Sumbangan / Donate

Donate (Libery Reserve)


U5041526

Minggu, 06 Februari 2011

Book 2 - Bab 3

CINCIN PERGI KE SELATAN

Hari itu, setelah Rapat Dewan, para hobbit mengadakan pertemuan sendiri di kamar Bilbo. Merry dan Pippin marah ketika mendengar Sam diam-diam masuk ke Rapat Dewan, dan sudah dipilih sebagai pendamping Frodo.
"Itu sangat tidak adil," kata Pippin. "Bukannya melempar dia keluar dan memborgolnya, Elrond malah memberinya imbalan untuk kekurangaj arannya!"
"Imbalan!" kata Frodo. "Aku tak bisa membayangkan hukuman yang lebih berat. Kau bicara tanpa pikir panjang: dikutuk untuk pergi dalam perjalanan tanpa harapan, itu imbalan? Kemarin aku bermimpi tugasku sudah selesai, dan aku bisa beristirahat di sini untuk waktu lama, bahkan mungkin untuk selamanya."
"Aku tidak heran," kata Merry, "dan aku berharap keinginanmu kesampaian. Tapi kami iri pada Sam, bukan padamu. Kalau kau harus pergi, maka bagi kami yang ditinggal, meski di Rivendell, itu merupakan suatu hukuman. Kami sudah berjalan jauh bersamamu dan sudah melewati saat-saat gawat. Kami ingin melanjutkan perjalanan."
"Itu maksudku," kata Pippin: "Kita kaum hobbit harus tetap bersama, dan itu akan kita lakukan. Aku akan pergi, kecuali mereka mengikatku. Harus ada orang yang punya kecerdasan dalam rombongan."
"Kalau begitu, kau pasti tidak akan dipilih, Peregrin Took!" kata Gandalf, menengok ke dalam jendela, yang dekat ke tanah. "Tapi kalian tak perlu khawatir dine. Belum ada yang diputuskan."
"Tidak ada yang diputuskan!" sera Pippin. "Kalau begitu, apa yang kalian semua lakukan? Kalian di ruang tertutup selama berjam-jam."
"Berbicara," kata Bilbo. "Banyak sekali pembicaraan, dan semua mempunyai kejutan. Bahkan Gandalf tea. Kukira berita Legolas tentang Gollum juga membuatnya terguncang, meski dia kemudian tidak menghiraukannya."
"Kau salah," kata Gandalf. "Kau tidak memperhatikan. Aku sudah mendengarnya dari Gwaihir. Kalau kau mau tahu, yang benar-benar kejutan, seperti kau menyebutnya, adalah kau dan Frodo; dan aku satu-satunya yang tidak kaget."
"Yang jelas," kata Bilbo, "tidak ada yang diputuskan selain memilih Frodo dan Sam yang malang. Aku sudah khawatir ini akan terjadi, kalau aku dibolehkan mencetuskannya. Tapi menurutku Elrond akan mengutus sejumlah besar orang, kalau laporan-laporan sudah masuk. Apa mereka sudah mulai, Gandalf?"
"Ya," kata penyihir itu. "Beberapa pengintai sudah dikirimkan. Lebih banyak lagi akan berangkat besok. Elrond mengirimkan kaum Peri, dan mereka akan menghubungi para Penjaga Hutan, dan mungkin juga bangsa Thranduil di Mirkwood. Aragorn berangkat bersama putra-putra Elrond. Kita harus memeriksa seluruh negeri-negeri sekitar untuk jarak jauh sekali, sebelum melakukan gerakan apa pun. Jadi, bergembiralah, Frodo! Mungkin kau akan lama sekali tinggal di sini."
"Ah!" kata Sam muram. "Kita hanya akan menunggu cukup lama, sampai musim dingin tiba."
"Itu tak bisa dihindari," kata Bilbo. "Itu sebagian adalah kesalahanmu, Frodo anakku: menuntut untuk menunggu sampai ulang tahunku. Cara aneh untuk menghormatinya, kupikir. Bukan hari yang akan kupilih untuk membiarkan keluarga S.-Bs. masuk ke Bag End. Tapi begitulah: kau sekarang tak bisa menunggu sampai musim semi; dan kau tak bisa pergi sebelum laporan-laporan masuk.
Saw musim dingin pertama muncul
meretakkan bebatuan di malam beku dan sepi,
saat telaga-telaga menghitam dan pepohonan pun gundul,
janganlah berjalan di Belantara seorang diri.
Tapi aku khawatir nasibmu justru seperti itu."
"Aku juga khawatir begitu," kata Gandalf. "Kita belum bisa berangkat sebelum tahu tentang para Penunggang itu."
"Kupikir mereka semua sudah hancur kena banjir," kata Merry.
"Hantu-Hantu Cincin seperti itu tak bisa dihancurkan," kata Gandalf. "Mereka bergantung pada kekuatan tuan mereka, dan mereka berdiri atau jatuh bersamanya. Moga-moga mereka semua sudah tidak mempunyai kuda lagi dan sudah terbuka topengnya, hingga untuk sementara
tidak begitu berbahaya; tapi kita harus mencari tahu dengan pasti. Sementara itu, kau harus mencoba melupakan kesulitanmu, Frodo. Entah aku bisa membantumu atau tidak, tapi aku main membisikkan ini padamu. Ada yang bilang, perlu ada yang cerdas dalam rombongan ini. Dia benar. Kupikir aku akan ikut denganmu."
Frodo begitu bahagia mendengar pernyataan itu, sampai Gandalf meninggalkan ambang jendela tempat ia duduk selama itu, dan melepaskan topinya sambil membungkuk. "Aku hanya bilang kupikir aku akan ikut. Dalam hal ini, Elrond yang akan banyak memutuskan, dan temanmu Strider. Omong-omong, aku jadi teringat. Aku harus menemui Elrond. Aku harus pergi."
"Menurutmu, berapa lama waktuku di sini?" kata Frodo pada Bilbo, ketika Gandalf sudah pergi.
"Oh, aku tidak tahu. Aku tak bisa menghitung hari di Rivendell," kata Bilbo. "Tapi cukup lama, kupikir. Kita akan bisa banyak bercakap-cakap. Bagaimana kalau kau membantuku dengan bukuku, dan membuat awal buku berikutnya? Apa kau sudah memikirkan akhir ceritanya?"
"Ya, beberapa, semuanya gelap dan tidak menyenangkan," kata Frodo.
"Oh, tidak boleh!" kata Bilbo. "Buku seharusnya mempunyai akhir kisah yang bagus. Bagaimana kalau begini: dan mereka semua tinggal dan hidup bersarna dengan bahagia?"
"Cukup baik, kalau memang akan sampai ke sana," kata Frodo. "Ah!" kata Sam. "Dan di mana mereka akan tinggal? Itu yang sering kupertanyakan."

Untuk beberapa saat, para hobbit melanjutkan bercakap-cakap dan memikirkan perjalanan yang sudah lalu, serta bahaya-bahaya di depan; tapi begitu menyenangkan kehidupan di negeri Rivendell, hingga tak lama kemudian semua kecemasan hilang dari benak mereka. Masa depan, baik atau buruk, tidak dilupakan, tapi sudah tak punya kekuatan untuk menguasai masa kini. Kesehatan dan harapan tumbuh kuat dalam diri mereka, dan mereka puas dengan setiap hari bagus yang datang, bergembira dengan setiap hidangan, setiap kata dan lagu.
Begitulah hari-hari berlalu, sementara setiap pagi merekah cerah dan indah, dan setiap sore mengikuti dengan sejuk dan jernih. Tapi musim augur menyurut dengan cepat; perlahan-lahan cahaya keemasan pudar menjadi pucat keperakan, dan dedaunan yang masih bertahan jatuh dari pohon-pohon. Angin mulai berembus dingin dari Pegunungan Berkabut di timur. Bulan Pemburu membesar membulat di langit malam, dan mengusir semua bintang kecil. Namun rendah di Selatan, satu bintang bersinar merah. Setiap malam, ketika Bulan memudar lagi, bintang itu bersinar semakin terang dan semakin terang. Frodo bisa melihatnya dari jendelanya, jauh di langit, menyala seperti mata yang waspada, yang menyorot dari atas pepohonan di ujung lembah.

Para hobbit sudah hampir dua bulan berada di Rumah Elrond. November lewat dengan sisa-sisa terakhir musim gugur, dan Desember sedang berlalu, ketika para pengintai mulai kembali. Beberapa sudah pergi ke utara, di seberang mata air Hoarwell, masuk ke Ettenmoors; yang lain sudah pergi ke barat, dan dengan bantuan Aragorn serta para Penjaga Hutan, sudah menyelidiki negeri jauh di sepanjang Greyflood, sampai sejauh Tharbad, di mana Jalan Utara lama menyeberangi sungai dekat kota yang sudah menjadi puing. Banyak yang sudah pergi ke timur dan ke selatan; beberapa dari mereka menyeberangi Pegunungan dan masuk ke Mirkwood, sementara yang lainnya mendaki jalan di sumber Sungai Gladden, masuk ke Belantara dan melintasi Gladden Fields, akhirnya sampai ke rumah lama Radagast di Rhosgobel. Radagast tidak ada di sana; dan mereka kembali melalui jalan tinggi yang disebut Tangga Dimrill. Putra-putra Elrond, Elladan dan Elrohir, yang terakhir kembali; mereka sudah melakukan perjalanan besar, masuk lewat Silverlode ke dalam negeri aneh, tapi mereka hanya mau berbicara pada Elrond tentang tugas mereka.
Di wilayah mana pun, para pengintai tidak menemukan tanda-tanda atau kabar tentang para Penunggang atau anak buah lain dari Musuh. Bahkan dari Elang-Elang Pegunungan Berkabut pun mereka tidak mendapat kabar baru. Tak ada yang terlihat atau terdengar tentang Gollum; tapi serigala- serigala liar masih berkumpul, dan berburu lagi jauh di sana, sepanjang Sungai Besar. Tiga dari kuda hitam sudah ditemukan tenggelam seketika di Ford yang banjir. Di alas bebatuan air terjun di bawahnya, para pencari menemukan tubuh lima kuda lagi, Juga sebuah jubah panjang hitam, tergores dan tercabik-cabik. Penunggang-Penunggang Hitam sama sekali tidak meninggalkan jejak, dan kehadiran mereka tak bisa dirasakan di mana pun. Tampaknya mereka sudah lenyap dari Utara.
"Delapan dari Sembilan setidaknya sudah ada laporannya," kata Gandalf. "Memang agak gegabah kalau kita terlalu yakin, tapi menurutku kita boleh berharap para Hantu Cincin sudah tercerai-berai, dan terpaksa kembali sebisa mungkin ke tuan mereka di Mordor, kosong dan tak berwujud.
"Kalau memang begitu, mereka baru akan mulai berburu lagi setelah beberapa saat. Tentu saja Musuh mempunyai anak buah lain, tapi mereka harus berjalan sampai ke perbatasan Rivendell sebelum bisa melacak jejak kita. Dan, kalau kita berhati-hati, jejak kita akan sulit ditemukan. Tapi kita tak boleh menunda lebih lama lagi."

Elrond memanggil para hobbit. Ia memandang Frodo dengan muram. "Saatnya sudah tiba," katanya. "Kalau Cincin itu mesti disingkirkan, maka sekaranglah saatnya. Tapi mereka yang pergi bersamanya tak boleh berharap tugas mereka akan dibantu perang atau kekuatan. Mereka harus masuk ke dalam wilayah Musuh, jauh dari bantuan. Apa kau masih memegang janjimu, Frodo, bahwa kau akan menjadi pembawa Cincin?"
"Ya," kata Frodo. "Aku akan pergi dengan Sam."
"Kalau begitu, aku tak bisa banyak membantumu, tidak juga dengan nasihat," kata Elrond. "Aku tak bisa meramal banyak tentang perjalananmu; dan bagaimana tugasmu bisa diselesaikan, aku tidak tahu. Bayang-bayang itu sudah merangkak ke kaki Pegunungan, bahkan mendekati perbatasan Greyflood; dan di bawah Bayang-Bayang itu semuanya gelap bagiku. Kau akan bertemu banyak musuh, beberapa terbuka, beberapa menyamar; dan kau mungkin akan menemukan sahabat di perjalanan, pada saat yang sama sekali tak terduga. Aku akan mengirimkan pesan-pesan sebisaku, pada mereka yang kukenal di dunia luas; tapi sekarang negeri-negeri sudah jadi begitu berbahaya, hingga beberapa pesan mungkin tidak akan sampai, atau sampai tidak lebih cepat daripada dirimu.
"Dan aku akan memilihkan pendamping untuk pergi bersamamu, sejauh mereka mau atau nasib mengizinkan. Jumlahnya harus sedikit, karena harapanmu terletak dalam kecepatan dan kerahasiaan. Seandainya aku mempunyai pasukan bersenjata kaum Peri, seperti pada Zaman Peri, itu pun tidak akan banyak membantu, justru hanya akan membangkitkan kekuatan Mordor.
"Para Pembawa Cincin akan berjumlah Sembilan; dan Sembilan Pejalan ini akan melawan Sembilan Penunggang yang jahat. Bersamamu dan pelayanmu yang setia, Gandalf akan ikut; karena in, akan menjadi tugas besarnya, dan mungkin akhir dari pekerjaannya.
"Sisanya, mereka akan mewakili Bangsa-Bangsa Merdeka lain di Dunia: Peri, Kurcaci, dan Manusia. Legolas mewakili kaum Peri, dan Gimli putra Gloin mewakili para Kurcaci. Mereka bersedia pergi, setidaknya sejauh celah-celah di Pegunungan, dan mungkin lebih dari itu. Mewakili Manusia adalah Aragorn putra Arathorn, karena Cincin Isildur berhubungan erat dengannya."
"Strider!" kata Frodo.
"Ya," kata Strider sambil tersenyum. "Aku minta izin sekali lagi untuk menjadi pendampingmu."
"Aku pasti akan memohonmu untuk ikut," kata Frodo, "hanya saja aku mengira kau akan pergi ke Minas Tirith bersama Boromir."
"Memang," kata Aragorn. "Dan Pedang-yang-sudah-Patah itu akan ditempa kembali sebelum aku maju perang. Tapi jalanmu dan jalanku berdampingan selama beratus-ratus mil. Karena itu, Boromir juga akan ikut dalam rombongan. Dia orang yang gagah berani."
"Tapi itu berarti tidak ada tempat untuk kami!" teriak Pippin sedih. "Kami tidak mau ditinggal Kami ingin ikut dengan Frodo."
"Itu karena kau tidak mengerti dan tak bisa membayangkan apa yang bakal kauhadapi," kata Elrond.
"Begitu juga Frodo," kata Gandalf, tiba-tiba mendukung Pippin. "Tak satu pun di antara kita tahu pasti. Memang benar, hobbit-hobbit ini tidak akan berani pergi kalau mereka memahami bahayanya. Tapi mereka masih tetap ingin pergi, atau berharap mereka berani, dan akan malu serta sedih. Elrond, menurutku dalam masalah ini lebih baik mempercayai persahabatan mereka daripada kebijakan besar. Meski kau memilihkan seorang Pangeran Peri untuk kami, misalnya Glorfindel, dia tidak akan bisa menyerang Menara Kegelapan, atau membuka jalan ke Api dengan kekuatan yang ada di dalam dirinya."
"Kau berbicara serius," kata Elrond, "tapi aku ragu. Menurutku saat ini Shire tidak bebas dari bahaya, dan mungkin dua hobbit ini akan kukirim sebagai pembawa berita ke sana, untuk memperingatkan penduduknya tentang bahaya-ini. Bagaimanapun, kurasa yang termuda di antara mereka berdua, Peregrin Took, perlu tetap di sini. Hatiku berat membiarkan dia pergi."
"Kalau begitu, Master Elrond, kau harus menyekapku di penjara, atau mengirimku pulang terikat dalam karung," kata Pippin. "Karena kalau tidak, aku akan tetap ikut dengan Rombongan."
"Ya sudahlah. Kau akan pergi," kata Elrond, dan ia mengeluh. "Sekarang rombongan Sembilan sudah lengkap. Dalam tujuh hari, kalian harus berangkat."

Pedang Elendil ditempa kembali oleh para pandai besi bangsa Peri, pada matanya ditorehkan alat berbentuk tujuh bintang di antara Bulan Sabit dan Matahari yang bersinar, dan di sekitarnya dituliskan banyak lambang; karena Aragorn, putra Arathorn, akan pergi berperang melawan barisan Mordor. Pedang itu bersinar kemilau setelah diperbaiki utuh kembali; cahaya matahari bersinar merah di dalamnya, dan cahaya bulan bersinar dingin, tepiannya keras dan tajam. Aragorn memberinya nama baru, Anduril, Nyala Api dari Barat.
Aragorn dan Gandalf berjalan bersama, atau duduk membicarakan perjalanan dan bahaya yang akan mereka temui; mereka merenungi tumpukan peta dan buku pengetahuan yang ada di rumah Elrond. Kadang-kadang Frodo bersama mereka; tapi ia puas mengandalkan bimbingan mereka, dan sebanyak mungkin waktu dihabiskannya bersama Bilbo.
Di hari-hari terakhir itu, para hobbit duduk bersama di sore hari di Aula Api. Di sana, di antara banyak dongeng, mereka mendengar selengkapnya syair tentang Beren dan Luthien, dan tentang keberhasilan Beren menyunting Permata Agung itu; tapi di pagi hari, sementara Pippin dan Merry berjalan-jalan, Frodo dan Sam bisa ditemukan bersama Bilbo di dalam kamarnya yang kecil. Bilbo akan membacakan beberapa bab dari bukunya (yang masih kelihatan sangat tidak lengkap), atau potongan sajak-sajaknya, atau mencatat petualangan Frodo.
Di pagi hari terakhir, Frodo berdua saja dengan Bilbo, dan hobbit tua itu mengeluarkan sebuah peti kayu dari bawah tempat tidurnya. Ia membuka tutupnya dan meraba-raba di dalamnya.
"Ini pedangmu," katanya. "Tapi sudah patah. Aku mengambilnya untuk menyimpannya dengan aman, tapi aku lupa menanyakan apakah para pandai besi bisa memperbaikinya. Sudah tak ada waktu lagi sekarang. Maka, kupikir, mungkin kau mau menerima ini."
Dari dalam peti, Bilbo mengambil sebilah pedang kecil terbungkus sarung kulit yang sudah usang. Lalu ia menghunusnya, dan pedang yang terawat dan sudah digosok itu tiba-tiba berkilauan, dingin dan terang. "Ini Sting," kata Bilbo, dan menusukkannya tanpa banyak upaya ke dalam balok kayu. "Ambillah, kalau kau suka. Aku tidak akan memerlukannya lagi, kukira."
Frodo menerimanya dengan bersyukur.
"Juga ada ini!" kata Bilbo, mengeluarkan sebuah bungkusan yang tampak agak terlalu berat untuk ukurannya. Bilbo membuka beberapa lipatan kain tua, dan mengangkat sebuah rompi kecil dari logam. Rompi itu terbuat dari tenunan cincin rapat, sangat lemas, hampir seperti kain linen, dingin seperti es, dan lebih keras daripada baja. Ia berkilauan seperti perak yang kena cahaya bulan, dan bertatahkan permata putih. Juga ada ikat pinggang dari mutiara dan kristal.
"Indah, bukan?" kata Bilbo, menggerakkannya di bawah cahaya. "Dan berguna sekali. Ini rompi logam Kurcaci yang diberikan Thorin padaku. Aku mengambilnya kembali dari Michel Delving sebelum aku berangkat, dan mengepaknya bersama barang bawaanku. Aku membawa semua kenang-kenangan Petualangan-ku, kecuali Cincin. Tapi kurasa aku tidak akan memakainya, dan aku tidak membutuhkannya sekarang, kecuali untuk sekali-sekali dilihat. Hampir tidak terasa beratnya kalau dipakai."
"Aku pasti akan kelihatan... yah, kurasa aku tidak akan tampak bagus kalau memakainya," kata Frodo.
"Persis seperti yang kukatakan pada diriku sendiri," kata Bilbo. "Tapi jangan hiraukan penampilan. Kau bisa memakainya di bawah pakaian luarmu. Ayo! Ini rahasia antara kau dan aku. Jangan ceritakan pada siapa pun! Tapi aku akan merasa lebih bahagia kalau aku tahu kau memakainya. Mungkin rompi ini bisa menahan pisau Penunggang Hitam sekalipun," ia mengakhiri perkataannya dengan suara rendah.
"Baiklah, baiklah, aku akan memakainya," kata Frodo. Bilbo mengenakannya pada Frodo, dan mengikat Sting pada ikat pinggangnya yang berkilauan; lalu Frodo memakai celana, jubah, dan jaketnya yang sudah lusuh kena cuaca.
"Kau kelihatan seperti hobbit biasa," kata Bilbo. "Tapi di dalam dirimu ada sesuatu yang lebih besar daripada yang tampak di permukaan. Selamat dan sukses untukmu!" Bilbo membuang muka dan memandang ke luar jendela, sambil mencoba menyenandungkan sebuah lagu.
"Bilbo, ucapan terima kasih saja takkan cukup untuk ini, dan untuk semua kebaikanmu di masa lalu," kata Frodo.
"Tak perlu!" kata hobbit tua itu sambil membalikkan tubuh dan menepuk punggung Frodo. "Aduh!" teriaknya. "Kau sekarang sudah terlalu keras untuk dipukul! Tapi begitulah: para hobbit harus selalu bekerja sama, terutama keluarga Baggins. Yang kuminta sebagai balasan hanya: jaga dirimu sebaik mungkin, dan bawalah kembali semua berita sebisa mungkin, dan lagu serta dongeng kuno yang kautemukan. Aku akan berupaya sebaik mungkin untuk menyelesaikan bukuku sebelum kau kembali. Aku ingin menulis buku kedua, kalau aku diberi waktu untuk tetap hidup." Bilbo memutuskan pembicaraan dan membalikkan badan ke jendela lagi, sambil bernyanyi perlahan.
Di depan perapian, aku duduk memikirkan
segala hal yang pernah kulihat,
bunga-bunga di padang dan kupu-kupu yang berterbangan
di musim panas yang telah lewat;

Dedaunan kuning dan jaringan sutra
di musim gugur yang telah berlalu
bersama kabut pagi dan cahaya matahari
serta angin yang bertiup di rambutku.

Di depan perapian, aku duduk memikirkan
tentang apa jadinya dunia ini
bila hanya ada musim dingin
tanpa disusul musim semi.

Kar'na masih sangat banyak
Hal-hal yang belum sempat kukagumi:
di setiap hutan dalam setiap musim semi
ada warna hijau yang berbeda 'tuk dinikmati.

Di dekat perapian, aku duduk memikirkan
orang-orang di zaman dahulu,
dam orang-orang yang akan melihat dunia
yang aku sendiri takkan pernah tahu.

Tapi sementara aku duduk berpikir
tentang masa-masa yang telah berlalu,
kupasang telinga mendengarkan langkah kaki
dan suara-suara di depan pintu..

Hari itu cuaca dingin kelabu, mendekati akhir Desember. Angin Timur mengalir melalui dahan-dahan gundul pepohonan, dan menggelegak di pohon-pohon cemara di bukit. Potongan awan-awan bergegas di atas, gelap dan rendah. Ketika keremangan muram sore hari mulai latuh, Rombongan itu bersiap-siap berangkat. Mereka akan berangkat senja, karena Elrond menyarankan mereka berjalan di bawah lindungan malam sesering mungkin, sampai mereka jauh dari Rivendell.
"Kau harus waspada terhadap banyak mata anak buah Sauron," katanya. "Tak kuragukan bahwa kabar tentang malapetaka yang dialami para Penunggang sudah sampai ke telinganya, dan dia pasti gusar sekali. Tak lama lagi, mata-matanya yang berjalan maupun bersayap akan berkelana di negeri-negeri utara. Bahkan langit di atasmu harus diwaspadai dalam perjalananmu."

Rombongan itu hanya membawa sedikit senjata perang, karena harapan mereka ada pada kerahasiaan, bukan pertempuran. Aragorn membawa Anduril, tapi tidak membawa senjata lain, dan ia pergi hanya berpakaian hijau dan cokelat, sebagai penjaga belantara. Boromir mempunyai pedang panjang, bentuknya seperti Anduril, tapi garis keturunannya tidak begitu hebat, dan ia juga membawa perisai serta terompet perangnya.
"Bunyinya nyaring dan jelas di lembah-lembah perbukitan," katanya, "maka biarlah semua musuh Gondor lari!" Sambil memasang terompet itu di bibirnya, ia meniupnya; gemanya berlompatan dari karang ke karang, dan semua yang mendengarnya di Rivendell melompat bangkit.
"Jangan terlalu cepat membunyikan terompetmu itu lagi, Boromir," kata Elrond, "sampai kau sekali lagi berdiri di perbatasan negerimu, dan menghadapi situasi gawat."
"Mungkin," kata Boromir. "Tapi aku selalu membunyikan terompetku kalau berangkat, dan meski setelahnya kami akan berjalan dalam kegelapan, aku tidak akan pergi seperti maling di malam hari."
Hanya Gimli si Kurcaci yang mengenakan secara terbuka sebuah kemeja pendek terbuat dari cincin-cincin baja, karena orang-orang kerdil bisa mengangkat beban dengan enteng; dalam ikat pinggangnya ada sebuah kapak bermata lebar. Legolas mempunyai sebuah busur dan tempat anak panah, dan di ikat pinggangnya sebilah pisau panjang putih. Hobbit-hobbit yang lebih muda membawa pedang-pedang yang mereka ambil dari Barrow; tapi Frodo hanya membawa Sting; rompi logamnya tetap tersembunyi, seperti diinginkan Bilbo. Gandalf membawa tongkatnya, tapi terpasang di pinggangnya adalah Glamdring, pedang bangsa Peri, pasangan pedang Orcrist yang sekarang terbaring di atas dada Thorin, di bawah Gunung Sunyi.
Mereka semua dibekali pakaian tebal yang hangat oleh Elrond; mereka juga mempunyai jaket can mantel berlapis bulu. Persediaan makanan, pakaian, dan kebutuhan lain diangkut seekor kuda, tak lain daripada hewan malang yang mereka bawa dari Bree.
Tinggal di Rivendell telah membawa perubahan hebat pada si kuda: bulunya mengilap, dan semangatnya menggebu-gebu. Sam yang bersikeras memilihnya, menyatakan bahwa Bill (begitu ia memanggilnya) akan sakit kalau tidak diajak.
"Hewan itu hampir bisa bicara," katanya, "dan akan berbicara, kalau dia tinggal di sini lebih lama lagi. Dia memandangku sama jelasnya seperti Mr. Pippin bicara: 'Kalau kau tidak membiarkan aku ikut denganmu, Sam, aku akan ikut sendiri." Maka Bill pun ikut sebagai hewan muatan, tapi justru ia satu-satunya anggota rombongan yang tidak tampak tertekan.

Mereka sudah berpamitan di aula besar dekat perapian, dan sekarang mereka hanya menunggu Gandalf, yang belum keluar dari rumah. Secercah cahaya api keluar melalui pintu-pintu yang terbuka, dan cahaya-cahaya lembut bersinar di dalam banyak jendela. Bilbo yang berselubung jubah berdiri diam di ambang pintu, di samping Frodo. Aragorn duduk dengan kepala tertunduk sampai ke lutut; hanya Elrond yang tahu persis arti saat ini baginya. Yang lainnya terlihat sebagai sosok-sosok kelabu di dalam kegelapan.
Sam berdiri dekat kuda, sambil mengisap-isap giginya, dan memandang muram ke dalam keremangan, di mana sungai bergemuruh di atas bebatuan di bawah; gairahnya untuk petualangan sedang surut sampai titik terendah.
"Bill, sobatku," katanya, "seharusnya kau tidak ikut kami. Kau bisa saja tetap di sini, makan jerami terbaik sampai rumput baru datang." Bill mengibaskan ekornya dan tidak mengatakan apa pun.
Sam membetulkan letak ransel di pundaknya, dan dengan cemas mengingat-ingat kembali apa saja yang sudah ia masukkan ke dalamnya, bertanya-tanya apakah ia melupakan sesuatu: hartanya yang utama, alat-alat masaknya; dan kotak garam kecil yang selalu dibawa dan diisinya kembali sebisa mungkin; persediaan rumput tembakau (tapi pasti kurang banyak); korek api dan bahan bakar; kaus kaki wol; beberapa benda milik majikannya yang dilupakan Frodo dan yang dikemas Sam untuk suatu saat nanti dikeluarkan dengan bangga kalau dicari. Ia mengingat-ingat semuanya.
"Tambang!" ia menggerutu. "Tidak ada tambang! Padahal baru tadi malam kau bilang pada dirimu sendiri, 'Sam, bagaimana dengan tambang? Kau akan memerlukannya, kalau kau tidak punya.' Well, aku akan menginginkannya. Tapi aku tak mungkin mendapatkannya sekarang."

Saat itu Elrond keluar bersama Gandalf, dan ia memanggil Rombongan. "Inilah ucapanku yang terakhir," katanya dengan suara rendah. "Pembawa Cincin akan berangkat ke Gunung Maut. Pada dirinya seorang, tanggung jawab terbeban: tidak membuang Cincin, atau memberikannya kepada anak buah Musuh, juga tidak membolehkan siapa pun memegangnya, kecuali anggota Rombongan dan Dewan Penasihat, dan hanya dalam keadaan sangat gawat. Yang lain-lain pergi bersamanya sebagai pendamping bebas, untuk membantunya di jalan. Kalian boleh tetap tinggal, atau kembali, atau membelok ke jalan lain, tergantung kesempatan. Semakin jauh kalian pergi, semakin tak mudah mengundurkan diri; tapi tak ada sumpah atau ikatan yang dibebankan pada kalian untuk pergi lebih jauh daripada yang kalian inginkan. Karena kalian tidak tahu kekuatan hati kalian, dan kalian tak bisa tahu sebelumnya, apa yang akan dijumpai masing-masing dalam perjalanan ini."
"Dia yang pamit ketika jalan menjadi gelap adalah orang yang tak punya keyakinan," kata Gimli.
"Mungkin," kata Elrond, "tapi jangan biarkan seseorang bersumpah untuk berjalan dalam kegelapan, kalau dia belum melihat datangnya malam."
"Tapi kata-kata sumpah mungkin bisa memperkuat had yang gemetar," kata Gimli.
"Atau mematahkannya," kata Elrond. "Jangan menatap terlalu jauh ke depan! Tapi pergilah sekarang dengan hati bersih! Selamat jalan, dan semoga berkat bangsa Peri dan Manusia dan semua Bangsa Merdeka menyertaimu. Semoga bintang-bintang menerangi wajahmu!"

"Semoga... semoga berhasil!" teriak Bilbo, berbicara terbata-bata karena kedinginan. "Kurasa kau tidak akan sempat menulis buku harian, Frodo anakku, tapi aku mengharapkan laporan lengkap bila kau kembali. Dan jangan terlalu lama! Selamat jalan!"

Para anggota lain dalam rumah tangga Elrond berdiri dalam bayang-bayang, memperhatikan mereka berangkat, mengucapkan selamat jalan dengan suara-suara lembut. Tak ada tawa, dan tak ada nyanyian atau musik. Akhirnya mereka membalikkan badan, dan diam-diam berlalu dalam kegelapan.
Rombongan itu melintasi jembatan, dan perlahan-lahan mendaki jalan curam panjang yang keluar dari lembah Rivendell yang terbelah; akhirnya mereka sampai ke dataran tinggi, di mana angin mendesis melalui semak-semak heather. Lalu, dengan satu tatapan terakhir ke Rumah Nyaman terakhir yang berkelip-kelip di bawah sana, mereka berjalan maju ke dalam kegelapan malam.

Di Ford Bruinen mereka meninggalkan Jalan, dan menuju ke selatan, melalui jalan-jalan sempit di tengah daratan yang penuh lipatan-lipatan tanah. Rencana mereka adalah tetap berjalan ke arah ini di sisi barat Pegunungan, untuk beberapa mil dan hari. Pedalaman itu jauh lebih kasar dan lebih gersang daripada di lembah hijau Sungai Besar di Belantara, di sisi sebelah sana jajaran gunung, dan perjalanan mereka akan lamban; tapi dengan cara ini mereka berharap bisa menghindari ketahuan oleh mata yang tidak bersahabat. Mata-mata Sauron selama ini jarang terlihat di negeri kosong ini, dan jalan-jalannya tidak dikenal, kecuali oleh penduduk Rivendell.
Gandalf berjalan di depan, dan bersamanya berjalan Aragorn, yang kenal negeri ini bahkan dalam gelap. Yang lainnya berbaris ke belakang, dan Legolas yang bermata tajam menjadi penjaga belakang. Bagian pertama perjalanan mereka keras dan melelahkan, dan Frodo hanya sedikit mengingatnya, kecuali anginnya. Selama berhari-hari angin sedingin es bertiup dari Pegunungan di timur, dan tak ada pakaian yang mampu menahan rabaan jemarinya. Meski Rombongan itu berpakaian baik, jarang mereka merasa hangat, baik selagi bergerak maupun bila sedang beristirahat. Mereka tidur dengan gelisah di tengah hari, di suatu lembah, atau tersembunyi di bawah semak belukar berduri yang tumbuh bergerombol di banyak tempat. Di siang hari, mereka dibangunkan oleh penjaga, dan menyantap makan siang: dingin dan tak menyenangkan biasanya, karena mereka jarang bisa mengambil risiko menyalakan api. Di sore hari mereka melanjutkan perjalanan, selalu sedapat mungkin ke arah selatan, bila mereka bisa menemukan jalan.
Pada mulanya, para hobbit merasa perjalanan ini tidak membawa mereka ke mana-mana, dan terasa selamban siput, meski mereka sudah berjalan tersandung-sandung sampai kelelahan. Setiap hari pedalaman itu kelihatan sama saja seperti hari sebelumnya. Namun toh pegunungan semakin dekat. Di Selatan Rivendell mereka menjulang semakin tinggi, dan melengkung ke barat; dan di sekitar kaki gunung utama terhampar negeri perbukitan yang lebih luas, dan lembah-lembah berisi air yang bergolak. Jalan setapak hanya sedikit dan berkelok-kelok, dan sering hanya menuntun mereka ke ujung suatu jurang terjal, atau masuk ke rawa-rawa jahat.

Mereka sudah dua minggu dalam perjalanan, ketika cuaca berubah. Angin mendadak berhenti, dan berputar ke arah selatan. Awan-awan yang mengalir cepat mendadak lenyap dan melebur, dan matahari muncul, pucat dan cerah. Fajar dingin jernih merebak di akhir perjalanan malam yang panjang dan terhuyung-huyung. Para pelancong aku sampai ke sebuah punggung bukit rendah yang dimahkotai pepohonan holly kuno, dengan batang-batang kelabu yang seolah dibangun dari batu-batu bukit itu sendiri. Daun-daunnya yang gelap bersinar, dan buah beryn-nya menyala merah dalam cahaya matahari terbit.
Jauh di selatan, Frodo bisa melihat sosok remang-remang pegunungan tinggi yang sekarang seolah berdiri di atas jalan yang mereka lalui. Di sebelah kiri barisan pegunungan ini menjulang tiga puncak; yang tertinggi dan paling dekat berdiri seperti gigi berlapiskan salju; ngarainya yang besar dan gersang di sisi utara masih diliputi keremangan, tapi menyala merah di bagian yang disinari cahaya matahari.
Gandalf berdiri di samping Frodo, dan memandang dari bawah tudungan tangannya. "Kita sudah berhasil baik," katanya. "Kita sudah mencapai perbatasan negeri yang disebut Hollin. Banyak Peri hidup di sini di masa-masa yang lebih bahagia, ketika namanya masih Eregion: Sudah lima puluh lima mil kita berjalan, menurut ukuran terbang burung gagak, meski lebih banyak mil lagi yang sudah ditempuh kaki kita. Negeri dan cuacanya akan lebih lembut sekarang, tapi mungkin justru semakin berbahaya."
"Berbahaya atau tidak, terbitnya matahari sangat menyenangkan," kata Frodo, menyingkapkan kerudungnya dan membiarkan cahaya pagi jatuh ke wajahnya.
"Tapi pegunungan ada di depan kita," kata Pippin. "Pasti tadi malam kita berbelok ke timur."
"Tidak," kata Gandal£ "Tapi kau bisa melihat lebih jauh di bawah sinar terang. Di seberang puncak-puncak itu, pegunungan membengkok ke barat daya. Banyak sekali peta di rumah Elrond, tapi kurasa tak terpikir olehmu untuk mengamatinya?"
"Ya, aku melakukannya, kadang-kadang," kata Pippin, "tapi aku tak ingat. Frodo lebih cerdas untuk hal-hal semacam ini."
"Aku tidak butuh peta," kata Gimli, yang datang bersama Legolas. Ia menatap ke depan dengan sorot aneh di matanya yang dalam. "Dahulu kala, di negeri itulah ayah-ayah kami bekerja, dan kami menempa gambar pegunungan itu ke dalam banyak karya dari logam dan batu. Dan ke dalam banyak lagu dan dongeng. Mereka menjulang tinggi dalam mimpi-mimpi kami: Baraz, Zirak, Shathur.
"Hanya sekali aku melihat mereka dari jauh dalam hidup ini, tapi, aku tahu mereka dan nama-nama mereka, karena di bawahnya terletak Khazad-dum, Dwarrowdelf, yang sekarang dinamakan Sumur Hitam, atau Moria dalam bahasa Peri. Di sana berdiri Barazinbar, si Tanduk Merah, Caradhras yang kejam; di seberangnya ada Silvertine dan Cloudyhead: Celebdil si Putih, dan Funaidhol si Kelabu, yang kami namakan Zirakzigil dan Bundushathur.
"Di sana Pegunungan Berkabut terbagi, dan di antara lengan-lengannya terletak lembah gelap yang tak mungkin kami lupakan: Azanulbizar, Lembah Dimrill, yang oleh bangsa Peri disebut Nanduhirion."
"Kita menuju Lembah Dimrill," kata Gandalf. "Kalau kita mendaki celah yang dinamakan Gerbang Tanduk Merah, di bawah sisi terjauh Caradhras, kita akan menuruni Tangga Dimrill, masuk ke lembah dalam, tempat para Kurcaci. Di sana terletak Mirrormere, dan di sana Sungai Silverlode muncul dalam mata-mata an-nya yang sedingin es."
"Gelap air Kheled-zaram," kata Gimli, "dan dingin mata air Kibil-nala. Hatiku bergetar memikirkan bahwa segera aku akan melihatnya."
"Semoga kau bahagia melihatnya, Kurcaci yang budiman!" kata Gandalf. "Tapi apa pun yang akan kaulakukan, kita tak bisa tinggal di lembah itu. Kita harus melewati Silverlode, masuk ke hutan rahasia, lalu ke Sungai Besar, lalu..."
Ia berhenti.
"Ya, terus ke mana?" tanya Merry.
"Sampai ke akhir perjalanan-pada akhirnya," kata Gandalf. "Kita tak bisa terlalu jauh melihat ke depan. Biarlah kita berbahagia bahwa tahap pertama sudah selesai dengan selamat. Kupikir kita akan beristirahat di sini, bukan hanya hari ini, tapi juga nanti malam. Suasana di Hollin ini bagus sekali. Banyak kejahatan harus menimpa suatu negeri, sebelum negeri itu sama sekali melupakan bangsa Peri, kalau mereka pernah tinggal di sana."
"Itu benar," kata Legolas. "Tapi kaum Peri di negeri ini berasal dari ras yang asing bagi kami bangsa silvan, dan sekarang pepohonan dan rumput sudah tak ingat mereka lagi. Hanya bebatuan kudengar meratapi mereka: mereka mempelajari kami sangat dalam, mereka membuat kami indah, mereka membangun kami tinggi; tapi mereka sudah pergi. Mereka pergi. Mereka menuju Havens, lama berselang."

Pagi itu mereka menyalakan api dalam cekungan dekat semak-semak holly, dan makan malam-sarapan mereka jauh lebih gembira daripada sejak saat mereka baru berangkat. Mereka tidak bergegas pergi tidur setelahnya, karena mengharapkan punya waktu sepanjang malam untuk tidur, dan sesuai rencana, mereka tidak akan melanjutkan perjalanan sampai sore hari berikutnya. Hanya Aragorn diam dan resah. Setelah beberapa saat, ia meninggalkan Rombongan dan berjalan sampai ke atas punggung bukit; di sana ia berdiri di bawah bayangan pohon, memandang ke arah selatan dan barat, kepalanya dalam posisi sedang mendengarkan. Lalu ia kembali ke pinggir lembah dan memandang teman-temannya yang tertawa dan bercakap-cakap di bawah.
"Ada apa, Strider?" Merry berteriak. "Apa yang kaucari? Apakah kau kehilangan Angin Timur?"
"Bukan itu," jawab Aragorn. "Tapi aku kehilangan sesuatu. Akusudah sering ke Hollin selama banyak musim. Tidak ada penduduknya sekarang, tapi banyak makhluk lain tinggal di sini setiap saat, terutama burung. Sekarang semua makhluk diam, kecuali kalian. Aku bisa merasakannya. Tidak ada bunyi sejauh bermil-mil di sekitar kita, dan suara-suara kalian tampaknya membuat tanah bergema. Aku tidak mengerti ini."
Gandalf tiba-tiba menoleh dengan penuh perhatian. "Menurutmu, apa kira-kira penyebabnya?" tanyanya. "Apakah lebih dari sekadar kekagetan melihat empat hobbit, belum lagi yang lainnya, di tempat orang biasanya jarang terlihat atau terdengar?"
"Kuharap itu penyebabnya," jawab Aragorn. "Tapi aku merasakan suatu kewaspadaan, dan ketakutan, yang belum pernah kurasakan di sini."
"Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati," kata Gandalf. "Kalau bepergian dengan Penjaga Hutan, sebaiknya ucapannya kita perhatikan, terutama kalau Penjaga Hutan itu adalah Aragorn. Kita harus berhenti berbicara keras; kita beristirahat dengan tenang, dan mulai berjaga bergiliran."

Hari itu giliran Sam untuk penjagaan pertama, tapi Aragorn bergabung dengannya. Yang lain tertidur. Lalu keheningan semakin pekat, sampai Sam juga merasakannya. Napas mereka yang tidur bisa terdengar jelas sekali. Kibasan ekor kuda dan gerakan kakinya sesekali, menjadi bunyi-bunyian yang keras sekali. Sam bisa mendengar sendi-sendinya sendiri berkeriut, kalau ia bergerak. Keheningan pekat menggantung di sekitamya, dan di atas semuanya terbentang langit biru jernih, sementara Matahari naik dari Timur. Jauh di Selatan, sebuah bercak gelap muncul, semakin besar, dan melayang ke utara, seperti asap mengalir diterbangkan angin.
"Apa itu, Strider? Itu tidak seperti awan," Sam berbisik kepada Aragorn. Aragorn tidak menjawab; ia menatap tajam ke langit; tapi tak lama kemudian Sam bisa melihat sendiri, apa yang sedang men_ dekat. Kawanan burung, terbang dengan kecepatan tinggi, berputar-putar melintasi seluruh daratan, seolah sedang mencari sesuatu; dan mereka semakin lama semakin dekat.
"Berbaring datar dan diam!" desis Aragorn, menarik Sam ke bawah bayangan semak holly; karena sejumlah besar burung tiba-tiba melepaskan diri dari pasukan utama, dan terbang rendah, langsung menuju punggung bukit. Sam menduga mereka sejenis burung gagak berukuran besar. Saat mereka melintas di atas-dalam kerumunan yang begitu rapat, sampai-sampai bayangan mereka mengikuti dengan gelap di tanah di bawah-terdengar bunyi gaokan parau.
Baru setelah mereka menghilang di kejauhan, utara dan barat, dan langit sudah jernih kembali, Aragorn bangkit berdiri. Lalu ia melompat dan membangunkan Gandalf.
"Kawanan burung gagak hitam terbang di atas seluruh daratan di antara Pegunungan dan Greyflood," katanya, "dan mereka melintasi Hollin. Mereka bukan burung asli daerah itu; mereka crebain dari Fangorn dan Dunland. Aku tidak tahu apa urusan mereka: mungkin ada kesulitan di selatan, dan mereka melarikan diri; tapi kupikir mereka memata-matai daratan. Aku juga melihat banyak elang terbang tinggi di langit. Kurasa kita harus berjalan terus malam ini. Hollin sudah tidak sehat untuk kita: dia diawasi."
"Kalau begitu, Gerbang Tanduk Merah juga," kata Gandalf. "Dan bagaimana kita bisa melewatinya tanpa kelihatan, tak bisa aku bayangkan. Kita pikirkan nanti saja, kalau sudah saatnya. Kalau tentang berjalan lagi begitu kegelapan turun, kurasa kau benar."
"Untung api kita hanya sedikit berasap, dan sudah menyala kecil sebelum crebain datang," kata Aragorn. "Api itu harus dipadamkan dan jangan dinyalakan lagi."

"Nah, itu benar-benar gangguan menjengkelkan!" kata Pippin. Beritanya: tidak boleh ada api, dan berjalan lagi malam ini, sudah diberitahukan kepadanya begitu ia bangun siang itu. "Semua hanya karena sekawanan burung gagak! Aku sudah mengharapkan makan malam enak malam ini: sesuatu yang hangat."
"Yah, kau bisa meneruskan mengharapkannya," kata Gandalf. "Mung" kin saja ada pesta makan tak terduga nanti. Aku sendiri ingin sekali mengisap pipa dengan nyaman, dan kaki yang lebih hangar. Tapi ada satu hal pasti: akan semakin panas kalau kita sampai di selatan."
"Terlalu panas, aku tidak akan heran," gerutu Sam pada Frodo. "Tapi aku mulai berpikir, sudah saatnya kita melihat Gunung Api, dan akhir Jalan ini. Tadinya kukira Tanduk Merah ini, atau apa pun namanya, adalah Gunung Api, sampai Gimli berbicara. Bahasa Kurcaci pasti sulit sekali diucapkan!" Sam tak bisa mencerna peta-peta, dan semua jarak dalam negeri-negeri asing ini rasanya begitu luas, sampai ia kehilangan hitungan.
Sepanjang hari itu mereka tetap bersembunyi. Burung-burung hitam itu sesekali melintas; tapi ketika Matahari yang semakin condong ke barat mulai memerah, mereka menghilang ke selatan. Senja hari mereka berangkat, dan sekarang dengan berbelok setengah ke timur, mereka mengarahkan perjalanan menuju Caradhras, yang di kejauhan masih menyala merah samar-samar, dalam cahaya terakhir Matahari yang sedang terbenam. Satu demi satu bintang-bintang muncul, sementara langit memudar.
Dipimpin oleh Aragorn, mereka menemukan jalan yang bagus. Bagi Frodo tampaknya seperti sisa jalan kuno, yang dulu pernah lebar dan direncanakan dengan baik, dari Hollin sampai ke celah gunung. Bulan, yang sekarang sudah purnama, naik di atas pegunungan, melemparkan cahaya pucat yang membuat bayangan bebatuan kelihatan hitam. Banyak bebatuan itu tampak seperti dikerjakan dengan tangan, meski mereka sekarang menggeletak terguling, seperti puing-puing di daratan gersang dan pucat.
Jam-jam dingin menggigit mendahului merekahnya fajar, dan bulan sudah rendah. Frodo menengadah ke langit. Tiba-tiba ia melihat, atau merasa, sebuah bayangan melintas tinggi di atas bintang-bintang, seolah untuk sejenak mereka memudar, lalu berkelip lagi. Ia menggigil.
"Kau melihat sesuatu melintas di atas?" bisiknya pada Gandalf, yang berjalan persis di depannya.
"Tidak, tapi aku merasakannya, apa pun itu," jawab Gandalf. "Mungkin bukan apa-apa; hanya seuntai awan tipis."
"Kalau begitu, dia bergerak cepat sekali," gerutu Aragorn, "dan bukan terbawa angin."

Tak ada lagi yang terjadi malam itu. Keesokan paginya malah lebih cerah dari sebelumnya. Tapi udara dingin lagi; angin sudah berbalik kembali ke timur. Selama dua malam mereka berjalan terus, mendaki terus, namun sangat perlahan, sementara jalan mereka melingkar masuk ke perbukitan, dan pegunungan menjulang tinggi, semakin de ant dan semakin dekat. Pada pagi ketiga, Caradhras menjulang di depan mereka, puncak yang hebat, ujungnya tertutup salju seperti perak, tapi sisi-sisinya curam telanjang, merah kusam seolah bernoda darah.
Langit tampak hitam, dan matahari pucat. Angin sekarang sudah pergi ke timur laut. Gandalf menghirup udara dan menoleh ke belakang.
"Musim dingin semakin pekat di belakang kita," ia berkata tenang pada Aragorn. "Ketinggian di utara sana lebih putih dari sebelumnya; salju sudah membentang jauh ke pundaknya. Malam ini kita akan berjalan mendaki ke Gerbang Tanduk Merah. Mungkin sekali kita kelihatan oleh mata-mata di jalan sempit itu, dan dihadang oleh sesuatu yang buruk; tapi cuaca mungkin bisa menjadi musuh yang lebih mematikan daripada yang lain. Bagaimana menurutmu sekarang arah perjalanan kita, Aragorn?"
Frodo mendengar kata-kata itu, dan memahami bahwa Gandalf dan Aragorn sedang melanjutkan perdebatan yang sudah lama dimulai. Ia mendengarkan dengan cemas.
"Menurutku arah perjalanan kita sejak awal sampai akhir tidak baik, kau sudah tahu itu, Gandalf," jawab Aragorn. "Bahaya-bahaya yang dikenal dan tak dikenal akan tumbuh, sementara kita berjalan terus. Tapi kita harus melanjutkannya; tidak baik kita menunda perjalanan melewati pegunungan. Di sebelah selatan tak ada celah, sampai di Celah Rohan. Aku tidak percaya jalan itu sejak kabarmu tentang Saruman. Siapa yang tahu, pihak mana yang sekarang dilayani para Penguasa Kuda itu?"
"Siapa yang tahu, memang!" kata Gandalf. "Tapi ada jalan lain, dan bukan melalui celah Caradhras: jalan gelap dan rahasia yang pernah kita bahas."
"Tapi jangan kita bicarakan lagi! Jangan dulu. Jangan katakan apa pun pada yang lain, kumohon, sampai jelas tak ada jalan lain lagi."
"Kita harus memutuskannya sebelum berjalan lebih jauh," jawab Gandalf.
"Kalau begitu, ma i kita pertimbangkan masalah ini dalam pikiran kita, sementara yang lain beristirahat dan tidur," kata Aragorn.

Di siang larut, sementara yang lain menghabiskan sarapan, Gandalf dan Aragorn pergi menjauh bersama, dan berdiri memandang Caradhras. Sisi-sisinya sekarang gelap dan cemberut, kepalanya diliputi awan-awan kelabu. Frodo memperhatikan mereka, bertanya-tanya ke arah mana debat itu akan berlangsung. Ketika mereka kembali Rombongan, Gandalf berbicara, lalu Frodo tahu bahwa diputuskan menghadapi cuaca dan celah tinggi. Ia lega. Ia tak bisa menduga, apa jalan lain yang gelap dan rahasia, yang disebut-sebut Gandalf, tapi mendengarnya saja tampaknya sudah membuat Aragorn ngeri, dan Frodo senang pilihan itu ditinggalkan.
"Dari tanda-tanda yang akhir-akhir ini kami lihat," kata Gandalf, ''aku khawatir Gerbang Tanduk Merah sudah diawasi; aku juga ragu tentang cuaca yang muncul di belakang kita. Salju mungkin akan datang. Kita harus pergi dengan segenap kecepatan yang bisa kita kerahkan. Meski begitu, masih butuh waktu dua hari berjalan sebelum kita mencapai puncak celah. Kegelapan akan datang lebih awal sore ini. Kita harus berangkat sesegera mungkin, begitu kalian siap."
"Aku ingin menambahkan sedikit nasihat, kalau boleh," kata Boromir. "Aku lahir di bawah bayangan Pegunungan Putih, dan aku tahu sedikit tentang perjalanan di tempat-tempat tinggi. Kita akan menghadapi hawa dingin yang tajam, kalau tidak lebih buruk lagi, sebelum mencapai sisi sebelah sana. Bila kita pergi dari sini, di mana masih ada beberapa pohon dan semak, masing-masing harus membawa seikat kayu bakar, sebanyak yang bisa dibawa."
"Dan Bill juga bisa tambah sedikit beban lagi, ya kan, Nak?" kata Sam. Kuda itu memandangnya dengan muram.
"Baiklah," kata Gandalf. "Tapi kita tak boleh menggunakan kayu itu-kecuali bila sudah terdesak pilihan antara api dan mati."

Rombongan itu berangkat lagi dengan kecepatan bagus pada awalnya; tapi, tak lama kemudian, jalan mereka menjadi sulit dan curam. Jalan Yang membelok-belok dan mendaki di banyak tempat hampir hilang, dan dirintangi oleh banyak batu yang jatuh. Malam semakin pekat di bawah awan-awan besar. Angin dingin berputar di antara bebatuan. Saat tengah malam, mereka sudah mendaki sampai ke lutut pegunungan besar itu. Jalan mereka yang sempit sekarang menjulur di bawah dinding batu karang terjal di sebelah kiri, di atas mana sisi-sisi Caradhras Yang suram menjulang tak kelihatan dalam kegelapan; di sebelah kanan ada gelombang kegelapan, di mana daratan mendadak jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
Dengan susah payah mereka mendaki lereng curam, dan berhenti sejenak di puncaknya. Frodo merasakan sentuhan lembut di wajahnya. Ia mengulurkan tangan, dan melihat keping-keping salju putih samar-samar jatuh ke atas lengannya.
Mereka berjalan terus. Tapi tak lama kemudian salju turun deras, memenuhi seluruh angkasa, dan berputar-putar masuk ke mata Frodo. Sosok-sosok Gandalf dan Aragorn yang gelap dan membungkuk, hanya dua langkah di depannya, hampir tak terlihat.
"Aku sama sekali tidak suka ini," Sam terengah-engah di belakangnya. "Salju menyenangkan kalau pagi hari, tapi aku lebih suka berada di ranjang sementara salju jatuh. Kuharap salju ini mau pergi ke Hobbiton! Di sana penduduknya akan menyambut dengan senang.'' Kecuali di dataran tinggi Wilayah Utara, hujan salju deras sangat langka di Shire, dan dianggap suatu kejadian menyenangkan dan kesempatan untuk bersuka ria. Tidak ada hobbit yang masih hidup (kecuali Bilbo) yang ingat Musim Dingin Naas di tahun 1311, ketika serigala putih menyerang Shire melalui Brandywine yang membeku.
Gandalf berhenti. Salju sudah tebal di atas kerudung dan pundaknya; sudah setinggi pergelangan kaki di sekitar sepatu botnya.
"Ini yang kukhawatirkan," katanya. "Bagaimana sekarang menurutmu, Aragorn?"
"Aku juga sudah mengkhawatirkannya," jawab Aragorn, "tapi tidak terlalu. Aku sudah tahu risiko salju; meski jarang turun begitu deras di selatan ini, kecuali tinggi di pegunungan. Tapi kita belum tinggi sekarang; kita masih jauh di bawah, dan jalan di bawah biasanya selalu terbuka sepanjang musim dingin."
"Aku bertanya-tanya, apakah ini bukan bikinan Musuh," kata Boromir. "Di negeriku, mereka mengatakan dia bisa memerintah badai di Pegunungan Bayang-Bayang yang terletak di perbatasan Mordor. Dia mempunyai kekuatan aneh dan banyak sekutu."
"Lengannya pasti sudah tumbuh panjang sekali," kata Gimli, "kalau dia bisa menarik salju dari Utara untuk mengganggu kita di sini, sejauh tiga ribu mil dari sana."
"Lengannya memang sudah tumbuh panjang," kata Gandalf.

Sementara mereka berhenti, angin surut, dan salju melambat sampai hampir berhenti: Mereka berjalan lagi. Tapi belum lagi mereka melangkah lebih dari dua ratus meter, badai kembali berkecamuk dengan ganas. Angin bersiul dan salju menjadi badai membutakan. Tak lama kemudian, Boromir pun merasa sulit melangkah. Para hobbit sudah membungkuk dalam sekali, bersusah payah di belakang orang-oran° yang lebih tinggi, tapi sudah jelas mereka tak bisa pergi lebih jauh kalau salju terus turun. Kaki Frodo terasa seperti timah berat. Pippin terseok-seok di belakang. Bahkan Gimli, meski untuk ukuran Kurcaci ia cukup kekar, menggerutu sementara berjalan dengan susah payah.
Rombongan itu berhenti mendadak, seolah sudah sepakat tanpa berbicara. Mereka mendengar bunyi-bunyi menyeramkan dalam kegelapan di sekitar mereka. Mungkin saja itu hanya tipuan angin dalam celah-celah dan parit-parit di dinding bebatuan, tapi bunyi-bunyi itu seperti teriakan melengking dan raungan tertawa liar. Batu-batu mulai berjatuhan dari sisi gunung, bersiul di atas kepala mereka, atau jatuh berantakan ke jalan di samping mereka. Sesekali mereka mendengar bunyi gemuruh samar-samar, setiap ada batu besar berguling ke bawah dari ketinggian tersembunyi di atas.
"Kita tak bisa berjalan lebih jauh malam ini," kata Boromir. "Biarlah menganggapnya angin kalau mau; tapi ada suara-suara jahat di udara; dan batu-batu ini ditujukan pada kita."
"Aku memang menganggapnya ulah angin," kata Aragorn. "Tapi itu bukan berarti apa yang kaukatakan tidak benar. Banyak sekali hal-hal jahat dan tidak ramah di dunia yang tidak menyukai makhluk berkaki dua; mereka bukan merupakan sekutu Sauron, namun mempunyai tujuan sendiri. Beberapa sudah berada di dunia lebih lama daripada Sauron."
"Caradhras dulu disebut si Kejam, dan mempunyai nama jelek," kata Gimli, "sudah lama sekali, ketika selentingan tentang Sauron masih belum terdengar di wilayah ini."
"Tidak penting siapa musuh kita, kalau kita tak bisa menangkis serangannya," kata Gandalf.
"Tapi apa yang bisa kita lakukan?" seru Pippin sedih. Ia bersandar pada Merry dan Frodo. Dan menggigil.
"Berhenti di sini, atau kembali," kata Gandalf. "Tidak baik meneruskan perjalanan. Hanya sedikit lebih tinggi, kalau ingatanku benar, jalan ini meninggalkan batu karang dan masuk ke palung lebar dan dangkal di kaki lereng panjang yang terjal Di sana kita tak punya perlindungan terhadap salju, atau batu-atau hal lain."
"Dan tidak baik berjalan kembali sementara masih badai," kata Aragorn. "Sepanjang jalan, kita tidak melewati tempat yang memberikan lebih banyak perlindungan daripada di bawah batu karang tempat kita berdiri sekarang."
"Perlindungan!" gerutu Sam. "Kalau ini merupakan perlindungan, maka satu dinding tanpa atap bisa dikatakan rumah."

Sekarang mereka berkumpul bersama sedekat mungkin ke batu karang. Batu itu menghadap ke selatan, di dekat kakinya agak menjorok keluar, sehingga mereka berharap mendapat sedikit perlindungan terhadap angin utara dan batu-batu yang berjatuhan. Tapi tiupan angin berputar-putar di sekeliling mereka dari setiap sisi, dan salju turun semakin deras dan rapat.
Mereka meringkuk bersama, bersandar ke dinding batu. Bill si kuda berdiri dengan sabar tetapi sedih di depan para hobbit, dan agak melindungi mereka; tapi tak lama kemudian salju sudah mencapai lututnya, dan masih terus meninggi. Seandainya tidak mempunyai pendamping yang lebih tinggi, para hobbit pasti segera terbenam seluruhnya.
Rasa kantuk berat menyerang Frodo; ia merasa dirinya tenggelam dengan cepat ke dalam mimpi hangat dan kabur. Ia mengira nyala api memanaskan jari kakinya, dan dari kegelapan di sisi seberang perapian ia mendengar suara Bilbo. Buku harianmu tidak begitu hebat menurutku, katanya. Badai salju tanggal 12 Januari: tidak perlu kembali hanya untuk melaporkan itu!
Tapi aku ingin istirahat dan tidur, Bilbo, jawab Frodo dengan susah payah, ketika merasa dirinya diguncang-guncang, dan ia pun bangun dengan rasa tersiksa. Boromir sudah mengangkatnya dari tanah, keluar dari setumpuk salju.
"Mereka bisa mati, Gandalf," kata Boromir. "Tak ada gunanya duduk di sini sampai- salju menutupi kepala kita. Kita harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri."
"Berikan ini pada mereka," kata Gandalf, sambil mencari dalam ranselnya dan mengeluarkan sebuah botol kulit. "Hanya sepengisi mulut masing-masing-untuk kita semua. Ini sangat berharga. Ini miruvor, anggur dari Imladris. Elrond memberikannya padaku ketika kita berangkat. Edarkan keliling!"
Begitu menelan sedikit anggur hangat dan wangi itu, Frodo merasakan kekuatan baru dalam dirinya, dan kantuk berat itu hilang dari tubuhnya. Yang lain juga menjadi segar, serta menemukan harapan dan semangat baru. Tapi salju tidak berhenti. Ia berputar-putar di sekitar mereka, semakin tebal, dan angin bertiup semakin kencang.
"Bagaimana menurutmu kalau menyalakan api?" tanya Boromir tiba-tiba. "Sekarang pilihannya sudah mendekati antara api dan kematian, Gandalf. Pasti kita akan tersembunyi dari semua mata yang tidak ramah, kalau salju sudah menutupi kita, tapi itu tidak akan membantu kita."
"Kau boleh menyalakan api, kalau bisa," kata Gandalf. "Kalau ada mata-mata yang bisa bertahan dalam badai ini, mereka akan bisa melihat kita, dengan atau tanpa api."
Tapi, meski mereka membawa kayu dan ranting-ranting kecil atas saran Boromir, ternyata untuk menyalakan api yang bisa bertahan di tengah pusaran angin atau menyalakan bahan bakar basah, sudah di luar kemampuan para Peri maupun orang kerdil. Akhirnya dengan enggan Gandalf turun tangan. Sambil memungut sebatang ranting, ia mengangkatnya sebentar, lalu dengan satu perintah, naur an edraith ammen! ia menusukkan ujung tongkatnya ke tengah ranting. Dalam sekejap semprotan besar nyala hijau dan biru memancar, dan kayu itu menyala dan berderak.
"Kalau ada yang sedang melihat, aku pasti sudah ketahuan," kata Gandalf. "Aku telah menuliskan Gandalf ada di sini dengan tanda-tanda yang bisa dibaca semua makhluk, mulai dari Rivendell sampai ke muara Anduin."
Tapi mereka sudah tak peduli tentang pengamat atau mata yang tidak ramah. Hati mereka gembira sekali melihat cahaya api. Kayu itu terbakar dengan ceria; meski di sekitarnya salju berdesis, dan genangan lumpur salju mengalir di kaki mereka, mereka menghangatkan tangan dengan gembira dekat nyala api. Di sanalah mereka berdiri, membungkuk dalam lingkaran di seputar nyala api kecil yang menari-nari. Nyala merah tampak di wajah mereka yang letih dan cemas; di belakang mereka, malam membentang bagaikan dinding hitam kelam.
Tapi kayu itu terbakar dengan cepat, dan salju masih turun.

Api semakin kecil, dan kayu terakhir sudah dilemparkan ke atasnya.
"Malam suciah larut sekali," kata Aragorn. "Tak lama lagi fajar tiba."
"Kalau ada fajar yang bisa menembus awan-awan ini,." kata Gimli.
Boromir melangkah keluar dari lingkaran, dan menatap ke atas, ke dalam kegelapan. "Salju sudah berkurang," katanya, "dan angin sudah surut."
Frodo memandang dengan lelah ke keping-keping yang masih berjatuhan dari kegelapan, bersinar putih sekejap dalam nyala api yang sudah mau mati; tapi lama sekali ia tidak melihat tanda-tanda salju akan berkurang. Lalu mendadak, ketika rasa kantuk mulai menyerangnya lagi, ia menyadari angin memang sudah berhenti, dan keping-keping salju semakin besar dan jarang. Cahaya samar-samar mulai muncul, sangat lambat. Akhirnya salju berhenti turun sama sekali.
Ketika cahaya semakin kuat, tampaklah dunia sepi terselubung. Di bawah tempat perlindungan mereka ada gundukan-gundukan putih dan kubah-kubah, serta lembah-lembah tak berbentuk, dan di bawahnya jalan yang kemarin mereka lalui sama sekali hilang; tapi ketinggian di atas tersembunyi dalam awan-awan besar yang masih sarat dengan ancaman salju.
Gimli menengadah dan menggelengkan kepala. "Caradhras belum memaafkan kita," katanya. "Dia masih punya lebih banyak salju untuk dilemparkan pada kita, kalau kita melanjutkan perjalanan. Lebih baik kita turun kembali sesegera mungkin."
Semua sepakat tentang itu, tapi jalan kembali mereka sekarang sulit. Bahkan mungkin mustahil. Hanya beberapa langkah dari tempat abu api mereka, salju menumpuk setinggi beberapa kaki, lebih tinggi daripada kepala para hobbit; di beberapa tempat bahkan tersapu dan tertumpuk oleh angin menjadi timbunan besar yang bersandar pada batu karang.
"Kalau Gandalf berjalan di depan dengan api terang, mungkin dia bisa meleburkan jalan untukmu," kata Legolas. Badai tidak banyak mengganggunya, dan hanya dia dari Rombongan itu yang masih bersemangat tinggi.
"Kalau Peri bisa terbang di atas pegunungan, mereka mungkin akan mengambil Matahari untuk menyelamatkan kita," jawab Gandalf. "Tapi aku harus punya sesuatu untuk dinyalakan. Aku tak bisa membakar salju."
"Nah," kata Boromir, "kalau kepala sudah kehilangan akal, maka tubuh yang harus digunakan, begitu kata orang di negeriku. Yang terkuat di antara kita harus mencari jalan. Lihat! Meski semuanya tertutup salju, jalan kita, ketika kita naik, membelok mengelilingi pundak batu di bawah sana. Di sana salju pertama-tama jatuh. Kalau kita bisa mencapai titik itu, mungkin akan lebih mudah di sebelah sananya. Tidak lebih jauh dari dua ratus meter, kukira."
"Kalau begitu, mau kita membuka jalan ke arah sana, kau dan aku!" kata Aragorn.
Aragorn yang paling jangkung dalam Rombongan itu, tapi Boromir, yang sedikit lebih pendek, tubuhnya lebih kekar dan berat. Ia memimpin jalan, dan Aragorn mengikutinya. Perlahan-lahan mereka berjalan, dan segera kelihatan bersusah payah. Di beberapa tempat, saljunya setinggi dada, dan sering Boromir tampak berenang atau menggali dengan tangannya daripada berjalan.
Selama beberapa saat, Legolas memperhatikan mereka dengan tersenyum, lalu menoleh pada yang lain. "Yang paling kuat harus mencari jalan, katanya? Tapi kataku: biarkan tukang bajak membajak, tapi pilihlah berang-berang untuk berenang, dan untuk berlari ringan di rumput, dedaunan, dan salju... seorang Peri tentunya."
Sambil berkata begitu, ia berlari maju dengan gesit, lalu Frodo melihat, seolah baru untuk pertama kali, meski ia sudah lama mengetahuinya, bahwa Peri itu tidak memakai sepatu bot, melainkan hanya mengenakan sepatu ringan, seperti biasanya, dan kakinya hanya sedikit meninggalkan jejak di atas salju.
"Selamat tinggal!" katanya pada Gandalf. "Aku akan pergi mencari Matahari!" Lalu dengan cepat, seperti pelari di atas pasir padat, ia berlari pergi, dengan cepat menyusul kedua laki-laki yang bekerja keras itu, dengan lambaian tangannya ia melewati mereka, dan melaju ke kejauhan, lalu menghilang di balik tikungan batu.

Yang lain menunggu sambil meringkuk, memperhatikan sampai Boromir dan Aragorn mengecil hingga tinggal berupa bercak hitam di tengah lautan putih. Akhirnya mereka juga hilang dari pandangan. Waktu berlalu. Awan-awan merendah, dan sekarang beberapa keping salju mulai turun berputar-putar lagi.
Satu jam mungkin berlalu, meski rasanya jauh lebih lama, lalu akhirnya mereka melihat Legolas datang kembali. Pada saat bersamaan, Boromir dan Aragorn juga muncul dari balik tikungan jauh di belakangnya, dan datang berjalan dengan susah payah mendaki lereng.
"Nah," seru Legolas sambil berjalan naik, "aku tidak membawa Matahari. Dia masih berjalan di padang-padang biru di Selatan, dan sedikit rangkaian salju di atas bukit Tanduk Merah ini sama sekali tidak mengganggunya. Tapi aku membawa pulang secercah harapan bagi mereka yang terpaksa berjalan kaki. Ada timbunan besar sekali, persis setelah tikungan, dan di sana kedua Orang Kuat kita hampir saja terkubur. Mereka putus asa, sampai aku kembali dan menceritakan pada mereka bahwa timbunan itu hanya sedikit lebih lebar daripada tembok. Dan di sebelah sana salju mendadak menipis, sementara lebih jauh ke bawah, salju hanya berupa selimut putih tipis untuk mendinginkan jari kaki hobbit."
"Ah, jadi memang seperti sudah kukatakan," geram Gimli. "Bukan badai biasa. Ini hasrat jahat Caradhras. Dia tidak menyukai Peri dan Kurcaci, dan angin itu dikeluarkan untuk memotong pelarian kita."
"Tapi untung Caradhras lupa bahwa ada Manusia bersamamu," kata Boromir, yang muncul tepat pada saat itu. "Manusia-manusia yang tangguh, kalau boleh kukatakan begitu; meski manusia-manusia Yang kurang gagah, namun membawa sekop, mungkin akan lebih berguna bagimu. Pokoknya kami sudah membuka jalan melalui timbunan; dan untuk itu, semua di sini yang tidak bisa berlari seringan bangsa Peri boleh bersyukur."
"Tapi bagaimana kita bisa turun ke sana, meski kau sudah memotong timbunan?" tanya Pippin, menyuarakan pikiran semua hobbit.
"Jangan putus asa!" kata Boromir. "Aku memang letih, tapi masih punya sedikit kekuatan, Aragorn juga. Kami akan menggendong orang-orang kecil. Yang lainnya pasti akan berupaya berjalan di belakang kami. Mari, Master Peregrin! Aku akan mulai denganmu."
Ia mengangkat hobbit itu. "Berpeganganlah ke punggungku! Aku akan membutuhkan tanganku," katanya dan ia melangkah maju. Aragorn dengan Merry berjalan di belakangnya. Pippin kagum dengan kekuatan Boromir, ketika, melihat jalan tembus yang sudah dibuatnya tanpa alat, selain tangannya yang besar. Bahkan sekarang, sambil membawa beban, ia memperlebar jalan untuk mereka yang mengikuti, mendorong salju ke samping sambil berjalan melewatinya.
Akhirnya mereka sampai ke timbunan besar. Timbunan itu terlempar melintang di atas jalan gunung, bagai tembok kokoh yang tiba-tiba ada; puncaknya, yang tajam bagai dibentuk dengan pisau, menjulang lebih tinggi daripada dua kali tinggi tubuh Boromir; tapi di tengahnya sudah dibuat jalan, naik-turun seperti jembatan. Di sisi sebelah sana Merry dan Pippin diturunkan, dan di sana mereka menunggu bersama Legolas, sampai sisa Rombongan datang.
Setelah beberapa saat, Boromir kembali sambil membawa Sam. Di belakang, di jalan sempit yang sekarang sudah banyak dijejaki, menyusul Gandalf, menuntun Bill dengan Gimli bertengger di antara muatannya. Terakhir adalah Aragorn, yang berjalan sambil mengangkat Frodo. Mereka melewati jalan itu; tapi baru saja Frodo menginjak tanah, terdengar deruman keras batu-batu menggelinding ke bawah, serta salju merayap turun. Cipratannya setengah membutakan Rombongan itu, sementara mereka meringkuk bersandar ke batu karang. Ketika udara sudah jernih lagi, mereka melihat jalan tadi sudah tertutup di belakang mereka.
"Cukup! Cukup!" teriak Gimli. "Kami akan pergi secepat mungkin!" Dan memang, dengan sapuan terakhir itu, kejahatan sang gunung seolah berakhir, seakan-akan Caradhras puas bahwa para penyusup sudah diusir dan tidak akan berani kembali. Ancaman salju lenyap, dan cahaya mulai makin menyebar.
Seperti dilaporkan Legolas, salju semakin tipis ketika mereka turun, sehingga para hobbit juga bisa berjalan kaki. Tak lama kemudian, mereka semua sudah kembali berdiri di bidang tanah datar, di puncak lereng curam tempat mereka pertama kali merasakan turunnya salju malam sebelumnya.
Pagi sudah menjelang siang sekarang. Dari tempat tinggi itu, mereka menoleh kembali ke barat, di atas dataran rendah. Jauh di sana, di hamparan daratan yang terletak di kaki gunung, tampak lembah tempat mereka memulai mendaki celah.
Kaki Frodo sakit. Ia kedinginan sampai ke tulang-tulangnya, dan lapar; kepalanya pusing saat ia memikirkan perjalanan panjang dan sengsara menuruni bukit. Bercak-bercak hitam berenang-renang di depan matanya. Ia menyeka matanya, tapi bercak-bercak hitam itu tetap ada. Di kejauhan di bawahnya, namun masih tinggi di atas kaki bukit yang lebih rendah, titik-titik gelap berputar-putar di angkasa.
"Burung-burung lagi!" kata Aragorn sambil menunjuk ke bawah.
"Tak bisa dihindari sekarang," kata Gandalf. "Entah mereka baik atau jahat, atau sama sekali tidak ada urusan dengan kita, kita harus segera turun. Kita tidak akan menunggu satu malam lagi, meski di lutut Caradhras."
Angin dingin mengalir ke bawah di belakang, saat mereka membelakangi Gerbang Tanduk Merah, dan berjalan letih terhuyung-huyung menuruni lereng. Caradhras sudah mengalahkan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar