mereka, mithril juga menjadi sumber kehancuran mereka: mereka menggali terlalu rakus dan terlalu dalam, dan mengganggu sesuatu yang kemudian membuat mereka melarikan diri, Kutukan Durin. Apa yang mereka bawa ke atas tanah hampir semuanya dirampok bangsa Orc, yang kemudian menjadikannya upeti kepada Sauron, yang sangat mendambakannya.
"Mithril! Semua bangsa mendambakannya. Logam itu bisa ditempa seperti tembaga, dan dipoles seperti kaca; dan dari bahan itu, orang-orang kerdil bisa membuat logam ringan namun lebih keras daripada baja. Keindahannya mirip perak biasa, tapi keindahan mithril tidak suram atau memudar. Bangsa Peri sangat menyukainya, dan di antara banyak kegunaannya, mereka membuat ithildin dari bahan itu, starmoon, yang sudah kalian lihat pada pintu gerbang tadi. Bilbo mempunyai rompi dari cincin-cincin mithril yang diberikan Thorin kepadanya. Aku ingin tahu, apa yang terjadi dengan benda itu? Mungkin cuma jadi pajangan di Michel-Delving Mathom-house, kukira."
"Apa?" teriak Gimli kaget, hingga terbangun dari sikap diamnya. "Rompi dari perak Moria? Itu hadiah kerajaan!"
"Ya," kata Gandalf. "Aku tak pernah memberitahunya, tapi nilainya lebih besar daripada nilai seluruh Shire dan isinya."
Frodo tidak mengatakan apa pun, tapi ia memasukkan tangan ke bawah kemejanya, dan menyentuh cincin-cincin pakaian logamnya. Ia tertegun memikirkan bahwa ia sudah berjalan ke sana kemari dengan harta Shire di bawah jaketnya. Apakah Bilbo tahu? ia tidak ragu, Bilbo pasti tahu betul hal itu. Memang ini sebuah hadiah kerajaan. Tapi kini pikirannya melayang jauh dari Tambang yang gelap, ke Rivendell, ke Bilbo, dan ke Bag End di masa Bilbo masih tinggal di sana. Ia berharap sepenuh hatinya bahwa ia kembali berada di sana, dan di masa itu, memotong rumput halaman, atau berjalan santai di tengah bunga-bungaan, tak, pernah mendengar tentang Moria. atau mithril-atau Cincin.

Hening sekali. Satu demi satu yang lain tertidur. Giliran Frodo berjaga. Rasa takut menyelimutinya, bagaikan napas yang masuk melalui pintu tak terlihat, keluar dari tempat-tempat dalam. Tangannya dingin dan alisnya lembap. Ia mendengarkan. Pikirannya sepenuhnya tertuju untuk mendengarkan suara, selama dua jam yang lamban sekali; tapi ia tidak mendengar bunyi apa pun, tidak juga merasa mendengar bunyi gema langkah kaki.
Ketika giliran jaganya hampir selesai, jauh di sana... di tempat ia menduga ambang pintu barat berdiri, ia seolah melihat dua titik cahaya yang redup, hampir seperti mata yang bercahaya. Ia bergerak kaget. Tadi ia agak mengantuk. "Rupanya aku hampir tertidur sambil berjaga," pikirnya. "Aku berada di batas mimpi." ia bangkit berdiri dan menyeka matanya, dan tetap berdiri, mengintai ke dalam kegelapan, sampai ia digantikan oleh Legolas.
Ketika berbaring, dengan cepat ia tertidur, tapi rasanya mimpinya berlanjut: ia mendengar bisikan-bisikan, dan melihat dua titik cahaya redup mendekat, perlahan-lahan. Ia bangun dan menyadari yang lain sedang berbicara perlahan di dekatnya, dan cahaya redup itu jatuh di atas wajahnya. Jauh tinggi di atas lengkungan ambang pintu timur, melalui lubang dekat langit-langit, masuk seberkas sinar panjang dan pucat; dan di seberang aula, melalui ambang pintu utara, juga masuk cahaya yang bersinar redup dan jauh.

Frodo bangkit duduk. "Selamat pagi!" kata Gandalf. "Sebab sekarang sudah pagi lagi. Ternyata aku benar. Kita berada tinggi di sisi timur Moria. Sebelum hari ini berakhir, seharusnya kita sudah menemukan Gerbang-Gerbang Besar dan melihat air Mirrormere di Lembah Dimrill di depan kita."
"Aku akan gembira," kata Gimli. "Aku sudah melihat Moria, dan memang hebat sekali, tapi sudah menjadi gelap dan menyeramkan; dan kita tidak menemukan satu pun tanda dari bangsaku. Aku sekarang ragu, apakah Balin pernah ke sini."

Setelah mereka sarapan, Gandalf memutuskan untuk berjalan lagi segera. "Kita masih letih, tapi kita akan beristirahat lebih enak kalau sudah berada di luar," katanya. "Kukira di antara kita tidak ada yang mau menghabiskan satu malam lagi di Moria."
"Memang tidak," kata Boromir. "Jalan mana yang akan kita ambil? Melalui pintu di seberang timur sana?"
"Mungkin," kata Gandalf. "Tapi aku belum tahu persis di mana kita berada. Kecuali aku sudah benar-benar tersesat, kurasa kita berada di atas, dan lebih ke utara Gerbang-Gerbang Besar; dan mungkin tidak akan gampang menemukan jalan yang benar ke sana. Lengkungan timur barangkali akan terbukti sebagai jalan yang harus kita ambil; tapi, sebelum memutuskan, kita harus melihat sekeliling kita. Mari kita mendekati cahaya di pintu utara. Kalau kita bisa menemukan jendela, itu akan membantu, tapi aku khawatir cahaya itu hanya datang dari lubang-lubang yang dalam sekali."
Mengikuti tuntunan Gandalf, mereka berjalan di bawah lengkungan utara. Mereka menyadari sudah berada dalam selasar yang lebih lebar. Ketika mereka berjalan terus, cahaya itu semakin kuat, datangnya dari sebuah lubang pintu di sebelah kanan mereka. Pintu itu tinggi, bagian atasnya datar, dari pintu batunya masih melekat pada engselnya, setengah terbuka. Di luarnya ada kamar besar berbentuk persegi. Ruangan itu bercahaya remang-remang, tapi untuk mata mereka, setelah begitu lama berada dalam gelap, cahayanya terasa menyilaukan, dan mereka mengerjap-ngerjapkan mata ketika masuk.
Kaki mereka mengepulkan debu di lantai, dan tersandung-sandung benda-benda yang tergeletak di ambang pintu, yang mulanya tak bisa mereka lihat bentuk-bentuknya. Ruangan itu diterangi oleh sebuah corong tinggi di dinding timur; corong itu condong ke atas, dan jauh di atas sana terlihat sepotong kecil langit biru. Cahaya dari corong itu jatuh tepat di atas sebuah meja di tengah ruangan: sebuah balok persegi, kira-kira dua kaki tingginya, di atasnya terletak selembar batu putih besar.
"Kelihatannya seperti kuburan," gumam Frodo, dan ia membungkuk ke depan dengan perasaan waswas, untuk mengamatinya lebih saksama. Gandalf cepat mendekatinya. Di batu itu terdapat torehan lambang-lambang.
"Ini Lambang-Lambang Daeron, seperti yang digunakan di Moria kuno," kata Gandalf. "Di sini tertulis dalam bahasa Manusia dan Kurcaci:
BALIN PUTRA FUNDIN
PENGUASA MORIA."

"Kalau begitu, dia sudah mati," kata Frodo. "Aku sudah mengira." Gimli menutupkan kerudungnya ke atas kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar